Made to Believe adalah proyek kedua dari grup jazz kontemporer LOVE IS. Grup ini beranggotakan Jason Mountario, Kelvin Andreas, Sri Hanuraga, dan Rainer James. Karya ini mengusung tema tentang ambiguitas pada puncak kebenaran. Baca catatan dibalik pentas LOVE IS di SIPFEST 2024:
Catatan lokakarya Animal Pop Family
Filsafat Ilmu dalam Geliat Sains dan Teknologi
Dikutip dan disarikan berdasarkan tulisan “Kata Pengantar” oleh A. Setyo Wibowo dalam buku Cara Kerja Ilmu Filsafat Dan Filsafat Ilmu: Dari Dialektika Ke Dekonstruksi (2022), Kepustakaan Populer Gramedia.
Pembahasan cara kerja ilmu-ilmu dilakukan bertitik tolak dari sudut pandang filsafat. Ilmu-ilmu (khususnya sians) dikaji dari sudut pandang filsafat, misalnya, lewat aliran-aliran besar filsafat seperti Positivisme, Fenomenologi Edmund Husserl (yang juga ahli matematika), dan Teori Kritis Postmodernisme. Aliran-aliran besar terakhir juga banyak dipakai dalam ilmu-ilmu sosial-empiris. Auguste Comte (1798-1857) menggunakan istilah philosophie des sciences saat hendak mengklasifikasi ragam ilmu pengetahuan. Dalam bahasa Inggris, istilah philosophy of science baru muncul pada 1840 dari tangan William Whewell (1794-1866) dalam bukunya The Philosophy of the Inductive Sciences Founded upon Their History. Dalam bahasa Indonesia, kita lantas menerjemahkannya sebagai filsafat ilmu—sebuah kajian mengenai hakikat pengetahuan manusia yang biasa disebut sebagai ilmu (dalam arti luas maupun dalam arti sains).
Positivisme Auguste Comte
Auguste Comte, seorang Prancis yang royalis (pro raja, anti-revolusi) menolak Revolusi Prancis yang matanya adalah sebuah “metafisika”. Mengapa metafisis? Karena orang merombak tatanan sosial dengan alasan tak jelas bernama “kehendak rakyat”. Menurut Comte, Prancis harus ditata berdasarkan sains yang mulai membuahkan banyak hasil di awal abad ke-19. Comte mengusung doktrin Positivisme, baginya masyarakat harus ditata secara rasional dan ilmiah. Masyarakat tidak bisa maju kalau landasannya adalah hal-hal fiktif seperti teologi, atau hal-hal metafisis dan abstrak yang hanya memberi “istilah tepat” tetapi tidak memecahkan masalah dan tidak memberi solusi apa-apa. Optimisme kaum positivis menggambarkan zaman awal penemuan mesin uap, listrik, dan berbagai industri massal di abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Martin Heidegger melihat tanda-tanda bahaya dari sains yang tidak dilihat Auguste Comte.
Martin Heidegger (1889-1976) mempertajam kritiknya pada sains yang menurutnya juga berakar pada tradisi filsafat itu sendiri. Sejarah filsafat di mata Heidegger adalah onto-teo-logi. Tiap kali pikiran manusia mencari sesuatu, hasrat ini hanya terpenuhi bila ia telah menemukan on (being, yang terdasar), yang sekaligus dianggap sebagai yang berderajat paling tinggi (those) dan bisa dijadikan pengetahuan (logos). Cara berpikir ontoteologis ini turunan paling nyatanya tampak dalam sains dan teknologi. Tiap kali kita sudah menemukan bahwa dasar realitas sebagai atom (atau quark, atau quantum), maka kunci rahasia alam telah ditemukan, dan alam tinggal dieksploitasi. Demikianlah kemajuan sains dan teknologi—yang intinya sebuah pola pikir metafisis—membawa manusia pada nihilisme. Segala apa yang ada di depan diperlakukan sebagai “sumber daya” yang siap dieksploitasi.
Thomas S. Kuhn dan paradigma dalam sains
Sejalan dengan kritik atas sains, Thomas S. Kuhn (1922-1996) membuktikan bahwa perkembangan sains tidak bersifat akumulatif dan evolutif, melainkan sains berkembang secara revolusioner. Lewat teori tentang paradigma, Kuhn menjelaskan bahwa sains bekerja di bawah sebuah payung sudut pandang tertentu. Di bawah payung itu, metode ilmiah dan proyek penelitian sains dilakukan. Manakala anomali-anomali bermunculan, sains mengalami krisis.
Kelas Filsafat Salihara seri kedua bertajuk Filsafat Ilmu dalam Bayang-Bayang Pascamodernisme diampu oleh A. Setyo Wibowo, J. Sudarminta, dan Karlina Supelli, akan mengurai bagaimana posisi Filsafat Ilmu di tengah munculnya ilmu baru: Sains dan Teknologi, serta tokoh filsuf siapa saja yang terlibat di dalamnya. Daftar sekarang melalui kelas.salihara.org.
TENTANG SIPFEST 2024: ORDE SENI BARU
Setiap dua tahun—yaitu pada tahun genap, seperti tahun 2024 ini—kami menghadirkan sebuah program sangat istimewa yang berlangsung selama sebulan penuh. Program ini bernama SIPFest, Salihara International Performing-arts Festival.
Boleh dikatakan bahwa SIPFest adalah puncak dari seluruh program kami selama dua tahun terakhir.
Pada SIPFest kali ini akan hadir para seniman maupun kelompok seni tari, teater dan musik dengan reputasi tinggi maupun mereka yang muda-segar dan akan menjadi penting di tahun-tahun mendatang.
Para penampil dari Australia, Jerman, Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia ini akan memberikan tontonan bermutu tinggi selama 03-31 Agustus di tahun ini.
SIPFest kali ini menjadi lebih istimewa lagi: ia hadir secara luring sepenuhnya, setelah pada masa pandemi Covid-19 ia hanya bisa hadir secara daring pada 2020 dan secara hibrida pada 2022.
Dengan SIPFest 2024 ini, kami hendak mengajak para pemirsa berekreasi dengan sesungguh-sungguhnya. Re-kreasi: ikut menciptakan kembali kesenian dan kebudayaan dengan penuh kegembiraan dan kemerdekaan. Menciptakan masyarakat yang sehat dan peka akan perubahan dan kemajuan.
Jakarta layak jadi setara dengan kota-kota besar terkemuka di dunia ini. Yaitu bahwa ia mampu membanggakan diri dengan festival seni pertunjukan kontemporer yang sungguh berkelas. SIPFest mendorong kota kita ke arah sana.
Masyarakat Jakarta, sebagaimana terwakili oleh penonton Komunitas Salihara, membuktikan bahwa Jakarta bisa melompat tinggi dan jauh ke depan. Membuat Jakarta bergaya, bergengsi, dan berciri dengan rangkaian pentas seni kontemporer yang sangat terpilih.
Orde Seni Baru, begitu kata SIPFest kali ini. Yang kita punya bukan hanya orde politik, namun juga orde seni. Seni bukan hanya mengatasi politik, tapi juga mengisi ruang-ruang yang tidak diisi oleh politik. Seni memberikan alternatif terhadap klise dan kemandegan yang dijajakan oleh politik. Seni mengajak kita memperbaharui diri kita dan masyarakat kita.
Seni itu menggoda, mengejutkan, sekaligus menyenangkan. Membuka ruang-ruang kreativitas yang tertutupi kekuasaan resmi. Kita memimpikan orde yang lain melalui kesenian. Kita menyurung orde kesenian, alih-alih orde politik, untuk mengembangkan kebangsaan dan kemanusiaan.
Demikianlah jalan kita sekarang pada SIPFest 2024 bersama, antara lain, kelompok-seniman Lucy Guerin, CCOTBBAT, Chong Kee-Yong & Studio C, Jason Mountario & Trio, Numen Company, Jecko Siompo, Megatruh Banyu Mili, Annastasya Verina, dan Teater Koma.
SIPFest 2024 adalah gelanggang bagi para seniman-penampil dan masyarakat penonton untuk berbagi kreativitas, kebaruan dan kegembiraan. Sebuah daya-upaya untuk mengembangkan orde yang lain, yang tidak biasa-biasa saja.
Manusia Indonesia dalam Warisan Relief Era Bung Karno
Manusia Indonesia dalam Warisan Relief Era Bung Karno
KARYA seni adalah salah satu bagian yang bisa membantu kita untuk melacak bagaimana kondisi atau sejarah suatu bangsa dibentuk. Salah satunya dapat kita temukan dalam karya seni rupa, seperti mural, mozaik, lukisan, hingga relief. Presiden pertama Indonesia, Sukarno memiliki kedekatan dengan perupa Indonesia. Sukarno juga mengoleksi sejumlah karya seni rupa seperti lukisan dan patung di Istana Negara. Pada masa pemerintahannya, sekitar akhir 1950-1960-an, sejumlah perupa seperti S. Sudjojono, Trubus Soedarsono, Harijadi Sumadidjaja, Surono, mengerjakan sebuah proyek relief yang tersebar di Bali, Sukabumi, Jakarta, dan Yogyakarta.
Relief yang mereka kerjakan pada era Sukarno, beberapa jejaknya masih bisa kita temukan. Meski tak semuanya memiliki kondisi yang baik dan terawat.
Penemuan harta karun Sarinah
Pada 2021 di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat, ditemukan relief yang diperkirakan berusia 50 tahun. Relief itu sepanjang 12 meter dengan tinggi tiga meter, dan terbuat dari beton bertulang. Sosok petani dan nelayan tergambar dalam relief tersebut, lengkap dengan adegan aktivitas perdagangan seperti di pasar. Meski relief ini sudah direstorasi dan kini kita bisa menyaksikannya di lantai dasar Sarinah, hingga saat ini belum diketahui siapa seniman yang membuat relief tersebut. Sarinah dibangun pada 1962 dan saat itu Indonesia sedang dalam tahap pembangunan setelah kemerdekaan. Sarinah juga menjadi simbol cita-cita kemajuan ekonomi dan modernisasi di Indonesia.
Jejak “Manusia Indonesia”
Pada 1957, Sukarno meminta beberapa perupa Indonesia untuk membangun relief di Bandara Kemayoran, Jakarta—bandara internasional pertama di Indonesia. Perupa yang membuat desain untuk relief tersebut adalah S. Sudjojono, Harijadi Sumadidjaja, Soerono, dan Seniman Indonesia Muda (SIM). Masing-masing relief tersebut memiliki tema kesejarahan. S. Sudjojono mendesain “Manusia Indonesia” dengan panjang 11,53 meter dan tinggi 2.10 meter. Soerono mendesain “Balada Sangkuriang” dengan panjang 13,56 meter dan tinggi 2,1 meter. Harijadi Sumadidjaja mendesain “Flora dan Fauna Indonesia” dengan panjang 9.6 meter dan 2,1 meter. Pada masanya, relief itu semestinya berada di lantai 1 dan lantai 2 ruang VIP Bandara Kemayoran sebagai tempat Sukarno menyambut para tamu negara. Namun di hari ini, kita tidak akan menemukan secara utuh relief tersebut, sebab bandara Kemayoran telah lama ditinggalkan dan terbengkalai, beberapa adegan reliefnya bahkan terbobol.
UNTUK menelusuri relief apa saja yang dikerjakan pada era Sukarno, Komunitas Salihara menyelenggarakan pameran Relief Era Bung Karno yang bisa dikunjungi hingga 09 Juni 2024. Selain untuk mengapresiasi karya-karya relief perupa Indonesia di masa Sukarno, pameran ini membawa kita pada arsip-arsip tentang seperti apa sketsa awal relief yang dikerjakan oleh Sudjojono, Harijadi Sumadidjaja, Soerono dan lainnya. Kita masih bisa melihat seperti apa rancangan relief untuk bandara Kemayoran dan seperti apa sisa jejaknya sekarang. Kita juga akan kembali menengok seperti apa awal mula ditemukannya relief Sarinah, dan barangkali setelahnya kita akan menyisihkan waktu untuk mengunjungi keberadaan relief-relief tersebut.
Pertemuan Sastra dan Guru dalam Lokakarya Peta Sastra Kebangsaan
Komunitas Salihara kembali menyelenggarakan lokakarya Peta Sastra Kebangsaan, pada 27-28 April 2024. Lokakarya ini pertama kali diselenggarakan pada 2017. Program ini bertujuan untuk mempermudah pengajaran dan pengenalan sastra Indonesia bagi pelajar maupun masyarakat awam. Pada Peta Sastra Kebangsaan 2024, lokakarya akan melibatkan 12 guru SMA terpilih dari Indonesia, di antaranya Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Metode Peta Sastra Kebangsaan memperkenalkan garis besar sastra Indonesia dengan kata kunci yang dianggap relevan bagi pelajar. Tujuannya adalah agar pelajar merasa terlibat dengan materi yang dipelajari. Ini bukan peta geografis, melainkan peta logis-naratif (mind map). Sebagai metode, Peta Sastra Kebangsaan bisa dipresentasikan secara fleksibel. Yang telah Komunitas Salihara perkenalkan adalah peta sastra dengan sebelas kata kunci yang berhubungan dengan pertumbuhan mental seorang remaja menjadi dewasa, sebagaimana bertumbuhnya bangsa Indonesia. Pada sesi lokakarya Peta Sastra Kebangsaan, pilihan kata kunci ini bisa disesuaikan dan dikembangkan sesuai konteks.
Dua belas peserta terpilih adalah Apip Kurniadin (Jawa Barat), Arsi Juwandi (Nusa Tenggara Timur), Ayu Kurniasih (Sumatera Barat), Christi Walangitan (Sulawesi Utara), Edi Purwanto (Lampung), Frederika Giay (Papua), Galih Mulyadi (Lombok), Restituta Devi (Yogyakarta), Rhendi Sepriany (Kalimantan Tengah), Titan Sadewo (Sumatera Utara), Walidha Tanjung Files (Jawa Timur), dan Wulan Dewi Saraswati (Bali). Lokakarya Peta Sastra Kebangsaan menghadirkan fasilitator, yaitu Debra Yatim, Ibrahim Soetomo, Sri Astuti, dan Stebby Julionatan. Serta menghadirkan pemateri Ayu Utami, Nirwan Dewanto, dan Zen Hae.
Pengenalan dan pencarian kata kunci Peta Sastra
Sesi pertama lokakarya pada 27 April 2024, adalah mengajak 12 peserta ke Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin untuk melakukan tur, melihat praktik digitalisasi arsip, dan enkapsulasi karya sastra. Para peserta dengan dipandu oleh staf PDS H.B. Jassin, diajak melihat koleksi-koleksi arsip sastra yang tersimpan di sana. Peserta juga diperlihatkan bagaimana proses perawatan arsip-arsip dengan kondisi kertas yang sudah tua. Setelah peserta mengalami langsung dan melihat bagaimana penanganan arsip sastra dari penulis-penulis Indonesia, sesi selanjutnya bertempat di Ruang Berkarya, lantai 6 PDS H.B. Jassin, masuk pada pengenalan tiap peserta dan fasilitator serta pengenalan metode Peta Sastra oleh Ayu Utami, Kurator Sastra dan Direktur Literature and Ideas Festival (LIFEs) di Komunitas Salihara serta Direktur Program Teater Utan Kayu. Dalam pengenalan metode Peta Sastra, Ayu Utami membahas tentang menentukan Peta Sastra melalui penelusuran tema menjadi kata kunci tertentu yang kemudian terkait dengan tokoh-tokoh sastra yang ada. Metode ini adalah tawaran baru dan lebih relevan selain menggunakan metode periodisasi yang lebih terikat pada suatu masa. Peserta juga bisa menanggapi tentang video 11+1 Peta Sastra Indonesia yang sebelumnya telah dikerjakan dan dapat disaksikan melalui Youtube Komunitas Salihara.
Setelah sesi pertama di PDS H.B. Jassin usai, para peserta menuju ke Komunitas Salihara untuk masuk pada Sesi Berbagi. Peserta pada sesi ini memiliki kesempatan untuk berbagi masalah dan tantangan pengajaran sastra yang dialami guru. Sesi ini juga dilanjutkan dengan presentasi Ayu Utami yang mengurai satu-persatu tema 11+1 Peta Sastra Indonesia dan dilanjutkan dengan tanya-jawab dari para peserta. Sesi ketiga di hari pertama ini dilanjutkan dengan Sesi Berbagi bersama Nirwan Dewanto, sastrawan yang telah menerbitkan beberapa buku antara lain, Buli-Buli Lima Kaki dan Dua Marga (keduanya puisi); Satu Setengah Mata-Mata dan Kaki Kata (keduanya esai); Buku Merah dan Buku Jingga (keduanya fiksi). Nirwan Dewanto berbagi pengalamannya dari pertama kali mengenal sastra hingga kemudian menjadi seorang sastrawan. Ketika memasuki sesi tanya-jawab dengan para peserta, dibahas juga isu tentang AI dalam penciptaan karya sastra yang kemudian ditanggapi oleh Nirwan Dewanto. Setelah sesi bersama Nirwan Dewanto, peserta masuk pada sesi keempat untuk pengembangan peta sastra menggunakan model baru atau yang sudah dikembangkan Salihara. Pengembangan ini mempertimbangkan ketersediaan materi, waktu, dan taraf pengetahuan murid dengan capaian menetapkan kata kunci dan susunannya dan mempertanggungjawabkan logika susunan tersebut. Dipandu oleh Ayu Utami, peserta berdiskusi dengan kelompok yang sudah ditentukan oleh panitia. Mereka mendapat tugas untuk menentukan kata kunci dan materi apa yang digunakan untuk mewakili kata kunci tersebut. Tugas ini juga dipandu oleh tiga fasilitator untuk teman diskusi peserta. Hasil dari tugas pertama ini akan dipresentasikan pada hari kedua.
Memasuki hari kedua bertempat di Komunitas Salihara, peserta mengawali sesi pertama dengan Sesi Berbagi bersama Zen Hae, Kurator Gagasan di Komunitas Salihara. Dalam sesi ini Zen Hae berbagi pengalaman tentang tahap-tahap sastrawan bertumbuh dari anak menjadi sastrawan mapan, serta pengembangan perspektif guru untuk menginspirasi murid. Peserta diperbolehkan untuk bertanya dan menanggapi pada sesi tanya-jawab. Banyak pula peserta yang berbagi bagaimana kesulitan yang dihadapi ketika membagikan bacaan-bacaan sastra kepada sekolahnya. Sesi selanjutnya adalah melanjutkan latihan peserta untuk pengembangan peta sastra, pembuatan narasi dan memilih contoh teks. Sesi terakhir adalah bagian presentasi Peta Sastra Kebangsaan oleh peserta lokakarya, sesi-sesi ini dipandu oleh Ayu Utami. Pada sesi terakhir, tiap kelompok diwakili oleh satu peserta untuk memaparkan hasil kerja kelompoknya. Beberapa kata kunci turut muncul dari presentasi peserta, salah satunya isu tentang lingkungan. Hasil presentasi ini diharapkan dapat menjadi materi untuk para guru mengenalkan sastra pada murid-murid di daerahnya.
Lokakarya selama dua hari tersebut berjalan dengan lancar dan membuka isu-isu penting tentang bagaimana sastra hidup dan berkembang di sekolah-sekolah setingkat SMA di berbagai daerah Indonesia.
Didukung oleh:
Manusia dan Alam dalam Dua Novel
Sekilas tentang novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis dan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda.
Novel Harimau! Harimau! (1975) karya Mochtar Lubis adalah salah satu novel yang memiliki pengaruh penting dalam sastra Indonesia. Melalui novel tersebut, Mochtar Lubis menggambarkan realitas sosial-politik Indonesia pada masa Orde Baru. Hubungan antar manusia dan keresahan pada munculnya harimau di hutan Sumatra pada novel ini adalah cerminan kondisi ketegangan masyarakat Indonesia di tengah kekangan, pemerintahan yang otoriter dan pembungkaman pendapat di masa Orde Baru. Bahkan, buku-buku Mochtar Lubis termasuk Harimau! Harimau!, dilarang beredar pada masa itu.
Mochtar Lubis membuka ruang untuk mempertanyakan dan merenungkan tentang kondisi masyarakat pada masa itu. Harimau! Harimau! meski berada pada daftar bacaan yang dilarang, namun tetap memiliki peran penting sebagai alat untuk membangkitkan kesadaran akan kebebasan berekspresi dan keadilan sosial. Novel ini masih sangat relevan untuk kita baca di hari ini.
Tidak hanya menggambarkan ketegangan hubungan sosial-politik, Harimau! Harimau! juga menggambarkan bagaimana rumitnya hubungan manusia dan alam. Harimau dalam hal ini mewakili kekuatan alam liar yang terangsek oleh ulah manusia, baik karena pemukiman, penambangan maupun perburuan yang telah menjadi tradisi panjang masyarakat setempat. Sumber makanan harimau menipis dan membuatnya kelaparan. Itulah kenapa sang harimau menuntut balas, memangsa manusia. Sebaliknya, korban-korban yang berjatuhan menjadi alasan manusia untuk memburu harimau. Pada akhirnya, sang harimau mati di tangan para pemburu. Dengan begitu, salah satu kekuatan alam telah ditaklukkan oleh manusia itu sendiri.
Sang harimau telah dua hari menderita lapar. Dia telah tua. Tenaganya tak cukup cepat lagi untuk mengejar buruannya yang biasa seperti babi atau rusa. Dia dahulu sungguh seekor harimau jantan yang gagah perkasa, dan lama sekali menjadi raja di hutan besar. Sepanjang ingatannya tak pernah dia menderita kelaparan seperti sekarang.
— petikan novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis.
Selain novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis, kita juga akan menemukan gambaran hubungan manusia dan alam pada novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta (1989) karya Luis Sepúlveda (berdasarkan terjemahan Ronny Agustinus). Luis Sepúlveda adalah penulis dan wartawan asal Chili, ia juga seorang pembela kebebasan dan lingkungan hidup. Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta adalah salah satu karya Luis Sepúlveda yang paling terkenal. Novel ini tentang perjalanan seorang pria tua yang tinggal di hutan hujan Amazon dan menemukan kehidupan baru melalui buku-buku cinta yang ia baca.
Antonio José Bolívar Proaño, yang tak pernah berpikir soal kata “kebebasan”, kini menikmati kebebasan tak terbatas di hutan.
— petikan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda.
Kedua novel ini sama-sama memberikan pelajaran betapa pentingnya merawat alam dan menghormati apa-apa yang ada di dalamnya. Tanpa kesadaran ini maka perusakan alam (dalam hal ini: perburuan dan penambangan) akan terus terjadi. Dua pengarang, dengan cara masing-masing, telah menunjukkan betapa konflik antara manusia dan harimau hampir selalu dimulai dari terancamnya sang harimau oleh manusia. Manusia yang kelewat rakus menjarah hasil hutan akan menanggung akibat kemarahan para penghuni rimba raya. Tetapi, manusia selalu dimenangkan dalam konflik ini.
Membandingkan kedua novel ini berarti membandingkan juga dua budaya dalam melihat alam dan rimba raya. Termasuk cara pandang masyarakat dalam melihat ancaman harimau. Antara yang melihatnya dengan cara pandang realistis-pragmatis dan yang melihatnya dengan bumbu mitos harimau jadi-jadian. Antara cara pengarang yang tangkas dan penuh humor dan pengarang yang bertele-tele dan penuh petuah. Antara sapuan erotisme yang samar-samar dan maksud politik jahat penguasa setempat. Masing-masing novel hadir dengan kekuatan dan kelemahannya.
Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA yang diselenggarakan oleh Komunitas Salihara, tahun ini menggunakan tema membandingkan kedua novel tersebut. Perbandingan seperti apa yang akan diurai dan ditelaah oleh pembaca tingkat SMA di hari ini? Apakah kita akan menemukan pembacaan baru dan segar dari novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis dan novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepúlveda? Mari menunggu jadwal Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2024 di September mendatang!