Hidup memang tak melulu tentang kenyataan, kadang kita perlu sedikit “istirahat” dari realita. Kita perlu berimajinasi. Sastrawan kita pun punya cara tersendiri untuk menghadapi kenyataan. Mereka menyulap realita dengan menyisipkan unsur-unsur imajinasi ke dalam karya-karya mereka. Karya-karya seperti itu sering kali dikenal dengan sebutan non-realis.
Kali ini kita akan berkenalan dengan Putu Wijaya, salah satu sastrawan yang menulis dengan gaya non-realis. Karyanya berbagai macam, antara lain puisi, novel, esai, cerita pendek sampai naskah drama. Jika kita intip sedikit, karya-karyanya selalu punya gaya penulisan yang unik dengan selipan nuansa jenaka yang absurd. Tapi kamu tahu tidak, kira-kira dari mana ya ia mendapat inspirasi berkarya seperti itu? Untuk mencari tahu, yuk kita intip kilas balik inspirasi berkarya Putu Wijaya:
Berkesenian Sedari Kecil
Lahir pada 14 April 1944 di Tabanan, Bali, masa kecil Putu Wijaya ternyata banyak dihabiskan dengan kegiatan berkesenian lho. Hidup sebagai anak rumahan, ia banyak menghabiskan waktu bermain dengan kegiatan yang mungkin jarang dilakukan oleh anak-anak sebayanya, misalnya menabuh gamelan dan menari.
Ia juga gemar sekali menonton pertunjukan jalanan seperti wayang di Pasar Tabanan dan alun-alun dekat rumahnya. Ia sendiri pun pernah mengakui bahwa keseniannya bertolak dari logika dongeng, dari seni lukis bali, dari upacara dan tontonan tradisional.
Berteman dengan Buku
Hidup di tengah keluarga yang gemar membaca membuat Putu Wijaya punya hobi membaca sejak kecil. Ia sudah banyak berkenalan dan menjelajahi karya-karya sastrawan dunia seperti Karl May, Rudyard Kipling, William Saroyan, dan Hans Christian Andersen.
Sejak kecil ia sudah mulai membaca karya sastra Indonesia seperti R.A. Kosasih, Pramoedya Ananta Toer, Amir Hamzah, Chairil Anwar dan masih banyak lagi. Ia pun menulis sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Cerita pendek pertama “Etsa” yang ia tulis di bangku SMP pernah dimuat di Harian Suluh Indonesia.
Membangun Imajinasi melalui Teater
Kedekatan Putu Wijaya dengan teater bisa saja mempengaruhi proses kreatif menulisnya. Perkenalan Putu Wijaya dengan dunia teater ternyata sudah mulai sejak ia duduk di bangku sekolah. Sejak SMP, ia suka mengulik karya-karya penulis naskah dunia seperti Anton Chekhov dan William Shakespeare. Di bangku SMA, ia juga pernah memainkan salah komedi satu babak karya Anton Chekhov berjudul The Bear. Sejak itu, Putu Wijaya menemukan kecintaannya pada dunia teater dan terus menekuninya.
Ketika bermukim dan menempuh kuliah di Yogyakarta, ia pernah aktif bermain bersama Bengkel Teater W.S. Rendra. Ia juga pernah bermain bersama Teater Populer pimpinan Teguh Karya dan Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer ketika berkarir di Jakarta. Kecintaannya terhadap teater akhirnya memotivasi Putu Wijaya untuk membangun kelompok teaternya sendiri bernama Teater Mandiri pada tahun 1971. Kini Teater Mandiri telah dikenal sebagai salah satu kelompok teater tertua di Indonesia.
Mencicipi Pengalaman Hidup di Luar Negeri
Pada 1973, Putu Wijaya mendapat beasiswa selama satu tahun untuk berlatih dan belajar drama di Jepang. Selama menempuh studi di sana, ia tinggal bersama masyarakat komunal Ittoen di Yamashina. Komunitas kecil ini dikenal dengan berpakaian hitam-hitam dan memiliki gaya hidup yang dekat dengan tradisi spiritual.
Selama tinggal bersama komunitas Ittoen, Putu Wijaya sempat merasakan pengalaman baru hidup sebagai petani. Ia juga mengisi kegiatan di sana dengan menyediakan pertunjukan sandiwara rakyat keliling bernama Swaraji.
–
Itu dia empat kilas kisah hidup dari Putu Wijaya. Berkat ketekunan dan pengalamannya, ia bisa menemukan banyak inspirasi untuk membangun imajinasi dalam karya-karyanya. Sudah tak perlu heran bukan kenapa karya-karyanya begitu unik? Tak hanya Putu Wijaya, kita juga punya sastrawan lain lho yang punya gaya penceritaan non-realis yang unik. Mau tahu siapa saja? Yuk tonton peta sastra episode 09 untuk berkenalan! Klik di sini untuk menonton.