jb2023

MENYAMBUT LIFEs 2023: Frankofon
UNDANGAN TERBUKA PENULISAN MAKALAH “PRANCIS DAN FRANKOFON DALAM SASTRA DAN GAGASAN”

Pendaftaran: 20 Maret-08 Mei 2023

 

Jakarta, 21 Maret 2023 – Sastra dan gagasan dari negara maupun bahasa Prancis telah meluas ke wilayah-wilayah lain dunia. Melalui kolonialisme, bahasa Prancis kini digunakan di negeri-negeri yang digolongkan sebagai Frankofon (di mana bahasa Prancis digunakan). 

Jika kesusastraan Prancis lebih mencerminkan dinamika kehidupan khas Prancis dan Eropa, kesusastraan Frankofon adalah sebuah ruang besar yang menggambarkan kompleksitas identitas, keragaman budaya, isu-isu sosial, gender, ras, dan agama dalam konteks poskolonial, yang membentang dari tanah Afrika, negara-negara Maghribi, Timur Tengah, Asia Tenggara, hingga Kanada dan Karibia. Selain itu, Prancis juga memiliki jejak sejarah dan hubungan tersendiri dengan Indonesia.

Komunitas Salihara dan Program Studi Prancis Universitas Indonesia menyelenggarakan Seminar Sastra dan Gagasan Prancis dan Frankofoni dalam Literature & Ideas Festival Salihara (LIFEs) 2023. LIFEs sendiri merupakan program dua tahunan yang menghadirkan rangkaian kegiatan seperti ceramah, seminar dan diskusi, pameran, kompetisi, serta pertunjukan artistik yang dikemas ke dalam rangkaian program satu pekan. 

Untuk meramaikan pekan sastra dan gagasan tersebut, kami mengundang akademisi, peneliti, mahasiswa, dan masyarakat umum pecinta sastra dan gagasan untuk turut berpartisipasi dalam seminar yang berjudul:

“Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan: Ruang Pertemuan Budaya, Identitas, dan Kritik Sosial”

Kami mengundang partisipan untuk membuat makalah presentasi mengenai kesusastraan atau pemikiran dari Prancis dan negara-negara Frankofoni. Berikut adalah beberapa subtema atau perspektif untuk panduan pembuatan makalah:

  • Kritik Poskolonialisme
  • Konflik Identitas dan Kritik Sosial
  • Tantangan Multikulturalisme 
  • Gender dan Budaya Patriakal
  • Tubuh dan Perlawanan Perempuan
  • Hubungan Indonesia dan Prancis
  • Pemikiran tentang seni dan estetika mutakhir

Undangan terbuka ini ditujukan untuk seluruh peserta baik WNI/Asing yang ingin terlibat. Makalah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dengan kaidah penulisan yang baik dan benar. Makalah yang dikirimkan harus memuat 4.000-7.000 kata Ms-Word sudah termasuk judul, abstrak, dan isi. Calon peserta juga wajib melampirkan biodata pendek dan Surat Pernyataan Bebas Plagiarisme (materai 10.000) yang dilampirkan di lembar terpisah. 

Pengumpulan makalah akan berlangsung dari 20 Maret hingga 08 Mei 2023 dan dikirim ke alamat surat opencall@salihara.org. Delapan makalah terpilih nantinya akan diperesentasikan oleh pemakalah dalam program Seminar Prancis & Frankofon LIFEs di bulan Agustus 2023. Tiap pemakalah yang terpilih akan mendapatkan biaya presentasi sebesar Rp1.500.000,-. Detail dan keterangan lebih lengkap mengenai undangan terbuka ini dapat dilihat di .

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

monamur

Undangan Menulis Seminar LIFEs 2023

Sastra dan gagasan dari negeri maupun bahasa Prancis telah meluas ke wilayah-wilayah lain dunia. Melalui kolonialisme—dengan segala ironi dan paradoksnya—bahasa Prancis kini digunakan di negeri-negeri yang digolongkan sebagai Frankofon (di mana bahasa Prancis digunakan).  Jika kesusastraan Prancis lebih mencerminkan dinamika kehidupan khas Prancis dan Eropa, kesusastraan Frankofon adalah sebuah ruang besar yang menggambarkan kompleksitas identitas, keragaman budaya, isu-isu sosial, gender, ras, dan agama dalam konteks poskolonial, yang membentang dari tanah Afrika, negara-negara Maghribi, Timur Tengah, Asia Tenggara, hingga Kanada dan Karibia. Selain itu, Prancis juga memiliki jejak sejarah dan hubungan tersendiri dengan Indonesia. Komunitas Salihara dan Program Studi Prancis Universitas Indonesia menyelenggarakan Seminar Sastra dan Gagasan Prancis dan Frankofoni dalam Literature & Ideas Festival Salihara 2023. Kami mengundang akademisi, peneliti, mahasiswa, dan masyarakat umum pecinta sastra dan gagasan untuk turut berpartisipasi dalam seminar yang berjudul: “Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan: Ruang Pertemuan Budaya, Identitas, dan Kritik Sosial” Kami mengundang partisipan untuk membuat makalah presentasi mengenai kesusasteraan atau pemikiran dari Prancis, Frankofoni, dan sumbangannya bagi dunia dan Indonesia. Berikut adalah beberapa subtema atau perspektif untuk panduan pembuatan makalah:
  • Kritik Poskolonialisme
  • Konflik Identitas dan Kritik Sosial
  • Tantangan Multikulturalisme
  • Gender dan Budaya Patriarki
  • Tubuh dan Perlawanan Perempuan
  • Hubungan Indonesia dan Prancis
  • Pemikiran tentang seni dan estetika mutakhir

Jadwal

  • Pendaftaran: 21 Maret-31 Mei 2023;
  • Seleksi: Juni 2023;
  • Pengumuman:12 Juni 2023;
  • Presentasi makalah terpilih: 15-18 Agustus 2023 di Komunitas Salihara.

Syarat dan Ketentuan

  • Makalah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris;
  • Makalah berisi judul, abstrak, dan isi (4.000-7.000 kata, MS-Word);
  • Mencantumkan daftar kepustakaan;
  • Melampirkan biodata pendek (lembar terpisah);
  • Melampirkan surat pernyataan bebas plagiarisme dengan mencantumkan materai 10.000;
  • Pengiriman makalah ke alamat surel: opencall@salihara.org

Teknis Penilaian

  • Tim kuratorial seminar akan memilih paling banyak 8 makalah; 
  • Pemakalah terpilih wajib mempresentasikan makalah dalam program Seminar Prancis & Frankofon LIFEs pada Agustus 2023 di Komunitas Salihara; 
  • Pemakalah terpilih akan mendapat biaya presentasi sebesar Rp1.500.000;
  • Untuk pemakalah dari luar kota, kami tidak menanggung akomodasi dan transportasi kedatangan.
Sekilas Kisah Erotis dan Penulis Prancis

Sekilas Kisah Erotis dan Penulis Prancis

Sastra juga tak bisa berjarak dengan cerita-cerita yang memiliki tempat tersendiri pada adegan seks atau kita seringkali mengaitkannya dengan istilah erotika. Cerita-cerita yang memuat adegan seks ini tak hanya dituliskan begitu saja tanpa eksperimen estetika di dalamnya. 

Di Indonesia menyebut sastra erotika, kita tak asing dengan tulisan-tulisan penulis yang memakai nama Enny Arrow–meski kita tak pernah yakin siapa sebetulnya sosok Enny Arrow ini. Tulisan-tulisan erotis Enny Arrow yang hadir pada 1980-an diedarkan dalam bentuk buku tipis dengan gambar sampul yang tak jarang menampilkan tubuh perempuan. Narasi yang ditulis Enny Arrow lebih banyak berpusat pada adegan persetubuhan yang dituliskan cukup detail. Kita bisa melihatnya dari potongan cerita berjudul Sepanas Bara:

“…sensasi nikmat teramat sangat saat kepala rudalnya menyerodok masuk ke dalam lubang sempit..”

Jika di Indonesia sastra erotis sering dikaitkan dengan tulisan Enny Arrow, dalam sastra Prancis juga ada penulis erotika, di antaranya adalah Colette, Marguerite Duras, Annie Ernaux, Anne Desclos, dan Anaïs Nin. Prancis menjadi salah satu negara dengan karya sastra erotis yang tak hanya ditulis oleh laki-laki, tapi juga penulis perempuan. Dengan menuangkan pengalaman seksual dari tubuh perempuan, penulis-penulis perempuan Prancis tersebut mampu bereksperimen dengan diksi dan estetika seru untuk diikuti pembaca. Salah satunya muncul pada karya Anaïs Nin, seorang penulis perempuan yang lahir di Prancis. Tulisan-tulisannya berupa cerita pendek dan novel berisi catatan-catatan harian. Baginya, menulis karya sastra dalam bentuk catatan harian adalah upaya untuk pembebasan diri, keluar dari sistem-sistem yang mengikat tiap individu. 

Dalam salah satu bukunya bertajuk  Les Petits Oiseaux (Little Birds) berisi 13 cerita pendek, ia menyajikan kisah-kisah erotis dengan tokoh beragam. Ia mampu menciptakan tokoh-tokoh dengan beragam latar belakang. Anaïs Nin tidaklah menuliskan cerita dengan adegan erotis persetubuhan seperti Enny Arrow, ia juga menggambarkan bagaimana kehidupan orang-orang dari beraneka kelas dan status sosial. 

Usaha untuk membebaskan diri dari segala kungkungan sistem seperti digambarkan Anaïs Nin dalam salah satu cerpennya berjudul Runaway. Cerpen ini berkisah tentang seorang perempuan yang melarikan diri dari rumahnya dan tinggal bersama temannya. Perkenalan pada seorang tokoh laki-laki membawanya pada kebebasan hasrat bercinta. Bahwa kebebasan juga berhak didapatkan dalam aktivitas persetubuhan. 

Dalam salah satu cerpennya berjudul Chanchiquito, Anaïs Nin berkisah tentang seorang perempuan yang mengingat masa kecilnya. Tokoh perempuan ini mengingat tentang lubang di antara kedua kakinya yang diendus oleh seekor anjing dan ia pun merasakan sensasi aneh sekaligus menyenangkan dalam dirinya. Ingatan ini muncul ketika ia tengah menjadi model lukisan seorang seniman dan ia melihat lukisan di dinding yang mengabadikan adegan perempuan dengan anjing-anjingnya.  

Masih banyak cerita-cerita erotis sekaligus menarik yang tidak hanya memperlihatkan unsur kecabulan ditulis oleh Anaïs Nin. Tulisan-tulisan Anaïs Nin menunjukkan bahwa penulis perempuan tidak hanya sekadar menulis persoalan pengalaman pribadi, namun ia mengolahnya, menjelmanya menjadi eksperimen sastra yang patut diakui kemahirannya. 

Seperti apa karya-karya Anaïs Nin lainnya? Adakah tulisan-tulisannya berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Prancis hari ini? Dan seperti apa karya penulis perempuan Prancis lainnya yang juga menciptakan sastra erotis? Mari temukan jawaban-jawaban pertanyaan ini melalui LIFEs 2023 yang mengusung tema Frankofon. Tema ini hendak meneroka karya-karya sastra dan pemikiran dari negara-negara penutur bahasa Prancis. LIFEs akan berlangsung pada 05-13 Agustus 2023, sampai jumpa pada LIFEs mon Amour!

 

Sumber Bacaan:

Little Birds karya Anaïs Nin, cetakan pertama Pocket Books, 1990. 
Sepanas Bara karya Enny Arrow, tahun tak diketahui. 
Tulisan Erotika (di) Indonesia: Sedikit Catatan karya Goenawan Mohamad, 2022.

suket

Bandung Bondowoso dan Kisah yang Berputar

Ditulis oleh Telaga Kasih

 

Di dalam ruang galeri dengan tembok cekung seperti dalam tabung, penonton duduk berlesehan. Layar berukuran 1 x 1.5 meter dengan cahaya temaram ada di depan mereka. Jerami disebar di depan penonton untuk memberi jarak pandang pada layar. Layar ini bukan televisi, bukan juga layar yang memancarkan film dalam bioskop, ia semacam kelir atau kain putih yang biasa digunakan dalam pertunjukan wayang dan bayangan. Selama kurang lebih 60 menit, kita diajak berpetualang dalam lakon Bandung Bondowoso versi wayang suket. Pertunjukan wayang suket ini ditampilkan oleh komunitas Wayang Suket Indonesia, sebuah kelompok kesenian yang berusaha melestarikan kesenian wayang suket. Suket atau rumput di sini adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat wayang. Kelompok teater objek ini juga sekaligus mengenalkan jenis wayang selain wayang kulit, wayang golek, dan wayang beber. 

Pertunjukan wayang suket ini hadir dengan nuansa riang dan penuh semangat yang dibawakan oleh dalang. Berbeda dengan pertunjukan wayang kulit yang lengkap dengan seperangkat musisi karawitan, wayang suket ini hadir dengan perpaduan instrumen musik yang modern seperti gitar dan ukulele, namun tetap tidak meninggalkan instrumen kendang dan suara merdu seorang sinden. Wayang suket yang dihadirkan juga tak hanya yang berukuran kecil, tapi juga berukuran orang dewasa yang dimainkan oleh sepasang penari. Dua wayang suket raksasa ini menampilkan tokoh Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang, dua tokoh sentral dalam kisah ini. 

Pada umumnya kita mengenal kisah Bandung Bondowoso berkaitan dengan legenda berdirinya Candi Prambanan—meski kita tak pernah tahu siapa yang pertama kali menyiarkan dongeng ini. Kisah Bandung Bondowoso sebetulnya adalah salah satu cerita rakyat yang kemudian menjadi “sejarah yang lain” dari pembangunan sebuah situs sejarah. Sedikit menyinggung sejarah Candi Prambanan, candi ini termasuk dalam kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia. Berdirinya Candi Prambanan berawal pada abad ke-9 masehi yang dimulai dari Raja Rakai Pikatan pada masa kerajaan Medang Mataram. Pembuatannya dipercaya sebagai bentuk persembahan pada tiga dewa utama Hindu atau Trimurti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Salah satu arca dewi perempuan yang adalah arca Durga Mahisasuramardini kemudian dipercaya sebagai arca Roro Jonggrang, seorang perempuan yang dikutuk oleh Bandung Bondowoso untuk melengkapi candi ke-1000. 

Kisah yang dituturkan Wayang Suket Indonesia berupaya menciptakan tokoh Bandung Bondowoso sebagai sosok laki-laki ksatria yang baik hati dan berjiwa pahlawan. Kelompok ini percaya bahwa kisah Bandung Bondowoso di luar sana atau yang kerap diceritakan adalah karakter yang jahat, kejam, suka membunuh, dan kemudian mengutuk seorang putri dari raja yang ia kalahkan. Pada pertunjukan ini kisah tersebut memiliki tawaran penokohan yang baru atau sama sekali lain dengan apa yang dikenal oleh masyarakat saat ini. Bisa dikatakan Wayang Suket Indonesia mencoba mendekonstruksi kisah Bandung Bondowoso. 

 

Upaya Dekonstruksi Bandung Bondowoso

Kisah dimulai dengan tokoh utama, Bandung Bondowoso ksatria Kerajaan Pengging, diberi tugas untuk melakukan perjalanan sekaligus mengajak Raja Kerajaan Prambanan bersekutu. Permintaan ini ditolak oleh Raja Prambanan (Prabu Boko) dan berakhir dengan peperangan. Perang ini disulut oleh Raja Prambanan yang tidak ingin diajak bekerjasama dan merasa dianggap remeh oleh Kerajaan Pengging. Dengan kalahnya Raja Prambanan yang berakhir dengan kematian Sang Raja, Bandung Bondowoso pun diberi wewenang untuk memimpin kerajaan tersebut—sebuah struktur klasik dari perebutan wilayah melalui peperangan. Kerajaan Prambanan makin makmur di bawah pemerintahan Bandung Bondowoso, hingga ia sadar pada kecantikan Roro Jonggrang—anak Raja Prambanan yang dikalahkan Bandung Bondowoso. Roro Jonggrang dilamar, lamaran Bandung Bondowoso tak bisa ditolak—tentu tak ada yang boleh menolak keinginan Sang Raja. Namun kesedihan mendalam masih melekat pada diri Roro Jonggrang, hingga ia pun menyusun taktik. Ia memberi syarat dibuatkan 1000 candi dalam waktu semalam. Syarat itu disetujui oleh Bandung Bondowoso. Suasana pertunjukan wayang dibuat makin tegang ketika Roro Jonggrang sadar bahwa candi akan segera selesai dan hari belum juga muncul fajar. Siasat ke-2 digunakan, Roro Jonggrang mengutus para dayang untuk menciptakan pagi buatan. Suara ayam, suara lesung, langit yang memancar warna merah fajar dari jerami yang dibakar menciptakan suasana yang seolah-olah pagi. Bandung Bondowoso bekerja dibantu oleh para prajurit jinnya, para jin pontang-panting takut pagi. Para jin meninggalkan tugas mereka dan menyisakan Bandung Bondowoso yang terus membangun candi sendirian. Roro Jonggrang menyaksikannya, ia dengan berani mengatakan bahwa candi tak genap 1000. Segala ucapan serapah keluar dari tokoh Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso dianggap sebagai laki-laki yang gemar melanggar janji. Hati Bandung Bondowoso sakit dan diceritakan Sang Dewa turut tidak terima kemudian mengutuk Roro Jonggrang jadi arca candi ke-1000. Bandung Bondowoso menangis, menyesal atas sakit hatinya dan membuat upacara persembahan pada arca Roro Jonggrang. Pertunjukan ini ditutup dengan nasehat yang baik agar sesama manusia tidak saling membenci dan memberi harapan palsu. 

Sekilas kita memang disuguhkan dengan karakter Bandung Bondowoso yang baik hati, ksatria yang tak pernah melanggar janji. Tapi jika benar kisah ini hendak didekonstruksi, dikisahkan kembali dengan gagasan yang sama sekali baru tapi kisah yang diciptakan dalam pertunjukan ini cenderung sama atau masih pengulangan dengan cerita yang ada. Ada unsur ketidakterimaan tentang “perempuan yang selalu ditindas dalam dongeng” yang kemudian dipatahkan dengan karakter baik hati seorang laki-laki. Tak bisa dihindari bahwa Roro Jonggrang tetap menjadi korban, ia korban dari perihal perputaran politik sebuah negara. Korban dari kesewenangan pimpinan negara demi meluaskan kekuasaannya. Secara emosional, siapa yang tidak sedih jika ayah kandung dibunuh dan si pembunuh justru menikahi anaknya? 

Barangkali akan lain kisahnya jika Bandung Bondowoso menolak permintaan Raja Pengging dan tidak terlibat perseteruan dengan Raja Prambanan. Akan lain kisahnya apabila Bandung Bondowoso bertemu lebih dulu dengan Roro Jonggrang dan membuat negosiasi yang lebih “halus” dengan Kerajaan Prambanan. Akan lain pula kisahnya apabila Roro Jonggrang turun di medan perang melawan Bandung Bondowoso. Atau kisah lain yang lebih mengorek luka diri Bandung Bondowoso setelah berhasil mengalahkan Raja Prambanan, apakah ia puas? Apakah ia betul-betul tak sadar bahwa Roro Jonggrang adalah anak Raja Prambanan? Apakah sampai hati Bandung Bondowoso menikahi anak dari mungsuh yang dibunuhnya sendiri? Penelusuran pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi akan membawa legenda Bandung Bondowoso pada kisah yang tak hanya berputar pada persoalan baik dan buruk. 

 

Upaya Pelestarian Budaya

Pertunjukan Bandung Bondowoso ala Wayang Suket Indonesia terasa masih berkutat pada persilangan baik-buruk, hitam-putih, menang-kalah. Namun di luar kisah yang diusung, pertunjukan ini layak untuk disaksikan oleh masyarakat perkotaan—khususnya usai dua tahun pandemi yang menggempur segala bentuk pertunjukan yang bisa disaksikan secara langsung. Wayang Suket Indonesia sangat sadar akan upaya pelestarian budaya yang barangkali jarang tersentuh mayoritas masyarakat perkotaan. Di Jakarta barangkali sangat minim tontonan yang berangkat dari kesenian tradisi namun tetap dikemas dengan segar. Ditambah usaha pengenalan jenis lain dari kesenian wayang di Indonesia yang ternyata sangat kompleks dan luas yang dikemas dalam pertunjukan wayang suket, disampaikan oleh dalang dengan optimis dan apik. Pada era-era yang makin maju ke depan lengkap dengan kompleksitas kemajuan teknologi digital, kesenian tradisi barangkali tak akan segera luntur dan terlupakan apabila kita terus membuka diri dengan kemungkinan yang ada.

swallow

Xu Lizhi dan Kegetiran Buruh dalam Puisi

“I swallowed an iron moon

they called it a screw

I swallowed industrial wastewater and unemployment forms

bent over machines, our youth died young

I swallowed labour, I swallowed poverty

swallowed pedestrian bridges, swallowed this rusted-out life

I can’t swallow any more

everything I’ve swallowed roils up in my throat

I spread across my country

a poem of shame”

19 Desember 2013

Sebuah penggalan puisi karya Xu Lizhi yang diterjemahkan oleh Eleanor Goodman dalam artikelnya di clb.org yang juga organisasi gerakan buruh yang mendukung kesejahteraan pekerja di Tiongkok. Puisi di atas berjudul I Swallowed a Moon Made of Iron, judul yang sama dengan judul pertunjukan musik dan teater karya Njo Kong Kie di Teater Salihara, 17 Maret mendatang. Njo Kong Kie banyak memasukkan elemen-elemen di dalam puisi Xu Lizhi ke dalam karyanya, hingga menjadi sumber inspirasinya dalam pembuatan konser musik dan teater dalam tur Asia Tenggaranya yang diselenggarakan di Singapura, Indonesia, Thailand, dan Malaysia. 

Siapa Xu Lizhi?

September 2014, Xu Lizhi memutuskan untuk mengakhiri hidupnya pada usia 24 tahun, ia meninggalkan sekitar 200 puisi yang tidak terpublikasikan. Saat itu ia bekerja sebagai salah satu buruh di Foxconn, sebuah perusahaan manufaktur yang menghasilkan berbagai perangkat elektronik untuk pembuatan telepon genggam, laptop, dan perangkat digital lainnya. Ratusan puisi yang ia tinggalkan menarasikan kehidupannya sebagai seorang buruh pabrik migran yang dipenuhi oleh rasa sengsara, putus asa, dan rasa kecewa. Tidak hanya menceritakan pengalaman pribadinya, puisi Xu juga menarasikan kehidupan umum para buruh di sana.

Pascakematiannya, puisi dan karya (esai, ulasan film, dan tulisan opini) yang ia tinggalkan menjangkau lebih banyak orang bahkan hingga tingkat mancanegara; memantik berbagai serikat ketenagakerjaan untuk menyuarakan kesejahteraan para pekerja.

Xu lahir di Guangdong, Tiongkok pada 18 Juli, 1990 dari keluarga seorang petani. Ia merupakan bungsu dari tiga bersaudara. Orang tuanya tidak bisa membaca, bahkan tidak ada perpustakaan maupun toko buku di tempat ia tinggal, Xu sendiri juga merasa tidak cocok untuk pekerjaan petani dan mendambakan untuk bisa masuk universitas demi meningkatkan taraf hidupnya. Namun sayang, nasib mujur tidak berpihak pada dirinya. Xu gagal masuk ujian universitas dan dibujuk oleh kedua kakaknya untuk pergi ke kota Shenzhen, setidaknya di sana mereka berpikir Xu akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak. 

Xu memulai karirnya di Shenzhen pada 2011. Shenzhen yang dulunya merupakan sebuah desa nelayan kini berubah menjadi kota industri dengan potensi yang menjanjikan akibat pertumbuhan ekonomi yang melaju pesat di wilayah tersebut. Selain menjalani kehidupan sebagai buruh yang bekerja di pabrik dengan lingkungan kerja ekstrim, Xu menemukan ketenangan batin lewat tulisan. Tulisan-tulisan awal Xu terfokus kepada observasinya atas kehidupan para pekerja migran di Foxconn, menggambarkan kehidupan brutal di sana namun dibalut dengan pemilihan diksi dan kata yang begitu indah seperti penggalan puisinya berikut ini yang berjudul “Kuburan Terakhir” atau “The Last Graveyard”:

 

“Output weighs down their age, pain works overtime day and night

Usia mereka berkurang akibat bekerja siang dan malam

In their lives, dizziness before their time is latent

Dalam hidup mereka, sakit kepala bisa terjadi kapan saja

The jig forces the skin to peel

kulit mereka terkelupas oleh mesin-mesin yang bergerak

And while it’s at it, plates on a layer of aluminum alloy

dan tergantikan oleh lembaran logam alumunium

Some still endure, while others are taken by illness

Beberapa bertahan, namun sisanya tumbang oleh penyakit

I am dozing between them, guarding

Saya berbaring di antara mereka, menjaga

The last graveyard of our youth.

Kuburan anak-anak muda kita.”

— 21 December 2011 (Diterjemahkan oleh libcon.org)

Puisi dan Upayanya Mencapai Hidup yang Sejahtera

Xu Lizhi bertahan dalam kondisi hidup yang penuh tekanan di balik tembok-tembok pabrik manufaktur selama 3,5 tahun. Dunia yang Xu tinggali tidak mudah, dilansir dari artikel yang diterbitkan oleh time.com di tempat Xu bekerja sudah ada 17 percobaan bunuh diri dengan 14 yang meninggal pada 2010; satu tahun sebelum Xu bergabung. Alasan kematian mereka tidak terdefinisikan dengan jelas akibat ketatnya keamanan dan kerahasiaan perusahaan. Serikat pekerja lokal mengatakan alasan adanya “badai” bunuh diri tersebut disebabkan oleh jam kerja yang panjang, bayaran yang tidak sesuai, dan pola kerja yang monoton. Untuk bisa bertahan dari situasi yang seperti itu, satu-satunya pelarian yang  Xu Lizhi lakukan adalah dengan menulis puisi. 

Puisi yang ia terbitkan di berbagai media, baik media lokal maupun platform daring dan berteman dengan sesama penulis di wilayahnya. Saat libur, Xu terkadang mengambil rute bus menuju kota di Guangzhou untuk mengikuti seminar atau pertemuan luring dengan sesama rekan penulis lainnya dan kembali lagi menuju Shenzhen setelahnya. Sepanjang 3,5 tahun karirnya Xu merasa hidupnya bukan untuk menjadi buruh, ia ingin menjadi penulis. Berkali-kali ia mencoba melamar di toko buku, atau penerbit setempat namun tidak berhasil sehingga ia masih harus bertahan di balik tembok-tembok pabrik sebagai seorang buruh elektronik.

Juni 2013, ia sempat menulis sebuah puisi tentang kakeknya yang tewas dibunuh oleh tentara Jepang di usia ke 23. Pada saat itu, Xu pun juga berusia 23 dan mengaitkan banyak kesamaan antara dia dengan kakeknya mulai dari ekspresi muka, hobi, temperamen, dan segala hal yang berkaitan lainnya. Apakah dia akan bernasib sama seperti kakeknya, yakni meninggal di usia yang muda? Tulisan ini ia tulis dalam puisi yang berjudul “A Kind of Prophecy” atau “Sebuah Ramalan”.

Awal tahun 2014 Xu sebenarnya sempat mengundurkan diri dari Foxconn dan hijrah menuju Suzhou, sebuah kota yang tidak jauh dari Shanghai untuk menemui pacarnya dan memulai hidup baru. Tidak ada keluarga maupun temannya yang diberitahu tentang hal ini. Namun tetapi, kehidupannya dengan kekasihnya tersebut terlihat tidak berjalan baik, begitu pula dengan karir baru yang ia cari. Karena pada September 2014 ia kembali menandatangani kontrak dengan Foxconn untuk kembali menjadi buruh. Dua hari setelah menandatangani kontrak tersebut yakni 30 September 2014, ia melompat dari lantai 17 sebuah pusat perbelanjaan dan meninggalkan puisi terakhirnya yang direncanakan rilis pada 1 Oktober 2014 dengan judul “A New Day” atau “Awal yang Baru”.

Selepas kematiannya, Karya Xu Lizhi menggema ke berbagai portal-portal berita asing dan menjadi inspirasi bagi para penyair-penyair muda di Tiongkok dari kalangan buruh/pekerja. Kehidupannya pun diangkat menjadi sebuah film dokumenter oleh penyair Tiongkok; Qin Xiaoyu. Karya Xu yang lugas namun puitis dan imajinatif dapat memberikan gambaran yang begitu nyata akan kehidupan mereka yang tersembunyi dan mungkin terlupakan.

Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2023

Novel memberi kekayaan psikologis dan perspektif untuk memahami persoalan manusia dan dunia. Membaca dan membandingkan novel Indonesia dan Asing juga menambah pengetahuan.  Komunitas Salihara mendorong kreativitas dan intelektualitas generasi muda dengan kembali mengadakan: Membandingkan novel Nyonya Bovary karya Gustave Flaubert (Prancis) dengan Kerudung Merah Kirmizi karya Remy Sylado (Indonesia) dengan acuan berikut: Kedua novel ini memiliki tokoh utama perempuan, dan dikarang oleh pengarang lelaki.  Meskipun ada jarak sekitar 150 tahun—Nyonya Bovary terbit pada 1857 dan Kerudung Merah Kirmizi tahun 2002—masing-masing ditulis dalam suasana kuatnya sensor negara serta masyarakat yang moralistis dan patriarkal. Fokus perbandingan yang diminta adalah: penggarapan atas tokoh utama perempuan dalam hubungan dengan tokoh-tokoh lainnya, serta bagaimana penggarapan itu merupakan kritik atau justru konfirmasi atas nilai-nilai masyarakat zamannya.

Jadwal Kompetisi

  • Pendaftaran: 16 Maret–17 Agustus 2023
  • Tenggat pengumpulan makalah: 17 Agustus–04 September 2023 (tanggal kirim surat elektronik);
  • Penjurian tahap 1: 05-27 September 2023
  • Pengumuman finalis: 28 September 2023
  • Final: 28 Oktober 2023

 

Hadiah
Juara 1: Rp20.000.000
Juara 2: Rp15.000.000
Tiga makalah favorit (maksimal) masing-masing Rp3.000.000
*pajak ditanggung pemenang

 

Syarat dan Ketentuan

  • Peserta adalah kelompok yang terdiri atas 3 (tiga) siswa dari satu sekolah setingkat SMA. Setiap sekolah boleh mengirimkan lebih dari satu kelompok. Peserta boleh memberi nama kelompoknya secara bebas;
  • Peserta adalah siswa yang masih duduk di bangku SMA atau setara ketika final debat berlangsung pada 28 Oktober 2023;
  • Kelompok dari sekolah yang telah menjadi juara 1 pada tahun sebelumnya tidak diperkenankan mendaftar;
  • Peserta yang telah melengkapi pendaftaran dan menerima karya, tetapi tidak mengumpulkan makalah hingga batas akhir pengumpulan, akan didiskualifikasi pada tahun penyelenggaraan berikutnya;
  • Karya yang ditelaah dapat diunduh setelah menyelesaikan proses pendaftaran (mengisi dan melengkapi formulir);
  • Peserta (atas nama kelompok) membuat telaah (berupa tulisan atau makalah) dalam bahasa Indonesia setelah membaca dan membandingkan karya sastra di atas;
  • Makalah dikirim tanpa mencantumkan identitas di dalam makalah dan tanpa menggunakan sampul (cover) berlogo sekolah atau nama kelompok. Tidak perlu menambahkan lembar persetujuan, lembar ucapan terima kasih maupun kata pengantar;
  • Telaah yang diunggulkan adalah yang menawarkan kedalaman pemahaman dan keluasan perspektif;
  • Format pelaksanaan final akan ditentukan dengan melihat perkembangan kondisi kesehatan (bila diadakan secara langsung di Salihara, Salihara akan menanggung akomodasi dan transportasi kelompok peserta dari luar Jabodetabek);
  • Kirim hasil telaah karya sesuai jadwal yang ditentukan ke alamat surel berikut: edukasi@salihara.org dengan subyek: Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA (nama sekolah/kelompok).

 

Teknis Penilaian

  • Juri Tahap I menilai karya tulis berdasarkan mutu argumen, pendalaman dan penggalian masalah serta ketertiban dan keindahan bahasa Indonesia yang digunakan;
  • Masing-masing kelompok finalis boleh memilih satu wakil untuk presentasi atau mengatur anggota-anggota kelompok berbicara secara bergiliran (gaya presentasi bebas);
  • Juri Tahap II menilai keterampilan peserta dalam menyampaikan gagasan secara lisan dan kekuatan argumen dalam perdebatan;
  • Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.

 

Tentang Nyonya Bovary dan Kerudung Merah Kirmizi 

Kedua karya ini sama-sama mengangkat tokoh perempuan yang berhadapan dengan situasi zaman dan masyarakatnya. Membaca dua karya ini secara berdampingan akan memberi kita kesempatan untuk memahami masalah yang mirip sekaligus berbeda dalam perspektif yang lebih luas dan kaya.

 

Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2023:

Didukung oleh 

identikit

Diskursus Tubuh dan Jiwa dalam Pertunjukan “Identikit”

Ditulis oleh Wulansari Rembah

Jailangkung sudah lama dikenal masyarakat nusantara sebagai boneka pemanggil arwah. Mendengar kata “jailangkung” akan mengingatkan kita pada sosok boneka dari kayu dengan kepala dari tempurung kelapa yang berpakaian karung goni, sosok menyeramkan dengan jargon khasnya “datang tak dijemput, pulang tak diantar”. Bagaimana jika jailangkung dihadirkan dalam pentas teater?

SEKAT Studio menampilkan boneka ritus ini sebagai elemen utama dalam pertunjukan berjudul Identikit di Salihara pada Sabtu, 25 Februari 2023. Pertunjukan ini merupakan bagian dari pementasan Helateater yang diadakan tiap dua tahun. Tema tahun ini adalah “teater objek”, memungkinkan para kelompok teater bereksplorasi dengan berbagai objek seperti boneka, wayang, hingga benda keseharian, menjadikannya simbol dan memberikan pemaknaan tertentu dalam kisah yang mereka tuturkan, baik secara verbal maupun nonverbal.

Saat memasuki ruang teater, para penonton disuguhi aroma bunga melati yang semerbak, mengingatkan kita pada aroma mistis nan horor (meskipun ada juga sebagian orang menganggapnya aromaterapi yang menenangkan). Di panggung sudah tertata dua layar dari kain putih besar, jailangkung dan foto seorang perempuan di atas laci, serta susunan boneka modern seperti robot android dari yang kecil hingga jumbo, berukuran lebih besar dari manusia dewasa. Sambil menunggu pentas dimulai, nuansa malam dan sayup jangkrik terdengar dari speaker memenuhi ruang auditorium.

Pertunjukan dibuka dengan bunyi gemerincing lonceng yang dibawa oleh sosok bertopeng berambut putih panjang, yang nantinya kita akan tahu ia bertugas sebagai penata musik di sisi kanan panggung. Kemudian hadirlah dua orang laki-laki, yang satu berperawakan lebih tinggi. Lelaki tinggi melakukan ritual memanggil arwah kekasihnya yang sudah meninggal, sambil memasangkan aksesoris tertentu pada jailangkung. Pada percobaan pertama, tidak ada reaksi apapun sehingga lelaki tinggi kesal dan meninggalkan ruangan. Temannya masih melanjutkan ritual, lalu pergi juga tak lama kemudian. Setelah itu datanglah arwah yang berwujud sosok berbaju putih dan berambut putih, merasuki jailangkung hingga bergerak ke sana kemari. Tak puas menempati wadah kecil, arwah itu pindah merasuki boneka android berukuran sedang. Masih tak puas juga, ia masuk ke wadah android yang lebih besar, hingga akhirnya ia merasuki lelaki kecil dan bertingkah seperti perempuan sang kekasih temannya. Cerita mencapai puncaknya ketika arwah perempuan ini bermaksud mengendalikan tubuh kekasihnya juga.

Dalam penyajian kisahnya, Identikit mengombinasikan teater bayangan dan teater gerak. Tiap adegan diselingi dengan adegan kilas balik yang menggunakan bayangan boneka kertas pada proyektor kain. Dari adegan kilas balik itu, penonton bisa memahami perjalanan cinta antara si lelaki dan kekasihnya yang sudah meninggal. Pergantian adegan di masa lalu dan di masa kini mudah dipahami dengan penanda musik latar yang diisi oleh synthesizer, drum, dan instrumen ritmis lainnya. Musik yang lembut (meski kadang menyisakan nuansa sepi dan horor) menandakan kilas balik, sementara musik menegangkan yang didominasi oleh pukulan simbal drum dan lonceng menunjukkan masa kini. Selain penanda alur waktu, musik juga menjadi tanda peristiwa kesurupan. Gemerincing lonceng dan ringbell beberapa kali terdengar sangat intens untuk menggambarkan roh kekasih yang sudah berhasil merasuki wadah.

Para tokoh dan kru yang muncul di panggung menggunakan topeng dan bercerita pada penonton melalui gerak-gerik mereka, tanpa dialog satu kata pun, sehingga penonton akan menerka-nerka dan menafsirkan sendiri. Untungnya proyeksi bayangan boneka kertas yang dibuat sangat apik dan artistik membantu penonton memahami kisah masa lalu si lelaki dan perasaan cintanya yang dalam terhadap kekasihnya.

 

Makna Simbolik Sisir dan Boneka

Di antara serpihan kilas balik, salah satu yang menarik perhatian adalah gambar sisir yang seringkali muncul. Sisir menjadi benda tak terpisahkan yang menemani perjalanan cinta si tokoh. Mulai dari si lelaki yang memberikan sisir pada perempuan ketika mereka masih belia, sampai adegan  lelaki yang sedang menyisiri rambut perempuan dari belakang. Bahkan adegan tersebut diulang kembali secara nyata di akhir cerita, saat arwah merasuki tubuh lelaki. Bentuk sisir sangat khas menyerupai sisir kuno peninggalan kebudayaan China. Mungkinkah sisir ini memiliki makna khusus?

Di China, sisir disebut “shubi”, alat rias yang menyimpan sejarah sejak ribuan tahun lalu. Tak hanya sebagai aksesoris, sisir juga menunjukkan status sosial pemakainya. Bagi masyarakat China, sisir merupakan simbol kebahagiaan. Sisir menjadi salah satu benda seserahan penting yang diberikan mempelai pria kepada mempelai wanita pada acara lamaran. Sebelum melaksanakan prosesi pernikahan, terdapat tradisi penyisiran yang dilakukan keluarga masing-masing mempelai. Anggota keluarga menyisir rambut mempelai sebanyak tiga kali sambil menyisipkan doa dan harapan.

Mengetahui kedudukan sisir yang ternyata sangat bernilai dalam kebudayaan China, tidak heran jika tokoh lelaki mengungkapkan rasa cintanya dengan menyisir rambut kekasihnya. Ungkapan tersebut mungkin sangat jarang ditemukan pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Hal inilah yang agak mengaburkan penonton tentang latar kisah ini, apakah di nusantara ataukah di China? Sebab selama ini, jailangkung selalu dikaitkan dengan tradisi orang Jawa.

Rupanya setelah ditelusuri, jailangkung berasal dari China dan diserap di Indonesia melalui interaksi yang terjalin sejak berabad-abad lalu. Di China, ritual pemanggil arwah ini bernama “Cai Lan Gong”, ritual untuk memanggil dewa keranjang yang biasanya dilakukan saat Festival Rembulan berlangsung. Ritual ini dibawa oleh para pedagang dan pendatang dari Tiongkok, hingga akhirnya terakulturasi dengan kebudayaan animisme Jawa. Kepercayaan orang Jawa tentang roh dan makhluk halus diduga menjadi salah satu faktor pendukung bertahannya ritual ini sampai sekarang. Mereka memandang bahwa semua makhluk hidup berdampingan di alam semesta, baik alam nyata maupun alam gaib. Makhluk halus, termasuk arwah nenek moyang dipercaya memiliki kekuatan supranatural, dapat mengontrol dan memengaruhi kehidupan di dunia nyata. Itulah alasannya ketika terjadi gejala alam di luar kendali manusia, masih ada sekelompok orang yang meminta bantuan terhadap makhluk gaib, menyapa dengan sesajen, maupun melakukan ritual pemanggil arwah.

Dalam pertunjukan Identikit, jailangkung menjadi boneka pertama yang dirasuki roh sebelum roh memasuki wadah-wadah lainnya, termasuk manusia. Saat lelaki kecil kesurupan, kita bisa melihat tubuhnya bergerak dikendalikan roh perempuan. Tangan dan kakinya bergerak seperti tungkai boneka kayu. Ia tak ubahnya seperti seonggok tubuh yang bergerak sembarangan. Adegan kerasukan yang terjadi berkali-kali ini membuat kita sekali lagi meyakini bahwa makhluk hidup memiliki elemen tubuh dan jiwa. Tanpa jiwa, tubuh hanyalah gumpalan daging dan tulang yang tak berarti apa-apa. Jiwalah yang membuatnya hidup. Jiwalah yang menjadi identitasnya, sementara tubuh hanya perangkat saja. Diskursus mengenai tubuh dan jiwa ini rupanya menjelaskan arti judul Identikit yang diusung. Dapat kita simpulkan bahwa Identikit adalah gabungan dua kata, identitas dan kit (perangkat).

Dengan bereksplorasi menggunakan objek jailangkung, pertunjukan Identikit telah mengajak kita untuk menelusuri interaksi budaya antara Indonesia dengan China, sekaligus mempertanyakan kembali makna tubuh dan jiwa, sembari mengaktifkan penuh indra penciuman, penglihatan, dan pendengaran kita.   

 

Bacaan dan Tontonan Lebih Lanjut:

Film Cai Lan Gong yang mengungkap asal-usul jailangkung: https://www.fimela.com/entertainment/read/2342220/cai-lan-gong-ungkap-asal-mula-kehidupan-jailangkung

Kepercayaan orang Jawa tentang makhluk halus: https://historia.id/kultur/articles/hak-hidup-makhluk-halus-PRgbJ

Sisir dalam budaya China: https://www.youtube.com/watch?v=oOzz9jS2HIE

 

 

“My Story, Shared History”: LIFEs 2019 dan Sejarah Kita

Catatan pendek My Story, Shared History

Identitas dan sejarah, dua hal yang mampu menyatukan jarak dari orang yang berbeda tempat tinggal, berbeda profesi, bahkan berbeda negara. Kisah tentang sejarah dan identitas kemudian hadir dalam satu ruang yang sama, yaitu hadir dalam sastra. Sejarah adalah cerita dan sastra memberi ruang luas pada keragaman cerita. Sayangnya, sering orang malah berkelahi karena perbedaan versi sejarah. Salah satu masalah besar bangsa ini adalah historiografi yang tertutup dan dogmatis, yang tak memberi ruang pada keragaman. Kita perlu penulisan sejarah yang lebih asyik dan inklusif.

LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2019 mengajak penulis dan pembaca untuk merayakan keragaman cerita individu dalam rangka mengisi ruang-ruang kosong dalam sejarah besar bangsa dan antar bangsa. Ini adalah langkah awal untuk memulai penulisan sejarah yang lebih inklusif. Maka, LIFEs 2019 bertema Kisahku, Sejarah Bersama (My Story, Shared History).

LIFEs 2019 memberi tekanan kepada hubungan Indonesia-Belanda. Program istimewanya adalah kolaborasi enam seniman Indonesia dan enam seniman Belanda keturunan Hindia Belanda. Proses kolaborasi ini berawal sebelum Oktober 2019, enam pasangan muda itu telah bertemu, di Indonesia atau di Belanda, untuk saling memperkaya perspektif dan membangun cerita bersama. Tentu, latar sejarah kolonial menjadi konteks bersama. Mereka adalah eksperimen pertama bagi program ini. Pemahaman sejarah yang berawal dari kisah pribadi atau keluarga diharapkan bisa membangun sikap yang lebih terbuka sekaligus kokoh dalam menghadapi perbedaan dan keragaman. Untuk mewujudkan program ini Komunitas Salihara bekerjasama dengan mitra program yaitu Dutch Culture dan Indisch Herinneringscentrum yang mendukung pertukaran seniman Indonesia-Belanda, sehingga pelbagai pertunjukan kolaborasi di LIFEs 2019 bisa tercipta.

Berbagi Masa Lalu, Bertumbuh dengan Karya

My Story, Shared History, menghadirkan penulis dan seniman dari negara yang berbeda, di antaranya adalah Armando Ello (Belanda), Felix K. Nesi (Indonesia, Lala Bohang (Indonesia ) & Lara Nuberg (Belanda), Rizal Iwan (Indonesia) , Dionne Verweij, Francesca Pichel (Belanda), Joshua Allen (Australia), Adrian Mulya (Indonesia), Maria Rey-Lamslag (Belanda ), Robin Block (Belanda), Angelina Enny (Indonesia), dan Jean Tay (Singapura). Sepanjang Oktober 2019, mereka akan saling berkolaborasi dan menampilkan karya mereka, baik berupa pameran fotografi, pembacaan dramatik, musik, hingga diskusi.

Berbeda dengan LIFEs 2017 dengan program pameran seni rupa, LIFEs 2019 hadir dengan pameran fotografi hasil dari kolaborasi penulis Felix K. Nesi dan fotografer Armando Ello. Melalui foto-foto beberapa keluarga di Timor dan Rote, Felix K. Nesi (penulis novel Orang-Orang Oetimu) dan Armando Ello (fotografer Belanda yang Ibunya berasal dari Timor) menceritakan kembali kisah keluarga tersebut di luar sudut pandang yang selama ini kita ketahui dari narasi sejarah Timor. Potret-potret itu juga akan diceritakan kembali dengan gaya teater di layar kompleks Salihara. Felix juga menulis sebuah lirik lagu spesial berdasarkan kisah ini dan menyanyikannya. Selain Felix dan Armando, ada pula pameran gambar bertajuk So Far So Close hasil kolaborasi Adrian Mulya dan Maria Rey-Lamslag. Pada abad ke-20, nenek moyang Adrian Mulya (keluarga Peranakan) dan nenek moyang Rey-Lamslag (keluarga Indo-Belanda) harus melalui kehidupan sehari-hari yang sangat berbeda. Barangkali itu sebabnya leluhur mereka tidak pernah melewati jalan yang sama. Tapi benarkah demikian? So Far So Close menggabungkan gambar-gambar yang berupa fakta dan fiksi berdasarkan arsip pribadi dan anonim. Karya ini mengangkat cerita keluarga Adrian dan Maria di tengah narasi besar sejarah.

Ada pula pembacaan dramatik naskah karya Jean Tay yang dibacakan oleh Indonesia Dramatic Reading Festival (Yogyakarta). Berlatar Asia Tenggara 1997-1998, pembacaan dramatik ini menceritakan krisis ekonomi Asia dan menelanjangi kerentanan negara-negara Asia terhadap ekonomi global yang fluktuatif. Narasi dibangun melalui pembaca berita di Singapura dan perempuan muda di Indonesia yang nasib mereka satu sama lain saling terkait dengan arus informasi dan modal. Naskah karya Jean Tay akan dibacakan oleh Indonesia Dramatic Reading Festival yang diwakili oleh Kelompok Kandang Jaran. Hasil kolaborasi lainnya adalah pementasan Three Fishes Out of One Bowl Trying to find a Common Ground, hasil kolaborasi tiga seniman Rizal Iwan (Indonesia), Francesca Pichel, dan Dionne Verwey (Belanda). Tiga orang yang sangat berbeda asal-usul berkumpul untuk menemukan titik temu sejarah mereka, tapi ternyata persoalan yang muncul tidak semudah yang mereka kira. Pertunjukan ini adalah sebuah karya yang mengeksplorasi perspektif tentang silang identitas–Indonesia, Belanda, Suriname–serta beban sejarah yang kita bawa sepanjang hayat.

Tak hanya menampilkan hasil kolaborasi dari antar seniman dan penulis Indonesia-Belanda, LIFEs 2019 juga menampilkan pertunjukan teater dari Five Arts Centre (Malaysia) dengan pertunjukan bertajuk A Notional History. A Notional History memperkenalkan sebuah kemungkinan penulisan sejarah Malaysia Baharu (New Malaysia) lewat pertunjukan arsip dan dokumentasi. Five Arts Centre melanjutkan serangkaian proyek kreatif yang telah mereka tampilkan sejak 2004 mengenai Malayan Emergency (1948-1960). Karya ini juga memanfaatkan bahan berdasarkan film dokumenter 10 Tahun Sebelum Merdeka (2007), buku-buku sejarah, serta pengalaman para seniman sendiri. A Notional History penting untuk kita mengenal Malaysia lebih jauh, karena pertunjukan ini juga disertai dengan sesi tanya jawab.

Program menarik lainnya dalam LIFEs 2019 adalah Final Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA yang menyuguhkan topik perbandingan novel Sang Raja karya Iksaka Banu dan Memoar Tanah Air Baru, Indonesia karya Hilde Janssen. Membaca kembali sejarah pasca peristiwa 1965 juga dihadirkan dalam lokakarya Membuat Sampul Album Digital dengan pengajar Syaura Qotrunadha. Lokakarya ini mengajak peserta merancang ilustrasi album dan menulis teks penjelasan berdasarkan lagu-lagu berisi kesaksian dan pengalaman ibu-ibu Dialita. Persoalan identitas dan sejarah juga disampaikan melalui ceramah kunci yang dibawakan oleh Hilmar Farid dan Nancy Jouwe (Belanda). My Story, Shared History ditutup dengan malam Dendang Arsip Nusantara yang menghidupkan kembali dan mendekatkan arsip seni rupa, sastra dan musik kepada generasi muda melalui bentuk pesta. Acara ini adalah kolaborasi Pemuda Sinarmas dan Sastra Lintas Rupa.

Seperti apa topik dan perbincangan menarik lainnya dalam LIFEs 2020 dan 2023? Ikuti info selengkapnya di salihara.org.

Sosi dan Memori Kusam yang Tersebar di Sana-Sini

Ditulis oleh: Cliff Moller

 

Helateater 2023: Teater Objek

“Sosi bisa menjadi perenungan atas sesuatu yang tak terhindarkan di masa depan: menua, sendirian dan terlupakan.”

Flying Balloons Puppet menampilkan pertunjukan yang menggabungkan aktor dan boneka foto: Witjak Widhi Cahya

 

Didatangkan langsung dari Yogyakarta, Flying Balloons Puppet (FBP) hadir pada 18 dan 19 Februari lalu, membawakan pertunjukan perdananya di Teater Salihara dengan tajuk Jalinan Kusam di Lemari Sosi. FBP menjadi satu dari empat penampil yang terpilih dalam program Undangan Terbuka Helateater 2023 sekaligus menjadi pertunjukan pembuka perhelatan festival teater yang berjalan selama satu bulan ke depan.

Jalinan Kusam di Lemari Sosi dibuka dengan kemunculan sepasang dalang (puppeteer) laki-laki dan wanita yang diperankan oleh Rangga Dwi A. (Asisten Sutradara) dan Meyda Bestari (Sutradara), hadir sesaat begitu lampu menyala diiringi suara gemerincing kunci yang memenuhi ruangan. Keduanya didandani begitu identik, dengan potongan rambut dan kostum yang sama.

Tata panggung tersusun simetris dengan berbagai laci bertumpuk mengisi seluruh ruang; dua di kiri, dua di kanan, dan satu laci persegi di tengah. Artistik lantai panggung diset seolah berada di dalam rute microchip, seperti hendak merepresentasikan bahwa cerita ini memang berkaitan dengan memori si Sosi, sang tokoh utama pementasan ini.

Kedua dalang ini juga berperan sebagai aktor, mereka memulai pertunjukan tanpa melibatkan boneka Sosi terlebih dahulu. Dengan memainkan dua buah payung putih yang dibuka tutup, dua aktor berjalan menuju arah boneka Sosi yang sedang bersandar di pojok panggung.

Sosi mulai digerakkan, dia terbangun dengan keadaan menggerutu. Wajahnya tua, rambutnya putih, dan raut mukanya sayu. Ia terlihat mencari-cari sesuatu di balik laci yang juga berperan sebagai alas tidurnya. Jalan cerita ini terfokus kepada Sosi yang membuka laci satu per satu. Satu laci dibuka, satu objek ditemukan mulai dari buku, busana, hingga permen. Setiap reaksi yang ditampilkan pun berbeda, ada yang sedih, kehilangan gairah, bahkan rasa kesal.

 

Mencari “Kunci” yang Tersebar di Fragmen Ingatan Sosi.

Dalam pertunjukan yang berdurasi 40 menit ini, kita diajak untuk mencari tahu apa yang sebenarnya Sosi cari. Suara kunci di awal adegan bisa menjadi tanda bahwa ada “kunci” yang hilang di dalam ingatannya. Reaksi yang Sosi berikan juga mengindikasikan rasa tidak puasnya terhadap memori-memori yang ia temukan selama mengobrak-abrik isi laci/lemari yang ia tapaki selama jalannya pertunjukan.

Bahkan di satu bagian, ada adegan di mana sang aktor wanita, mengambil sebuah bra yang terjemur di seutas tali. Ia mengambil bra itu dan membawanya di sebelah Sosi yang terduduk di tengah panggung. Lewat bra tersebut, aktor memanipulasi objek yang ia pegang, mengubah fungsi sebuah bra menjadi tas tangan, alat rias, hingga bercermin menggunakannya. Saya menangkap, ia saat ini bukan berperan sebagai dalang, melainkan sebagai aktor yang merepresentasikan masa muda Sosi. Adegan ini juga memperlihatkan aktor mengambil sebuah bingkai dan memanipulasinya seolah bingkai tersebut adalah cermin. Sosi melihat aktor wanita lewat cermin tersebut, meraba wajahnya, lalu wajahnya sendiri dan ekspresi marah ia munculkan serta menjauhkan bingkai tersebut dari wajahnya. Lagi, Sosi tidak puas terhadap apa yang ia temukan.

Sosi dan pantulannya di cermin / Foto: Witjak Widhi Cahya

 

Cerita ini pun berakhir dengan Sosi yang terduduk diam di dalam sebuah lemari kecil setelah berkali-kali ditunjukkan adegan repetitif kala ia menapaki tangga tanpa henti hingga akhirnya Sosi lelah dan berhenti mencari. Dalam kesendiriannya, Sosi terduduk dengan wajah yang menghadap ke arah bangku penonton. Lagi, sang dalang berperan menjadi aktor, membalut dirinya dengan tali-tali, membawa sebuah laci atas kepalanya,  menaiki tangga tribun, menaruh laci di tangga, duduk di bangku penonton, dan meninggalkan Sosi di panggung, sendiri. Di panggung, aktor yang lain menyalakan lampu di dalam lemari tempat Sosi duduk, seolah ia bertatapan dengan aktor yang di tribun, saling tatap, hingga akhirnya lampu gelap total.

Adegan akhir di mana Sosi terduduk di dalam lemari / foto: Witjak Widhi Cahya

 

Pentas Segar yang Dinantikan Perkembangannya

Bagi saya Jalinan Kusam di lemari Sosi cocok untuk mereka yang senang akan dinamika antara dalang dan boneka dalam kemasan teatrikal serta menikmati unsur-unsur estetika yang disajikan. Namun bagi penonton yang suka akan plot yang tertata dan literal mungkin akan sulit menikmati pertunjukan ini. Posisi duduk juga menentukan dalam menikmati pertunjukan ini. Tata panggung yang disusun sedemikian rupa, ternyata tidak bisa menjangkau seluruh penonton untuk bisa menikmati pengalaman yang sama, ekspresi Sosi dan ukurannya yang terbilang sedang ke kecil sulit dinikmati oleh mereka yang mendapat posisi duduk di atas.

Pementasan ini juga dilengkapi dengan sesi tanya jawab yang bisa dilakukan pascapertunjukan; sesuatu yang menyenangkan terlebih penonton cukup antusias untuk melihat langsung boneka Sosi lebih dekat untuk berfoto maupun menanyakan hal-hal yang mungkin tidak terjawab.

Hingga akhir pertunjukan saya masih menganggap Sosi adalah bentuk refleksi yang terjadi di masa tua nanti. Renungan akan hidup sendiri, menua, melupakan dan dilupakan menjadi sorotan utama yang saya tangkap selama pertunjukan. Kelompok ini bisa menjadi angin segar sebagai kelompok seni alternatif di bidang teater. Objek boneka yang menjadi sorotan utama kelompok ini, hingga pengalaman bermain di berbagai tempat baik skala nasional dan internasional menjadikan kelompok ini patut dinantikan kehadirannya di pertunjukan-pertunjukan teater boneka selanjutnya.

 

LIFEs 2017 dalam Viva! Reborn!

Catatan pendek Membaca Amerika Latin: Viva! Reborn!

Pada 2017, Komunitas Salihara menggelar program Literature and Ideas Festival (LIFEs) sebagai bentuk baru dari Bienal Sastra Salihara yang telah berlangsung sejak 2011. Berbeda dengan Bienal Sastra yang lebih banyak menampilkan program pembacaan dan diskusi, LIFEs hadir dengan nuansa segar lebih mengedepankan perbincangan ide dan gagasan, juga memberikan pengalaman artistik kepada pemirsa dalam bentuk pertunjukan. 

LIFEs 2017 mengangkat tema “Membaca Amerika Latin” dengan tajuk Viva! Reborn!. Sebagai wilayah maupun sebagai entitas budaya, Amerika Latin menawarkan banyak gagasan penting: teori ketergantungan, teologi pembebasan, realisme magis—untuk menyebut tiga di antaranya. Minat pembaca Indonesia terhadap sastra dan pemikiran dari Amerika Latin boleh dibilang sangat tinggi dibanding terhadap wilayah dunia lainnya. Belum lagi tingginya popularitas tari, musik, film dan kuliner dari kawasan ini. Amerika Latin juga bisa diperbandingkan dengan Indonesia dalam banyak hal: sejarah kolonialisme, pengalaman Perang Dingin, rezim militer dan demokrasi, masalah lingkungan hingga perjumpaan agama Abrahamik dengan agama lokal. 

Begitu banyak gagasan yang bisa kita perdalam dalam pertemuan Indonesia-Amerika Latin. LIFEs 2017 berpuncak pada bulan Oktober yang bertepatan dengan Bulan Bahasa. Serangkaian program LIFEs “Membaca Amerika Latin” dilakukan pada 07 hingga 28 Oktober 2017, dengan balutan keasyikan Selasa dansa, Kamis membaca, Sabtu-Minggu pesta sastra.

Dansa, Sastra, dan Pesta

Untuk merayakan pertemuan Indonesia-Amerika Latin baik dalam hal sastra, kuliner, dan isu lainnya, Komunitas Salihara mempertemukan sastrawan Indonesia dengan sastrawan Amerika Latin yang dikemas dalam kehadiran diskusi dan pertunjukan. Program lokakarya juga dihadirkan LIFEs 2017, seperti lokakarya tari Salsa, menulis kritik sastra, story telling, hingga lokakarya penerjemahan sastra. Pemateri lokakarya pun dihadirkan dari beberapa negara, seperti Brigitte Schär (Swiss), Sergio Chejfec (Argentina), Victor Heringer (Brasil) dan Pablo Jofré (Cile). 

LIFEs 2017 juga menampilkan pertunjukan teater dengan tajuk Xalisco, A place sutradara Ines Somellera (Meksiko-Indonesia) dengan kolaborasi instalasi panggung karya perupa Hanafi (Indonesia). Pertunjukan lainnya menampilkan Musik Puisi: Adimas Immanuel & Sri Hanuraga (Indonesia), Konser Piano Cile dari José Riveros (Cile), Malam “Mooi Indië” yang menampilkan Boi Akih (Belanda), Iksaka Banu dan Joss Wibisono (Indonesia). Tak hanya pertunjukan, ada pula pameran seni rupa yang menampilkan karya Hanafi dengan tajuk Xalisco Performative Exhibition: Juan Preciado, pameran ini adalah respons pada novel sastrawan Amerika Latin berjudul Pedro Paramo karya Juan Rulfo. 

Perbincangan ide dan gagasan juga dituangkan dalam forum diskusi dengan program Diskusi Kamis: Klasik nan Asyik, Diskusi sore: Tamu dari Seberang, Klub Buku Foto Membahas Gagasan dalam Buku Foto dari Indonesia dan Amerika Latin, Indonesia Millenial Forum (IMF) di LIFEs dan Diskusi Meja Bundar. Para pengisi forum diskusi ini tidak hanya menampilkan pembicara dari Indonesia, tetapi juga menampilkan beberapa pembicara dari Amerika Latin, seperti Héctor Abad Faciolince (Kolombia), Veronica Stigger (Brasil) dan Carmen Boullosa (Meksiko). Tak luput pula program pemutaran film dihadirkan dalam festival ini. Beberapa film bertema Amerika Latin pun diputar, seperti Mi Vida Dentro (Meksiko), Pedro Páramo (Meksiko), ropa Tde Elite (Brasil), Gabo (Kolombia), dan Habanastation (Kuba). 

Indonesia Membaca Amerika Latin

Panggung Membaca Amerika Latin juga menyajikan perbincangan menarik dari para narasumber Indonesia. Di antaranya, Dewi Candraningrum, Nirwan Dewanto, Ronny Agustinus, Yusi Avianto Pareanom, Berto Tukan, Lala Bohang, Lisabona Rahman, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie dan Goenawan Mohamad. Selain itu, Komunitas Salihara bekerjasama dengan beberapa penerbit untuk menggelar Bazar Buku, menghadirkan buku-buku penting dan menarik di Indonesia. Bazar Buku menjual buku-buku sastra, filsafat, sejarah, politik dan kategori lain yang berkaitan erat dengan dunia seni dan pemikiran. Dengan adanya program Bazar Buku, bacaan-bacaan terjemahan dari karya sastra Amerika Latin pun dapat didistribusikan pada publik Salihara yang lebih luas. 

Hal menarik lainnya dalam LIFEs 2017 Membaca Amerika Latin: Viva! Reborn!, menyajikan perbincangan tentang isu-isu mutakhir seperti beragam media di era teknologi, pembahasan tentang penulis perempuan Amerika Latin, problematika politik dan iman, juga tentang bagaimana perkembangan sastra dan pemikiran Amerika Latin dalam peta dunia, dan perihal sosial ekonomi politik hingga mempertanyakan kembali tentang gagasan kiri Amerika Latin. Program ini dikemas dengan begitu padat namun tetap berisi dan tajam. Pada LIFEs selanjutnya Komunitas Salihara akan terus menyajikan tema-tema beragam dan mutakhir.