Internasionalisme Baru dan Pameran sebagai Percakapan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Yacobus Ari Respati

 

Tulisan ini adalah tanggapan mengenai tiga sesi program Zoom In Seni Rupa Indonesia dan Internasionalisme Baru (2020).

Webinar Seni Rupa Indonesia dan Internasionalisme Baru oleh Komunitas Salihara dimulai pada 21 Oktober 2020. Wicara, ceramah, dan diskusi tiga sesi ini melibatkan aktor-aktor seni rupa Indonesia mutakhir dalam kegiatan-kegiatan seni rupa besar mancanegara—utamanya: pameran. Sesi pertama adalah “Sejak Venice Biennale 2013 hingga documenta 15 2022” yang menghadirkan pembicara Alia Swastika dan Ade Darmawan.

“Internasionalisme Baru” dihadapkan dengan “internasionalisme lama” dalam kerangka tatanan dunia dan kiblat kebudayaannya yang berubah. Orientasi budaya yang pada awalnya memusat dan hanya menghadirkan mutu pada karya-karya dan pameran-pameran Eropa Barat dan Amerika Utara perlahan-lahan mulai bergeser. Lebih kurang sejak 1980-an hingga hari ini, bermunculanlah pusat-pusat baru yang melongok untuk mencari dan mengikutsertakan perbincangan dan praktik seni rupa dari negara-negara belahan dunia Selatan, negara dunia ketiga, juga “pinggir-pinggir” lainnya.

Ade Darmawan dan Alia Swastika mewakili orang-orang dari Indonesia yang terlibat pada beberapa ruang kerja seni rupa yang terglobalkan. Spektrumnya, bagaimanapun beragam dan berada di antara lapisan-lapisan keterwakilan gagasan, praktik, ideologi, politik, juga pendekatan yang berbeda-beda.

Alia Swastika—kurator, penulis, dan direktur Biennale Jogja—telah berjejaring dan bekerja pada pameran-pameran internasional seperti Gwangju Biennale 2012 (kodirektur artistik), penggagas pendekatan kerjasama antarnegara Selatan-Selatan “Equator” pada Biennale Jogja (kurator 2009, direktur sejak 2018), dan pameran seni rupa kontemporer di festival seni Indonesia Europalia 2017 (kurator). Kerjanya menempatkan sudut pandang runding kebudayaan yang mewakili keindonesiaan melalui posisi memimpin, terutama pada arahan artistik, juga pilihan dan muatan pesannya dalam menggubah pameran.

Ade Darmawan adalah perupa, pendiri kelompok ruangrupa, dan—sebagai bagian darinya—menjabat direktur artistik kolektif bagi documenta Fifteen 2022 mendatang. Sebagai pribadi, melalui ruangrupa, jejaring dunia seni global, dan upaya-upaya organisasinya Ade Darmawan membuat kegiatan-kegiatan yang jadi diseminasi gagasan tentang seni rupa yang ekosistemik dan mandiri. Ini antara lain terlihat pada festival seni media baru OK Video, pusat studi Gudskul, Sonsbeek 2016 (dikuratori ruangrupa), Jakarta Biennale 2009 & 2013 (direktur artistik), dan Yayasan Jakarta Biennale. Kerja itu menempatkan gagasan Ade Darmawan dan ruangrupa tentang seni rupa mutakhir ke dalam forum-forum mancanegara dengan jarak penglihatan yang kritis.

 

Ceramah
Nirwan Dewanto sebagai moderator membuka webinar dengan pengenalan tema dan pengantar, juga kiprah kedua pembicara pada medan seni rupa internasional. Ade Darmawan membawakan ceramah pertama, dan Alia Swastika kedua.

Materi yang disampaikan kedua pembicara memiliki irisan yaitu identifikasi Internasionalisme Baru sebagai bagian dari gelombang pertumbuhan ekonomi regional dan upaya-upaya diplomasi lintas negara melalui bidang kebudayaan dan pameran-pameran besar seni rupa. Alia Swastika menyebutnya “dunia pasca 1989.” Ade Darmawan secara lebih luas menjelaskan adanya fenomena umum yang lahir dari arus ini, yang sekaligus ada dalam perubahan wacana seni rupa global.

Posisi Alia Swastika dalam ceramahnya merefleksikan jalinan hubungan kerja yang dimotori gagasan inisiatif negara “pinggir”. Ini tampak pada kerjasama dua negara dalam konsep ekuator Biennale Jogja, dan pengalamannya berbagi peran direktur artistik pada Gwangju Biennale 2012 bersama kurator-kurator perempuan Asia.

Alia Swastika melihat kerangka kerja pameran internasional sebagai diplomasi skala besar yang memang harus ditangani pada tingkat pemerintahan. Keterlibatan dan sumbangsih aktor-aktor seni rupa Indonesia di mancanegara bersifat tetap dan terus bertumbuh. Ini tidak diimbangi pemahaman pemerintah tentang kedudukan seni rupa Indonesia di sana. Dukungan, bila ada, sifatnya jarang dan berjauhan. Pada pameran La Biennale di Venezia (Venice Biennale) yang mensyaratkan keterlibatan pemerintah secara resmi: paviliun seni rupa Indonesia hadir pada 1954, kemudian baru kembali pada 2003 dan setiap dua tahun dari 2013 hingga sekarang.

Ia menjelaskan pula dinamika penyelenggaraan pameran besar berkala sekelas bienale sebagai acara budaya yang menarik perhatian. Gwangju menjadi contoh pameran besar “blockbuster”. Pada gelaran-gelaran sebelum 2012, Gwangju mengambil poros kurator bintang yang dapat mengundang perupa masyhur dan—bersamanya—rasa penasaran khalayak. Poros ini menjadikan pameran-pameran internasional dan bienale yang pada dekade 1990-an hingga 2010-an jumlahnya berjubel sebagai cabang baru. Pendar satelit kebudayaan dunia yang pantas ditilik. Sebagai panggung bergengsi dengan potensi yang besar ia layak disikapi dengan tata kelola yang baik.

Paradigma penyelenggaraan pameran-pameran besar yang mengglobal itu menjadi satu titik masuk bagi amatan Alia Swastika dan Ade Darmawan. Prosesnya dalam menyertakan, menampilkan karya-karya secara tercerabut dari konteks lokal. Sebuah “global white cube”—mengutip teoretikus kekuratoran Paul O’Neill. Di baliknya, ada pergeseran geopolitik, kepentingan ekonomi, dan mekanisme kerja neoliberal pada seni rupa kontemporer dalam kapitalisme global. Pertumbuhan ekonomi dibuktikan lewat jalan kebudayaan. Satelit yang menyelidiki perluasan jaringan.

Ade Darmawan menyebutnya sebagai “jebakan” dalam rayuan keikutsertaan Internasionalisme Baru itu. Prinsip perluasan jaringan mensyaratkan akses dan amplifikasi pesan, dan kuasa, kepada wilayah sekitar yang lebih luas. Kaitan wilayah memainkan unsur narasi identitas sebagai picunya. Politik identitas dan nasionalisme jadi gaung yang cocok. Gaung yang menyederhanakan hubungan-hubungan dengan keadaan medan seni yang sebenarnya secara utuh.

Ini menjadi eksploitasi yang perlu dibongkar untuk mendefinisikan ulang pentingnya pameran-pameran internasional. Dalam hubungan ini wilayah lokal tidak mendapat keuntungan dan tidak melihat dirinya sendiri dengan “benar”—sebagai apa adanya dan berkembang dari riwayatnya sendiri. Keterbatasan medan seni yang ada, dalam pertemuan dengan daya ini menyulitkan adanya lingkungan yang baik untuk menguji dan melatih gagasan-gagasan yang asli dan mandiri.

Ade Darmawan memproyeksikan peran negara—senada dengan Alia Swastika—dalam skema atas ke bawah (top-down). Untuk menetapkan kebijakan, menerapkan kebudayaan kepada lingkup khalayak luas. Tapi ia menekankan pentingnya untuk selalu berinisiatif dan bagi semua bagian dari medan seni dan kebudayaan untuk melakukan upaya sendiri. Upaya yang mendorong praktik dan nilai dari bawah ke atas (bottom-up).

Beberapa kegiatan lokal muncul dan berjejaring dalam mekanisme ini. Terutamanya, mereka dimungkinkan oleh pertumbuhan teknologi informasi dan internet. Kontribusi gagasan dari penyelenggaraan kegiatan-kegiatan seperti O.K. Video, Cellsbutton oleh House of Natural Fiber, dan Street Dealin’ dari Garduhouse diambil Ade Darmawan sebagai contoh model-model yang berhasil. Kredo dan praktik artistik bertumbuh, begitu juga dalam kolaborasi dan perkembangannya yang berkelanjutan. Ini melahirkan sifat, aturan, dan lapisan baru dalam medan seni.

Ceramah Ade Darmawan diakhiri dengan pemaparan rencana dasar arahan artistik untuk documenta Fifteen 2022. Pendekatan ruangrupa sebagai direktur artistik bermula dari upaya mendefinisikan ulang dan melakukan reorientasi pada hubungan-hubungan antarpihak bagi penyelenggaraan documenta.

Tatanan yang biasanya struktural, top-down, terpusat dan termampatkan pada kuasa direktur artistik sekarang diimbuhi dengan gagasan untuk memecahnya. Rencana ini adalah bagian dari kerja lebih besar ruangrupa yang sedang berlangsung dalam konsep “lumbung.” “Lumbung” berbicara dalam makna tentang ruang simpan bagi sumber daya bersama—secara tradisional padi sebagai pangan—yang dipelihara bersama-sama bagi kepentingan dan keberlanjutan masyarakatnya.

Gagasan ini membayangkan komunitas yang otonom serta fasih menyuarakan artikulasinya lewat pengelolaan sumber daya dan kerja yang bertanggung jawab, adil, berkelanjutan. Unit-unit komunitas dengan pemahaman dan perkembangannya masing-masing dipertemukan dalam jejaring aktif yang berbagi temuan, nilai, dan perputaran kepada masa depan. Satu idealisme yang meniadakan eksploitasi satu tempat atau pihak bagi kebutuhan yang lainnya.

Undangan untuk memimpin arahan artistik documenta memberi kesempatan bagi ruangrupa untuk mengalirkan gagasan ini kepada waktu dan skala yang utama di tingkat dunia. Documenta jadi bagian dari rencana besar ini. Ia mengalur dari cerminan terhadap praktik ruangrupa sendiri dan wacana seni rupa internasional 20 tahun terakhir. Trayek ini berupaya mengungkah dan mengubah pola medan seni rupa kontemporer yang mengandung kekuasaan struktural. Mekanisme yang tidak bisa bebas diakses dan dibayangkan keberlanjutannya sebagai situs produksi kebudayaan kepunyaan khalayak.

Documenta dibayangkan ulang sebagai percakapan setara yang dibangun sebagai gagasan besar dari inisiatif, diskusi, dan kolaborasi antarkomunitas secara intensif. Gagasan tumbuh dan berkembang dan akhiran terbuka yang belum bisa digambarkan jelas pada wicara webinar ini. Hanya penyikapan dan bayangan aturan-aturannya, janji yang dapat kita bayangkan.

 

Diskusi
Kedua pembicara menyentuh pembahasan yang terpusat pada wacana kekuratoran, meski juga dengan melintasi dan melampauinya. Suatu wujud “panggung” tercipta dari cara pameran internasional dan jejaringnya bekerja. Sebagai bagian dari jangkauan struktural dan proyeksi ideal penggeraknya, hadir sebuah bentuk publikasi—atau cara menjadikan seni rupa dan muatan nilainya untuk menjadi publik—yang diatur tatanan nilai khusus. Seni rupa kontemporer hadir dan disebarluaskan secara terkondisikan. Ade Darmawan dan Alia Swastika telah mengutarakan sikap mereka dalam mengimbangi dan menantangnya.

Moderator mengarahkan diskusi lewat simpulan internasionalisme sebagai suatu medan percakapan. Bagi Ade Darmawan ini menjadi pertanyaan tentang format kegiatan documenta yang akan datang. Ia menjelaskannya sebagai suatu upaya perombakan mendasar: sikap baru, pendidikan baru, kemungkinan relasi kuasa, organisasi, hingga model ekonomi. Langkah-langkah mewujudkan pameran sebagai suatu peristiwa budaya dipikirkan kembali dalam kerangka ini.

Perundingannya, bagaimanapun, masih panjang dengan banyak tatanan yang harus dipertanyakan ulang pada tingkatan praktis. ruangrupa bersama kolektif-kolektif, komunitas-komunitas seni rupa dari berbagai wilayah dan organisasi documenta menyasar proyek eksperimentasi yang berkelanjutan. Proyek yang harus menjalar, yang memberi sumbangsih bagi ekosistem dan praktik dari tiap komunitas yang terlibat. Proyeksinya menjadi tentang bagaimana documenta bisa bekerja dengan konsep waktu yang berbeda. Bagaimana pula, documenta bisa jadi bagian dari ekosistem-ekosistem lain yang lebih besar.

Bagi Alia Swastika pembahasan tentang proyeksi sikap yang lebih lanjut dan bagaimana ide-ide dari kalangan medan seni rupa kita sendiri dapat dirundingkan secara internasional. Bagaimana cara menyelenggarakan pameran besar menarik dan mengelola massa baginya tetap merupakan pertimbangan penting. Menumbuhkan kepenontonan (spectatorship) lokal yang berdaya tampak jadi salah satu perhatiannya.

 

Tikungan Internasionalisme Baru
Semua hal ini mengalur pada perkembangan perhatian pameran internasional kepada medan seni di luar Eropa-Amerika sejak akhir 1980-an. Dan kecenderungannya belakangan untuk jadi semakin nonhegemonik, nonhierarkis, serta dikerjakan dalam kerangka kekuratoran kolektif-kolaboratif. Dalam diskusi juga diungkapkan bagaimana kuratorial yang betul-betul nonhierarkis sulit ditemukan. Ceramah Ade Darmawan dan Alia Swastika jadi tawaran-tawaran bagi medan seni dunia dan ekosistem seni rupa yang mencari bentuk baru.

Pencarian ini sejalan dengan apa yang dapat kita temukan pada wacana terakhir seperti “tikungan pendidikan” (educational turn), “kelembagaan baru” (new institutionalism), “globalisasi pascademokratis” (post-democratic globalization), dan politik seni rupa yang melampaui kekuratoran.

Irit Rogoff pada tulisannya yang berpengaruh, “Turning” (e-flux journal, terbitan #0, November 2008) mengungkapkan tentang fenomena dan gagasan perubahan bagi kelembagaan seni rupa sebagai sebuah institusi sosial. Latarnya terletak pada sifat tertanam (embeddedness) dari cara kerja medan seni. Tatanan nilai medan seni rupa kontemporer yang elit itu bekerja di atas ekonomi neoliberal yang kompleks dan dominan. Maka hadir suatu urgensi untuk bergeser dan menilai kembali prinsip serta aktivitas apa saja yang vital untuk kinerjanya.

Rogoff menyimpulkan pentingnya langkah untuk merumuskan “pertanyaan sendiri” demi menciptakan medan (playing field) baru, tersendiri. Prinsipnya, mengumpulkan praktik dan refleksinya supaya pengetahuan dapat diakses lebih luas. Ini menjadi jalaran yang diemban dan telusur yang dibagi oleh Ade Darmawan dan Alia Swastika dalam webinar ini. Rogoff menyebut fenomena “menikung” itu sebagai catatan tentang bagaimana memproduksi dan menyuarakan artikulasi kebenaran. Menjadi logis melaluinya untuk kemudian melepas kepemilikan dalam kelembagaan itu atas kedudukan dan kuasa tertentu. Ini supaya seluruhnya betul-betul ada dalam tikungan menuju urgensi dari produksi kebudayaan.

Turning” mengilustrasikan kesempatan dan risiko untuk membuka diri lalu menyebarkan suara. Suara yang ditunggu untuk didengar selagi seni rupa didedah—dibuka kepada jamaknya kenyataan dunia, kebudayaan, dan kemungkinan ekspresinya. Risiko ini besar bagi pusat internasionalisme lama dengan tatanan bakunya serta warisan keuntungan dan tata acuan nilai yang berkuasa. Tapi risiko ini mungkin untuk sama dijinjing secara ringan dalam “kesederhanaan” dan konvergensi dari kelembagaan serta ekosistem-ekosistem seni rupa yang ada di sekitarnya. Maka “Internasionalisme Baru” dalam pemaparan Alia Swastika dan Ade Darmawan menjadi masuk akal untuk mengambil hati, perhatian, dan komitmen dunia seni rupa lebih luas.

Jejaring dan tawaran ini, bagaimanapun, masih memerlukan banyak deskripsi dan penyikapan yang tepat. Rogoff menyebut model spekulatif dalam “turning” menjadi utama, dan kemungkinan untuk salah (fallibility) harus diterima sebagai bentuk penciptaan pengetahuan. Reorientasi jadi latar bagi Internasionalisme Baru dan ia menuntut pengkondisian ulang.

Seni rupa menuju reorientasi dengan meminta eksistensinya yang bersyarat dan terkondisikan, untuk didudukkan ulang. Perkembangan ini jadi latar bagi Internasionalisme Baru, bagi akses, agensi, jejaring, dan sorotan yang tampil pada kedua penceramah. Dunia berubah dan seni berubah. Pada satu sisi sikap besar ini menyederhanakan dan membuka, namun juga sebagai bagian dari perkembangan punya sifat teknologis dan evolutif. Ia patut dipahami sebagai sebuah penyikapan juga dan padanan terhadap aturan-aturan dan tata acuan sebelumnya.

Webinar pertama Seni Rupa dan Internasionalisme Baru membuka perbincangan untuk mengenali dan memahami langkah yang telah bergerak dari medan seni rupa kita sendiri lewat kerja Alia Swastika dan Ade Darmawan. Ceramah dan wicara kedua akan menyoroti kerja internasional kurator pelopor Jim Supangkat, dan Farah Wardani. Webinar ketiga akan menyoroti keadaan dan gerak kantong-kantong lokal di hadapan Internasionalisme Baru lewat pandangan Agung Hujatnika dan Asep Topan.***

Yacobus Ari Respati adalah bagian dari staf ajar dan penelitian Seni Rupa Institut Teknologi Bandung untuk kekuratoran, sejarah pameran, dan sejarah seni rupa sejak 2016. Ia pernah menjadi asisten kurator dalam Pameran Arsitektural Indonesialand (Selasar Sunaryo, 2016), “Seteleng to Biennale: Exhibition Histories of 20th Century Indonesia”, bagian dari Art Turns, World Turns (Museum MACAN, 2017). Ia juga pernah menjadi kokurator Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba; anjungan Indonesia di La Biennale di Venezia (Venice Biennale) pada 2019.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter