Bandung Bondowoso dan Kisah yang Berputar

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Ditulis oleh Telaga Kasih

 

Di dalam ruang galeri dengan tembok cekung seperti dalam tabung, penonton duduk berlesehan. Layar berukuran 1 x 1.5 meter dengan cahaya temaram ada di depan mereka. Jerami disebar di depan penonton untuk memberi jarak pandang pada layar. Layar ini bukan televisi, bukan juga layar yang memancarkan film dalam bioskop, ia semacam kelir atau kain putih yang biasa digunakan dalam pertunjukan wayang dan bayangan. Selama kurang lebih 60 menit, kita diajak berpetualang dalam lakon Bandung Bondowoso versi wayang suket. Pertunjukan wayang suket ini ditampilkan oleh komunitas Wayang Suket Indonesia, sebuah kelompok kesenian yang berusaha melestarikan kesenian wayang suket. Suket atau rumput di sini adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat wayang. Kelompok teater objek ini juga sekaligus mengenalkan jenis wayang selain wayang kulit, wayang golek, dan wayang beber. 

Pertunjukan wayang suket ini hadir dengan nuansa riang dan penuh semangat yang dibawakan oleh dalang. Berbeda dengan pertunjukan wayang kulit yang lengkap dengan seperangkat musisi karawitan, wayang suket ini hadir dengan perpaduan instrumen musik yang modern seperti gitar dan ukulele, namun tetap tidak meninggalkan instrumen kendang dan suara merdu seorang sinden. Wayang suket yang dihadirkan juga tak hanya yang berukuran kecil, tapi juga berukuran orang dewasa yang dimainkan oleh sepasang penari. Dua wayang suket raksasa ini menampilkan tokoh Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang, dua tokoh sentral dalam kisah ini. 

Pada umumnya kita mengenal kisah Bandung Bondowoso berkaitan dengan legenda berdirinya Candi Prambanan—meski kita tak pernah tahu siapa yang pertama kali menyiarkan dongeng ini. Kisah Bandung Bondowoso sebetulnya adalah salah satu cerita rakyat yang kemudian menjadi “sejarah yang lain” dari pembangunan sebuah situs sejarah. Sedikit menyinggung sejarah Candi Prambanan, candi ini termasuk dalam kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia. Berdirinya Candi Prambanan berawal pada abad ke-9 masehi yang dimulai dari Raja Rakai Pikatan pada masa kerajaan Medang Mataram. Pembuatannya dipercaya sebagai bentuk persembahan pada tiga dewa utama Hindu atau Trimurti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Salah satu arca dewi perempuan yang adalah arca Durga Mahisasuramardini kemudian dipercaya sebagai arca Roro Jonggrang, seorang perempuan yang dikutuk oleh Bandung Bondowoso untuk melengkapi candi ke-1000. 

Kisah yang dituturkan Wayang Suket Indonesia berupaya menciptakan tokoh Bandung Bondowoso sebagai sosok laki-laki ksatria yang baik hati dan berjiwa pahlawan. Kelompok ini percaya bahwa kisah Bandung Bondowoso di luar sana atau yang kerap diceritakan adalah karakter yang jahat, kejam, suka membunuh, dan kemudian mengutuk seorang putri dari raja yang ia kalahkan. Pada pertunjukan ini kisah tersebut memiliki tawaran penokohan yang baru atau sama sekali lain dengan apa yang dikenal oleh masyarakat saat ini. Bisa dikatakan Wayang Suket Indonesia mencoba mendekonstruksi kisah Bandung Bondowoso. 

 

Upaya Dekonstruksi Bandung Bondowoso

Kisah dimulai dengan tokoh utama, Bandung Bondowoso ksatria Kerajaan Pengging, diberi tugas untuk melakukan perjalanan sekaligus mengajak Raja Kerajaan Prambanan bersekutu. Permintaan ini ditolak oleh Raja Prambanan (Prabu Boko) dan berakhir dengan peperangan. Perang ini disulut oleh Raja Prambanan yang tidak ingin diajak bekerjasama dan merasa dianggap remeh oleh Kerajaan Pengging. Dengan kalahnya Raja Prambanan yang berakhir dengan kematian Sang Raja, Bandung Bondowoso pun diberi wewenang untuk memimpin kerajaan tersebut—sebuah struktur klasik dari perebutan wilayah melalui peperangan. Kerajaan Prambanan makin makmur di bawah pemerintahan Bandung Bondowoso, hingga ia sadar pada kecantikan Roro Jonggrang—anak Raja Prambanan yang dikalahkan Bandung Bondowoso. Roro Jonggrang dilamar, lamaran Bandung Bondowoso tak bisa ditolak—tentu tak ada yang boleh menolak keinginan Sang Raja. Namun kesedihan mendalam masih melekat pada diri Roro Jonggrang, hingga ia pun menyusun taktik. Ia memberi syarat dibuatkan 1000 candi dalam waktu semalam. Syarat itu disetujui oleh Bandung Bondowoso. Suasana pertunjukan wayang dibuat makin tegang ketika Roro Jonggrang sadar bahwa candi akan segera selesai dan hari belum juga muncul fajar. Siasat ke-2 digunakan, Roro Jonggrang mengutus para dayang untuk menciptakan pagi buatan. Suara ayam, suara lesung, langit yang memancar warna merah fajar dari jerami yang dibakar menciptakan suasana yang seolah-olah pagi. Bandung Bondowoso bekerja dibantu oleh para prajurit jinnya, para jin pontang-panting takut pagi. Para jin meninggalkan tugas mereka dan menyisakan Bandung Bondowoso yang terus membangun candi sendirian. Roro Jonggrang menyaksikannya, ia dengan berani mengatakan bahwa candi tak genap 1000. Segala ucapan serapah keluar dari tokoh Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso dianggap sebagai laki-laki yang gemar melanggar janji. Hati Bandung Bondowoso sakit dan diceritakan Sang Dewa turut tidak terima kemudian mengutuk Roro Jonggrang jadi arca candi ke-1000. Bandung Bondowoso menangis, menyesal atas sakit hatinya dan membuat upacara persembahan pada arca Roro Jonggrang. Pertunjukan ini ditutup dengan nasehat yang baik agar sesama manusia tidak saling membenci dan memberi harapan palsu. 

Sekilas kita memang disuguhkan dengan karakter Bandung Bondowoso yang baik hati, ksatria yang tak pernah melanggar janji. Tapi jika benar kisah ini hendak didekonstruksi, dikisahkan kembali dengan gagasan yang sama sekali baru tapi kisah yang diciptakan dalam pertunjukan ini cenderung sama atau masih pengulangan dengan cerita yang ada. Ada unsur ketidakterimaan tentang “perempuan yang selalu ditindas dalam dongeng” yang kemudian dipatahkan dengan karakter baik hati seorang laki-laki. Tak bisa dihindari bahwa Roro Jonggrang tetap menjadi korban, ia korban dari perihal perputaran politik sebuah negara. Korban dari kesewenangan pimpinan negara demi meluaskan kekuasaannya. Secara emosional, siapa yang tidak sedih jika ayah kandung dibunuh dan si pembunuh justru menikahi anaknya? 

Barangkali akan lain kisahnya jika Bandung Bondowoso menolak permintaan Raja Pengging dan tidak terlibat perseteruan dengan Raja Prambanan. Akan lain kisahnya apabila Bandung Bondowoso bertemu lebih dulu dengan Roro Jonggrang dan membuat negosiasi yang lebih “halus” dengan Kerajaan Prambanan. Akan lain pula kisahnya apabila Roro Jonggrang turun di medan perang melawan Bandung Bondowoso. Atau kisah lain yang lebih mengorek luka diri Bandung Bondowoso setelah berhasil mengalahkan Raja Prambanan, apakah ia puas? Apakah ia betul-betul tak sadar bahwa Roro Jonggrang adalah anak Raja Prambanan? Apakah sampai hati Bandung Bondowoso menikahi anak dari mungsuh yang dibunuhnya sendiri? Penelusuran pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi akan membawa legenda Bandung Bondowoso pada kisah yang tak hanya berputar pada persoalan baik dan buruk. 

 

Upaya Pelestarian Budaya

Pertunjukan Bandung Bondowoso ala Wayang Suket Indonesia terasa masih berkutat pada persilangan baik-buruk, hitam-putih, menang-kalah. Namun di luar kisah yang diusung, pertunjukan ini layak untuk disaksikan oleh masyarakat perkotaan—khususnya usai dua tahun pandemi yang menggempur segala bentuk pertunjukan yang bisa disaksikan secara langsung. Wayang Suket Indonesia sangat sadar akan upaya pelestarian budaya yang barangkali jarang tersentuh mayoritas masyarakat perkotaan. Di Jakarta barangkali sangat minim tontonan yang berangkat dari kesenian tradisi namun tetap dikemas dengan segar. Ditambah usaha pengenalan jenis lain dari kesenian wayang di Indonesia yang ternyata sangat kompleks dan luas yang dikemas dalam pertunjukan wayang suket, disampaikan oleh dalang dengan optimis dan apik. Pada era-era yang makin maju ke depan lengkap dengan kompleksitas kemajuan teknologi digital, kesenian tradisi barangkali tak akan segera luntur dan terlupakan apabila kita terus membuka diri dengan kemungkinan yang ada.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter