Menilik Kartono Yudhokusumo: Gaya dan Cerita

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

“Saya tidak pernah kecewa karena saya tidak pernah mengharapkan apa pun.” 

Itulah sepenggal kalimat Kartono Yudhokusumo, seorang pelukis modern yang bakatnya sudah diakui sejak usia muda. Terbukti dalam pemberitaan harian Jawa Nippo (sebuah harian Jepang) pada 13 Agustus 1934, pelukis Jepang; Chiyoji Yazaki mengakui bakat seorang laki-laki dari Jawa berusia kira-kira 10 tahun yang diharapkan akan memiliki masa depan yang baik. Chiyoji Yazaki merupakan guru dari Kartono Yudhokusumo yang karya-karyanya bisa dilihat di Galeri Salihara hingga 21 Januari 2024 mendatang.

Dalam rangka mengapresiasi karya dan Kartono secara ketokohan, Komunitas Salihara menggelar sebuah pameran karya dan arsip dengan tajuk Kartono Yudhokusumo: Karya dan Arsip yang dikuratori oleh Amir Sidharta dan Asikin Hasan. Untuk mengenal sosok maestro seni rupa Indonesia tersebut, sebuah diskusi pun diadakan di Studio Musik Salihara pada 13 Desember lalu, menghadirkan Danuh Tyas Pradipta (Penulis dan Peneliti) dan Sally Texania (Seniman dan Kurator) yang membahas Kartono Yudhokusumo dari sisi kesejarahan hingga gaya lukisannya.

 

Kartono dan Linimasa Hidupnya

Diskusi dibuka oleh Danuh Tyas Pradipta yang banyak mengambil referensi dari penelitiannya yang ia tulis dalam Pusaka Seni Rupa pada 2017. Dalam temuannya, Kartono merupakan sosok yang sulit ditelusuri akibat minimnya referensi serta koleksi karyanya yang terbatas; walau dalam pandangan Danuh, Kartono adalah sosok yang menarik meski tak sepopuler S. Sudjojono dan Affandi (pelukis modern sezaman). Meski jarang disebut, kemampuan melukis Kartono dipuji sangat tinggi oleh S. Sudjojono yang juga merupakan gurunya sendiri,

“Meskipun Kartono tetap tinggal dalam bentuk biasa dalam gambar-gambarnya, tetapi anak yang baru berumur 19 tahun ini sudah gatal tangannya mulai mengubah warna-warna alam dengan kehebatan rasa ciptanya. Dengan warna, dia mulai terasa getar rasa cipta yang benar meskipun bentuk tetap konsekuen dihormatinya.” petikan S. Sudjojono ini yang dikutip oleh Danuh dalam paparannya mengenai bakat Kartono.

Paparan Danuh fokus terhadap sejarah Kartono secara kronologis. Dimulai dari pujian-pujian para seniornya tentang bakat sang pelukis di usia muda, hingga bagaimana Kartono hidup dengan menjual sketsa di Solo sebagai mata pencaharian. Pada 1952, Kartono pindah ke Bandung dan di tahun inilah Kartono menemukan gaya lukis dekoratifnya. Kartono juga mendapat hibah dari pemerintah sehingga ia dapat mendirikan sanggar seniman di sana.

Selama di Bandung, Kartono dianggap sebagai satu-satunya seniman yang berhasil di era tersebut (1954) dan menjadikan pusat kesenian Bandung bukan berasal dari Akademi Seni Rupa Bandung saja melainkan ada juga yang dari sanggar yang Kartono dirikan. 

Kekaryaan Kartono begitu singkat, ia meninggal di usia yang terbilang muda (33 tahun) akibat kecelakaan motor. Ia memang terkenal dengan motor Harley andalannya dan kerap merekam perjalanannya lewat lukisan yang ia ciptakan. Kusnadi–salah satu pelukis sezaman–mengatakan lukisan Kartono bukan sekadar alam tapi juga menceritakan kehidupan pribadinya di dalam lukisan tersebut. 

Danuh, di akhir paparan menyimpulkan mengapa Kartono sebagai pelukis yang menerima banyak pujian tersebut bisa tidak terkenal terletak dalam pribadi Kartono itu sendiri. Sebagai pelukis dia adalah orang yang low profile, tidak pernah diwawancara, dan tidak menulis sehingga mencari catatan lengkap mengenai dirinya begitu sulit di masa sekarang.

 

Melihat Barat Melalui Timur 

Diskusi beralih ke pemaparan Sally Texania yang ingin membahas hipotesis mengenai gaya Kartono yang (diduga) mengadaptasi gaya lukisan Barat yang diterjemahkan kembali oleh seniman-seniman Timur (Jepang). Sally membuka diskusi dengan menampilkan karya Kartono pada 1934 dengan judul Pemandangan.

Kartono Yudhokusumo, “Pemandangan”, 1934.

 

Lewat lukisan ini Sally berimajinasi terhadap perkembangan seni rupa di zaman tersebut. Ia menarik dari sejarah perkembangan seni rupa Jepang yang saat itu mengalami transfer budaya besar pada masa restorasi Meiji. Pengaruh Barat ini dibawa oleh guru-guru lukis Jepang yang belajar di Barat. Salah satu yang memopulerkan gaya Barat di Jepang adalah pelukis bernama Kuroda Seiki dengan gaya plein airism; yakni sebuah pendekatan lukis di ruang terbuka dan terpengaruh oleh impresionisme Prancis. Kuroda sendiri merupakan guru dari C. Yazaki yang kita tahu merupakan guru gambar dari Kartono Yudhokusumo.

Yazaki mulai melukis di Indonesia pada 1934 dan turut mengajar para pelukis muda Indonesia di sana. Hal ini mengindikasikan bahwa gaya plein airism ini juga sudah masuk di Indonesia di awal 1930-an. Paparan dilanjutkan dengan sebuah foto perbandingan antara lukisan Kartono dan Yazaki yang membuat Sally menduga adanya praktik lukis Kartono terpengaruh oleh gurunya tersebut.

Ada beberapa ciri dalam plein airism yang ditemukan Sally lewat lukisan Kartono yang ia temukan dan kecenderungan tersebut juga ditemukan dalam lukisan C. Yazaki seperti pola menggambar cepat, komposisi warna, dan titik hilang yang sama. Seniman lain yang juga terpengaruh gaya ini adalah Affandi dan Hendra Gunawan di 1941.

Pengaruh Timur yang melihat Barat dalam lukisan Kartono juga terlihat dalam karya-karya potret. Jejak kekaryaannya tidak hanya memberikan praktik dari satu seniman saja, tapi juga melihat berbagai tikungan dari seniman-seniman ternama di masa itu (1930-1940-an). Kartono dan para seniman sezaman memberikan jejak visual serupa mengenai pandangan barat sebagai negara yang pernah menjadi bekas kekuasaan imperialisme Jepang.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter