Ibrahim Soetomo
Melihat karya-karya seniman generasi awal Sanggarbambu adalah menjelajahi variasi garis. Garis-garis di sketsa, drawing, pastel minyak, hingga lukisan, telah membentuk corak senimannya secara pribadi, tapi juga ciri khas sanggarnya sendiri. Blog ini mengulas karya-karya seniman Sanggarbambu periode 1959 hingga 1970-an, seperti Soenarto Pr., Danarto, Syahwil hingga Titis Jabaruddin, melalui karya-karya representatif yang merentang dari periode yang sama hingga 2011. Karya-karya ini hadir dalam pameran Di Sini Aku Temukan Kau: Karya dan Arsip Sanggarbambu, Galeri Salihara, 02 Oktober–07 Desember 2025.

Sketsa Syahwil di majalah Budaya, Februari 1958, Tahun VII. Sumber: Koleksi Majalah Terjilid Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Sebelum dibentuknya Sanggarbambu pada 1959, seniman pendirinya telah menjalankan tradisi sketsa yang kuat. Sketsa-sketsa bentang alam dan kehidupan masyarakat sehari-hari oleh Soenarto Pr. dan Syahwil, misalnya, yang didokumentasikan di majalah Budaya pada 1958, memperlihatkan garis-garis yang cepat dan kuat. Sketsa-sketsa ini juga sekaligus menjadi contoh dari tradisi menggambar langsung yang diamalkan oleh para pelukis sejak akhir 1940-an, terkhususnya mereka yang menempuh pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia (kini Institut Seni Indonesia Yogyakarta), melalui kegiatan menggambar bersama keliling ruang-ruang publik Yogyakarta, seperti pasar-pasar. Seniman-seniman generasi inilah yang kerap menjadi kontributor visual bagi majalah-majalah seni, sastra dan/atau budaya di 1950-an, seperti Seni, Budaya, Zenith, hingga Indonesia.

Ilustrasi Handogo Soekarno dalam cerita pendek “Karang Kenangan”
oleh Sjarif Amin, Majalah Horison, 106, April 1970 no. 4, Tahun V, 1970.
Sumber: Majalah Horison/Wikimedia Commons CC BY-SA 4.0.
Sketsa berkembang menjadi seni menggambar (drawing). Karya-karya seni gambar dengan tinta hitam buatan Danarto dan Handogo Soekarno kelak banyak dimuat di majalah sastra dan budaya Horison, yang juga diasuh salah satunya oleh pelukis Zaini. Ilustrasi mereka adalah tafsir bebas terhadap karya-karya fiksi maupun non-fiksi dari banyak pengarang yang dimuat di majalah itu. Ilustrasi ini menunjukkan keuletan para penggambar yang mampu menggambar dengan berbagai macam kualitas garis atas dasar tradisi mensketsa yang kuat dan rutin. Garis-garis di karya gambarnya merentang dari yang naif hingga ekspresif; dari yang berteknik realis hingga bergaya karikatural. Terkhusus Danarto, tarikan garisnya yang lembut, liris dan tipis akan lebih banyak mengisi rubrik cerita-cerita wayang berdasarkah kisah Mahabharata dan Ramayana di majalah Zaman. Garis-garis inilah yang kelak menjadi modal jelajahnya di lukisan yang diolah dari kisah pewayangan dan mitologi, seperti Buroq (2010), Rahasia Niwatakawaca dan Menujuh Bulan (2011).

Potret Diri, Soenarto Pr., pastel pada kertas, 31 x 40 cm, 1956.
Sumber: Koleksi Nasirun.
Seni gambar berkembang menjadi seni lukis. Seniman Sanggarbambu banyak melukis potret, baik potret diri maupun model orang-orang biasa. Karya potret diri Soenarto Pr. yang dibuat dengan pastel minyak tahun 1956 (sebelum pendirian Sanggarbambu di 1959) memperlihatkan bobot garis yang membentuk kepribadian potret yang kuat, disertai tulisan-tulisan tangan kursif yang bagi sebagian orang juga dianggap sebagai kekhasan seniman Sanggarbambu. Pada potret diri ini, Soenarto Pr. menggunakan teknik menggaris kontur (contour hatching), yang mengikuti anatomi wajah potret yang dilukis, dengan warna pastel yang terang. Corak yang serupa akan terlihat di banyak lukisan anggota awal Sanggarbambu, yang tak hanya menggunakan pastel minyak, tapi juga cat air dan cat poster.

Potret Diri, Darmadji, cat poster pada kertas, 35 x 35 cm, 1960.
Sumber: Koleksi Nasirun.
Potret diri dan model buatan Syahwil, Darmadji, Titis Jabaruddin, atau Mulyadi W. sebelum ia beralih ke corak seni lukis dekoratif di 1970-an, memperlihatkan garis-garis berwarna vibran dan bebas tanpa harus terlalu mematuhi kaidah realisme seni lukis. Corak ini juga dapat dilihat di karya-karya pelukis cum kritikus di Yogyakarta, Kusnadi, yang menurut Handogo Soekarno, merupakan sosok mentor bagi seniman-seniman Sanggarbambu. Meski demikian, potret-potret Kusnadi jauh lebih lembut, garisnya halus dan melesap, sedangkan potret-potret seniman Sanggarbambu jauh lebih beraneka warna.

Gadis, Syahwil, cat minyak pada kanvas, 70 x 70 cm, 1963.
Sumber: Koleksi Galeri Nasional Indonesia.
Lukisan figuratif ini membuka jalan bagi lukisan-lukisan yang lebih deformatif, seperti yang hadir di Dua Wanita Duduk (1967) dan Lelaki (1967) oleh Mulyadi W., atau Gadis (1963) oleh Syahwil yang cenderung semi-abstrak.

Anak Gembala, Irsam, cat akrilik pada kanvas, 100 x 150 cm, 1981.
Sumber: Koleksi Galeri Nasional Indonesia.
Selain lukisan model, sebagian seniman Sanggarbambu juga dikenal dengan corak seni lukis dekoratif. Tidak semua anggota mengamalkan gaya melukis ini. Seniman yang paling sering diasosiasikan dengan corak dekoratif adalah Mulyadi W. dan Irsam. Memang, kecenderungan untuk mengisi atau menghias ruang-ruang kosong sudah tampak di lukisan-lukisan model yang vibran, namun pada kanvas-kanvas Mulyadi W. dan Irsam, kecenderungan dekorasi kian kuat dan mengingatkan kita pada kanvas-kanvas pelukis Yogyakarta, Widayat, meski ia bukan anggota Sanggarbambu. Pada lukisan Tiga Tokoh (1978) dan Anak Gembala (1981), Irsam mengisi pokok perupaan dan bidang-bidang kosong dengan ornamen-ornamen. Objek-objeknya cenderung datar, kaku, dan menjauh dari ekspresi yang spontan sebagaimana yang hadir di lukisan-lukisan model. Di era 1970–1980-an, para seniman berupaya menemukan identitas kebangsaan melalui elemen-elemen “tradisional.” Sehingga, upaya ini tidak secara eksklusif dilakukan oleh Mulyadi W. dan Irsam. Kelompok seniman dan desainer Design Center Association (Decenta), misalnya, konsisten mengolah bentuk-bentuk tradisi “Nusantara” ke dalam karya cetak saring dan proyek-proyek elemen estetiknya. Fenomena ini juga mengemuka secara mencolok di Pameran Besar Seni Lukis Indonesia pada 1974, dan kemudian digugat oleh seniman-seniman muda pada masa itu di peristiwa Desember Hitam pada penghujung 1974, kemudian berkulminasi di pameran pertama Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia pada 1975.
Dengan tradisi sketsa dan gambar yang kuat, seniman Sanggarbambu generasi pendahulu telah membuka jalan ke berbagai macam pengucapan seni lukis, dari yang ekspresif hingga dekoratif. Karya yang hadir di pameran Di Sini Aku Temukan Kau: Karya dan Arsip Sanggarbambu tentu tidak menampung karya seniman-seniman lain, namun sudah kuat untuk merepresentasikan corak Sanggarbambu—suatu corak yang tidak ditemukan di sanggar-sanggar lain. Corak yang berawal dari penjelajahan garis.