Dalam panggung pertunjukan “geisha” tradisional Jepang, kematian bukan hanya tentang napas yang berhenti, namun juga tentang lenyapnya ingatan dan kehadiran. Pemahaman ini menjadi landasan filosofis yang menggelayut dalam rancangan artistik seniman Singo Ōta dan Kyoko Takenaka, ketika mereka mengangkat tradisi geisha lewat dokumentasi dan pertunjukan. Mereka menghadirkan sebuah refleksi tentang keberadaan, memori, tubuh, tradisi, dan kematian.
Jika kematian pertama adalah saat berhentinya napas, berhentinya denyut jantung, dan kegagalan fungsi tubuh. Dalam konteks geisha, hal ini bisa berarti akhir sebuah karier, mengundurkan diri dari dunia tea house, bahkan kehilangan status sebagai geisha aktif. Ōta dan Takenaka menemui Hidemi, seorang geisha di Kinosaki yang menjadi titik kontak nyata kebudayaan yang tengah menghilang. Kematian tubuh ini mengingatkan bahwa semua yang hidup akhirnya berhenti, termasuk tarian, pembawaan, suara shamisen, dan kimono.
Lenyap dari ingatan merupakan ruang dalam kematian kedua. Ketika seseorang atau suatu tradisi benar-benar hilang dari ingatan bersama. Keberdayaan tradisi geisha tidak hanya bergantung pada praktik saat ini, tetapi juga pada bagaimana ia dikenang, diarsipkan, dan dipertahankan dalam kolektif memori. Ketika geisha tradisional tak lagi dilatih, tak lagi hadir dalam perayaan budaya, tak lagi ada dalam kesadaran generasi muda, maka secara filosofis mereka sudah “mati” dua kali, yaitu secara fisik dan dalam ingatan.
Tradisi sebagai Eksistensi yang Rapuh
Pertunjukan The Last Geishas karya Shingo Ōta dan Kyoko Takenaka mengeksplorasi keretakan eksistensi tradisi geisha di perkotaan modern Jepang. Mereka memadukan video, tubuh, teks, dan pertunjukan untuk menyelidiki tentang apa arti menjadi geisha hari ini? Apa yang hilang ketika fungsi sosial dan budaya mereka menurun? Di sini, kematian bukan hanya akhir individu, tetapi akhir sistem, jatuhnya sebuah jembatan antara generasi dan identitas.
Shingo Ōta dan Kyoko Takenaka menampilkan Hidemi bukan sebagai artefak museum, tetapi sebagai subjek hidup yang sedang menghadapi ancaman kematian tradisi. Hidemi mengajarkan gerakan kipas “shachihoko” legato yang seperti breakdance kepada Ōta dan Takenaka. Yang dilakukan Hidemi adalah upaya dari living archive untuk menyalakan keberlanjutan, agar tradisi tidak menguap.
Meski tema kematian begitu kuat, pertunjukan juga mengandung upaya kebangkitan atau reborn. Dengan memasang geisha sebagai simbol yang dihidupkan melalui performa kontemporer, mereka berusaha “membangkitkan” ingatan kolektif. Dengan demikian kematian bukan akhir total, tetapi pintu bagi kelahiran kembali, selama ada yang mengingat dan mentransmisikan. Penggunaan elemen musik kontemporer (gitar listrik), rap battle, dan improvisasi tari tradisional dalam karya ini menunjukkan bahwa tradisi bisa hidup kembali dalam bentuk yang meneruskan tubuh utama, namun menyesuaikan konteks modern.
Kematian sebagai Pencerahan Estetis dan Eksistensial
Dalam karya Shingo Ōta dan Kyoko Takenaka ini, kematian menjadi kesempatan untuk memikirkan ulang nilai estetika geisha yang bukan sekadar kesenian untuk hiburan atau fantasi turis, tapi juga praktik seni hidup yang menghubungkan tubuh perempuan, keramahan, interaksi sosial, dan ritual. Geisha bukan hanya simbol keindahan atau erotika, mereka adalah penjaga memori dan budaya. Ketika tradisi ini terancam lenyap, muncul pertanyaan: apa arti seni jika tak diwariskan? Kematian tradisi geisha menjadi kematian estetika atau hilangnya ragam yang kaya dan spesifik. Namun justru dengan menyadari kematian, kita bisa menghidupkan kembali makna dan relevansinya di zaman kini.
Meski tradisi geisha adalah konteks Jepang, konsep kematian ganda sangat universal, yaitu menyoal individu mati dan warisan yang mati. Banyak seni tradisional dan komunitas budaya termasuk di Indonesia, menghadapi hal serupa setelah munculnya modernisasi, globalisasi, perubahan ekonomi dan sosial. Jika tak ada upaya untuk menjaga memori atau menyesuaikan tradisi, maka kematian ganda itu akan datang.
Shingo Ōta dan Kyoko Takenaka mengajak kita bertanya tentang bagaimana kita memperlakukan tradisi? Apakah kita hanya melihatnya sebagai benda museum atau artefak pasif, atau sebagai hal yang hidup dan bisa direvitalisasi? Mereka menunjukkan bahwa melalui pertunjukan dan dokumentasi, tradisi bisa diberi napas baru sebagai yang reborn. Maka, kematian bukan akhir melainkan peristiwa yang memanggil respons, menjaga ingatan, memberdayakan tubuh, mentransfer pengetahuan, dan menciptakan ulang bentuk yang lebih relevan.
Pertunjukan The Last Geishas dapat kita saksikan di Komunitas Salihara pada Sabtu dan Minggu, 15-16 November 2025. Kunjungi The Last Geishas: Re-creation untuk informasi lebih lengkap dan pembelian tiket.