Sanggarbambu: Ruang Seni Lintas Disiplin yang Melampaui Batas Seni Rupa

Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter

Sejak berdiri pada 1 April 1959, Sanggarbambu kerap dikenang sebagai sanggar seni rupa. Namun jika menengok kembali dokumen-dokumen arsip dan kesaksian para eksponennya, Sanggarbambu jauh melampaui batas satu disiplin. Ia adalah ruang sosial, intelektual, dan kreatif yang menghidupi banyak cabang seni sekaligus, seni rupa, sastra, teater, musik, bahkan film. Konfigurasi multidisiplin ini bukan sekadar pelengkap, tetapi fondasi yang membentuk karakter sanggar sebagai “ruang inklusif, terbuka bagi siapa saja”.

Pada masa pendiriannya, Sanggarbambu memang bergerak dari seni rupa. Namun perjalanan sanggar menunjukkan perluasan yang sangat cepat. Sanggarbambu berkembang dapat menyatu dengan adanya sastra, teater, musik dan bahkan film. Hal ini disebabkan karena anggota di sanggar bisa memiliki minat atau ketertarikan di dua cabang seni sekaligus, bahkan lebih. Ini menandai bahwa sejak fase awal, kehadiran lintas disiplin bukanlah kebetulan, tetapi hasil organik dari dinamika pergaulan dan diskusi yang hidup di dalam sanggar.

Kegiatan-kegiatan Sanggarbambu pun mencerminkan karakter multidisipliner ini. Dalam pameran keliling misalnya, praktik khas mereka sepanjang tahun 1960-an, Sanggarbambu tak hanya membawa lukisan dan sketsa. Setiap pameran biasanya disertai ceramah seni, ceramah sastra, hingga pentas drama yang selalu berlangsung dalam format arena sederhana dan murah meriah. Bahkan dalam beberapa kesempatan, para sastrawan yang ikut dalam rombongan, seperti Susilomurti dan Adham Adjib Hamzah diminta langsung membuat cerita pendek di tempat oleh penonton, sebuah pengalaman kreatif yang jarang terjadi dalam sejarah kesusastraan Indonesia.

Baca juga: Sanggarbambu: Perjalanan Grafis

Di bidang teater, figur seperti Butet Kartaredjasa dan Adi Kurdi pernah bersinggungan dan tumbuh dalam lingkungan Sanggarbambu. Pada bidang musik, F.X. Soetopo memimpin divisi musik sanggar, menggarap pertunjukan dan latihan yang berjalan paralel dengan kegiatan seni rupa dan teater. Keterlibatan anggota juga meluas pada dunia film, misalnya Yudi Subroto, yang pernah menjadi art-director terbaik Festival Film Indonesia 1977 lewat film Jakarta-Jakarta

Lebih jauh lagi, daftar nama anggota dan kerabat Sanggarbambu memperlihatkan betapa campuran disiplin ini menjadi ciri khas sanggar. Dari pelukis dan pematung, penulis dan dramawan, aktor, pemusik, hingga desainer dan pekerja film, mereka semua pernah berada dalam sarang Sanggarbambu. Banyak pula yang kemudian menjadi figur penting di luar seni rupa, misalnya Putu Wijaya dalam teater dan sastra, Danarto dengan karya-karya sastranya, Dadang Christanto dalam seni kontemporer internasional, Butet Kartaredjasa dalam dunia panggung dan film.

Ruang sanggar sendiri dirancang sebagai medan pertemuan. Di sanalah anggota membaca, melukis, berdiskusi, memetik gitar, bermain karambol, tidur siang, atau sekadar berkumpul tanpa agenda. Atmosfer ini menciptakan interaksi lintas disiplin yang bukan formal-institusional, tetapi tumbuh dari kebiasaan bersama. 

Baca juga: Pameran Besar Seni Rupa Indonesia: Mengapa dan Bagaimana

Karakter multidisipliner itu turut memengaruhi cara Sanggarbambu bekerja di tengah masyarakat. Ketika melakukan pameran keliling, mereka membawa serta keterampilan masing-masing, seni rupa untuk demonstrasi melukis, sastra untuk ceramah dan lomba penulisan, teater untuk pertunjukan malam hari, dan musik untuk pengisi ruang interaksi. Seni tidak dipagari oleh spesialisasi. Para seniman dilatih untuk lentur, bergerak melintasi ranah-ranah ekspresi, dan menjalin dialog dengan publik.

Dalam konteks politik kebudayaan Indonesia tahun 1960-an, ketika banyak sanggar bergerak dalam orbit ideologi tertentu, multidisiplin yang dipraktikkan Sanggarbambu juga berfungsi sebagai posisi politik tersendiri. Dengan merangkul banyak cabang seni dan berupaya independen dari kepentingan politik sempit, Sanggarbambu menciptakan oase kultural yang memusatkan perhatian pada pencerahan bagi masyarakat dan pengembangan martabat manusia melalui keindahan.

Kini, ketika dunia seni semakin terspesialisasi dan cenderung terkotak-kotak, Sanggarbambu dapat dibaca sebagai eksperimen sosial yang lebih maju dari zamannya, sebuah ekologi seni yang hidup, cair, dan lintas batas. Ia bukan hanya sanggar seni rupa, melainkan laboratorium multidisiplin yang membentuk sejumlah tokoh terpenting dalam sejarah seni Indonesia, dari panggung teater hingga layar film, dari studio lukis hingga ruang sastra.

Karya pendiri dan arsip-arsip era keemasan Sanggarbambu dapat ditemukan dalam pameran Di Sini Aku Temukan Kau: Karya dan Arsip Sanggarbambu, yang diselenggarakan pada 04 Oktober hingga 07 Desember 2025 di Galeri Salihara.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter