Gesyada Siregar
Tulisan ini adalah tanggapan terhadap sesi tujuh program Zoom In Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia (2021).
Apa saja mitos-mitos penokohan seni rupa Indonesia pada masa kolonial yang masih merebak dan perlu kita telisik ulang? Peristiwa manakah yang sesungguhnya menjadi asal usul seni modern Indonesia? Mengapa selama ini sejarah sosial-politik seni rupalah yang banyak melenakan perbincangan kita, alih-alih sejarah rupanya? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sebuah pekerjaan rumah yang belum tuntas, yang dicoba dipantik pada penghujung seri Zoom In webinar oleh Komunitas Salihara, “Menimbang Asal-Usul Seni Rupa Modern Indonesia: Di Seberang Persagi dan Mooi Indië”, pada Rabu, 31 Maret 2021.
Pembicara Aminudin T.H. Siregar, Dikdik Sayahdikumullah, dan moderator Nirwan Dewanto menjadi pengisi sesi webinar yang berlangsung selama dua jam. Sesi ini membahas drama klasik seni rupa Indonesia: pertentangan Persatuan Ahli Gambar Indonesia atau Persagi (1938) dengan kecenderungan seni lukis yang dinamai Mooi Indië (dari bahasa Belanda yang berarti Hindia Molek). Perseteruan ini kerap dirujuk sebagai diskursus awal perkembangan seni rupa modern Indonesia menjelang 1945. Diskusi ini membongkar persepsi umum akan perseteruan kelompok dengan gejala estetik tersebut.
Apabila Mooi Indië sering diasosiasikan hanya dengan para pelukis Eropa di masa kolonial, Dikdik Sayahdikumullah mengenalkan beberapa pelukis Jepang yang turut berkiprah dalam kecenderungan estetik itu. Berangkat dari disertasi S3-nya di Kyūshū Sangyō Daigaku, Fukuoka, Jepang, Dikdik yang merupakan pelukis, pengajar dan peneliti di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) ini juga menyampaikan pemahaman mendasar tentang apa itu Mooi Indië serta faktor sentimental akan alam yang menjadi pemicu kepopulerannya di Indonesia, baik itu dari bangsa asing hingga masyarakat Indonesia sendiri.
Pentingnya melihat warisan piktorial (gambar) untuk mendedah karya-karya Mooi Indië dan anggota Persagi, bahkan merunut dari visual candi-candi di Indonesia, menjadi sudut pandang segar yang dibagikan oleh Aminudin T.H. Siregar. Selain dikenal sebagai kurator, seniman, pengajar, dan kandidat doktor di Universiteit Leiden, Belanda, Aminuddin pun juga menulis buku Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar & Pemikiran S. Sudjojono. (S.Sudjojono Center dan Galeri Canna, 2010). Ia membagikan temuan kontroversialnya akan peristiwa-peristiwa mikroskopis di Batavia (Jakarta) pada masa pendudukan Belanda dan Jepang yang mempereteli ulang penokohan Persagi yang tampak “heroik” dan “nasionalistik”.
***
Mooi Indië adalah sebutan untuk karya seni lukis yang menampilkan bentang alam di Indonesia. Umumnya, karya-karya ini menampilkan gunung, sawah dan pohon, yang kerap dirujuk sebagai “trimurti”. Menurut Dikdik, Mooi Indië merangkum berbagai aktivitas seni lukis, baik itu pendokumentasian (Naturalisme), pemikiran (Realisme) hingga pengamatan komponen alami (Impresionisme). Kompleksitas ini menyebabkan Mooi Indië kadang masih sulit dikategorikan sebagai gaya seni lukis.
Seturut Dikdik, sejak tahun 1600-1950, ada lebih dari 3000 pelukis, juru gambar, pengrajin dan peneliti alam asing, baik itu orang Eropa dan Jepang, pergi ke Indonesia. Seniman dan peneliti ini kemudian membuat karya-karya mengenai alam Indonesia, baik itu untuk kebutuhan pemetaan secara administratif dari Vereenigde Oostindische Compagnie (V.O.C), penelitan alam maupun untuk kebutuhan ekspresi artistik pribadi sang pelukis.
Sebagai contoh, Dikdik menampilkan karya gambar tinta di atas kertas karya Johannes Rach, Ciremai mountain near Cirebon, 1783; lukisan cat minyak A.A.J Payen, The Great Postal Road near Rajapolah (Sumedang), West Java, 1828; dan litografi F.W Junghuhn dan F.W Mieling, Gunung Merapi Jawa Tengah, 1853, dan Gunung Guntur Jawa Barat, 1853. Rach merupakan pegawai dari V.O.C; sementara Junghuhn adalah peneliti alam, dan Payan (yang nantinya akan menjadi jadi guru Raden Saleh) merupakan pelukis yang ditugaskan oleh Natural Sciences Commission dibawah Prof. C.G.C. Reinward. Ketiganya membuat karya gambar, grafis dan lukis bentang alam dengan kebutuhan pendokumentasian.
Dari perwartaan karya-karya tersebut, muncul ketakjuban dan keinginan untuk mengungkapkan perasaan eksotis yang tidak didapat di negerinya bagi pelukis-pelukis Eropa. Objek lukisan bentang alam ini menyebabkan mereka meninggalkan ketidakpastian iklim bagi mereka yang berada di belahan dunia utara. Dari sanalah, lukisan bentang alam mulai menjadi komoditas pasar seni di masa itu, dan menjadi kecenderungan yang kita kenal sekarang.
Akan tetapi, keterlenaan akan alam ini bukan hanya dimiliki bangsa Eropa. Dikdik mengutip surat Kartini, puisi Muhammad Yamin, hingga memoar Machida Keiji, mantan tentara Jepang, yang sama-sama mencurahkan keterpesonaannya akan keindahan alam Indonesia. Kesenduan ini bisa jadi memang sudah mendarah daging, sehingga apa yang ditangkap lewat lukisan bentang alam bisa jadi semacam penawar rasa bagi realita yang getir di tengah perang dan ketidakstabilan kondisi yang ada dan mereka alami di Indonesia saat itu.
Dikdik menyebutkan bahwa sebelum Perang Dunia II, ada beberapa pelukis Jepang yang juga membuat lukisan bentang alam di Hindia Belanda. Berbeda dengan pelukis Jepang yang dibahas pada sesi “Seni Rupa Indonesia pada Era Pendudukan Jepang” bersama Antariksa dan Gadis Fitriana, pada 18 Maret 2021, di mana seniman-seniman itu secara spesifik melukis tentang suasana perang dan kampanye politik. Mereka-mereka ini adalah para seniman petualang. Beberapa di antaranya yang tercatat adalah Mori Kinsen (1888-1959), Kojyo Kokan (1891-1988) dan Yazaki Chioji (1872-1947). Kojyo Kokan yang menggunakan gaya nihonga pada karya seni lukisnya, merupakan salah satu pelaku awal seni lukis bentang alam dari Jepang di Indonesia, jauh sebelum maraknya istilah Mooi Indië. Ia pernah membuat karya dua gunung Fuji di Jawa, yang menampilkan gunung Sumbing dan Sindoro. Selain dia, ada juga Yazaki Chioji, yang dikenal lewat lukisan pastelnya dengan pendekatan impresionis. Yazaki nantinya juga akan menjadi guru S. Sudjojono, juru bicara dari Persagi. Adapula Kinsen, pelukis dengan corak impresionis. Ia pernah membuat lukisan Gunung Merapi yang juga menyerupai Gunung Fuji, sebagai bentuk imajinasi kerinduan akan Jepang. Selain sebagai pelukis Kinsen, juga membuat studio foto di Wonosobo serta pernah mengajar seni lukis kepada Soekarno, yang nantinya menjadi Presiden Indonesia pertama serta patron aktif yang mempopulerkan lukisan Hindia Molek di masyarakat Indonesia.
Dikdik menampilkan lukisan bentang alam yang pernah dibuat Soekarno pada masa pengasingannya di Flores. Lukisan cat air ini menurut Dikdik menampilkan kepedihan Soekarno dan juga pesona akan pantai Flores. Adapun Soekarno kemudian meminta pelukis Basoeki Abdullah, untuk membuat replikanya ke medium cat minyak di atas kanvas. Fragmen kisah ini menjadi sedikit penjelas akan kegemaran Soekarno dengan lukisan bentang alam dan peng-anak emas-an Basoeki Abdullah olehnya.
Basoeki Abdullah, yang merupakan anak dari pelukis bentang alam Abdullah Suriosubroto, adalah figur seniman yang kerap disasar S.Sudjojono terkait kritiknya akan Mooi Indië. Tulisan Sudjojono mengenai Basoeki Abdullah ini kemudian menjadi salah satu pemicu mulainya kesan buruk akan apa itu Mooi Indië, baik secara istilah maupun estetik dalam perwacanaan seni rupa Indonesia.
Istilah Mooi Indië, sebagaimana dipaparkan oleh Aminuddin, pertama kali dikenal lewat buku kompilasi karya pelukis Fredericus Jacobus van Rossum du Chattel (1856-1917) di tahun 1930 yang berjudul Mooi Indië door Fred. J. Du Chattel. Adapun buku ini juga dipromosikan oleh J.E. Jasper yang merupakan rekan Pirngadie. Pirngadie kemudian dikenal sebagai salah satu eksponen pelukis Mooi Indië yang berasal dari masyarakat Hindia Belanda, bersama Abdullah Suriosubroto, Wakidi dan Wahdi Sumanta. Adapun buku portofolio cat air du Chattel ini dipromosikan di mana-mana dan laku keras, sehingga istilah ini lantas populer di kalangan pegiat seni.
Aminuddin juga mencatat, bahwa ada sebuah tulisan penting dari seorang guru bahasa Prancis di Surabaya dan Jakarta bernama Johannes Tielrooy, yang berada di satu lingkaran dengan komite seni rupa Bataviasche Kunstkring, galeri seni di Jakarta yang berpengaruh pada perkembangan seni rupa masa itu. Tulisan itu merupakan debat terbuka kepada pelukis Henry van Velthuysen (yang nanti juga menjadi guru Mochtar Apin) terhadap kecenderungan seni lukis di Batavia yang hanya menggambar pemandangan untuk jual beli. Ia menyebut karya-karya Gerard Pieter Adolfs, W.J.F Imandt, Romualdo Locatelli, dan Ernest Dezentje yang semarak di pasar seni masa itu sebagai “souvenirs van Indië”. Tulisan ini pun diduga menginspirasi S. Sudjojono, yang juga merupakan sekretaris dari Persagi, untuk membuat kritik yang senada dan menggunakan istilah Mooi Indië dengan konotasi pejoratif sebagai seni lukis borjuis untuk dilawan pada tahun 1939.
Tulisan itulah kemudian yang membuat mitos perdebatan sejarah antara Persagi versus Mooi Indië. Menurut Aminuddin, adalah Drs. Sudarmadji dan Kusnadi, yang membuat periodisasi sejarah seni rupa di mana Mooi Indië yang merupakan gejala estetik dikontraskan dengan Persagi, sehingga melanggengkan mitos ini. Namun, “apakah Persagi muncul hanya karena mengkritik Mooi Indië?” tukas Aminuddin.
Dari penelusuran Aminuddin, diketahuilah bahwa Persagi berdiri sederhana, sebagai tempat untuk mengakomodir orang-orang untuk belajar mengenai seni lukis, yang waktu itu, jika memungkinkan, hendak membuat cabang-cabang di tempat lain. Berdiri pada 23 Oktober 1928, di sana terdapat studio dan ceramah rutin yang mengundang tokoh-tokoh seperti Ki Hadjar Dewantara, Sanusi Pane, dan Jeanne Maria Cornelia de Loos-Haaxman, seorang sejarawati seni yang saat itu juga menjabat di Bataviasche Kunstkring untuk penyelenggaraan pameran. Kesederhanaan niat dan keberagamaan penceramah di sana ini yang kemudian menunjukkan bahwa tidak ada diskriminasi tertentu pada masa itu menurut Aminuddin.
Asumsi diskriminasi terhadap pelukis Hindia Belanda seringkali dikaitkan dengan dengan penolakan Bataviasche Kunstkring terhadap proposal pameran Persagi yang diajukan oleh Agus Djaja, ketua Persagi. Aminuddin menjelaskan bahwa penolakan itu lebih kepada persoalan kurasi komite seni rupa mereka yang digawangi oleh Haaxman. Sebagai gambaran, pameran-pameran yang dikelola oleh Haaxman sebelumnya merupakan pameran koleksi pinjaman P. A. Regnault, pemilik pabrik cat P.A.R dan kolektor seni, yang terdiri dari karya-karya Pablo Picasso, Paul Gauguin, Vincent van Gogh, James Ensor, Jan Sluijters, dan Marc Chagall. Tentulah karya-karya ini dianggap sebagai representasi mutakhir dari kemajuan seni modern Eropa. Pameran ini pula yang dulunya menggugah praktik kekaryaan Sudjojono dan kawan-kawannya. Ada praduga bahwa orang Indonesia dilarang masuk Kunstkring pada masa itu. Namun, Aminuddin mengatakan bahwa pameran-pameran ini sesungguhnya terbuka untuk umum, karena jika kita melihat katalog-katalog Kunstkring, mereka mempunyai tiket masuk dan jam buka seperti layaknya museum atau galeri. Dari sini, dapat dibayangkan bagaimana kurasi ketat yang dijaga oleh Haaxman akan standar kualitas karya-karya yang bisa ditampilkan di Bataviasche Kunstkring, yang bahkan jika Perang Dunia II tidak terjadi, galeri ini digadang-gadang menjadi museum seni modern Hindia Belanda.
Bukan berarti tidak ada karya seniman Hindia Belanda yang kemudian bisa dipamerkan di sana. Karya Kinderen met kat oleh S.Sudjojono tercatat sebagai lukisan pertama yang mampu lolos seleksi ini. Lukisan itu menjadi sampul selebaran Indische Bondscollection 1938 yang mengumumkan pameran yang akan diselenggarakan oleh Kunstkring, dan dikurasi oleh Haaxman serta tiga seniman Belanda avant-garde masa itu: Jan Frank, Dolf Breetvelt dan Piet Ouborg. Tembusnya karya Sudjojono inilah kemudian yang membuka pemahaman dan optimisme Persagi bahwa penolakan ini bukanlah persoalan diskriminasi tertentu, apalagi mengingat komentar pahit dari Kunstkring yang tersebar pada saat penolakan proposal itu adalah “bangsa Indonesia lebih cocok jadi petani ketimbang pelukis.”
Momentum selanjutnya setelah penolakan itu ditandai dengan pameran anggota Persagi di Kunstzaal Kolff & Co. yang dianggap sukses dan memuaskan dari surat kabar yang ditelusuri Aminuddin. Dalam pengakuan Sudjojono pun, Haaxman berkali-kali datang dan mengapresiasi pameran mereka. Pameran itu kemudian menjadi pemantik bagi Haaxman untuk kemudian membawa karya-karya Persagi ke Kunstkring pada tahun 1941, beberapa saat sebelum Jepang datang. Aminuddin juga menambahkan bahwa pameran ini dibawa berkeliling ke cabang-cabang Kunstkring di berbagai kota, seperti Cirebon, Tegal, Kediri, Surabaya, dan Malang. Pameran panjang itu sepenuhnya didukung dan dikelola oleh Haaxman dan Kunstkring. Bagi Aminuddin, tur lanjutan pameran Persagi oleh Kunstkring itu setidaknya cukup sebagai bukti ketoleransian lembaga mereka untuk “meredam emosi kita sebagai orang yang nasionalistik.”
Sebelum pameran keliling ini, Aminuddin mengatakan bahwa ada satu pameran yang dapat melumerkan keyakinan kita bahwa Persagi itu nasionalis. Pada tahun 1940, tercatat ada sebuah pameran penggalangan dana berjudul Indische Werkbaar (Hindia Dapat Dipertahankan), di mana karya-karya tersebut akan dijual dan menjadi dana bagi pasukan-pasukan yang bersiap melawan Jepang. S. Sudjojono, Lee Man Fong dan Agus Djaja menjadi peserta Hindia Belanda yang terlibat di pameran itu. Dari sana, Aminuddin mengatakan, “istilah Indonesia di Persagi bisa kita tawar.”
Mitos lain yang dicoba dibongkar oleh Aminuddin adalah mengenai bubarnya Persagi yang belum terlalu banyak dibahas. Beberapa versi yang menyebutkan bahwa Persagi dibubarkan oleh Jepang adalah keliru bagi Aminuddin. Sebagai sebuah organisasi kesenian kecil, Jepang tidak memiliki urusan langsung dengan mereka. Adapun yang menjadi dampak langsung dari pendudukan Jepang adalah organisasi politik. Menurut pengakuan Sudjojono, Persagi “bubar begitu saja”, setelah diminta oleh Soekarno untuk dibekukan dahulu sementara waktu dan bersiap-siap karena Jepang akan masuk. Untuk itu, di sejumlah berita mewartakan bahwa pameran Persagi di 8 Desember 1942 merupakan “pameran Persagi yang terakhir.”
Aminuddin mengatakan bahwa terdapat “dosa” warisan wacana yang digariskan oleh Persagi, terutama S. Sudjojono, yang kemudian menjadi menistakan Mooi Indië. Kesalahan S. Sudjojono yang pertama adalah pemutusan silaturahmi terang-terangan dengan kesenian tradisi. S. Sudjojono tampaknya terinspirasi dari puisi Sutan Takdir Alisjahbana pada tahun 1933 berjudul Di Candi Prambanan. Di puisi itu, Takdir menulis: “… Hatiku tiada rindu kepadamu masa, ketika pendeta meniarap di hadapan Syiwa, ketika jiwa berbakti menjelma candi berarca. Tidak! Tidak! Tidak! […] Dan aku akan melahirkan seni baru, tidak serupa bentuk ini……., abadi selaras dengan gelora sukma dan zamanku.”
Dari penuturan Aminuddin, Sudjojono sepertinya lupa bahwa pemerihalan seni rupa bukanlah persoalan politik, melainkan rupa. Ada warisan imaji gambar dari leluhur yang kemudian tidak selesai di perkembangan lanjutan seni rupa modern Indonesia. Padahal, sepenemuan Aminuddin, kita memiliki warisan trimurti Mooi Indië di relief Candi Prambanan dan tablet di Trowulan, di mana terdapat gambar petani membajak sawah, gunung, sungai dan pohon kelapa, yang bahkan telah ada jauh sebelum Eropa mengalami Renaisans.
Pertanyaan pemancing dari Aminuddin kepada hadirin yang cukup menggelitik adalah: “Bagaimana membuat Mooi Indië dan Persagi jadi persoalan sejarah? Bagaimana warisan piktorial menjadi sejarah? Kalau itu tidak dilakukan, itu hanya jadi sejarah sosial seni, bukan sejarah seni rupa.”
***
Menjadi pengagum S.Sudjojono dan Persagi dengan semangat anti-Baratnya adalah semacam rite of passage/ritual akil balig bagi para seniman, kurator, mahasiswa, mahasiswi dan pemerhati seni rupa Indonesia di mana pun. Sembari ia bertumbuh kembang di medan seni, ia akan mendapati referensi lain, yang bisa menguatkan atau meruntuhkan kekagumannya kepada sang SS101 ini. Webinar ini menjadi salah satu buldozer yang menghamburkan tatanan keyakinan itu lewat pemaparan Dikdik mengenai keberadaan pelukis Mooi Indië dari bangsa selain Belanda dan utamanya, Aminuddin, yang menerabas tonggak kepahlawanan Persagi yang selama ini diusung-usung.
Apabila diumpamakan sebagai sebuah “rehab” pemikiran seni, webinar yang berlangsung selama dua jam tentu tidak bisa menuntaskan pertanyaan-pertanyaan pemirsa yang selama ini telah bertahun-tahun dicandu oleh dongeng-dongeng Persagi serta ke-Eurosentris-an Mooi Indië. Selain kendala teknis dan koneksi di tengah webinar yang mengurangi ketersediaan waktu para penceramah dan hadirin untuk bertanya, artikulasi materi-materi bersejarah dari Dikdik dan Aminuddin yang berlimpah dari segala segi belum bisa memenuhi potensinya untuk dengan khidmat dicerna oleh peserta webinar. Ini bisa menjadi peluang sesi webinar berikutnya untuk melanjutkan elaborasi mengenai Persagi dan pelukis Mooi Indië Jepang, yang mungkin secara spesifik, bisa dirampingkan pada perspektif piktorial alih-alih sejarah sosial-politiknya, sebagaimana yang dipantik oleh Aminuddin.
Alasan kebablasan kita untuk banyak membahas sejarah sosial politik seni rupa dibanding sejarah rupanya bisa jadi terkait dengan alasan kepopuleran Mooi Indië: kita menyukai melodrama, keterpesonaan, kesenduan dan sisi sensasional yang dibawa olehnya. Itu pula mungkin yang menyebabkan penokohan Persagi menjadi begitu heroik oleh beberapa penulis seni rupa. Kita membutuhkan pahlawan di sejarah seni rupa kita, yang serasi dengan perjuangan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Pangeran Diponegoro dan Thomas Matulessy. Kendati seperti itu, mengapa kita memiliki kerikuhan untuk membahas rupa dalam seni rupa? Apakah bahasan itu terlalu kaku, membosankan dan memandekkan diskusi? Apakah bisa bahasan mengenai rupa menghasilkan greget yang sama dengan membaca lika-liku biografi senimannya atau teori sosial-politik yang mengitarinya?
Dalam drama Persagi versus Mooi Indië pun, kita mendapati salah satu pelintiran alur (plot twist) mencengangkan dalam babak sejarah seni rupa kita, yakni lukisan banting setir Sudjojono, Corak Seni Lukis Indonesia Baru, 1986. Lukisan itu jelas-jelas merupakan Mooi Indië dengan penggambaran gunung, sawah dan pohonnya. Dari penjudulan yang dibuat Sudjojono sendiri, hal ini tentu bertolak belakang dengan segala makiannya pada tahun 1939. Mungkinkah kita membahas drama kegemparan ini secara rupa, layaknya penggemar film pahlawan super menganalisa bingkai-bingkai perdetik dari film untuk mencari petunjuk kehadiran penjahat supernya?

S. Sudjojono, Corak Seni Lukis Indonesia Baru, cat minyak di atas kanvas, 100 cm x 150 cm, 1986. Sumber: archive-ivaa.org
Perjalanan pada sesi terakhir webinar Salihara Rupa Bangsa: Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia ini bagi penulis meninggalkan sedimen gagasan mengenai keperluan untuk melihat kesenian tradisi yang ada di Indonesia. Sedimen ini pun tampaknya telah terbawa semenjak sesi pertama, “Melihat Kembali Masa 1950-1970-an: Pasang Naik Perebutan Keindonesiaan” bersama Agus Burhan dan Jean Couteau pada 10 Februari 2021. Persoalan identitas keindonesiaan yang dipaparkan para penceramah pada saat itu telah memberikan jejak-jejak warisan piktorial dari tiap pembabakan dialektika keIndonesiaan. Pembabakan ini dirangkum oleh Agus dari nasionalisme kerakyatan pada tahun 1950-an, kerakyatan revolusioner pada 1960-an, hingga seni rupa lirisisme (humanisme universal) pada 1970-an, serta perubahan dari estetika tradisional, pemodernan bentuk rupa, pemfokusan keeksotisan, simbolisme religius dan ragam modern “tradisi” pada seni lukis Bali oleh Jean. Perendaan diskusi lanjutan dari seri ini mungkin saja menghadirkan pelaku tradisi di berbagai daerah di Indonesia, arkeolog, antropolog, atau etnolog, untuk kemudian dihadapkan dengan pegiat seni rupa modern dan kontemporer. Bagaimanakah pengamat tradisi ini melihat kekontemporeran dan modernitas seni rupa, dan bagaimana pula sebaliknya? Bagaimanakah pendapat arkeolog di Trowulan mengenai lukisan bertrimurti Basoeki Abdullah misalnya? Bagaimana seniman performans kontemporer melihat pertunjukan kuda lumping? Seri webinar berikutnya bisa menjadi arena untuk menantang sesama pegiat seni dan budaya ini untuk saling membaca praktik dan risetnya di luar zona amannya masing-masing.
Gesyada Siregar adalah seorang kurator, penulis dan pengurus kegiatan seni. Ia bekerja sebagai koordinator subyek Artikulasi & Kurasi di Gudskul: Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer, Jakarta. Beberapa pameran yang ia kuratori adalah pameran tunggal Syaiful “Jahipul” Ardianto Corak Klise Bererot (RURU Gallery, 2020), Festival Seni Media Internasional “Instrumenta”: Sandbox & Machine/Magic (Galeri Nasional Indonesia, 2018-2019) dan pameran koleksi Dewan Kesenian Jakarta karya Nashar, Oesman Effendi, Rusli dan Zaini: Lukisan Tanpa Teori (Galeri Cipta III, 2017).
Ia menulis tentang lukisan Cap Go Meh karya S. Sudjojono untuk seri buku Pusaka Seni Rupa Indonesia (Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2017). Ia telah berceramah dan dilibatkan di berbagai bincang publik seperti Simposium Equator Biennale Jogja (2016), Art Jakarta (2019), serta di Art Gallery of York University (Toronto, 2019), Monash University (Melbourne, 2020), dan Festival sur le Niger (Ségou, 2021).