“I swallowed an iron moon
they called it a screw
I swallowed industrial wastewater and unemployment forms
bent over machines, our youth died young
I swallowed labour, I swallowed poverty
swallowed pedestrian bridges, swallowed this rusted-out life
I can’t swallow any more
everything I’ve swallowed roils up in my throat
I spread across my country
a poem of shame”
–19 Desember 2013
Sebuah penggalan puisi karya Xu Lizhi yang diterjemahkan oleh Eleanor Goodman dalam artikelnya di clb.org yang juga organisasi gerakan buruh yang mendukung kesejahteraan pekerja di Tiongkok. Puisi di atas berjudul I Swallowed a Moon Made of Iron, judul yang sama dengan judul pertunjukan musik dan teater karya Njo Kong Kie di Teater Salihara, 17 Maret mendatang. Njo Kong Kie banyak memasukkan elemen-elemen di dalam puisi Xu Lizhi ke dalam karyanya, hingga menjadi sumber inspirasinya dalam pembuatan konser musik dan teater dalam tur Asia Tenggaranya yang diselenggarakan di Singapura, Indonesia, Thailand, dan Malaysia.
Siapa Xu Lizhi?
September 2014, Xu Lizhi memutuskan untuk mengakhiri hidupnya pada usia 24 tahun, ia meninggalkan sekitar 200 puisi yang tidak terpublikasikan. Saat itu ia bekerja sebagai salah satu buruh di Foxconn, sebuah perusahaan manufaktur yang menghasilkan berbagai perangkat elektronik untuk pembuatan telepon genggam, laptop, dan perangkat digital lainnya. Ratusan puisi yang ia tinggalkan menarasikan kehidupannya sebagai seorang buruh pabrik migran yang dipenuhi oleh rasa sengsara, putus asa, dan rasa kecewa. Tidak hanya menceritakan pengalaman pribadinya, puisi Xu juga menarasikan kehidupan umum para buruh di sana.
Pascakematiannya, puisi dan karya (esai, ulasan film, dan tulisan opini) yang ia tinggalkan menjangkau lebih banyak orang bahkan hingga tingkat mancanegara; memantik berbagai serikat ketenagakerjaan untuk menyuarakan kesejahteraan para pekerja.
Xu lahir di Guangdong, Tiongkok pada 18 Juli, 1990 dari keluarga seorang petani. Ia merupakan bungsu dari tiga bersaudara. Orang tuanya tidak bisa membaca, bahkan tidak ada perpustakaan maupun toko buku di tempat ia tinggal, Xu sendiri juga merasa tidak cocok untuk pekerjaan petani dan mendambakan untuk bisa masuk universitas demi meningkatkan taraf hidupnya. Namun sayang, nasib mujur tidak berpihak pada dirinya. Xu gagal masuk ujian universitas dan dibujuk oleh kedua kakaknya untuk pergi ke kota Shenzhen, setidaknya di sana mereka berpikir Xu akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Xu memulai karirnya di Shenzhen pada 2011. Shenzhen yang dulunya merupakan sebuah desa nelayan kini berubah menjadi kota industri dengan potensi yang menjanjikan akibat pertumbuhan ekonomi yang melaju pesat di wilayah tersebut. Selain menjalani kehidupan sebagai buruh yang bekerja di pabrik dengan lingkungan kerja ekstrim, Xu menemukan ketenangan batin lewat tulisan. Tulisan-tulisan awal Xu terfokus kepada observasinya atas kehidupan para pekerja migran di Foxconn, menggambarkan kehidupan brutal di sana namun dibalut dengan pemilihan diksi dan kata yang begitu indah seperti penggalan puisinya berikut ini yang berjudul “Kuburan Terakhir” atau “The Last Graveyard”:
“Output weighs down their age, pain works overtime day and night
Usia mereka berkurang akibat bekerja siang dan malam
In their lives, dizziness before their time is latent
Dalam hidup mereka, sakit kepala bisa terjadi kapan saja
The jig forces the skin to peel
kulit mereka terkelupas oleh mesin-mesin yang bergerak
And while it’s at it, plates on a layer of aluminum alloy
dan tergantikan oleh lembaran logam alumunium
Some still endure, while others are taken by illness
Beberapa bertahan, namun sisanya tumbang oleh penyakit
I am dozing between them, guarding
Saya berbaring di antara mereka, menjaga
The last graveyard of our youth.
Kuburan anak-anak muda kita.”
— 21 December 2011 (Diterjemahkan oleh libcon.org)
Puisi dan Upayanya Mencapai Hidup yang Sejahtera
Xu Lizhi bertahan dalam kondisi hidup yang penuh tekanan di balik tembok-tembok pabrik manufaktur selama 3,5 tahun. Dunia yang Xu tinggali tidak mudah, dilansir dari artikel yang diterbitkan oleh time.com di tempat Xu bekerja sudah ada 17 percobaan bunuh diri dengan 14 yang meninggal pada 2010; satu tahun sebelum Xu bergabung. Alasan kematian mereka tidak terdefinisikan dengan jelas akibat ketatnya keamanan dan kerahasiaan perusahaan. Serikat pekerja lokal mengatakan alasan adanya “badai” bunuh diri tersebut disebabkan oleh jam kerja yang panjang, bayaran yang tidak sesuai, dan pola kerja yang monoton. Untuk bisa bertahan dari situasi yang seperti itu, satu-satunya pelarian yang Xu Lizhi lakukan adalah dengan menulis puisi.
Puisi yang ia terbitkan di berbagai media, baik media lokal maupun platform daring dan berteman dengan sesama penulis di wilayahnya. Saat libur, Xu terkadang mengambil rute bus menuju kota di Guangzhou untuk mengikuti seminar atau pertemuan luring dengan sesama rekan penulis lainnya dan kembali lagi menuju Shenzhen setelahnya. Sepanjang 3,5 tahun karirnya Xu merasa hidupnya bukan untuk menjadi buruh, ia ingin menjadi penulis. Berkali-kali ia mencoba melamar di toko buku, atau penerbit setempat namun tidak berhasil sehingga ia masih harus bertahan di balik tembok-tembok pabrik sebagai seorang buruh elektronik.
Juni 2013, ia sempat menulis sebuah puisi tentang kakeknya yang tewas dibunuh oleh tentara Jepang di usia ke 23. Pada saat itu, Xu pun juga berusia 23 dan mengaitkan banyak kesamaan antara dia dengan kakeknya mulai dari ekspresi muka, hobi, temperamen, dan segala hal yang berkaitan lainnya. Apakah dia akan bernasib sama seperti kakeknya, yakni meninggal di usia yang muda? Tulisan ini ia tulis dalam puisi yang berjudul “A Kind of Prophecy” atau “Sebuah Ramalan”.
Awal tahun 2014 Xu sebenarnya sempat mengundurkan diri dari Foxconn dan hijrah menuju Suzhou, sebuah kota yang tidak jauh dari Shanghai untuk menemui pacarnya dan memulai hidup baru. Tidak ada keluarga maupun temannya yang diberitahu tentang hal ini. Namun tetapi, kehidupannya dengan kekasihnya tersebut terlihat tidak berjalan baik, begitu pula dengan karir baru yang ia cari. Karena pada September 2014 ia kembali menandatangani kontrak dengan Foxconn untuk kembali menjadi buruh. Dua hari setelah menandatangani kontrak tersebut yakni 30 September 2014, ia melompat dari lantai 17 sebuah pusat perbelanjaan dan meninggalkan puisi terakhirnya yang direncanakan rilis pada 1 Oktober 2014 dengan judul “A New Day” atau “Awal yang Baru”.
Selepas kematiannya, Karya Xu Lizhi menggema ke berbagai portal-portal berita asing dan menjadi inspirasi bagi para penyair-penyair muda di Tiongkok dari kalangan buruh/pekerja. Kehidupannya pun diangkat menjadi sebuah film dokumenter oleh penyair Tiongkok; Qin Xiaoyu. Karya Xu yang lugas namun puitis dan imajinatif dapat memberikan gambaran yang begitu nyata akan kehidupan mereka yang tersembunyi dan mungkin terlupakan.