Antara Senyum dan Renungan
Berpijar Kata dan Luka

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Obituari Joko Pinurbo

 

Joko Pinurbo (Sukabumi, 11 Mei 1962-Yogyakarta, 27 April 2024) adalah anak kandung puisi Indonesia. Ia mengambil hampir semua kekuatan penting puisi Indonesia untuk membangun puisi-puisinya. Namun, ia kemudian menemukan jalan kepenyairannya yang khas dengan melahirkan puisi-puisi berwatak ganda: serius sekaligus lucu. Itulah yang membuat ia segera terbedakan dari penyair-penyair generasi sebelumnya yang telah menjadi sumber penciptaan puisi-puisinya.

Jika ia menyajikan humor yang memancing tawa—atau sekadar sunggingan senyum—sebenarnya itu hanyalah siasat sang penyair untuk mengajak pembaca memikirkan sesuatu di antara yang lucu-lucu sebelumnya. Puisi humornya hampir selalu dikunci dengan satu-dua larik yang menyadarkan pembaca bahwa tersenyum hanyalah momen pembebasan sesaat sebelum akhirnya pembaca harus selalu menyadari betapa hidup itu absurd dan derita menjadi tanpa batas. 

Puisi berwatak ganda seperti ini adalah khas Joko Pinurbo. Jika kita membandingkan puisi-puisinya dengan “puisi mbeling” yang diperkenalkan oleh Remy Sylado pada awal 1970-an, misalnya, kita akan segera menemukan perbedaan yang mencolok. Puisi mbeling memang berpretensi bermain-main, meledek yang kelewat serius, dengan protes di sana-sini, banal, lucu pun bisa. Kala itu ia menjadi guncangan satu-satunya untuk puisi lirik berbahasa Indonesia dan karenanya ia menjadi bernilai. Dan ia berhenti sampai di situ.

Sementara puisi-puisi Joko Pinurbo mengembalikan watak lain puisi, yaitu perenungan, yang sebelumnya telah ditolak puisi mbeling. Joko Pinurbo seakan-akan hendak menetapkan bahwa sifat bermain-main itu sudah harus dihentikan dan kita kembali kepada perenungan tadi, meski tindakan itu sendiri tidak diniatkan untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Ia menghendaki pembacanya bersikap kritis dengan hati yang jembar; kembali kepada kepada hidup yang penuh masalah, dengan tidak gampang menyerah.

Untuk mencapai semua itu Joko Pinurbo mengambil, setidaknya, dua model utama: puisi lirik Sapardi Djoko Damono dan puisi balada Rendra. Dari Sapardi Joko Pinurbo menyerap kemahiran memainkan citraan dan bunyi, teka-teki dan melankoli—imajisme secara keseluruhan. Pada sajak-sajak awalnya Joko Pinurbo bahkan seperti mengulang begitu saja model persajakan Sapardi itu. Dalam kasus ini, Joko Pinurbo juga sesekali memainkan kembali jukstaposisi dan disonansi yang tajam yang sebelumnya kerap kita temukan dalam puisi-puisi Goenawan Mohamad.  

Sementara melalui langgam puisi balada Joko Pinurbo menghidupkan kembali tokoh-tokoh kecil dan ganjil dari kehidupan keseharian kita. Jika dalam puisi-puisi balada Renda tokoh-tokoh ini cenderung dipahlawankan, dimuliakan karena perlawanan mereka atas kebiadaban yang mengungkung mereka, maka-puisi dalam puisi Joko Pinurbo mereka hampir selalu berwatak “antiwira”. Joko Pinurbo memasang orang kecil yang tidak termasuk dalam statistika kota atau benda-benda keseharian yang selama ini tidak direken sebagai benda puitik—awalnya, celana, kelak, telepon genggam. 

Jika orang-orang kecil yang tertindas dibela habis-habisan oleh sajak-sajak protes—melalui sosok Rendra dan Wiji Thukul, misalnya—dalam sajak-sajak Joko Pinurbo, sebaliknya, orang-orang kecil yang menderita itu justru diledek habis-habisan, tanpa pembelaan sama sekali. Bukan sekali dua, ledekan itu mengarah kepada penyairnya sendiri. Dengan humor getir seperti ini Joko Pinurbo mengajukan “puitika cemooh” (Ralph M. Rosen, Making Mockery: The Poetics of Ancient Satire, 2007) yang jitu, yang hampir tidak pernah kita dapatkan dalam puisi Indonesia sebelumnya.

Sasaran cemooh itu juga kadang-kadang bergeser ke sosok-sosok dalam kehidupan iman Katolik. Sejatinya, sudah sejak awal, sebagai seorang penganut Katolik Joko Pinurbo mengolah kembali fragmen-fragmen Alkitab, terutama Perjanjian Baru, di seputar kehidupan Yesus, Maria dan Maria Magdalena. Dengan cara ini ia secara tidak langsung hendak mengajak kita untuk melenturkan sikap keagamaan kita, yang selama ini kelewat banyak tegang karena pelbagai gesekan dan lain-lainnya. 

Lebih jauh lagi, Joko Pinurbo juga mempersoalkan kembali tubuh manusia. Tubuh manusia—hampir seluruhnya penggambaran tubuh manusia ini mengacu kepada tubuh penyair yang tipis-ringkih—bukan sekadar bangunan biologis, tetapi medan penciptaan dan penafsiran kembali akan dunia luas. Tubuh dalam puisi-puisi Joko Pinurbo adalah medan yang telah dibersihkan, sebisa mungkin, dari erotisme. Jika pun ia menyerempet ke arah erotisme, sebetulnya itu hanyalah sejenak sebelum akhirnya ia menjelajahi kegetiran dan absurditas hidup melalui fenomena tubuh di atas ranjang atau tubuh di atas beca dan kuburan.

Celana (1999) adalah buku puisi Joko Pinurbo yang memberikannya ketetapan bahwa humor, juga kontemplasi dan kritik sosial, bisa berjalan bersamaan dalam puisi-puisinya. Di sini pengucapan puisi bukan ditentukan oleh hasrat penyair untuk menyadarkan pembaca agar bersikap kritis sebagaimana penyairnya—sebagaimana telah kita alami pada banyak puisi protes—sebaliknya untuk memberikan kita kesempatan untuk menginterogasi diri kita sendiri, untuk meledeknya, dan dari sana siapa tahu kita beroleh pencerahan baru, mencapai jiwa yang tersucikan. 

Buku-buku puisi Joko Pinurbo selanjutnya tidak banyak bergerak dari wilayah tematik yang telah ia bangunkan dalam Celana. Memang, pada tahun-tahun terakhir kepenyairannya ia mencoba menjadi penyair yang akomodatif, terbarukan, cepat tanggap, dengan menjelajahi tema-tema yang berkisar di media sosial atau sejenisnya. Ia juga menerbitkan sejumlah buku puisi dengan tema terkait. Tetapi, kekuatan puitika Joko Pinurbo justru masih bertahan pada buku-buku puisinya yang awal. 

Sepanjang itu, yang mesti dipujikan adalah bahasa Indonesia Joko Pinurbo yang jernih, sehingga membuat puisi-puisinya selama ini terbebas dari godaan “puisi gelap” yang pernah merebak pada dasawarsa 1990-an. Ia adalah penyair yang sadar diri bahwa bahasa Indonesia mesti diberdayakan terus agar penyair bisa menemukan pengucapan-pengucapan baru. Bahkan, ada waktunya ia menulis puisi-puisi yang berkaitan dengan pergaulannya dengan bahasa Indonesia yang telah menjadi bahasa utama puisi-puisinya. 

Joko Pinurbo telah mendapatkan sejumlah penghargaan sastra melalui buku puisi dan kiprahnya selama ini. Yang terakhir adalah Penghargaan Achmad Bakrie 2023 untuk Kesusastraan. Berkali-kali pula ia diundang ke festival sastra di Indonesia dan mancanegara. Ia pernah pula tampil di Komunitas Salihara sebagai penyair dan pengampu kelas penulisan puisi dalam Bienal Sastra Salihara 2015.

 

Selamat jalan, Joko Pinurbo.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter