Program ini merupakan bagian dari MTN Lab yang diinisiasi oleh Kementerian Kebudayaan untuk menyediakan ruang penciptaan dan pengembangan karya melalui residensi, inkubasi, lokakarya, hingga masterclass. Dalam momentum 80 tahun Indonesia merdeka, Literature and Ideas Festival (LIFEs) Salihara menyelenggarakan Lokakarya Menulis Esai Autobiografis “Menjadi Indonesia”, yang diikuti oleh 10 penulis Indonesia. Penulis dipilih melalui dua jalur, yaitu Undangan LIFEs 2025 dan Sayembara Esai Autobiografis “Menjadi Indonesia” yang diselenggarakan kalamsastra.id.
Esai autobiografis dalam program ini memadukan kisah pribadi dengan sejarah besar Indonesia, dari pengalaman kecil sehari-hari, pergulatan identitas, hingga relasi penulis dengan karya-karya yang membentuk pandangan mereka tentang bangsa. Lokakarya berlangsung pada September–November 2025 secara daring dengan pendampingan intensif. Sesi lokakarya digelar secara daring, baik pertemuan melalui ZOOM Meeting maupun korespondensi surat elektronik. Selain secara daring, proses lokakarya bersama mentor juga dapat dilakukan secara luring atau pertemuan secara langsung.
Lokakarya diikuti oleh 10 orang penulis yaitu, Haifa Marwan, Heru Joni Putra, Mario F. Lawi, Nanda Winar Sagita, Ni Made Purnamasari, Rio Johan, Roy Martin Simamora, Royyan Julian, Sri Hanuraga, dan Sunlie Thomas Alexander. Dan tiga orang sastrawan sebagai mentor, yaitu Ayu Utami, Nirwan Dewanto, dan Zen Hae.
Lokakarya ini diinisiasi dengan tujuan agar para generasi terkini, dapat menuliskan sejarah dari perspektif pribadinya. Ini merupakan salah satu upaya kita sebagai warga negara maupun lembaga kesenian, untuk mengintervensi dan mendorong mereka memikirkan ulang eksistensi para penulis muda tentang dirinya yang menjadi bagian dari Indonesia. Tulisan para penulis terpilih ini kemudian akan dibaca oleh banyak pihak terutama generasi muda selanjutnya dapat tertular dan meneruskan proyek serupa.
Isu dalam Esai Autobiografis
Esai autobiografis bukanlah sekadar munculnya suara pribadi si penulis, tetapi juga bagaimana ia menghadirkan tulisan itu sebagai bacaan, dengan kecakapan berbahasa dan ketajaman analisis yang bisa ditampilkan sekaligus membicarakan isu-isu yang seringkali jarang untuk dibahas.
Esai Roy Martin Simamora menggali kembali dunia kecil kampung halamannya, Parlilitan di Humbang Hasundutan, sebagai ruang yang membentuk identitasnya sebagai orang Batak, perantau, dan penulis. Dari pasar onan yang riuh, percakapan dengan orang asing yang mengaitkan kampungnya dengan “ilmu gaib”, hingga momen intim bersama orang tua, Roy menunjukkan bagaimana “menjadi Indonesia” baginya berakar pada ingatan, tubuh, dan lanskap yang perlahan ia tinggalkan namun tak pernah benar-benar pergi. Esai ini adalah perjalanan menemukan rumah dalam langkah-langkah yang terus membawanya menjauh dari asal.
Royyan Julian menulis pergulatan panjang dengan agama, ketakutan, dan otoritas sejak masa kecilnya yang dibentuk oleh komik-komik siksa neraka, narasi Orde Baru, dan pendidikan religius yang menuntut kepatuhan. Melalui pertemuannya dengan seorang sahabat yang mempraktikkan agama dengan santai dan penuh nalar, Royyan mulai menggugat fondasi keimanannya, mempertanyakan posisi tubuh dan kebebasannya sebagai warga negara yang lahir “secara kebetulan” dalam agama tertentu. Esai ini adalah pencarian ruang paling jujur untuk menjadi diri sendiri: ruang kecil, tersembunyi, tempat ia akhirnya berani “sembahyang di kloset”.
Sri Hanuraga, sebagai musisi jazz menelusuri bagaimana jazz dengan improvisasi, eklektisisme, dan perpaduan bunyi menjadi metode personal untuk memahami dunia dan keindonesiaan. Dari pengalaman awalnya dengan bebop, pertemuan dengan SimakDialog, pendidikan formal di Conservatorium van Amsterdam, hingga eksplorasi spektral dan gestural dalam musik, ia menunjukkan bahwa “menjadi Indonesia” bukanlah tujuan tetap, melainkan proses kolektif dan improvisasional. Jazz baginya adalah pintu hermeneutis, cara mengolah pengalaman, tradisi, dan kemungkinan menjadi subjektivitas yang selalu bergerak.
Sunlie Thomas Alexander membangun esainya dari kisah-kisah keluarga Tionghoa di Bangka, terutama tentang Akung, seorang lelaki tua, penjahit sederhana, yang hidup hampir tanpa negara: bertahun-tahun membayar pajak orang asing, tanpa hak tanah, dan kehilangan kampung halaman di RRC. Melalui dongeng-dongeng keluarga, pertengkaran kecil, nostalgia bahasa Hakka, dan sejarah diskriminasi, Sunlie merunut bagaimana identitas Tionghoa-Indonesia dibentuk oleh jarak, trauma politik, dan ketakmungkinan pulang. Esai ini menjadi upaya merawat ingatan yang nyaris terhapus oleh kebijakan negara, sekaligus cara merebut kembali bahasa dan sejarah keluarga.
Nanda Winar Sagita merefleksikan kehidupan di Aceh melalui ingatan masa kecil, perubahan sosial, dan relasi rumit antara agama, komunitas, dan tubuh perempuan. Ia menelusuri bagaimana perang, ketakutan, dan aturan moral membentuk cara ia tumbuh, diam, memberontak, dan akhirnya menulis. Esai ini merupakan upaya menjahit ulang pengalaman personal dengan sejarah kekerasan, sekaligus mencari ruang aman dalam identitas yang dikungkung oleh norma kolektif.
Haifa Marwan menulis tentang perjalanan intelektual dan spiritualnya sebagai perempuan muda yang hidup di Jakarta, dipengaruhi oleh bacaan, ruang-ruang budaya, dan pergulatannya memahami modernitas. Ia merekam pengalaman keluarga, trauma kecil, pergeseran nilai, dan pertemuannya dengan dunia sastra. Esai ini menjadi eksplorasi bagaimana identitas perempuan Indonesia dibentuk oleh kota, pendidikan, dan jarak terhadap rumah, sekaligus pencarian makna dalam kebisingan zaman.
Rio Johan mengolah pengalaman perantauan, humor absurd khas dirinya, dan hubungan renggang-dekat dengan Indonesia sebagai tempat yang ditinggalkan namun selalu hadir dalam bahasa, tubuh, dan imajinasi. Ia memeriksa bagaimana menjadi orang Indonesia di Paris berarti terus dinegosiasi antara kebiasaan lama, fantasi-fantasi literer, dan identitas yang cair. Esai ini penuh permainan, tetapi menyimpan keseriusan tentang keterasingan dan keterhubungan.
Mario F. Lawi menulis tentang perjalanan kreatifnya sebagai penulis, dimulai dari masa kecilnya di Sabu hingga pendidikan di seminari yang membentuk kecintaannya pada bahasa dan sastra, lalu berlanjut pada pengalamannya membangun komunitas sastra di Kupang dan jejaring kepenulisan yang membuka jalan publikasi karyanya.
Esai Ni Made Purnamasari menggambarkan perjalanannya sebagai penulis sejak kanak-kanak. Ia membagikan pengalamannya tentang bagaimana buku mulai dari komik hingga karya sastra membentuk cara pandangnya, serta bagaimana pengalaman hidup, perjumpaan dengan berbagai bacaan, dan proses bertumbuh di lingkungan keluarga dan sekolah membentuk suara dan keberanian kreatifnya.
Heru Joni Putra, dalam esainya ia mengkritik bagaimana pengalaman pribadi kerap dimanipulasi menjadi alat legitimasi politik dan moral. Heru Joni Putra menyoroti bagaimana biografi, narasi kemiskinan, dan kisah-kisah personal para elite dipakai untuk mengaburkan ketimpangan struktural, memperkuat kultus individu, dan membenarkan kekuasaan. Ia memperingatkan bahwa “kisah nyata” dapat menjadi perangkat ideologis yang menyesatkan ketika dilepaskan dari realitas material yang lebih luas.
Melalui keberagaman latar, pengalaman, dan pendekatan para penulisnya, Lokakarya Esai Autobiografis “Menjadi Indonesia” memperlihatkan bahwa keindonesiaan bukanlah konsep tunggal, melainkan hamparan luas yang terus ditafsir ulang melalui tubuh, ingatan, dan perjumpaan kita dengan dunia. Sepuluh suara yang hadir dalam program ini menunjukkan bahwa sejarah bangsa dapat dibaca dari sudut-sudut paling personal: dari lantai pasar di desa terpencil, bangku sekolah yang penuh dogma, studio musik, meja makan keluarga, hingga kamar-kamar kecil tempat seseorang berhadapan dengan dirinya sendiri. Dengan membentangkan pengalaman yang jamak, lokakarya ini bukan hanya merayakan 80 tahun Indonesia merdeka, tetapi juga mengajak kita melihat bahwa proses “menjadi Indonesia” berlangsung setiap hari, di dalam setiap kisah, setiap keberanian untuk menulis, dan setiap upaya memahami diri sebagai bagian dari sebuah bangsa yang terus tumbuh.