Menjadi Indonesia: Proyek Kebangsaan yang Tak Pernah Selesai

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Catatan pendek pemikiran Parakitri T. Simbolon.

 

Apa artinya menjadi Indonesia? Pertanyaan ini terdengar sederhana, namun kita masih berhati-hati untuk memberikan jawaban yang pasti. Dalam konteks hari ini, ketika identitas kebangsaan kerap dipertanyakan dan bahkan ditarik-tarik untuk kepentingan politik sesaat, pertanyaan ini kembali penting untuk diajukan. Parakitri T. Simbolon, dalam karyanya Menjadi Indonesia, mengajak kita melihat bahwa Indonesia bukan sesuatu yang “sudah jadi”, melainkan sesuatu yang terus diupayakan. Indonesia adalah sebuah proyek kebangsaan yang dibangun melalui pergulatan ide, bukan sekadar hasil dari geografi atau sejarah politik belaka.

Parakitri T. Simbolon tidak memulai ceritanya dari titik deklaratif seperti Proklamasi 17 Agustus 1945. Ia justru menelusuri proses panjang terbentuknya kesadaran kebangsaan Indonesia, suatu proses yang menurutnya jauh lebih penting daripada sekadar momen-momen monumental. Dalam pandangannya, nasionalisme Indonesia tidak muncul dari kekosongan, melainkan lahir melalui dinamika sosial, budaya, dan intelektual yang terjadi di awal abad ke-20. Ia menunjukkan bahwa menjadi Indonesia adalah sebuah pilihan sadar, bukan sesuatu yang jatuh dari langit atau terbentuk secara otomatis karena adanya penjajahan yang sama. Gagasan bahwa Indonesia adalah sebuah “bangsa yang dibayangkan” bukan hal baru, dan Parakitri T. Simbolon tidak menampik konsep ini yang diperkenalkan oleh Benedict Anderson. Ia melihat bagaimana proses pengimajinasian itu dilakukan secara sadar oleh para intelektual dan pemikir awal bangsa. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan lainnya tidak sekadar menjadi pahlawan, tapi mereka adalah konseptor yang aktif merumuskan dan mempertanyakan: bangsa seperti apa yang ingin kita bangun? Apa artinya merdeka? Apa makna keindonesiaan itu sendiri?

Parakitri T. Simbolon menggali cara pikir para pemimpin bangsa dalam membayangkan Indonesia. Ia mengajak pembaca untuk memahami bahwa “Indonesia” adalah hasil dari kompromi gagasan, perdebatan panjang, dan dialog antara banyak kepala yang berbeda latar. Konsep persatuan, misalnya, bukan lahir dari semangat keseragaman, melainkan dari kesadaran bahwa keberagaman adalah keniscayaan yang harus dirawat. Menjadi Indonesia, bagi Parakitri T. Simbolon, bukan berarti meniadakan perbedaan, tetapi justru mencari titik temu di antara keberagaman itu. Inilah yang membuat konsep kebangsaan Indonesia sangat khas, ia tidak dibangun atas dasar satu ras, satu agama, atau satu bahasa ibu. Indonesia justru berdiri sebagai rumah bersama dari ratusan etnis, bahasa daerah, dan identitas lokal yang berbeda-beda. Dalam semangat itulah Pancasila dirumuskan, bukan sebagai alat pemersatu yang memaksa, melainkan sebagai landasan hidup bersama yang inklusif.

Namun, Parakitri T. Simbolon juga tidak romantis. Ia menyadari bahwa proyek kebangsaan ini selalu berada dalam ancaman: dari eksklusivisme identitas, dari pemusatan kekuasaan, hingga dari erosi nilai-nilai kebangsaan itu sendiri. Dalam narasinya, kita melihat bahwa sejarah Indonesia penuh dengan ketegangan antara cita-cita dan kenyataan. Antara impian kemerdekaan dan praktik kekuasaan. Antara nasionalisme yang mengikat dan politik yang membelah. Justru karena itulah, menjadi Indonesia adalah proses yang tidak pernah selesai. Ia bukan status yang bisa diklaim secara pasif, melainkan proses yang terus diperjuangkan. Setiap generasi punya tugasnya sendiri dalam menjaga dan membentuk ulang keindonesiaan sesuai konteks zamannya. Dalam hal ini, sejarah bukan sekadar pelajaran masa lalu, melainkan ruang refleksi dan orientasi ke masa depan.

Parakitri T. Simbolon menyentuh satu hal yang sangat relevan bagi generasi hari ini: pentingnya keterlibatan dalam percakapan kebangsaan. Ia menyayangkan kecenderungan publik yang melihat sejarah dan nasionalisme sebagai hal yang membosankan, milik masa lalu, atau sekadar jargon politik. Padahal, tanpa pemahaman mendalam tentang proses menjadi Indonesia, kita bisa dengan mudah terjebak pada nasionalisme sempit atau bahkan kehilangan orientasi sebagai bangsa. Salah satu kekuatan buku Menjadi Indonesia adalah kemampuannya menjembatani antara sejarah dan pemikiran.Parakitri T. Simbolon tidak hanya menyajikan kronologi, tetapi juga menafsirkan makna di balik peristiwa. Ia menulis dengan gaya reflektif, kadang filosofis, namun tetap membumi. Pendekatannya mengingatkan kita bahwa sejarah bukan hanya tentang siapa berbuat apa dan kapan, tapi tentang ‘mengapa’ hal itu dilakukan dan ‘bagaimana’ ia membentuk masa depan.

Dalam konteks kekinian, ketika masyarakat Indonesia menghadapi tantangan globalisasi, polarisasi politik, hingga krisis identitas, gagasan Parakitri T. Simbolon terasa sangat relevan. Ia mengingatkan bahwa menjadi Indonesia hari ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana kita membaca dan memahami perjalanan menjadi Indonesia sejak dulu. Menjadi Indonesia berarti memelihara semangat perdebatan, menjaga ruang publik yang sehat, dan merawat semangat kebersamaan tanpa menghapus perbedaan. Parakitri T. Simbolon juga menyiratkan bahwa menjadi Indonesia berarti menjaga akal sehat politik. Nasionalisme yang sehat tidak memusuhi perbedaan, tetapi mengakomodasi dan merayakannya. Ia tidak dibangun atas dasar ketakutan terhadap “yang lain”, tetapi atas keyakinan bahwa kita bisa tumbuh bersama dalam perbedaan. Dalam pandangan ini, nasionalisme bukanlah eksklusivitas, tapi keterbukaan terhadap kompleksitas realitas.

Menjadi Indonesia bukan hanya buku sejarah. Ia adalah undangan untuk berpikir ulang tentang siapa kita sebagai bangsa. Ia adalah ajakan untuk melihat Indonesia bukan sebagai warisan mati, tetapi sebagai warisan hidup yang menuntut partisipasi dan komitmen. Dalam dunia yang terus berubah dan penuh tantangan, kesadaran semacam ini menjadi sangat penting. Kita mungkin tidak pernah bisa sepenuhnya ‘selesai’ menjadi Indonesia. Tapi justru dalam ketidaksempurnaan dan pergulatan itulah, makna keindonesiaan kita terus diperbarui. Dan seperti yang diyakini oleh Parakitri T. Simbolon, menjadi Indonesia adalah kerja sejarah yang dilakukan terus-menerus, oleh kita semua.

“Menjadi Indonesia” adalah tajuk LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2025 yang akan berlangsung pada 08 hingga 16 Agustus mendatang. LIFEs kali ini akan mengajak publik untuk menelusuri karya-karya dari klasik sampai terkini, dalam diskusi maupun pentas inovatif, yang membincangkan apa itu menjadi sebuah bangsa. Informasi selengkapnya dapat dilihat melalui lifes.salihara.org

 

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter