Sandiwara, Identitas, dan Yang Liyan dalam “Theatre and the Other Self”

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Pintu masuk Galeri Salihara membawa kaki kita pada sebuah ruang gelap, sempit, dengan atap terpal, alas karpet, buntalan kain dan tumpukan bantal di pinggirnya. Sebuah cahaya temaram memperlihatkan sepasang kerangka telapak kaki berjinjit di sudut kiri. Ruang sempit seperti lorong gelap tak lebih dari dua meter ini, membawa pengunjungnya pada perasaan ngeri usai disambut potongan kerangka manusia. Sepasang kaki yang terlepas dari kulitnya, berjinjit nyaris tak menapak lantai, ia seperti diasingkan di ujung kegelapan. Sedangkan alas di lorong ini selayaknya karpet bermotif lembut yang biasa membuat kita nyaman bergoler di rumah. Keluar dari lorong tersebut, sebelah kanan kita sudah ada kotak P3K menempel di tembok. Tak ada obat luka atau sekadar pereda nyeri, di dalamnya justru berbaris peluru yang masing-masing seukuran ibu jari.

Pengalaman pintu masuk tersebut mengingatkan pada kenyaman rumah, tempat tinggal, namun sekaligus menampilkan kengerian, asing dan kekerasan dari potongan kerangka dan peluru. Kenyamanan-kengerian, dua hal yang seperti berdampingan dalam ingatan-ingatan manusia. Kadang-kadang salah satunya dirindukan oleh perasaan manusia, atau bahkan memadukan keduanya menjadi kengerian yang cantik. Demikianlah ketika memasuki dan melihat pameran Theatre and the Other Self yang menampilkan karya dua perupa, Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar. Dikurasi oleh Krishnamurti Suparka, pameran ini bekerja sama dengan Artsociates untuk menyuguhkan pengalaman estetika sekaligus reflektif bagi pengunjungnya. Pameran ini berlangsung sejak 16 November hingga 15 Desember 2024. 

Theatre and the Other Self menggunakan sandiwara sebagai simbol untuk menggambarkan dinamika sosial dan sejarah, bahwa Identitas tidak pernah menjadi sesuatu yang tetap, melainkan terus dinegosiasikan, dibentuk, dan diperdebatkan dalam konteks dialog global. Melalui karya-karya Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar, konsep “diri” berada di antara wilayah personal dan sosial.

Bagi kedua seniman ini, konsep tentang “diri” telah lama dipengaruhi oleh narasi yang datang dari luar. Mujahidin Nurrahman memanfaatkan akar budaya dan keyakinan lokal untuk menciptakan karya yang memanfaatkan simbol-simbol tradisional yang sarat makna spiritual. Sebaliknya, Nesar Eesar berupaya mengkritisi dan merekonstruksi gambaran Timur yang selama ini terkungkung dalam stereotip orientalis serta narasi kolonial, seperti pada karya pertama di pintu masuk bertajuk Restless Soul #0 karya Nesar Eesar. Ia menghadirkan kondisi karpet bermotif khas gambaran Timur yang digelar dalam ruang pengungsian. 

Pameran ini menghadirkan eksplorasi dualitas antara “diri sendiri” dan “yang lain,” sebuah istilah yang merujuk pada konstruksi sosial terhadap kelompok atau individu di luar norma mayoritas. Dalam karya-karya Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar membongkar narasi historis yang menempatkan Timur sebagai objek pasif dari imajinasi Barat dan membuka peluang bagi representasi baru yang lebih inklusif.

Dalam ruang pameran, pengunjung dihadapkan pada berbagai medium—lukisan, instalasi, dan elemen visual lain—yang menyelidiki bagaimana persepsi identitas dibentuk oleh sejarah kolonial, tradisi, dan dinamika politik kontemporer.

Pameran ini mengupas identitas sebagai fenomena dinamis, tidak pernah statis, dan selalu berada dalam proses pembentukan. Bagi kurator Krishnamurti Suparka, identitas bukanlah sesuatu yang sepenuhnya dimiliki individu, melainkan hasil dari interaksi sosial yang rumit. Alih-alih menghilangkan ketegangan antara “diri” dan “yang liyan,” pameran ini menjadikan kontradiksi tersebut sebagai sumber inspirasi untuk mengurai bagaimana identitas dan persepsi saling berinteraksi dalam kehidupan kontemporer.

Melalui eksplorasi yang kritis, pameran ini mengundang kita untuk meninjau ulang konsep representasi dan inklusi, serta mempertimbangkan bagaimana citra “yang lain” memengaruhi cara kita memahami diri sendiri dan sesama. Di tengah dunia yang semakin terkoneksi, garis pemisah antara “aku” dan “mereka” menjadi semakin kabur, membuka ruang bagi dialog baru yang mendalam dan reflektif.

Theatre and the Other Self mengajak kita untuk merenungkan identitas sebagai sesuatu yang dinamis, selalu dinegosiasikan di tengah pergulatan sosial dan politik. Melalui karya Mujahidin Nurrahman dan Nesar Eesar, pameran ini membongkar lapisan-lapisan narasi yang membentuk gagasan tentang “diri,” sekaligus menyoroti bagaimana dinamika budaya, sejarah, dan kekuasaan terus memengaruhi cara kita memahami diri sendiri dan orang lain.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter