Apa yang kamu ketahui tentang peristiwa 30 September 1965? Selain menjadi peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia, tekanan politik kala itu sesungguhnya banyak mempengaruhi geliat sastra kita lho. Para sastrawan tidak bisa bebas berkarya dan bersuara tentang peristiwa 1965. Bayangkan saja jika berani mengkritik atau memberontak, bisa-bisa masuk penjara.
Tapi di balik ketatnya rezim Orde Baru, sastrawan satu ini berani bersuara dan mengangkat tema yang paling sensitif di masanya. Ia adalah Ahmad Tohari. Lewat salah satu karya monumentalnya, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), kita bisa merasakan suasana kehidupan sosial dan pergulatan politik pada tahun 1960-an. Nah, mau tahu seluk beluk perjalanan Ahmad Tohari ketika menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk? Yuk simak empat fakta menarik di bawah ini:
Pergumulan Ahmad Tohari Selama 15 Tahun
Tahu nggak kalau ternyata butuh kurang lebih 15 tahun untuk Ahmad Tohari memantapkan diri menulis Ronggeng Dukuh Paruk. Saking seriusnya ia sampai meninggalkan pekerjaannya sebagai redaktur harian Merdeka di Jakarta. Waktu itu ia juga memutuskan untuk pulang ke kampungnya di Tinggarjaya, Banyumas, Jawa Tengah, untuk fokus menulis Ronggeng Dukuh Paruk. Selama proses menulis, ia mencoba mengingat kembali ingatan kolektif masa remajanya untuk dituangkan ke dalam novel. Salah satu pengalaman pahit Ahmad Tohari adalah ketika ia harus menyaksikan pembunuhan warga-warga kampungnya yang dituduh terlibat komunis.
Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk
Sebelum akhirnya dirilis ke dalam satu novel pada tahun 2003, Ronggeng Dukuh Paruk ini mulanya diterbitkan secara berkala ke dalam tiga seri: Catatan Buat Emak (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985) dan Jentera Bianglala (1986). Tak hanya di Indonesia, novel ini ternyata juga diminati oleh pembaca sastra di luar negeri. Ronggeng Dukuh Paruk ini juga diterbitkan ke dalam beberapa bahasa asing di antaranya Jepang, Jerman, Belanda dan Inggris.
Lima Hari Bersama Tentara
Usai Ronggeng Dukuh Paruk diterbitkan, tepat pada tanggal 2 Juli 1986, kediaman Ahmad Tohari di Jakarta tiba-tiba didatangi oleh tentara. Ia kemudian dibawa ke Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB) untuk diinterogasi karena novelnya tersebut. Pemerintah merasa bahwa buku itu terlalu sensitif dan kritis pada masa itu. Ketika diinterogasi, Ahmad Tohari lagi-lagi dituduh beraliansi dengan komunis. Akhirnya selama lima hari diinterogasi, Ahmad Tohari pun dibebaskan karena berhasil meyakinkan para tentara bahwa ia bukan komunis. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga ikut membantunya kala itu.
Dari Buku sampai Ke Layar Lebar
Setahun setelah dirilisnya seri pertama yaitu Catatan Buat Emak (1982), buku ini langsung diadaptasi oleh sutradara Yazman Yazid menjadi film Darah dan Mahkota Ronggeng (1983). Film ini pun dibintangi oleh Ray Sahetapy dan Enny Beatrice.
Kepopuleran Ronggeng Dukuh Paruk tidak berhenti di situ. Pada tahun 2011, buku ini kembali diadaptasi ke layar lebar oleh sutradara Ifa Isfansyah dengan judul Sang Penari (2011). Dibintangi oleh Prisia Nasution dan Oka Antara, film ini berhasil meraih sepuluh nominasi dari Festival Film Indonesia 2011 dan memenangkan empat Piala Citra. Keren bukan?!
Nah itu dia empat fakta menarik perjalanan Ahmad Tohari ketika menulis Ronggeng Dukuh Paruk. Nggak cuma Ahmad Tohari, kita juga punya sastrawan-sastrawan lain yang harus mengalami pahitnya rezim Orde Baru dan menjalani masa-masa itu dengan sikap realistis. Mau tahu siapa saja sastrawan itu? Yuk tonton peta sastra episode 08 untuk mencari tahu! Klik di sini untuk menonton.