Komunitas Salihara Arts Center sebagai pusat seni di Jakarta Selatan tengah mengadakan sebuah pameran berbasis sejarah dengan tajuk Di Sini Aku Temukan Kau: Karya dan Arsip Sanggarbambu yang berakhir 07 Desember mendatang. Sepanjang pameran berlangsung, Komunitas Salihara menghadirkan dua rangkaian diskusi, salah satunya adalah Pameran Seni Rupa Indonesia: Mengapa dan Bagaimana, yang diselenggarakan pada Sabtu, 26 Oktober 2025 kemarin.
Diskusi ini fokus membahas peran dan tantangan pameran besar seni rupa di Indonesia, baik yang komersil seperti Art Jakarta maupun berbasis wacana seperti Artjog, Jakarta Biennale, dan Biennale Jogja, dalam konteks belum maksimalnya peran institusi museum dalam mendukung ruang apresiasi publik. Meskipun relevansi dengan tajuk pameran arsip Sanggarbambu yang sedang berlangsung cukup jauh, namun diskusi yang dimoderatori oleh Sally Texania ini tetap menghadirkan benang merah yang sama; mengenai ekosistem seni yang hadir mulai dari pasar dan tata kelolanya, melihat perkembangan festival seni rupa Indonesia dalam dua dekade ke belakang, serta bagaimana ekosistem seni rupa Indonesia bergerak dengan cara yang berbeda dari Barat.
Pameran Seni Rupa Indonesia: Mengapa dan Bagaimana menghadirkan dua tokoh senior yang sangat akrab dikenal sebagai operator festival maupun pameran seni rupa dalam skala besar, baik nasional maupun internasional. Mereka adalah Ade Darmawan dan Alia Swastika. Diskusi dibuka oleh pertanyaan Sally Texania kepada Ade Darmawan yang ingin mempertegas apa itu “institusi bayangan”–sebuah istilah yang merujuk kepada lembaga/organisasi seni independen pasca 1998–dan bagaimana institusi tersebut berkembang di tahun tersebut.
Estetika Kelembagaan dan Praktik Seni Kolektif di Indonesia
Menurut Ade, di tengah absennya museum seni rupa publik, banyak komunitas serta kolektif mengambil peran inisiatif dalam mengisi kekosongan tersebut. Ade berpendapat bahwa di Indonesia masih belum ada museum seni rupa kontemporer di bawah naungan pemerintah; museum seni rupa kontemporer yang ada masih dikelola secara privat. Maka dari itu, pasca reformasi 1998, kolektif independen ini bereksperimen dalam menciptakan ekosistem seni yang ideal versi mereka sendiri, terlepas dari pemahaman ekosistem seni ideal ala Barat.
Dalam paparan ini, sebuah ekosistem seni yang ideal–merujuk dari ekosistem seni Barat–memiliki tiga unsur: edukasi, apresiasi, dan ekshibisi. Dari tiga unsur tersebut, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta sebenarnya dinilai kuat karena memiliki sekolah (baik formal maupun informal), ruang pamer (galeri, dsb), operator seni, baik dari penulis, kurator, penikmat, pelaku, dan yang terakhir tentu wadahnya seperti festival, biennale, dan sebagainya. Di luar wilayah tersebut, tiap kolektif atau lembaga merespons dengan bentuk-bentuk eksperimental sesuai dengan definisi “kelembagaan” yang mereka pahami.
Namun demikian, pasca 1998, saat semua masih terpusat dan peran pemerintah begitu minim, pandangan ideal Barat tersebut bukan menjadi halangan, malah merupakan peluang. Ruang-ruang eksperimen pun lahir dari kelompok-kelompok yang berkembang di kota-kota besar maupun daerah-daerah lainnya.
Ade, yang juga merupakan bagian dari kolektif Ruangrupa yang menjadi direktur artistik documenta fifteen di Kassel, Jerman (2022), menyebut eksperimen tersebut dengan “estetika kelembagaan”. Definisi estetika kelembagaan menurut Ade adalah bagaimana operator seni di Indonesia, tanpa infrastruktur negara, menciptakan sistem belajar, arsip, hingga ekonomi sendiri. Dalam diskusi ini, dia mengambil contoh komunitas street art, yang meskipun seni graffiti sudah beredar di tahun 80-90-an, namun kesadaran hadir dalam ruang-ruang publik baru marak di awal 2000-an. Dalam 15-20 tahun terakhir, komunitas street art pada akhirnya menciptakan kelembagaan mereka sendiri dengan menghadirkan ekosistem yang menyediakan ruang belajar, ruang pamer, serta bentuk apresiasi lainnya. Ruang belajar non-formal yang terjadi di dalam ekosistem mereka telah menghadirkan generasi-generasi seniman baru yang lahir dari lingkungan tersebut.
Ade melihat model yang seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara bekas jajahan lainnya, di mana setiap negara bekas imperialisme Barat tersebut berjuang untuk keluar dari bayang-bayang kolonial yang mendikte bagaimana seni yang “benar”. Lebih lanjut, Ade menyebut bahwa “institusi bayangan” sebagai sistem adalah operating system baru dalam dunia kelembagaan seni rupa.
Seni Sebagai Ruang Sosial dalam Praktik Pameran Seni Rupa
Global South–istilah untuk bekas negara jajahan di selatan–menjadi pengantar untuk melempar pertanyaan kepada Alia Swastika, seorang kurator yang juga aktif berperan dalam berbagai penyelenggaraan festival seni rupa seperti Biennale Yogyakarta, Sharjah Biennale, Guangzhou Biennale, dan beragam festival seni skala internasional lainnya.
Alia menanggapi dengan pengalamannya sebagai operator dalam festival seperti Biennale Yogyakarta yang bertahun-tahun bereksperimen dengan format pameran yang berpindah dari galeri ke ruang publik, bahkan ke desa-desa. Menurut Alia, model pameran seni yang formal dan eksklusif tidak lagi relevan di Indonesia. Dalam konteks sosial yang majemuk, seni seharusnya bisa hadir di mana saja dan untuk siapa saja.
Alih-alih diadakan di galeri besar, dalam beberapa edisi terakhir Biennale Yogyakarta mentransformasi rumah warga, balai desa, dan lahan terbuka sebagai ruang pamer. Pendekatan ini memungkinkan masyarakat menjadi bagian dari pameran, bukan sekadar penonton. Warga desa ikut menyiapkan lokasi, membantu instalasi, bahkan menjadi subjek karya. Menariknya, sekitar 70 persen pengunjung Biennale Jogja belakangan ini adalah warga yang sebelumnya belum pernah datang ke pameran seni.
Bagi Alia, hal ini membuktikan bahwa seni dapat berfungsi sebagai ruang sosial, bukan hanya peristiwa artistik. Pameran seni bukan lagi hanya tentang siapa seniman dan apa wacana yang diberikan, melainkan juga tentang bagaimana seni bisa merangkul dan menciptakan kesadaran bersama.
Tidak hanya Yogyakarta Biennale yang melibatkan masyarakat sekitar atau warga awam, Alia juga membuat contoh biennale-biennale lain seperti di Venice Biennale 2024 yang menghadirkan penduduk pedalaman Amazon atau bahkan komunitas ibu-ibu di Peru yang hadir dalam ruang-ruang seni skala besar. Menariknya, para pelaku seni ini dalam kesehariannya tidak menyebut diri mereka sebagai seniman namun praktik keseharian merekalah–dalam pandangan seni rupa Barat–yang dapat dilihat sebagai objek seni.
Pola Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Biennale
Contoh ini selaras dengan praktik kegiatan Ade Darmawan dalam Jakarta Biennale 2009 yang juga menjadikan ruang publik seperti mal dan pasar sebagai ruang pamer. Namun sebelum masuk ke pembahasan tersebut, Sally menyebut biennale sebagai mega exhibition. Pertanyaan pun beralih, dari mega exhibition yang terpusat, bagaimana Ade dan Alia caranya menerapkan pola desentralisasi kecil tapi banyak.
Ade menjelaskan bahwa berbeda dengan model biennale di luar negeri yang terikat institusi besar, biennale di Indonesia hampir semuanya bottom-up. Mereka lahir dari komunitas, bukan dari kebijakan negara. Karena itu, formatnya pun lebih eksperimental. Menghadirkan seni di ruang-ruang terbuka memiliki tujuan agar seni bisa diakses oleh “penonton tak terpilih” yakni orang-orang yang tidak sengaja datang ke pameran.
Ia menyebut tantangannya bukan hanya kuratorial, tetapi juga sosial: bernegosiasi dengan warga, pengelola ruang, bahkan preman lokal. Tetapi di situlah letak nilai artistiknya: seni berhadapan langsung dengan masyarakat, bukan hanya elit seni.
Ade menilai biennale Indonesia unik karena tidak punya “induk lembaga” seperti di Singapore Biennale yang dikerjakan oleh Singapore Art Museum atau Brisbane Trienalle (Australia) yang dikelola oleh Queensland Art Gallery dan Gallery of Modern Art (QAGOMA). Hal tersebut memang dapat dilihat sebagai tantangan dalam hal pendanaan maupun patronase tapi juga peluang bagi ekosistem seni kita karena membuka ruang eksperimen yang lebih luas mulai dari segi ruang, format, maupun tema.
Sedangkan Alia, kesadaran desentralisasi hadir dalam bentuk yang sederhana. Saat seniman dan komunitas warga sebagai kolaborator membuat sebuah karya dan karya tersebut dipamerkan di ruang konvensional seperti museum, banyak warga yang terlibat sulit untuk menikmati karya mereka karena jarak, akses, dan sebagainya.
Dorongan tersebut yang membuat Alia untuk mencoba keluar dari museum sebagai ruang pamer dan hadir di tempat-tempat yang lebih terjangkau. Harapannya adalah agar para kolaborator dapat membawa tetangga, keluarga, dan teman-teman mereka untuk bersama mengapresiasi dan menghadirkan rasa bangga akan keterlibatan mereka dalam karya tersebut. Agar seni yang ditampilkan benar-benar menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Peleburan Batas antara Art Fair dan Biennale, Pentingkah?
Sebagai penutup, Sally menyinggung mengenai “peleburan batas” antara art fair dan biennale kepada dua narasumber. Konteks ini tentu dapat ditangkap sebagai cerminan bagaimana dunia seni kini bergerak di wilayah abu-abu antara idealisme (biennale) dan pasar (art fair).
Bagi keduanya peleburan ini bukan sesuatu yang mengkhawatirkan justru menandakan adanya perubahan dalam ekosistem seni. Baik dari sisi art fair pun dalam pengamatan keduanya, saat ini sudah banyak art fair yang menyediakan ruang khusus yang terkurasi (tidak selalu tentang pameran komersial) yang menyediakan wadah untuk seni berbasis wacana. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa keduanya bisa saling berdampingan.
Saat ini yang diutamakan bukan memisahkan keduanya, tetapi memastikan bahwa fungsi sosial dari kerja kesenian tetap terjaga di tengah kebutuhan ekonomi yang nyata. Dengan kata lain, biennale dapat hadir sebagai ruang dialog dan pembelajaran, sementara art fair dapat menjadi media ekonomi bagi seniman maupun lembaga seni yang terlibat. Keduanya hadir dan diperlukan untuk menjadi bagian dari ekosistem seni yang dinamis dan terus berkembang khususnya di Indonesia.