Catatan pendek Seminar Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan.
Beberapa Minggu menuju LIFEs, Komunitas Salihara membuka Undangan Menulis Makalah Seminar LIFEs 2023 dengan tema Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan: Ruang Pertemuan Budaya, Identitas, dan Kritik Sosial. Program ini bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Makalah yang terpilih adalah makalah dengan pembahasan mengenai Prancis dan Frankofon yang mewakili beberapa subtema atau perspektif, di antaranya kritik poskolonialisme, konflik identitas dan kritik sosial, tantangan multikulturalisme, gender dan budaya patriakal, tubuh dan perlawanan perempuan, hubungan indonesia dan prancis, pemikiran tentang seni dan estetika mutakhir. Komunitas Salihara kemudian memilih beberapa nama pemakalah yang dibagi dalam tiga sesi presentasi.
Sesi 1
Kritik Supremasi dari Kamar Tidur
Pembicara : Joned Suryatmoko/Ferdy Thaeras, Salira Ayatusyifa
Tanggal & Waktu : Selasa, 08 Agustus 2023, 16:00 WIB
Sesi ini menampilkan dua pemakalah yang sama-sama membahas naskah Les Bonnes (1947) karya Jean Genet. Naskah ini berkisah tentang dua perempuan kakak-beradik yang bekerja sebagai pelayan di rumah Madame, majikannya. Dua tokoh pelayan ini adalah Solange dan Claire, mereka lantas berpura-pura memainkan peran sebagai Madame ketika majikan mereka tidak di rumah. Naskah drama ini menarik karena memiliki bentuk role playing atau permainan peran di dalamnya, yang menciptakan pembacaan serta pemaknaan yang berlapis.
Salira Ayatusyifa sebagai pemakalah pertama adalah seorang aktor teater yang mengenyam pendidikan seni teater di ISBI Bandung. Makalahnya berjudul “Les Bonnes: Hegemoni Hasrat dan Politik Asap Dapur”. Salira membedah naskah Les Bonnes dengan pendekatan Hegemoni ala Antonio Gramsci dan membagi penjelasannya dalam tiga poin. Poin pertama, Salira menjelaskan tentang ilusi kuasa pelayan dalam dominasi kuasa Madame sebagai majikan. Dominasi kuasa yang dilakukan oleh sosok Madame sebagai manusia berstatus borjuis dan memperlakukan dua pelayannya sesuka hati, menimbulkan perlawanan dari kedua pelayan. Perlawanan itu diwujudkan dalam permainan peran sebagai Madame yang diperagakan secara bergantian oleh Solange dan Claire. Serta dari sanalah muncul hegemoni hasrat dari kedua tokoh di mana keduanya menjadi kelompok subaltern yang menurut Gramsci adalah kelompok yang hendak berkuasa. Poin kedua, Salira menjelaskan bahwa Salange adalah wujud tokoh intelektual yang mampu membangkitkan hasrat hegemoni untuk menciptakan strategi memberontak pada dominasi Madame. Ia juga menjelaskan bagaimana Genet menggambarkan posisi antar perempuan beda kelas di masa sejarah Prancis 1685. Poin terakhirnya menampilkan bagaimana tokoh Solange dan semangat kolektifnya untuk melawan tetap menjadi objek yang kalah dan bayangan kemenangan hanya ada dalam kepalanya. Hal ini disebabkan oleh dominasi kuasa yang lebih kuat dari Madame.
Pemakalah kedua, Joned dan Ferdy mempresentasikan makalah dengan judul “Les Bonnes: Melihat Jean Genet dari Kamar Tidur Orang Kulit Berwarna”. Makalah ini membahas naskah Les Bonnes dalam dua lapisan, lapisan pertama membedahnya dengan teori identitas kontemporer ala Judith Butler, serta pembacaan teoritis Les Bonnes dalam mempercakapkan dramaturgi dan teori identitas antara Prancis dan Amerika Utara. Lapisan kedua membahas bagaimana Les Bonnes digunakan sebagai pemandu praktik artistik perupa Ferdy Thaeras dalam posisinya sebagai seniman kulit berwarna selama residensi mandirinya di New York City pada 2022. Joned juga membahas hubungan karya Genet dengan Queer, Teatrikalitas dan Teatrikalitas-Queer, bahwa dalam karya Genet tidak lagi menempatkan gagasan queer semata-mata dalam konteks homoseksualitas, tetapi lebih pada hubungan antara penolakan, penghancuran diri, anti-komunitarianisme, dan juga keterikatan kultural lainnya. Joned mengatakan bahwa gagasan tentang pelebih-lebihan, penghilangan, dan ambiguitas terlihat jelas dalam Les Bonnes yang menguraikan elemen-elemen tersebut ke dalam satu gagasan tunggal tentang teatrikalitas-queer memungkinkan kita untuk memeriksa lebih jauh dari apa yang dapat kita temukan jika kita menerapkan gagasan tersebut secara tunggal. Menurut Joned dalam Les Bonnes, ketika satu hal dibesar-besarkan, pada saat yang sama hal tersebut dihilangkan, dan hal tersebut membuka interpretasi yang ambigu. Presentasi ditutup dengan penjelasan Ferdy pada proses artistiknya dan pembacaan teks performancenya pada pameran bertajuk Les Bonnes.
Sesi ini diikuti dengan tanya jawab yang kemudian turut menambah dan memperjelas bagaimana pandangan ketiga pemakalah dalam membahas naskah Les Bonnes.






Sesi 2
Perspektif Sejarah: Dari Kawin Kontrak hingga Yang Ilahiah
Pembicara : Amos, Faiza Nuralifah Khairunnisa, & R.H. Authonul Muther
Tanggal & Waktu : Rabu, 09 Agustus 2023, 16:00 WIB
Diskusi ini menampilkan tiga pembicara yang membahas sejumlah perspektif sejarah dari ranah Frankofon: analisis pascakolonial atas novel bertemakan rasisme dan dampak kolonialisme Prancis, gagasan estetika simtom yang diterapkan dalam kritik seni rupa, hingga tawaran metode historiografi yang berakar dari gagasan sejumlah sejarawan Frankofon. Faiza Nuralifah Khairunnisa, mengulas novel Le mariage de Plaisir karya Tahar Ben Jelloun, ia membahasnya dalam makalah berjudul Internalisasi Rasisme dalam Novel Le Mariage De Plaisir Karya Tahar Ben Jelloun. Ia memaparkan bahwa novel Le Mariage de Plaisir adalah sebuah kritik Tahar Ben Jelloun pada situasi rasisme di Maroko yang telah terinternalisasi. Novel ini menyajikan gambaran sebuah keluarga yang terbentuk dari kawin kontrak atas nama Islam dan berfungsi sebagai unit sosial terkecil, dan rasisme hadir melalui proses internalisasi yang kemudian melekat pada kepribadian tokoh. Dengan kata lain, keluarga adalah lingkup terdekat yang mampu mewariskan sifat rasisme pada anggotanya. Bagi Faiza, rasisme tidak dapat dihentikan hanya dari hal-hal yang kasat mata, namun perlu untuk memutus rantai rasisme dengan menerima masa lalu dan mendefinisikan posisi diri secara jelas dalam rasisme.
Makalah kedua berjudul Di Hadapan Marmi Finti, Sabda Menjadi Daging: Georges Didi-Huberman dan Estetika Simtom ditulis dan dipaparkan oleh R.H. Authonul Muther. Ia membahas gagasan estetika simtom oleh sejarawan seni dan filsuf George Didi-Huberman yang membahas lukisan The Lacemaker karya Johannes Vermeer dan The Holy Conversation karya Fra Angelico, serta menawarkan metode untuk memetakan historiografi Indonesia dengan meminjam gagasan Frantz Fanon dan Aimé Césaire. Diskusi ini ditutup dengan paparan makalah berjudul Dapatkah Subaltern Menulis Sejarah?: Menempatkan Kritik Pascakolonial dalam Polemik Historiografi Indonesia, karya Amos. Ia memiliki tawaran tentang penerapan kritik pascakolonial dalam metode penulisan historiografi Indonesia, mengedepankan gagasan antikolonial dari Frantz Fanon dan Aimé Césaire.
Diskusi ini membawa kita pada tawaran pada satu simpul: kekayaan perspektif sejarah dari ranah Frankofon yang bahkan dapat menjadi tawaran untuk menengok kembali historiografi negeri kita sendiri.
Sesi 3
Dari Dunia Frankofon: Takhayul dan Kekerasan
Pembicara : Ari Bagus Panuntun, Nilna Nabilatus Shalihah, & Rifda Aliifah Putri Aspihan
Tanggal & Waktu : Kamis, 10 Agustus 2023 16:00 WIB
Sesi terakhir seminar tentang Prancis dan Frankofon dalam sastra dan gagasan, membahas tiga novel karya sastrawan negara-negara Frankofon: L’Enfant noir karya Camara Laye (Guinea), Le Silence de L’Innocence karya Somaly Mam (Kamboja), Mémoires de Porc-épic karya Alain Mabanckou (Republik Kongo/Prancis). Ari Bagus Panuntun, menyampaikan presentasinya berjudul Romantic Primitivism dan Neokolonialisme Sastra dalam Novel L’enfant Noir Karya Camara Laye. Ia membahas L’enfant Noir (1953) yang terbit dalam bahasa Inggris sebagai The Dark Child, novel ini melukiskan kehidupan damai dan tenteram di sebuah desa di Guinea, Afrika, meski dalam penjajahan Prancis. Novel ini dikritik karena menutupi kekerasan kolonialisme Prancis dengan meromantisasi primitivisme di negeri itu melalui sudut pandang seorang bocah.
Novel kedua yang dibahas adalah Le Silence de L’Innocence (2005), menceritakan kehidupan seorang perempuan dalam perjuangannya melawan mafia prostitusi dan perdagangan manusia yang merenggut nyawa para gadis di Kamboja. Novel ini dibedah oleh Nilna dalam judul presentasi Écriture Féminine: Suara dan Citra Perempuan Kamboja dalam Novel Le Silence de L’Innocence (2005) karya Somaly Mam. Nilna membahas tentang suara penulis novel tersebut terhadap posisi perempuan yang terbatas. Menurutnya, tokoh Mam merupakan penggerak cerita yang tindakannya berdampak pada peristiwa-peristiwa penting di dalam novel. Terakhir, novel Mémoires de Porc-épic (2006) berkisah tentang serangkaian pembunuhan yang dilakukan oleh seorang tokoh melalui hewan spiritual peliharannya berupa seekor landak, dibahas oleh Rifda dalam makalah Kepercayaan Tradisional sebagai Dalih Kekerasan dalam Novel Mémoires de Porc-épic karya Alain Mabanckou. Ia menelaah bahwa motif mengapa Kibandi tokoh dalam novel ini melakukan hal tersebut yaitu karena kepercayaan tradisional yang diturunkan oleh ayahnya membuat tindakan kekerasan, karena ayahnya memegang kuasa atas dirinya, sehingga ia tidak memiliki pilihan lain selain menerima hal tersebut.
Sesi ini dengan menarik membahas karya sastra dari tiga sudut pandang berbeda pertumbuhan kesusastraan—dalam hal ini novel—di negara-negara bekas jajahan Prancis. Aspek penting kolonialisme, yakni penindasan manusia atas manusia dalam berbagai bentuknya, dibentangkan dari pelbagai lapis zaman. Karena itu, problemnya bukan melulu kolonialisme, tapi juga pascakolonialisme. Bagaimana manusia di negeri-negeri jajahan menegakkan martabatnya sebagai bangsa merdeka, dengan merefleksikan situasi kolonialisme di masa lalu maupun dengan meneroka problem yang mereka hadapi ketika telah meraih kemerdekaan.
Tiga sesi Seminar Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan ini membentang beragam sudut pandang atas pembacaan karya sastra Frankofon dan mengulitinya dalam bermacam isu, juga mengantar kita pada sebuah ruang besar yang menggambarkan kompleksitas identitas, keragaman budaya, isu-isu sosial, gender, ras, dan agama dalam konteks poskolonial.