thumbnail loveis

LOVEISMADE TOBELIEVE

Made to Believe adalah proyek kedua dari grup jazz kontemporer LOVE IS. Grup ini beranggotakan Jason Mountario, Kelvin Andreas, Sri Hanuraga, dan Rainer James. Karya ini mengusung tema tentang ambiguitas pada puncak kebenaran. Baca catatan dibalik pentas LOVE IS di SIPFEST 2024:

thumbnail catatan lokakarya

Catatan lokakarya Animal Pop Family

Jecko Siompo dikenal sebagai koreografer dengan eksplorasi gerakan hewan. Ia menyusun karya terbarunya bertajuk KUSUKUSU II sejak 2022. Salah satu fragmen menarik dalam karya ini adalah refleksi Jecko pada pulau Nusa Tenggara Timur dan menciptakan koreografi yang terinspirasi dari gerak-gerik binatang komodo. Sebelum dipentaskan di SIPFest 2024, fragmen gerakan komodo ini sempat ditampilkan oleh Jecko dan penari Animal Pop di depan warga lokal NTT. Presentasi itu disambut baik oleh warga. Baca ulasan lokakarya Animal Pop di SIPFEST 2024 melalui tautan di bawah:

Musim Seni Salihara 2022 dalam Hibrida

Catatan pendek Musim Seni Salihara 2022

Seni adalah cara kita memuliakan kehidupan. Kita pernah berada pada dua tahun lebih mengalami pandemi Covid-19 yang berlaku di seluruh dunia, seni tetap menjumpai kita, dengan cara apa saja, untuk mengingatkan bahwa hidup selalu berharga dan makin berharga. Juga melalui dunia maya. Kita tahu bahwa situasi karantina sosial telah memaksa kaum profesional mencari pelbagai cara baru supaya tata kehidupan berjalan baik. Demikian juga kaum seniman. Kematian, derita dan rasa sakit di sekitar tidak bisa menghentikan kreativitas. Di tengah perkabungan dan solidaritas, tentu kita bersyukur untuk segala keindahan, kehalusan dan kecerdasan yang tetap datang kepada kita melalui seni dan ilmu melalui kanal-kanal internet dan media sosial. Pada 2022, kita memasuki waktu untuk bisa berwajah cerah ketika, di ujung pandemi saat itu, kehidupan sosial kita mulai bersemi kembali.

 Bersemi kembali—dan berseni kembali. Bukan berarti bahwa di hari-hari pandemi lalu kita kekurangan seni. Bukan sama sekali. Bukankah begitu berlimpah hasil eksperimentasi dari kaum seniman di media daring, tidak sedikit pula yang memperbaharui selera dan wawasan kita? Namun ada waktunya seni mengambil tempat lagi di tengah kancah hidup kita bersama, yakni bahwa kita, pemirsa, hadir berhadapan langsung dengan karya-karya seni—hadir dengan segala degup tubuh dan nyawa kita. Pameran seni rupa dan pertunjukan teater, misalnya, adalah peristiwa yang—sebaik-baiknya—kita alami langsung.

Musim Seni Salihara 2022 adalah tawaran untuk menyambut datangnya musim semi setelah musim dingin interaksi sosial dalam dua tahun terakhir (2020-2022). Ini adalah saat ketika kita semua, dengan sikap riang sekaligus berhati-hati, mulai kembali ke gelanggang re-kreasi bersama, melazimkan diri lagi untuk menonton bersama. Dengan tetap merawat dan mengembangkan pelbagai cara komunikasi dan format seni yang tercapai di masa karantina sosial. Para seniman pertunjukan, misalnya, telah mengupayakan pelbagai karya yang bersifat—tentu bukan hanya rekaman pertunjukan mereka—videografis dan interaktif melalui medium daring. Itu sebabnya Musim Seni Salihara 2022 menampilkan pelbagai sajian langsung maupun sajian daring. 

Musim Seni Salihara adalah kelanjutan Salihara International Performing Arts Festival (SipFest), peristiwa dua tahunan yang pernah kami selenggarakan sejak 2008 hingga 2018. Musim Seni Salihara 2022, secara khusus menampilkan sejumlah hasil eksperimentasi dari para seniman boneka kontemporer. Nusantara sangat kaya akan khazanah teater boneka dan wayang, dan sudah semestinya seni pertunjukan dan seni rupa kita mengambil inspirasi dari padanya. Warisan itu pula yang hadir dalam sajian musik di Musim Seni Salihara. Sejumlah komponis Indonesia menghadirkan karya-karya yang bertolak dari, dan tentu memperkaya, khazanah musik gamelan kita. Sikap serupa pula tampak dari karya-karya para koreografer di gelanggang yang sama. Sementara itu, ada pula pembicaraan tentang warisan Teater Baru Indonesia secara daring.

 

Program luring hingga daring. 

Musim Seni Salihara 2022 menampilkan sejumlah koreografer Indonesia, yaitu Josh Marcy dengan karya Performing Spiral, sebuah karya tari yang tidak hanya menjadi sebuah pertunjukan, namun juga dibayangkan sebagai sebuah praktik terbuka dan refleksi tubuh dalam praktik sosial sehari-hari. Josh Marcy menggagas pemanggungan karya ini sebagai suatu peleburan dari praktik terbuka dengan pertunjukan tari. Fitri Setyaningsih dalam karya Sleep Paralysis mengolah pengalaman tindihan (sleep paralysis) dengan mengurai mekanisme tidur dan mekanisme bangun dari kondisi sleep paralysis. Kelompok tari dari Taiwan Cloud Gate, turut mewarnai Musim Seni Salihara 2022 melalui karya 13 Tongues yang ditayangkan secara daring. Dalam 13 Tongues, koreografer Cheng Tsung-lung mengubah ingatan masa kecilnya tentang ritual Tao dan hiruk pikuk kehidupan jalanan Bangka menjadi dunia fantasi.  

 

Komposer Indonesia Marisa Sharon Hartanto, bersama kelompok musiknya Bar(u)atimur Ensemble menampilkan pertunjukan musik Lewat Masa Kritis. Pertunjukan musik ini menampilkan Gamelan Sunda degung temprak dengan instrumen Barat (flute, dua violin, viola, dan selo) disertai vokal kontemporer yang membawa kita pada perenungan bunyi melalui koridor masa kritis. Dewa Alit dan Gamelan Salukat hadir secara daring dengan karya GENETIC, karya ini berangkat dari sebuah ide genetik yang dilihat sebagai transformasi bentuk. Sinta Wulur (Belanda) juga hadir secara daring melalui karya Ritual Bells, Global Gongs, sebuah konser teatrikal yang memiliki nuansa Timur dan Barat.

 

Komunitas Sakatoya dan Ugo Untoro berkolaborasi menampilkan karya Amongraga, pertunjukan teater boneka yang menggunakan teks Amongraga dari Serat Centhini untuk dikembangkan menjadi dialog, alur cerita, penentuan tokoh karakter, dan kebutuhan artistik pertunjukan. Kelompok teater asal Bandung, Wayang Motekar yang dipimpin oleh seniman Herry Dim menampilkan Let’s Save the Earth. Karya ini menunjukkan perkembangan Wayang Motekar dari masa sebelumnya yang meletakkan aspek penceritaan pada bahasa verbal melalui narasi dalang, kini bergeser menggunakan bahasa rupa dan bunyi. Musim Seni Salihara 2022 juga menghadirkan Pentas Bincang secara daring bertajuk Mengapa Seni Peran?, menampilkan Tatiek Maliyati  alumni ATNI generasi pertama yang melanjutkan studi teaternya hingga rampung di Department of Drama-Fine Arts, Carnegie-Tech Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, pada 1961. Pentas Bincang ini memperbincangkan ihwal teater dan seni peran. Terutama seni peran yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan teater semacam Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), tempat Tatiek belajar teater dan seni peran hingga selesai. Perbincangan menyoal teater juga hadir dalam program gagasan khusus yang dikemas secara daring, yaitu Fokus!. Program ini membicarakan perihal pertumbuhan teater di Indonesia dan menghadirkan narasumber tokoh-tokoh seni yang dekat dengan wacana teater seperti Matthew Isaac Cohen, N. Riantiarno, Barbara Hatley, Goenawan Mohamad, Cahyaningrum Dewojati, M. Yoesoef, Benny Yohanes, Slamet Rahardjo, Kurniasih Zaitun, Yudi Ahmad Tajudin , Arthur S. Nalan dan Ibed S. Yuga. 

 

Tidak hanya menampilkan karya terbaru, Musim Seni Salihara 2022 membuka akses untuk melihat kembali arsip dokumentasi video pertunjukan program Komunitas Salihara terdahulut. Di antaranya pertunjukan Butterfly Dream karya Arica Theater Company (Jepang), Transducer karya Speak Percussion (Australia), Monolog Sutan Sjahrir yang disutradarai Rukman Rosadi, dan Cablaka karya koreografer Otniel Tasman. Semua dokumentasi ini dapat dilihat secara daring melalui website Musim Seni Salihara yang saat itu beralamat musimseni.salihara.org. 

Pada 2024, Komunitas Salihara akan kembali menghadirkan karya-karya seniman terbaik Indonesia dan mancanegara melalui SIPFest 2024. Nantikan karya-karya terbaik yang hadir di Komunitas Salihara. Kunjungi sipfest.salihara.org untuk informasi jadwal dan daftar penampil SIPFest 2024!

Landung Simatupang dan Kisah Seni Peran

Catatan pendek Pentas Ceramah: 50 Tahun Seni Peran di Jalur Olahraga Kesehatan

Pentas Ceramah ini dimulai dengan kemunculan seorang perempuan yang meminjam mikrofon pada mc. Ia mengabarkan bahwa penampil utama malam itu mengalami sedikit demam panggung, maka penonton diminta menunggu sejenak. Penonton dibuat ikut panik dan bertanya-tanya “benarkah ia demam panggung?”. Mengingat penampil utama ini adalah seorang aktor, sutradara, penulis, dan penerjemah, Landung Simatupang, tentu kerja-kerjanya tidak jauh-jauh dari panggung, mustahil jika ia demam panggung. Lalu sembari menunggu kemunculan Landung Simatupang, fragmen pertama pada ceramah ini pun dimulai. Menampilkan adegan dari lakon Pagi Bening karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero yang diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono. Naskah ini pernah disutradarai oleh Landung Simatupang dalam pementasan Teater Stemka, dua tahun lalu di Yogyakarta.

Pentas Ceramah bertajuk 50 Tahun Seni Peran di Jalur Olahraga Kesehatan yang tampil di panggung SIPFest 2024 pada 13-14 Agustus lalu, membedah bagaimana pengalaman Landung Simatupang dalam dunia seni peran yang ia jalani selama 50 tahun. Setelah fragmen Pagi Bening, Landung Simatupang memasuki panggung dan mulai bercerita. Tak hanya perihal pengalamannya dalam dunia seni peran, Landung Simatupang juga berbagi bagaimana mulanya ia masuk dalam dunia seni peran melalui kegiatan badminton di masa kecil. Kemudian cerita pengalamannya berkembang hingga ke bagaimana ia bergabung dengan Teater Stemka dan Teater Mandiri saat di Yogyakarta.

Salah satu kisahnya yang menarik adalah perkenalannya dengan tokoh komponis Cornel Simanjuntak. Melalui penelusuran ulang tentang pertemanan ayahnya dengan tokoh tersebut, Landung kemudian menyusunnya menjadi sebuah pertunjukan bertajuk Selincam Cornel Simanjuntak dan menyutradarai pertunjukan tersebut. Dalam Pentas Ceramah ini, ia juga menampilkan fragmen adegan Selincam Cornel Simanjuntak dan berperan sebagai ayahnya sendiri.

Landung Simatupang juga menekankan pentingnya pelisanan dalam seni peran. Pelisanan adalah salah satu hal terpenting dalam kerja-kerja ini. Salah satu upaya untuk mempertajam pelisanan adalah dengan pembacaan dramatik. Dalam perjalanan kariernya, Landung melakukan ‘pentas baca’ untuk membacakan cerita pendek dari sastrawan terkemuka Indonesia seperti Umar Kayam, Sindhunata, Danarto, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo, Ayu Utami dan Pramoedya Ananta Toer. Untuk menunjukkan bagaimana teknik pelisanan yang ia geluti, Landung menjahit ceritanya dengan menampilkan fragmen pembacaan naskah Aku Diponegoro dari Babad Diponegoro dan pembacaan dramatik lakon Pengakuan karya Anton Chekov. Ketika mendengar bagaimana Landung Simatupang membacanya, penonton akan sangat yakin bahwa inilah yang disebut ‘pelisanan’. Terang, jelas, tak berlebihan dan tetap setia pada suasana cerita naskah.

Pentas Ceramah ini diakhiri dengan diskusi pendek antara Landung Simatupang dan penonton, dipandu oleh moderator Hendromasto sebagai Kurator Teater Komunitas Salihara. Dalam ceramahnya, kita bisa menangkap bahwa Landung Simatupang tidak hendak mengkotak-kotakan bagaimana metode dalam pertumbuhan kerja-kerja seni peran. Ada yang menggunakan teknik latihan yang keras, ada juga yang fokus pada bagaimana cara lebih fasih dalam pelisanan. Semua teknik itu sah dan terbuka untuk dipelajari. Sebab kerja-kerja teater di hari ini tak hanya persoalan bagaimana memainkan ‘peran’ tokoh dalam sebuah naskah. Teater juga sebuah ruang untuk bersiasat, berbaur, dan mendekati masyarakat. Teater juga turut membentuk cara pandang publik pada suatu fenomena. Pentas Ceramah Landung Simatupang membuka wacana yang menarik tentang bagaimana manusia dan seni peran sesungguhnya tidak berjarak, ia selalu tumbuh di tengah-tengah kehidupan kita.

KUSUKUSU II dan Perasaan yang Beragam

Catatan pendek pertunjukan tari karya Jecko Siompo.

 

Panggung teater blackbox Salihara menjelma dua sisi ruang; gelap dan terang. Dari kegelapan yang gulita di bagian panggung belakang, seperti tempat bersarang hewan-hewan misterius. Satu persatu penari muncul dari kegelapan menuju bagian bercahaya. Gerakan tubuhnya mewakili gestur-gestur hewan yang beragam. Di kursi penonton, kita seperti diajak untuk menebak hewan apakah yang sedang diperankan. Ia bisa komodo, kangguru, ular, burung, hingga kura-kura yang berjalan dengan tempo pelan. Tubuh penari tuntas sempurna mewujudkan mimikri hewan dalam bentuk yang lebih estetis. 

Pertunjukan tari ini bertajuk KUSUKUSU II, judul ini diambil dari sebuah dialek yang dipakai masyarakat Papua untuk menunjukkan sesuatu yang berbahaya, tak kasat mata, mencekam dalam kegelapan di antara semak-semak belukar. Lima menit awal pertunjukan ini diberi musik yang membawa kita pada suasana padang sabana luas. Selanjutnya, suara vokal penari dan dentuman tubuh pada lantai panggung menggiring penonton untuk sesekali tertawa dan takjub.

Jecko Siompo dikenal sebagai koreografer dengan eksplorasi gerakan hewan, menyusun karya ini sejak 2022. Salah satu fragmen menarik dalam karya ini adalah refleksi Jecko pada pulau Nusa Tenggara Timur. Satu penari muncul dari kegelapan dengan gestur komodo, setengah melata dengan kaki yang diseret. Pergerakannya cepat dan sesekali kepala mereka meliuk selayaknya lidah komodo. Satu penari melompat dari kegelapan, membawa ranting kayu panjang yang ujungnya digunakan untuk menahan leher komodo, persis dengan adegan pawang yang menghadapi komodo. Sebelum dipentaskan di SIPFest 2024, fragmen gerakan komodo ini sempat ditampilkan oleh Jecko dan penari Animal Pop di depan warga lokal NTT. Presentasi itu disambut baik oleh warga. 

Pertunjukan tari KUSUKUSU II, karya Jecko Siompo terasa begitu serasi dihadirkan dalam pembukaan SIPFest 2024, pada 03 Agustus lalu. Penampilan para penari dengan gerakan yang tegas, teknik yang terlihat rumit namun penuh dengan kejutan gestur hewan yang diperagakan dengan tepat, kerampakan bunyi yang dihasilkan dentuman tubuh penari pada lantai, dan fragmen-fragmen kemunculan hewan dari sisi panggung yang gelap menjahit keutuhan karya tari ini. 

KUSUKUSU II, adalah juga menandai keragaman gerak tari yang muncul dari gestur hewan-hewan. Tari tak hanya muncul dari sebuah kemolekan penari, atau upaya meniru gerakan aktivitas sehari-hari manusia seperti berjalan, berlari, duduk, yang diolah dengan gagasan estetika. Tari adalah juga upaya mengidentifikasi budaya, struktur masyarakat, dan kekayaan flora-fauna yang kita miliki. 

Selama 60 menit, penonton dibawa pada bermacam perasaan, misalnya dibuat tertawa dengan gerakan dan celotehan lucu para penari, takjub dengan daya tahan tubuh dan keringat dramatis luruh dari tubuh penari, hingga ketegangan ketika melihat sesekali penari melakukan salto, jungkir balik, dan membanting tubuh dari posisi berdiri menuju duduk. Perasaan yang timbul selayaknya sensasi yang muncul ketika manusia melihat alam dan makhluk hidupnya. 

Jecko Siompo sadar betul tentang bagaimana memunculkan keragaman dalam karya tari ini. Melalui lima penari laki-laki yang ketika kita lihat dari bangku penonton akan terlihat memiliki model rambut dan postur tubuh yang sama. Namun, ketika kita mencoba mengamatinya dengan saksama dan detail, model rambut mereka jelas berbeda. Siasat lainnya dimunculkan lewat penampilan satu penari yang mampu mewakili lebih dari dua gestur hewan yang berbeda melalui koreografi Jecko. Jika lima penari ini digabungkan, maka kita akan menemukan lebih dari lima jenis gestur hewan. 

Sebelum sepuluh menit terakhir, pertunjukan ini sempat membuat kita yakin bahwa akan segera usai. Lima penari menghilang dalam cahaya gelap bagian panggung belakang. Lalu tak lama musik hiphop mengisi ruang blackbox. Para penari muncul kembali dari kegelapan dan secara rampak menarikan sebuah koreografi yang kental dengan gestur hiphop bertempo cepat. Sejenak penonton akan bisa curiga bahwa bagian ini adalah upaya para penari menarik napas panjang setelah koreografi gestur hewan yang padat. Namun, musik hiphop hilang dan penari masuk kembali pada beberapa koreografi gestur hewan. Barulah lima menit kemudian pertunjukan ini selesai. Bagian ini sedikit membuat kita merasa melewati waktu yang panjang. 

KUSUKUSU II adalah pilihan menarik sebagai pembukaan sebuah festival seni pertunjukan berskala internasional, SIPFest 2024 yang mengusung slogan “Orde Seni Baru”. Sensasi yang dimunculkan lewat ragam gerak yang diciptakan Jecko Siompo mampu mewakili seperti apa ragam karya seni pertunjukan yang dimunculkan dalam festival ini.

streamyard-pameran mediascape - Untitled Page

Filsafat Ilmu dalam Geliat Sains dan Teknologi

Dikutip dan disarikan berdasarkan tulisan “Kata Pengantar” oleh A. Setyo Wibowo dalam buku Cara Kerja Ilmu Filsafat Dan Filsafat Ilmu: Dari Dialektika Ke Dekonstruksi (2022), Kepustakaan Populer Gramedia. 

Pembahasan cara kerja ilmu-ilmu dilakukan bertitik tolak dari sudut pandang filsafat. Ilmu-ilmu (khususnya sians) dikaji dari sudut pandang filsafat, misalnya, lewat aliran-aliran besar filsafat seperti Positivisme, Fenomenologi Edmund Husserl (yang juga ahli matematika), dan Teori Kritis Postmodernisme. Aliran-aliran besar terakhir juga banyak dipakai dalam ilmu-ilmu sosial-empiris. Auguste Comte (1798-1857) menggunakan istilah philosophie des sciences saat hendak mengklasifikasi ragam ilmu pengetahuan. Dalam bahasa Inggris, istilah philosophy of science baru muncul pada 1840 dari tangan William Whewell (1794-1866) dalam bukunya The Philosophy of the Inductive Sciences Founded upon Their History. Dalam bahasa Indonesia, kita lantas menerjemahkannya sebagai filsafat ilmu—sebuah kajian mengenai hakikat pengetahuan manusia yang biasa disebut sebagai ilmu (dalam arti luas maupun dalam arti sains). 

Positivisme Auguste Comte

Auguste Comte, seorang Prancis yang royalis (pro raja, anti-revolusi) menolak Revolusi Prancis yang matanya adalah sebuah “metafisika”. Mengapa metafisis? Karena orang merombak tatanan sosial dengan alasan tak jelas bernama “kehendak rakyat”. Menurut Comte, Prancis harus ditata berdasarkan sains yang mulai membuahkan banyak hasil di awal abad ke-19. Comte mengusung doktrin Positivisme, baginya masyarakat harus ditata secara rasional dan ilmiah. Masyarakat tidak bisa maju kalau landasannya adalah hal-hal fiktif seperti teologi, atau hal-hal metafisis dan abstrak yang hanya memberi “istilah tepat” tetapi tidak memecahkan masalah dan tidak memberi solusi apa-apa. Optimisme kaum positivis menggambarkan zaman awal penemuan mesin uap, listrik, dan berbagai industri massal di abad ke-19 sampai awal abad ke-20. 

Martin Heidegger melihat tanda-tanda bahaya dari sains yang tidak dilihat Auguste Comte. 

Martin Heidegger (1889-1976) mempertajam kritiknya pada sains yang menurutnya juga berakar pada tradisi filsafat itu sendiri. Sejarah filsafat di mata Heidegger adalah onto-teo-logi. Tiap kali pikiran manusia mencari sesuatu, hasrat ini hanya terpenuhi bila ia telah menemukan on (being, yang terdasar), yang sekaligus dianggap sebagai yang berderajat paling tinggi (those) dan bisa dijadikan pengetahuan (logos). Cara berpikir ontoteologis ini turunan paling nyatanya tampak dalam sains dan teknologi. Tiap kali kita sudah menemukan bahwa dasar realitas sebagai atom (atau quark, atau quantum), maka kunci rahasia alam telah ditemukan, dan alam tinggal dieksploitasi. Demikianlah kemajuan sains dan teknologi—yang intinya sebuah pola pikir metafisis—membawa manusia pada nihilisme. Segala apa yang ada di depan diperlakukan sebagai “sumber daya” yang siap dieksploitasi. 

Thomas S. Kuhn dan paradigma dalam sains

Sejalan dengan kritik atas sains, Thomas S. Kuhn (1922-1996) membuktikan bahwa perkembangan sains tidak bersifat akumulatif dan evolutif, melainkan sains berkembang secara revolusioner. Lewat teori tentang paradigma, Kuhn menjelaskan bahwa sains bekerja di bawah sebuah payung sudut pandang tertentu. Di bawah payung itu, metode ilmiah dan proyek penelitian sains dilakukan. Manakala anomali-anomali bermunculan, sains mengalami krisis. 

Kelas Filsafat Salihara seri kedua bertajuk Filsafat Ilmu dalam Bayang-Bayang Pascamodernisme diampu oleh A. Setyo Wibowo,  J. Sudarminta, dan Karlina Supelli, akan mengurai bagaimana posisi Filsafat Ilmu di tengah munculnya ilmu baru: Sains dan Teknologi, serta tokoh filsuf siapa saja yang terlibat di dalamnya. Daftar sekarang melalui kelas.salihara.org.

bannersipfest2024-D

TENTANG SIPFEST 2024: ORDE SENI BARU

Setiap dua tahun—yaitu pada tahun genap, seperti tahun 2024 ini—kami menghadirkan sebuah program sangat istimewa yang berlangsung selama sebulan penuh. Program ini bernama SIPFest, Salihara International Performing-arts Festival.

Boleh dikatakan bahwa SIPFest adalah puncak dari seluruh program kami selama dua tahun terakhir.

Pada SIPFest kali ini akan hadir para seniman maupun kelompok seni tari, teater dan musik dengan reputasi tinggi maupun mereka yang muda-segar dan akan menjadi penting di tahun-tahun mendatang.

Para penampil dari Australia, Jerman, Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia ini akan memberikan tontonan bermutu tinggi selama 03-31 Agustus di tahun ini.

SIPFest kali ini menjadi lebih istimewa lagi: ia hadir secara luring sepenuhnya, setelah pada masa pandemi Covid-19 ia hanya bisa hadir secara daring pada 2020 dan secara hibrida pada 2022.

Dengan SIPFest 2024 ini, kami hendak mengajak para pemirsa berekreasi dengan sesungguh-sungguhnya. Re-kreasi: ikut menciptakan kembali kesenian dan kebudayaan dengan penuh kegembiraan dan kemerdekaan. Menciptakan masyarakat yang sehat dan peka akan perubahan dan kemajuan.

Jakarta layak jadi setara dengan kota-kota besar terkemuka di dunia ini. Yaitu bahwa ia mampu membanggakan diri dengan festival seni pertunjukan kontemporer yang sungguh berkelas. SIPFest mendorong kota kita ke arah sana.

Masyarakat Jakarta, sebagaimana terwakili oleh penonton Komunitas Salihara, membuktikan bahwa Jakarta bisa melompat tinggi dan jauh ke depan. Membuat Jakarta bergaya, bergengsi, dan berciri dengan rangkaian pentas seni kontemporer yang sangat terpilih.

Orde Seni Baru, begitu kata SIPFest kali ini. Yang kita punya bukan hanya orde politik, namun juga orde seni. Seni bukan hanya mengatasi politik, tapi juga mengisi ruang-ruang yang tidak diisi oleh politik. Seni memberikan alternatif terhadap klise dan kemandegan yang dijajakan oleh politik. Seni mengajak kita memperbaharui diri kita dan masyarakat kita. 

Seni itu menggoda, mengejutkan, sekaligus menyenangkan. Membuka ruang-ruang kreativitas yang tertutupi kekuasaan resmi. Kita memimpikan orde yang lain melalui kesenian. Kita menyurung orde kesenian, alih-alih orde politik, untuk mengembangkan kebangsaan dan kemanusiaan.

Demikianlah jalan kita sekarang pada SIPFest 2024 bersama, antara lain, kelompok-seniman Lucy Guerin, CCOTBBAT, Chong Kee-Yong & Studio C, Jason Mountario & Trio, Numen Company, Jecko Siompo, Megatruh Banyu Mili, Annastasya Verina, dan Teater Koma.

SIPFest 2024 adalah gelanggang bagi para seniman-penampil dan masyarakat penonton untuk berbagi kreativitas, kebaruan dan kegembiraan. Sebuah daya-upaya untuk mengembangkan orde yang lain, yang tidak biasa-biasa saja.

 

Kembali ke SIPFest 2024

relief

Manusia Indonesia dalam Warisan Relief Era Bung Karno

Manusia Indonesia dalam Warisan Relief Era Bung Karno

KARYA seni adalah salah  satu bagian yang bisa membantu kita untuk melacak bagaimana kondisi atau sejarah suatu bangsa dibentuk. Salah satunya dapat kita temukan dalam karya seni rupa, seperti mural, mozaik, lukisan, hingga relief. Presiden pertama Indonesia, Sukarno memiliki kedekatan dengan perupa Indonesia. Sukarno juga mengoleksi sejumlah karya seni rupa seperti lukisan dan patung di Istana Negara. Pada masa pemerintahannya, sekitar akhir 1950-1960-an, sejumlah perupa seperti  S. Sudjojono, Trubus Soedarsono, Harijadi Sumadidjaja, Surono, mengerjakan sebuah proyek relief yang tersebar di Bali, Sukabumi, Jakarta, dan Yogyakarta. 

Relief yang mereka kerjakan pada era Sukarno, beberapa jejaknya masih bisa kita temukan. Meski tak semuanya memiliki kondisi yang baik dan terawat. 

 

Penemuan harta karun Sarinah

Pada 2021 di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat, ditemukan relief yang diperkirakan berusia 50 tahun. Relief itu sepanjang 12 meter dengan tinggi tiga meter, dan terbuat dari beton bertulang. Sosok petani dan nelayan tergambar dalam relief tersebut, lengkap dengan adegan aktivitas perdagangan seperti di pasar. Meski relief ini sudah direstorasi dan kini kita bisa menyaksikannya di lantai dasar Sarinah, hingga saat ini belum diketahui siapa seniman yang membuat relief tersebut. Sarinah dibangun pada 1962 dan saat itu Indonesia sedang dalam tahap pembangunan setelah kemerdekaan. Sarinah juga menjadi simbol cita-cita kemajuan ekonomi dan modernisasi di Indonesia. 

 

Jejak “Manusia Indonesia”

Pada 1957, Sukarno meminta beberapa perupa Indonesia untuk membangun relief di Bandara Kemayoran, Jakarta—bandara internasional pertama di Indonesia. Perupa yang membuat desain untuk relief tersebut adalah S. Sudjojono, Harijadi Sumadidjaja, Soerono, dan Seniman Indonesia Muda (SIM). Masing-masing relief tersebut memiliki tema kesejarahan. S. Sudjojono mendesain “Manusia Indonesia” dengan panjang 11,53 meter dan tinggi 2.10 meter. Soerono mendesain “Balada Sangkuriang” dengan panjang 13,56 meter dan tinggi 2,1 meter. Harijadi Sumadidjaja mendesain “Flora dan Fauna Indonesia” dengan panjang 9.6 meter dan 2,1 meter. Pada masanya, relief itu semestinya berada di lantai 1 dan lantai 2 ruang VIP Bandara Kemayoran sebagai tempat Sukarno menyambut para tamu negara. Namun di hari ini, kita tidak akan menemukan secara utuh relief tersebut, sebab bandara Kemayoran telah lama ditinggalkan dan terbengkalai, beberapa adegan reliefnya bahkan terbobol. 

UNTUK menelusuri relief apa saja yang dikerjakan pada era Sukarno, Komunitas Salihara menyelenggarakan pameran Relief Era Bung Karno yang bisa dikunjungi hingga 09 Juni 2024. Selain untuk mengapresiasi karya-karya relief perupa Indonesia di masa Sukarno, pameran ini membawa kita pada arsip-arsip tentang seperti apa sketsa awal relief yang dikerjakan oleh Sudjojono, Harijadi Sumadidjaja, Soerono dan lainnya. Kita masih bisa melihat seperti apa rancangan relief untuk bandara Kemayoran dan seperti apa sisa jejaknya sekarang. Kita juga akan kembali menengok seperti apa awal mula ditemukannya relief Sarinah, dan barangkali setelahnya kita akan menyisihkan waktu untuk mengunjungi keberadaan relief-relief tersebut. 

Pertemuan Sastra dan Guru dalam Lokakarya Peta Sastra Kebangsaan

Komunitas Salihara kembali menyelenggarakan lokakarya Peta Sastra Kebangsaan, pada 27-28 April 2024. Lokakarya ini pertama kali diselenggarakan pada 2017. Program ini bertujuan untuk mempermudah pengajaran dan pengenalan sastra Indonesia bagi pelajar maupun masyarakat awam. Pada Peta Sastra Kebangsaan 2024, lokakarya akan melibatkan 12 guru SMA terpilih dari Indonesia, di antaranya Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. 

Metode Peta Sastra Kebangsaan memperkenalkan garis besar sastra Indonesia dengan kata kunci yang dianggap relevan bagi pelajar. Tujuannya adalah agar pelajar merasa terlibat dengan materi yang dipelajari. Ini bukan peta geografis, melainkan peta logis-naratif (mind map). Sebagai metode, Peta Sastra Kebangsaan bisa dipresentasikan secara fleksibel. Yang telah Komunitas Salihara perkenalkan adalah peta sastra dengan sebelas kata kunci yang berhubungan dengan pertumbuhan mental seorang remaja menjadi dewasa, sebagaimana bertumbuhnya bangsa Indonesia. Pada sesi lokakarya Peta Sastra Kebangsaan, pilihan kata kunci ini bisa disesuaikan dan dikembangkan sesuai konteks. 

Dua belas peserta terpilih adalah Apip Kurniadin (Jawa Barat), Arsi Juwandi (Nusa Tenggara Timur), Ayu Kurniasih (Sumatera Barat), Christi Walangitan (Sulawesi Utara), Edi Purwanto (Lampung), Frederika Giay (Papua), Galih Mulyadi (Lombok), Restituta Devi (Yogyakarta), Rhendi Sepriany (Kalimantan Tengah), Titan Sadewo (Sumatera Utara), Walidha Tanjung Files (Jawa Timur), dan Wulan Dewi Saraswati (Bali). Lokakarya Peta Sastra Kebangsaan menghadirkan fasilitator, yaitu Debra Yatim, Ibrahim Soetomo, Sri Astuti, dan Stebby Julionatan. Serta menghadirkan pemateri Ayu Utami, Nirwan Dewanto, dan Zen Hae. 

 

Pengenalan dan pencarian kata kunci Peta Sastra

Sesi pertama lokakarya pada 27 April 2024, adalah mengajak 12 peserta ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin untuk melakukan tur, melihat praktik digitalisasi arsip, dan enkapsulasi karya sastra. Para peserta dengan dipandu oleh staf PDS H.B. Jassin, diajak melihat koleksi-koleksi arsip sastra yang tersimpan di sana. Peserta juga diperlihatkan bagaimana proses perawatan arsip-arsip dengan kondisi kertas yang sudah tua. Setelah peserta mengalami langsung dan melihat bagaimana penanganan arsip sastra dari penulis-penulis Indonesia, sesi selanjutnya bertempat di Ruang Berkarya, lantai 6 PDS H.B. Jassin, masuk pada pengenalan tiap peserta dan fasilitator serta pengenalan metode Peta Sastra oleh Ayu Utami,  Kurator Sastra dan Direktur Literature and Ideas Festival (LIFEs) di Komunitas Salihara serta Direktur Program Teater Utan Kayu. Dalam pengenalan metode Peta Sastra, Ayu Utami membahas tentang menentukan Peta Sastra melalui penelusuran tema menjadi kata kunci tertentu yang kemudian terkait dengan tokoh-tokoh sastra yang ada. Metode ini adalah tawaran baru dan lebih relevan selain menggunakan metode periodisasi yang lebih terikat pada suatu masa. Peserta juga bisa menanggapi tentang video 11+1 Peta Sastra Indonesia yang sebelumnya telah dikerjakan dan dapat disaksikan melalui Youtube Komunitas Salihara. 

Setelah sesi pertama di PDS H.B. Jassin usai, para peserta menuju ke Komunitas Salihara untuk masuk pada Sesi Berbagi. Peserta pada sesi ini memiliki kesempatan untuk berbagi masalah dan tantangan pengajaran sastra yang dialami guru. Sesi ini juga dilanjutkan dengan presentasi Ayu Utami yang mengurai satu-persatu tema 11+1 Peta Sastra Indonesia dan dilanjutkan dengan tanya-jawab dari para peserta. Sesi ketiga di hari pertama ini dilanjutkan dengan Sesi Berbagi bersama Nirwan Dewanto, sastrawan yang telah menerbitkan beberapa buku antara lain, Buli-Buli Lima Kaki dan Dua Marga (keduanya puisi); Satu Setengah Mata-Mata dan Kaki Kata (keduanya esai); Buku Merah dan Buku Jingga (keduanya fiksi). Nirwan Dewanto berbagi pengalamannya dari pertama kali mengenal sastra hingga kemudian menjadi seorang sastrawan. Ketika memasuki sesi tanya-jawab dengan para peserta, dibahas juga isu tentang AI dalam penciptaan karya sastra yang kemudian ditanggapi oleh Nirwan Dewanto. Setelah sesi bersama Nirwan Dewanto, peserta masuk pada sesi keempat untuk pengembangan peta sastra menggunakan model baru atau yang sudah dikembangkan Salihara. Pengembangan ini mempertimbangkan ketersediaan materi, waktu, dan taraf pengetahuan murid dengan capaian menetapkan kata kunci dan susunannya dan mempertanggungjawabkan logika susunan tersebut. Dipandu oleh Ayu Utami, peserta berdiskusi dengan kelompok yang sudah ditentukan oleh panitia. Mereka mendapat tugas untuk menentukan kata kunci dan materi apa yang digunakan untuk mewakili kata kunci tersebut. Tugas ini juga dipandu oleh tiga fasilitator untuk teman diskusi peserta. Hasil dari tugas pertama ini akan dipresentasikan pada hari kedua. 

Memasuki hari kedua bertempat di Komunitas Salihara, peserta mengawali sesi pertama dengan Sesi Berbagi bersama Zen Hae, Kurator Gagasan di Komunitas Salihara. Dalam sesi ini Zen Hae berbagi pengalaman tentang tahap-tahap sastrawan bertumbuh dari anak menjadi sastrawan mapan, serta pengembangan perspektif guru untuk menginspirasi murid. Peserta diperbolehkan untuk bertanya dan menanggapi pada sesi tanya-jawab. Banyak pula peserta yang berbagi bagaimana kesulitan yang dihadapi ketika membagikan bacaan-bacaan sastra kepada sekolahnya. Sesi selanjutnya adalah melanjutkan latihan peserta untuk pengembangan peta sastra, pembuatan narasi dan memilih contoh teks. Sesi terakhir adalah bagian presentasi Peta Sastra Kebangsaan oleh peserta lokakarya, sesi-sesi ini dipandu oleh Ayu Utami. Pada sesi terakhir, tiap kelompok diwakili oleh satu peserta untuk memaparkan hasil kerja kelompoknya. Beberapa kata kunci turut muncul dari presentasi peserta, salah satunya isu tentang lingkungan. Hasil presentasi ini diharapkan dapat menjadi materi untuk para guru mengenalkan sastra pada murid-murid di daerahnya. 

Lokakarya selama dua hari tersebut berjalan dengan lancar dan membuka isu-isu penting tentang bagaimana sastra hidup dan berkembang di sekolah-sekolah setingkat SMA di berbagai daerah Indonesia.

 

Didukung oleh:

harimau

Manusia dan Alam dalam Dua Novel

Sekilas tentang novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis dan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda.

 

Novel Harimau! Harimau! (1975) karya Mochtar Lubis adalah salah satu novel yang memiliki pengaruh penting dalam sastra Indonesia. Melalui novel tersebut, Mochtar Lubis menggambarkan realitas sosial-politik Indonesia pada masa Orde Baru. Hubungan antar manusia dan keresahan pada munculnya harimau di hutan Sumatra pada novel ini adalah cerminan kondisi ketegangan masyarakat Indonesia di tengah kekangan, pemerintahan yang otoriter dan pembungkaman pendapat di masa Orde Baru. Bahkan, buku-buku Mochtar Lubis termasuk Harimau! Harimau!, dilarang beredar pada masa itu. 

Mochtar Lubis membuka ruang untuk mempertanyakan dan merenungkan tentang kondisi masyarakat pada masa itu. Harimau! Harimau! meski berada pada daftar bacaan yang dilarang, namun tetap memiliki peran penting sebagai alat untuk membangkitkan kesadaran akan kebebasan berekspresi dan keadilan sosial. Novel ini masih sangat relevan untuk kita baca di hari ini. 

Tidak hanya menggambarkan ketegangan hubungan sosial-politik, Harimau! Harimau! juga menggambarkan bagaimana rumitnya hubungan manusia dan alam. Harimau dalam hal ini mewakili kekuatan alam liar yang terangsek oleh ulah manusia, baik karena pemukiman, penambangan maupun perburuan yang telah menjadi tradisi panjang masyarakat setempat. Sumber makanan harimau menipis dan membuatnya kelaparan. Itulah kenapa sang harimau menuntut balas, memangsa manusia. Sebaliknya, korban-korban yang berjatuhan menjadi alasan manusia untuk memburu harimau. Pada akhirnya, sang harimau mati di tangan para pemburu. Dengan begitu, salah satu kekuatan alam telah ditaklukkan oleh manusia itu sendiri. 

 

Sang harimau telah dua hari menderita lapar. Dia telah tua. Tenaganya tak cukup cepat lagi untuk mengejar buruannya yang biasa seperti babi atau rusa. Dia dahulu sungguh seekor harimau jantan yang gagah perkasa, dan lama sekali menjadi raja di hutan besar. Sepanjang ingatannya tak pernah dia menderita kelaparan seperti sekarang. 

— petikan novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis. 

 

Selain novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis, kita juga akan menemukan gambaran hubungan manusia dan alam pada novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta (1989) karya Luis Sepúlveda (berdasarkan terjemahan Ronny Agustinus).  Luis Sepúlveda adalah penulis dan wartawan asal Chili, ia juga seorang pembela kebebasan dan lingkungan hidup. Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta adalah salah satu karya Luis Sepúlveda yang paling terkenal. Novel ini tentang perjalanan seorang pria tua yang tinggal di hutan hujan Amazon dan menemukan kehidupan baru melalui buku-buku cinta yang ia baca.

 

Antonio José Bolívar Proaño, yang tak pernah berpikir soal kata “kebebasan”, kini menikmati kebebasan tak terbatas di hutan. 

— petikan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda. 

 

Kedua novel ini sama-sama memberikan pelajaran betapa pentingnya merawat alam dan menghormati apa-apa yang ada di dalamnya. Tanpa kesadaran ini maka perusakan alam (dalam hal ini: perburuan dan penambangan) akan terus terjadi. Dua pengarang, dengan cara masing-masing, telah menunjukkan betapa konflik antara manusia dan harimau hampir selalu dimulai dari terancamnya sang harimau oleh manusia. Manusia yang kelewat rakus menjarah hasil hutan akan menanggung akibat kemarahan para penghuni rimba raya. Tetapi, manusia selalu dimenangkan dalam konflik ini.

Membandingkan kedua novel ini berarti membandingkan juga dua budaya dalam melihat alam dan rimba raya. Termasuk cara pandang masyarakat dalam melihat ancaman harimau. Antara yang melihatnya dengan cara pandang realistis-pragmatis dan yang melihatnya dengan bumbu mitos harimau jadi-jadian. Antara cara pengarang yang tangkas dan penuh humor dan pengarang yang bertele-tele dan penuh petuah. Antara sapuan erotisme yang samar-samar dan maksud politik jahat penguasa setempat. Masing-masing novel hadir dengan kekuatan dan kelemahannya.

Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA yang diselenggarakan oleh Komunitas Salihara, tahun ini menggunakan tema membandingkan kedua novel tersebut. Perbandingan seperti apa yang akan diurai dan ditelaah oleh pembaca tingkat SMA di hari ini? Apakah kita akan menemukan pembacaan baru dan segar dari novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis dan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda? Mari menunggu jadwal Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2024 di September mendatang!