collete

Colette dan Gairah Menulis yang Tak Putus

Karya-karya sastra yang muncul dari penulis perempuan, tidak selalu mulus dalam perjalanannya. Ia mengalami rintangan juga diskriminasi terutama dari para kritikus sastra. Di Indonesia misalnya, karya-karya Toeti Heraty juga S. Rukiah tidak luput dari kritik keras tentang tulisan yang bersifat “kering” bahkan terkesan “marah-marah”. Pada 1967, A. Teeuw sebagai kritikus sastra berkebangsaan Belanda menganggap puisi karya Rukiah tidak menggugah dan justru malah terasa lemah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kritik-kritik itu muncul pada karya perempuan, misalnya adanya kecurigaan tentang perbedaan pandang politik antara penulis dan kritikus. 

Tak hanya karya penulis perempuan Indonesia yang mendapat kritikan dan diskriminasi. Beberapa penulis dari negara Frankofon juga mendapatkan perlakukan yang sama dalam dunia sastra, salah satunya menimpa Sidonie-Gabrielle Colette, seorang penulis, jurnalis dan seniman teater asal Prancis. Sidonie-Gabrielle Colette atau yang lebih dikenal dengan Colette memasuki dunia jurnalisme pada 1910, ia bergabung dengan majalah mingguan Matin dan mengelola rubrik kesusastraan. Pengalamannya dalam dunia jurnalisme yang kemudian membawanya berkunjung pada beberapa negara, dituangkan dalam karya sastra, salah satunya pada karya les Heures longues. Ia juga menulis banyak artikel yang kemudian menarik perhatian penulis Marcel Proust karena teknik penulisan Colette yang membawa pembaca seperti tengah membaca buku harian. 

Pada 1919-1920-an, Colette cukup produktif menciptakan karya sastra. Ia menggunakan unsur-unsur otobiografis yang kental dengan pengamatannya pada masalah sosial dan kesenjangan sosial di sekitarnya. Colette juga menulis buku yang ia persembahkan untuk ibunya yang meninggal pada 1912, buku itu berjudul Sido (1929). Karya-karya Colette makin banyak digemari dan juga mengundang banyak kritik. Teknik penulisan otobiografinya mengundang banyak ejekan, ia sempat diremehkan dianggap tidak layak masuk dalam geliat dunia sastra hanya karena status pendidikannya yang tidak setinggi penulis Prancis lainnya. Latar belakang keluarganya yang dianggap sebagai keluarga yang jauh dari borjuisme juga membuat karya Colette dipandang sebagai sastra dengan selera rendah. Karya sastra Colette dipandang sebagai sastra yang tidak punya nilai intelektual. Pada saat itu, karya sastra yang berbau metafisik dianggap sebagai karya sastra intelektual, sedangkan karya-karya Colette yang menggunakan bahasa-bahasa lugas tidak termasuk di dalamnya. Bahkan tokoh Jean de Pierrefeu mengatakan bahwa tokoh-tokoh perempuan yang ditulis Colette layaknya hewan primitif dalam hutan yang menjadi buruan laki-laki. 

Kritik-kritik yang menerpa Colette tidaklah lekas membuatnya menyerah. Menjadi satu-satunya penulis perempuan di dalam dunia sastra yang saat itu mayoritas adalah penulis laki-laki, membuat perjalanan Colette begitu berat. Ia juga sempat memasuki dunia teater, lalu kembali lagi pada konsistensinya sebagai penulis. Tak hanya mendapat kritik yang pedas, karya Colette memiliki tempat tersendiri bagi pembaca. Banyak publik yang menyukai tulisannya karena merasa terwakilkan dan dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Tulisan Colette memberikan kekuatan tersendiri bagi para pembaca, terutama perempuan. Pada ulang tahunnya ke-80 tahun di 1953, Colette mendapatkan penghargaan dan sambutan hangat dari para pembaca, wajahnya muncul dalam koran-koran. 

Karya Colette yang memberi warna pada kesusastraan abad ke-20, menjadi begitu penting dan berpengaruh pada masyarakat Prancis saat itu. Tulisannya menginspirasi banyak perempuan Prancis untuk terus menghadapi kehidupan dengan mandiri, bebas mengekspresikan diri dan tetap percaya diri. Ketika ia meninggal pada 1954, ribuan warga Paris yang sebagian besar adalah perempuan, turut mengiringi peti jenazahnya menuju tempat peristirahatan terakhirnya di pemakaman Père Lachaise, Paris. 

Pada rangkaian program LIFEs 2023 Agustus nanti di Komunitas Salihara, yang akan membahas dan membicarakan topik-topik tentang negara-negara Frankofon. Kita akan mendapat kesempatan untuk bisa menyaksikan bagaimana salah satu karya sastra Colette dibacakan dan dipertunjukan dalam sebuah pementasan. Selanjutnya, mari kita turut menikmati dan mengkhidmati karyanya di masa kini.

diesenta-2023

Decenta dan Sejarah Desain Kita

Pada 1973, lima orang perupa bersepakat mendirikan sebuah biro desain berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang diberi nama Decenta (Design Center Association). Kesepakatan ini diputuskan setelah berhasil mengerjakan proyek Convention Hall dan mendapatkan dana yang cukup besar sebagai tabungan awal mendirikan sebuah biro desain. Kelima perupa ini adalah A.D. Pirous, Gregorius Sidharta, Adrian Palar, Sunaryo, T. Sutanto dan Priyanto Sunarto. Berbekal kemampuan mereka dalam hal seni rupa dan desain, Decenta diciptakan dengan visi untuk menjadi perusahaan biro desain dengan kekhasan pilihan gaya artistik. Beraneka ragam hias tradisi Indonesia sebagai pokok soal maupun modus artistik dijelajahi oleh mereka untuk eksekusi proyek-proyek perancangan (elemen estetik, monumen, desain interior, desain grafis) dan penciptaan seni. Decenta juga sekaligus sebagai ruang untuk menempa pengalaman-pengalaman mereka dalam menjadi pakar bidang seni dan desain. 

Pada praktik kerja Decenta, mereka banyak menangani klien-klien dari lembaga negara. Mereka menerapkan elemen dekoratif yang khas dari daerah lembaga tersebut. Berbeda dengan menangani klien dari lembaga negara yang berada di Jakarta, mereka menerapkan perpaduan elemen dekoratif dari sejumlah daerah tertentu. Pilihan tersebut diterapkan sebagai salah satu modus untuk mengimplementasikan gagasan rezim Orde Baru tentang identitas kebudayaan nasional yang bersumber dari puncak-puncak kebudayaan daerah. 

Decenta juga memelopori teknik desain grafis yang disebut dengan istilah cetak saring. Istilah cetak saring pertama kali dipakai oleh Decenta. Pada awalnya Decenta menggunakan teknik cetak saring untuk kepentingan komersial, berjalannya waktu teknik tersebut hadir sebagai misi Decenta untuk mempromosikan seni grafis. Teknik cetak saring Decenta juga memiliki karakteristik yang khas. Karya cetak saring DECENTA banyak hadir dalam bentuk sampul poster, sampul buku, maupun karya yang bisa dijadikan elemen dekorasi. 

Selain dalam mengurus elemen dekorasi dan teknik seni grafis cetak saring, Decenta juga memiliki peran penting dalam dunia pendidikan, terlebih karena anggota Decenta terdiri dari seniman dan juga para pengajar seni. Mereka sebagai pendidik turut memperluas perwujudan seni nonrepresentasional apolitis yang sebelumnya dibatasi oleh perupaan formalis ala Mazhab Bandung. Teknik-teknik penciptaan yang ditawarkan oleh Decenta sangat memungkinkan untuk diajarkan pada mahasiswa seni rupa dan desain. Salah satu teknik penciptaan tersebut adalah dengan menggunakan ragam hias tradisi dan primitif Indonesia untuk dipadukan dalam lukisan, patung, dan serigrafi. 

Decenta mengerjakan proyek-proyek elemen estetik, desain interior, monumen, dan desain grafis di tengah kondisi di mana studio-studio seni terapan mulai dirintis dan dikembangkan oleh Departemen Seni Rupa ITB. Maka pengalaman juga teknik penciptaan dalam kerja-kerja Decenta menjadi hal yang penting sebagai bahan ajar studio seni terapan yang tengah dirintis pada era itu. 

Seperti apa sejarah panjang dan siapa sajakah yang berperan penting dalam keberlangsungan Decenta pada masa politik Orde Baru? Komunitas Salihara akan menggelar pameran tentang sejarah panjang Decenta. Bersama kurator tamu Chabib Duta Hapsoro, pameran ini akan digelar sepanjang Mei hingga Juni 2023. Menilik kembali bagaimana salah satu biro desain penting di Indonesia bertumbuh, akan membawa kita pada perjalanan panjang tentang seni rupa dan desain di Indonesia yang perlu kita ketahui sebagai salah satu upaya mengenal identitas dan sejarah bangsa.

Le Corbusier dan Desain Hari Ini

Prancis dikenal dengan arsitektur yang indah dan beragam. Bahkan beberapa sumber tertulis mengatakan berkat arsitektur yang indah dan beragam tersebut Prancis dikatakan sebagai negara paling stylish  di dunia. Yang sangat terkenal misalkan arsitektur dari keindahan Menara Eiffel karya Gustave  Eiffel, dekorasi bergaya Art Nouveau yang dipelopori oleh Eugène Grasset, juga arsitektur bergaya Gotik yang memiliki hubungan erat dengan desain katedral di Eropa. Selain terkenal dengan gaya arsitektur tersebut, Prancis juga dikenal dengan arsitektur modern yang salah satunya dipelopori oleh Le Corbusier. 

Charles-Edouard Jeanneret atau yang lebih dikenal dengan nama Le Corbusier, lahir di Swiss (1887-1965) dan pada 1930 menjadi warga negara Prancis. Ia bisa dikatakan sebagai salah satu pelopor gaya arsitektur modern pada abad 20. Di Paris ia sempat menempuh pendidikan konstruksi bangunan modern di bawah bimbingan Auguste Perret dan sempat bekerja sama dengan arsitek Jerman, Josef Hoffman. Ia juga menulis beberapa artikel tentang bidang arsitektur dan dimuat dalam majalah L’Esprit Nouveau, sebuah majalah yang ia dirikan bersama Ozenfant pada 1920. 

Le Corbusier menciptakan bangunan dengan tipe yang unik, ia mengedepankan tipe bangunan yang tetap mengikuti perkembangan zaman dan juga memanfaatkan kemajuan teknologi. Ia memikirkan perihal efisiensi, ekonomis namun tetap memiliki keindahan di dalamnya. Salah satu aliran desain yang paling fenomenal dari Corbusier adalah Purism, yaitu desain bangunan yang tidak memiliki motif atau ornamen apapun, berlawanan dengan gaya art nouveau yang lebih ramai dengan ornamen seperti ilustrasi patung perempuan dan uliran-uliran. Desain Purism ini diciptakan dari gagasan Corbusier bahwa suatu bangunan meskipun ia hadir tanpa ornamen, ia tetap hadir dengan indah dan tidak berpengaruh pada fungsi bangunan itu sendiri. 

Corbusier juga mencetuskan gagasan soal hunian yang mampu menampung atau menjadi tempat tinggal orang banyak. Gagasan itu terkenal dengan sebutan Immeubles Villas, sebuah apartemen individu yang didukung dengan konsep arsitektur modern. Gagasan ini muncul dari pengamatannya pada krisis perumahan dalam lingkungan perkotaan yang mulai padat namun tetap butuh ruang untuk bergerak. Karya-karya Corbusier juga sangat berperan penting dalam pembangunan di Rusia, Amerika, dan India. Selain itu karya Corbusier turut dicatat sebagai daftar warisan dunia UNESCO melalui 17 bangunan yang ia rancang, salah satunya adalah The National Museum of Western Art di Tokyo. Karya bangunan Corbusier lainnya seperti Maison Guiette (1926) di sebuah rumah di Antwerpen, Belgia dan La Haut Cour de Justice di India.

 

Tak hanya memikirkan bagaimana perkembangan desain dalam bidang bangunan, Corbusier juga menciptakan rancangan furnitur. Ia menciptakan furnitur modern berupa kursi. Kursi yang diciptakan bernama LC4 Chaise Longue, sebuah kursi malas yang didesain dengan prinsip desain modern yang tetap efisien dan ergonomi. 

Ide, karya, dan gagasan arsitek Le Corbusier tak bisa kita lupakan begitu saja, karena ia menjelma jadi hal-hal yang kita butuhkan dan tumbuh menjadi desain modern yang bersandingan dengan kecepatan era dan teknologi. Sebuah hal yang melesat melewati waktu yang panjang sekaligus bersandingan dengan kebutuhan yang kita kehendaki. 

soewarsih

Mengenal Sosok Soewarsih Djojopuspito dalam Siniar Salihara Putaran Ketiga

Kehadiran penyair dan sastrawan perempuan dalam gelanggang kesusastraan Indonesia tidak sebanyak nama-nama sastrawan laki-laki di awal abad 20-an. Meski begitu, kehadiran mereka tidak kalah penting untuk dibicarakan baik dari sisi ketokohan dan kekaryaannya. Pada putaran siniar kali ini Komunitas Salihara mengangkat topik “Para Perempuan Penulis”, topik ini dimaksudkan untuk mengenal sekaligus menampilkan pentingnya gagasan dan karya penulis perempuan yang namanya barangkali jarang kita dengar. Pada episode pertama, Ibam (Ibrahim Soetomo) sebagai pemandu acara ditemani oleh narasumber Dhianita Kusuma Pertiwi (penulis) membahas Soewarsih Djojopuspito yang dikenal lewat roman “Manusia Bebas” yang terbit pertama kali dalam bahasa Belanda. 

 

Bibit Pergerakan Nasional dalam Diri Soewarsih

Diskusi dibuka dengan pertanyaan oleh Ibam “Apa yang membuat Soewarsih perlu turun ke pusaran pergerakan? Apakah ada pengaruh dari suaminya? Atau apakah ini adalah keputusan Soewarsih sendiri?”, Dhianita menjelaskan bahwa Soewarsih lahir dari lingkungan ningrat dengan ayah yang berprofesi sebagai dalang. Walaupun ayahnya seorang yang buta huruf, namun ia sadar betapa pentingnya pendidikan bagi anak laki-laki maupun perempuan. Hal ini yang membuat Soewarsih dan kakaknya–Nining–sudah disekolahkan di sekolah Belanda seperti Kartini School, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dan sekolah pendidikan guru di Surabaya. 

Dalam masa studinya di sekolah pendidikan guru ini, Soewarsih dan Nining menjadi dua bumiputera dari total 28 murid lainnya yang keturunan Belanda. Dhianita pun mengutip sebuah tulisan yang ditulis Soewarsih dengan kakaknya, berbunyi:

Pendidikan itu satu-satunya senjata buat kami untuk menghadapi tantangan masa depan.

Kutipan tersebut menjadi penanda bahwa sebagai perempuan dan bumiputera di masa tersebut pendidikan sangatlah diperlukan. Selain itu, keikutsertaan Soewarsih dalam organisasi seperti Jong Java semakin memantik kesadaran wanita kelahiran 20 April 1912 ini untuk aktif di dalam pergerakan; terutama untuk menggaungkan pendidikan bagi perempuan bumiputera dengan aktif mendirikan sekolah-sekolah liar. Dhianita menegaskan bahwa kesadaran–untuk aktif dalam pergerakan nasional–tersebut sudah hadir jauh sebelum ia menikahi suaminya; Sugondo Djojopuspito pada 1933.

Menyuarakan emansipasi perempuan memang menjadi fokus utama dalam pergerakan Soewarsih. Tidak hanya menyuarakan tentang emansipasi, suara vokal Soewarsih juga melebar pada isu-isu lain terutama dalam mengkritik pemerintahan kolonial Belanda; terutama pasca ia menikah dan masuk ke dalam lingkaran tokoh-tokoh nasionalis lainnya. Soewarsih tercatat pernah menulis artikel pada 1941 di sebuah majalah revolusi; Kritiek en Opbouw yang isinya meminta kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengembalikan para tokoh nasionalis yang dibuang ke Boven Digoel, Papua Selatan.

 

Kebangkitan Karya Soewarsih di Negara Asing

Diskusi ini juga membahas hubungan antara Soewarsih dengan Edgar du Perron, terutama bagaimana du Perron memiliki peran yang besar dalam mendorong Soewarsih untuk menerbitkan karya perdananya yaitu Buiten het Gareel (Manusia Bebas). Dhianita sebagai narasumber menjabarkan bahwa sebelumnya Soewarsih juga sudah pernah menulis sebuah novel pendek dalam bahasa Sunda yang kemudian dikirimkan ke Balai Pustaka namun ditolak akibat penggunaan bahasa yang dinilai rendahan, dan substansi yang subversif yakni mengenai perempuan yang tidak bahagia dalam kehidupan pernikahannya. Pascapenolakan tersebut, Soewarsih bertemu dengan du Perron dan menceritakan penolakan yang ia terima dari Balai Pustaka. Edgar Du Perron seorang penyair Belanda mendorong Soewarsih untuk kembali menulis namun kali ini menggunakan bahasa Belanda.

Dorongan ini bukan tanpa sebab, Soewarsih yang besar lewat pendidikan yang berbasis bahasa Belanda lebih terbiasa menulis dalam bahasa tersebut. Sebab menurut penuturan Dhianita, bahasa ibu Soewarsih adalah Sunda, dan bahasa Belanda adalah bahasa kedua yang Soewarsih fasih menggunakannya. Selain menyarankan untuk mengganti penggunaan bahasa, du Perron juga meminta Soewarsih menulis dengan cara yang terbuka, personal, dan langsung sehingga cara penulisan ini dinilai memberikan warna baru dalam kesusastraan Indonesia pada masa tersebut. Naskah tersebut akhirnya dibawa oleh du Perron ke Belanda dan diterbitkan di Utretch dengan judul Buiten het Gareel di mana du Perron juga menuliskan kata pengantarnya dalam buku tersebut. 

Buku ini termasuk ke dalam otobiografi fiksi di mana Soewarsih merepresentasikan dirinya dalam tokoh yang ia namakan Sulastri. Buku ini menampilkan kompleksitas antara ruang publik dan ruang privat di mana Sulastri digambarkan memiliki kompleksitas baik di rumah tangganya, seperti masalah keuangan dan relasi dengan suaminya; Soedarmo dan kehidupannya di luar sebagai seorang wanita yang aktif dalam kegiatan aktivis dalam mendirikan sekolah-sekolah liar. Dhianita menyebutkan lewat karyanya, Soewarsih ingin memperlihatkan bahwa perjuangan emansipasi tidak hanya dilakukan di ruang publik saja namun juga terjadi dalam skala kecil seperti ruang-ruang privat bahkan termasuk hak dalam menentang poligami karena bagi Soewarsih, pernikahan tidak seharusnya mereduksi peran dan hak perempuan.

 

Perjuangan Manusia Bebas untuk Hadir di Indonesia

Novel Buiten het Gareel atau “Manusia Bebas” yang mendominasi diskusi 40 menit ini memiliki perjalanan yang cukup sulit untuk bisa dinikmati pembaca Indonesia. Mulai dari awal terbitnya pada 1940 yang tidak bisa didistribusikan di Indonesia akibat situasi perang, bahkan saat cetak ulangnya pada 1946 akibat agresi militer yang terjadi di tanah air. Novel ini baru bisa dibaca dalam bahasa Indonesia pada 1975 lewat penerbit Djambatan. Dhianita mengakui bahwa penerimaan karya ini tidak semeriah karya bertema nasionalis lainnya yang banyak menggunakan narasi heroik dan maskulin. Soewarsih cenderung banyak menggunakan unsur-unsur privat yang dinilai sepele dan remeh. 

Kekuatan Soewarsih dalam menembus batas-batas gender akan peran dan posisi perempuan di masanya juga terlihat di karya-karyanya yang lain. Dhianita menemukan adanya benang mereka antar karya Soewarsih yang ia baca berjudul Marjanah dan kumpulan cerpen Empat Serangkai dengan Manusia Bebas. Adanya unsur otobiografis yang menunjukkan perjuangan serta pengangkatan tema yang berani dalam melawan batas-batas gender. Dhianita menilai itu menjadi salah satu langkah berani Soewarsih untuk menggambarkan bagaimana perempuan digambarkan baik dari posisi dan perannya di ranah privat maupun pergerakan.

Soewarsih menjadi penting untuk dibaca karena melalui karyanya, kita bisa mengetahui bahwa memulai perubahan bisa berawal dari unsur-unsur terkecil seperti ranah privat; tidak harus melalui aksi heroik besar atau berorasi di depan banyak orang. Soewarsih menyadarkan bahwa untuk menceritakan pergerakan, kita tidak perlu ragu untuk menceritakan diri kita. Karena lewat penyampaian otobiografis tersebut, gagasan yang ingin kita sampaikan akan terasa lebih personal.

Diskusi selengkapnya bisa Anda dengarkan dalam Siniar Salihara Ngomong-ngomong Soal: Soewarsih dan Dilema Kaum Pergerakan di Youtube, Apple Podcasts, Spotify, dan Noice.

 

Menjelajah Komik Berbahasa Prancis

Komik menjadi salah satu bacaan yang banyak digandrungi di setiap negara. Penyampaian alur cerita yang disertai dengan ilustrasi adegan menjadi hal yang seru untuk diikuti. Di Indonesia budaya perkomikan juga tidak luput dari khazanah sastra kita. Pada 1930-an komik Indonesia hadir dalam bentuk strip atau gambar bersambung yang dimuat dalam majalah dan juga dalam bentuk buku komik, misalnya cerita dalam Mentjari Poetri Hidjaoe karya Nasroen A.S. yang dimuat di mingguan Ratu Timur dan komik karya Abdulsalam berjudul Kisah Penduduk Jogja. Setelah itu masuk pada 1940-1950-an, muncul cerita-cerita komik dari Amerika seperti Tarzan, Phantom, dan Rip Kirby di halaman beberapa surat kabar Indonesia. Barulah pada era 70-an muncul komikus Indonesia yang mengadaptasi khazanah budaya nusantara sebagai cerita dalam komik ciptaannya. Komik-komik itu di antaranya adalah Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes TH, Api di Bukit Menoreh karya SH. Mintardja, dan Gundala karya Hasmi. Hingga era 2000-an tradisi perkomikan tetap muncul di Indonesia baik dengan cerita yang lebih segar maupun gaya yang lebih modern. 

Selain mendapat bacaan komik bergaya Amerika, di Indonesia juga masuk komik-komik berbahasa Prancis atau negara-negara Frankofon yang tidak kalah seru. Di antaranya komik Petualangan Tintin, Asterix, The Smurfs, dan Lucky Luke. Judul-judul tersebut tidak asing bagi para pecinta komik di Indonesia. 

 

Terjemahan Komik Prancis dan Frankofon

Petualangan Tintin

Salah satu komik Prancis yang bisa kita baca dalam bahasa Indonesia adalah Petualangan Tintin. Komik ini diciptakan oleh Hergé seorang seniman Belgia dan komik ini pertama kali ditulis dalam bahasa Prancis berjudul Les Aventures de Tintin et Milou pada 1929 yang dimuat dalam koran Le Vingtième Siècle. Tintin adalah nama tokoh utama dalam komik ini yang memiliki pekerjaan sebagai jurnalis. Ia melalui petualangan menjelajahi dunia dengan anjingnya bernama Milo. Dalam setiap petualangan selalu ada kejadian-kejadian yang seru dan lucu yang menarik untuk diikuti. 

Sumber gambar: gramedia.com

 

Asterix

Selain Petualangan Tintin, kita juga bisa membaca komik Asterix dalam terjemahan bahasa Indonesia. Versi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Maria Antonia Rahartati Bambang Haryo, ia tidak hanya menerjemahkan bahasa tapi ia juga mengubah nama-nama tokoh dalam komik tersebut menjadi nama yang familiar di Indonesia. Komik yang pada dasarnya penuh humor ini makin terasa dengan humor yang lebih lokal. Misalnya ia menciptakan nama-nama seperti Licik Munafiks dan Asmabengekis. Komik ini pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Maria pada 1984. Asterix berkisah tentang pahlawan di wilayah Eropa bernama Asterix, ia digambarkan cerdik dan lucu. Asterix berpetualang ke berbagai negara dengan sahabatnya Obelix. 

Sumber gambar: blj.co.id

 

Lucky Luke

Komik Lucky Luke diciptakan oleh ilustrator Morris. Versi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh YY Hidayat dan diterbitkan oleh penerbit Indira. Komik ini berkisah tentang seorang koboi yang berkelana, ia dikenal dengan koboi yang mampu menembak lebih cepat daripada bayangannya. Petualangannya ditemani oleh kuda bernama Jolly Jumper dan anjing bernama Rantanplan. Kisahnya dikenal dengan akhir di mana si Koboi berjalan ke arah tenggelamnya matahari yang diiringi dengan cahaya jingga matahari, sembari bersenandung “I’m a poor lone some cowboy and a long way from home…”.

Sumber gambar: Lucky Luke: Kota Hantu, Penerbit Indira, 1987.

 

 

Marsupilami

Satu lagi komik berbahasa Prancis dari Belgia adalah Marsupilami karya André Franquin. Komik ini terkenal dengan kisah seekor hewan berwarna kuning dengan motif polkadot hitam di tubuhnya. Ia adalah hewan fiksi yang diimajinasikan oleh Franquin. Komik ini pertama kali diterbitkan pada 1952 di majalah Spirou. Pada 1980-an Marsupilami kemudian dibuat versi serial televisi. Tingkah lucu dan khas dari hewan Marsupilami ini kemudian banyak digandrungi oleh pecinta komik dan serialnya.

Sumber gambar: steemit.com

 

Selain judul-judul komik di atas, masih banyak lagi komik Prancis dan Frankofon yang bisa kita jelajahi. Salah satu upaya untuk melihat bagaimana pertumbuhan komik Prancis dan bagaimana pengaruhnya dalam kesusastraan Indonesia, LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2023 akan menggelar pameran komik Prancis yang bisa disaksikan secara langsung di Komunitas Salihara pada Agustus nanti. Untuk informasi selengkapnya dapat dilihat di salihara.org.

 

Sampai jumpa di LIFEs mon Amour!

debat-sastra2023

MENYAMBUT LIFEs 2023: Frankofon
PENDAFTARAN KOMPETISI DEBAT SASTRA TINGKAT SMA DIBUKA

Pendaftaran: 16 Maret–17 Agustus 2023

Total Hadiah: Rp44.000.000

 

Jakarta, 17 Maret 2023– Membaca karya sastra penting dilakukan sejak usia dini sebab sastra seperti novel, cerpen, atau puisi dapat memberikan kekayaan psikologis dan perspektif dalam memahami persoalan manusia atau dunia. Untuk mendukung minat baca yang dipupuk sejak dini serta mendorong peningkatan intelektualitas generasi muda, Komunitas Salihara kembali mengadakan Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA 2023. Sesuai dengan tema Literature and Ideas Festival (LIFEs) 2023 yakni Sastra Prancis & Frankofoni–negara berbahasa Prancis–, tahun ini Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA akan mengajak calon peserta untuk membandingkan novel Nyonya Bovary karya Gustave Flaubert (Prancis) dengan Kerudung Merah Kirmizi karya Remy Sylado (Indonesia).

Kedua novel ini dipilih untuk dibandingkan karena sama-sama mengangkat tokoh utama perempuan yang ditulis oleh pengarang laki-laki. Meski jarak antara kedua novel tersebut adalah 150 tahun–Nyonya Bovary terbit pada 1857 dan Kerudung Merah Kirmizi terbit pada 2002–masing-masing ditulis dalam kuatnya sensor negara serta hadir di tengah masyarakat dengan budaya patriarki yang kuat.

Fokus perbandingan yang diminta adalah: penggarapan atas tokoh utama perempuan dalam hubungan dengan tokoh-tokoh lainnya serta bagaimana penggarapan itu merupakan kritik atau justru konfirmasi atas nilai-nilai masyarakat zamannya.

Bagi calon peserta yang ingin mengikuti “Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA” ini diharapkan untuk membentuk tim yang terdiri dari 3 (tiga) siswa tingkat SMA/sederajat dari sekolah yang sama. Tiap sekolah dapat mengirimkan lebih dari 1 (satu) tim. Siswa/i yang mendaftar harus merupakan siswa yang masih bersekolah di bangku SMA ketika final debat berlangsung di 28 Oktober 2023.

Kompetisi ini tertutup bagi peserta yang sudah menjadi juara 1 (satu) pada tahun sebelumnya. Peserta yang mendaftar akan membuat karya tulisan telaah (berupa tulisan atau makalah) dalam bahasa Indonesia setelah membaca dan membandingkan kedua karya (Nyonya Bovary dan Kerudung Merah Kirmizi) yang dapat diunduh setelah proses pendaftaran.

Pendaftaran sudah dapat dimulai sejak 16 Maret–17 Agustus 2023, sedangkan untuk makalah dapat dikumpulkan mulai 17 Agustus–4 September 2023 (tenggat kirim surat elektronik). Perlu diingat, sekolah yang mendaftar namun tidak mengirimkan makalahnya akan didiskualifikasi pada tahun penyelenggaraan berikutnya.

Makalah yang terpilih akan dilihat dari mutu argumen, pendalaman, penggalian masalah, dan ketertiban serta keindahan bahasa Indonesia yang digunakan. Pemenang Kompetisi Debat Sastra akan mendapatkan hadiah uang tunai sebesar Rp20.000.000 dan Rp15.000.000 untuk pemenang kedua. Tiga makalah favorit juga akan mendapatkan masing-masing Rp3.000.000 (pajak ditanggung pemenang). 

 

Tentang Nyonya Bovary dan Kerudung Merah Kirmizi 

Kedua karya ini sama-sama mengangkat tokoh perempuan yang berhadapan dengan situasi zaman dan masyarakatnya. Nyonya Bovary sempat mendapat perlawanan dari otoritas setempat saat peluncurannya atas amoralitas yang terdapat di dalamnya. Namun tetapi, karya tersebut juga mendapatkan respon yang baik dari masyarakat Prancis bahkan menjadi karya terlaris di masanya. Di era modern, novel ini telah diadaptasi ke berbagai medium seperti film, televisi, layar lebar, opera, dan bahkan disebut sebagai salah satu sastra Prancis yang penting dalam kesusastraan dunia.

Sedangkan Kerudung Merah Kirmizi yang terbit di awal 2000-an membawa Remy Sylado meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2002, sebuah penghargaan bergengsi di bidang sastra  yang pernah diraih oleh penulis-penulis ternama seperti Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Seno Gumira Ajidarma. Karya ini menceritakan kisah cinta dengan latar Orde Baru–yang sensitif untuk dibahas di masa tersebut–yang penuh kesewenang-wenangan dan pandangan budaya patriarki yang kuat di dalamnya.

Membaca dua karya ini secara berdampingan akan memberi kita kesempatan untuk memahami masalah yang mirip sekaligus berbeda dalam perspektif yang lebih luas dan kaya. 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

jb2023

MENYAMBUT LIFEs 2023: Frankofon
UNDANGAN TERBUKA PENULISAN MAKALAH “PRANCIS DAN FRANKOFON DALAM SASTRA DAN GAGASAN”

Pendaftaran: 20 Maret-08 Mei 2023

 

Jakarta, 21 Maret 2023 – Sastra dan gagasan dari negara maupun bahasa Prancis telah meluas ke wilayah-wilayah lain dunia. Melalui kolonialisme, bahasa Prancis kini digunakan di negeri-negeri yang digolongkan sebagai Frankofon (di mana bahasa Prancis digunakan). 

Jika kesusastraan Prancis lebih mencerminkan dinamika kehidupan khas Prancis dan Eropa, kesusastraan Frankofon adalah sebuah ruang besar yang menggambarkan kompleksitas identitas, keragaman budaya, isu-isu sosial, gender, ras, dan agama dalam konteks poskolonial, yang membentang dari tanah Afrika, negara-negara Maghribi, Timur Tengah, Asia Tenggara, hingga Kanada dan Karibia. Selain itu, Prancis juga memiliki jejak sejarah dan hubungan tersendiri dengan Indonesia.

Komunitas Salihara dan Program Studi Prancis Universitas Indonesia menyelenggarakan Seminar Sastra dan Gagasan Prancis dan Frankofoni dalam Literature & Ideas Festival Salihara (LIFEs) 2023. LIFEs sendiri merupakan program dua tahunan yang menghadirkan rangkaian kegiatan seperti ceramah, seminar dan diskusi, pameran, kompetisi, serta pertunjukan artistik yang dikemas ke dalam rangkaian program satu pekan. 

Untuk meramaikan pekan sastra dan gagasan tersebut, kami mengundang akademisi, peneliti, mahasiswa, dan masyarakat umum pecinta sastra dan gagasan untuk turut berpartisipasi dalam seminar yang berjudul:

“Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan: Ruang Pertemuan Budaya, Identitas, dan Kritik Sosial”

Kami mengundang partisipan untuk membuat makalah presentasi mengenai kesusastraan atau pemikiran dari Prancis dan negara-negara Frankofoni. Berikut adalah beberapa subtema atau perspektif untuk panduan pembuatan makalah:

  • Kritik Poskolonialisme
  • Konflik Identitas dan Kritik Sosial
  • Tantangan Multikulturalisme 
  • Gender dan Budaya Patriakal
  • Tubuh dan Perlawanan Perempuan
  • Hubungan Indonesia dan Prancis
  • Pemikiran tentang seni dan estetika mutakhir

Undangan terbuka ini ditujukan untuk seluruh peserta baik WNI/Asing yang ingin terlibat. Makalah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris dengan kaidah penulisan yang baik dan benar. Makalah yang dikirimkan harus memuat 4.000-7.000 kata Ms-Word sudah termasuk judul, abstrak, dan isi. Calon peserta juga wajib melampirkan biodata pendek dan Surat Pernyataan Bebas Plagiarisme (materai 10.000) yang dilampirkan di lembar terpisah. 

Pengumpulan makalah akan berlangsung dari 20 Maret hingga 08 Mei 2023 dan dikirim ke alamat surat opencall@salihara.org. Delapan makalah terpilih nantinya akan diperesentasikan oleh pemakalah dalam program Seminar Prancis & Frankofon LIFEs di bulan Agustus 2023. Tiap pemakalah yang terpilih akan mendapatkan biaya presentasi sebesar Rp1.500.000,-. Detail dan keterangan lebih lengkap mengenai undangan terbuka ini dapat dilihat di .

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

monamur

Undangan Menulis Seminar LIFEs 2023

Sastra dan gagasan dari negeri maupun bahasa Prancis telah meluas ke wilayah-wilayah lain dunia. Melalui kolonialisme—dengan segala ironi dan paradoksnya—bahasa Prancis kini digunakan di negeri-negeri yang digolongkan sebagai Frankofon (di mana bahasa Prancis digunakan).  Jika kesusastraan Prancis lebih mencerminkan dinamika kehidupan khas Prancis dan Eropa, kesusastraan Frankofon adalah sebuah ruang besar yang menggambarkan kompleksitas identitas, keragaman budaya, isu-isu sosial, gender, ras, dan agama dalam konteks poskolonial, yang membentang dari tanah Afrika, negara-negara Maghribi, Timur Tengah, Asia Tenggara, hingga Kanada dan Karibia. Selain itu, Prancis juga memiliki jejak sejarah dan hubungan tersendiri dengan Indonesia. Komunitas Salihara dan Program Studi Prancis Universitas Indonesia menyelenggarakan Seminar Sastra dan Gagasan Prancis dan Frankofoni dalam Literature & Ideas Festival Salihara 2023. Kami mengundang akademisi, peneliti, mahasiswa, dan masyarakat umum pecinta sastra dan gagasan untuk turut berpartisipasi dalam seminar yang berjudul: “Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan: Ruang Pertemuan Budaya, Identitas, dan Kritik Sosial” Kami mengundang partisipan untuk membuat makalah presentasi mengenai kesusasteraan atau pemikiran dari Prancis, Frankofoni, dan sumbangannya bagi dunia dan Indonesia. Berikut adalah beberapa subtema atau perspektif untuk panduan pembuatan makalah:
  • Kritik Poskolonialisme
  • Konflik Identitas dan Kritik Sosial
  • Tantangan Multikulturalisme
  • Gender dan Budaya Patriarki
  • Tubuh dan Perlawanan Perempuan
  • Hubungan Indonesia dan Prancis
  • Pemikiran tentang seni dan estetika mutakhir

Jadwal

  • Pendaftaran: 21 Maret-31 Mei 2023;
  • Seleksi: Juni 2023;
  • Pengumuman:12 Juni 2023;
  • Presentasi makalah terpilih: 15-18 Agustus 2023 di Komunitas Salihara.

Syarat dan Ketentuan

  • Makalah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris;
  • Makalah berisi judul, abstrak, dan isi (4.000-7.000 kata, MS-Word);
  • Mencantumkan daftar kepustakaan;
  • Melampirkan biodata pendek (lembar terpisah);
  • Melampirkan surat pernyataan bebas plagiarisme dengan mencantumkan materai 10.000;
  • Pengiriman makalah ke alamat surel: opencall@salihara.org

Teknis Penilaian

  • Tim kuratorial seminar akan memilih paling banyak 8 makalah; 
  • Pemakalah terpilih wajib mempresentasikan makalah dalam program Seminar Prancis & Frankofon LIFEs pada Agustus 2023 di Komunitas Salihara; 
  • Pemakalah terpilih akan mendapat biaya presentasi sebesar Rp1.500.000;
  • Untuk pemakalah dari luar kota, kami tidak menanggung akomodasi dan transportasi kedatangan.
Sekilas Kisah Erotis dan Penulis Prancis

Sekilas Kisah Erotis dan Penulis Prancis

Sastra juga tak bisa berjarak dengan cerita-cerita yang memiliki tempat tersendiri pada adegan seks atau kita seringkali mengaitkannya dengan istilah erotika. Cerita-cerita yang memuat adegan seks ini tak hanya dituliskan begitu saja tanpa eksperimen estetika di dalamnya. 

Di Indonesia menyebut sastra erotika, kita tak asing dengan tulisan-tulisan penulis yang memakai nama Enny Arrow–meski kita tak pernah yakin siapa sebetulnya sosok Enny Arrow ini. Tulisan-tulisan erotis Enny Arrow yang hadir pada 1980-an diedarkan dalam bentuk buku tipis dengan gambar sampul yang tak jarang menampilkan tubuh perempuan. Narasi yang ditulis Enny Arrow lebih banyak berpusat pada adegan persetubuhan yang dituliskan cukup detail. Kita bisa melihatnya dari potongan cerita berjudul Sepanas Bara:

“…sensasi nikmat teramat sangat saat kepala rudalnya menyerodok masuk ke dalam lubang sempit..”

Jika di Indonesia sastra erotis sering dikaitkan dengan tulisan Enny Arrow, dalam sastra Prancis juga ada penulis erotika, di antaranya adalah Colette, Marguerite Duras, Annie Ernaux, Anne Desclos, dan Anaïs Nin. Prancis menjadi salah satu negara dengan karya sastra erotis yang tak hanya ditulis oleh laki-laki, tapi juga penulis perempuan. Dengan menuangkan pengalaman seksual dari tubuh perempuan, penulis-penulis perempuan Prancis tersebut mampu bereksperimen dengan diksi dan estetika seru untuk diikuti pembaca. Salah satunya muncul pada karya Anaïs Nin, seorang penulis perempuan yang lahir di Prancis. Tulisan-tulisannya berupa cerita pendek dan novel berisi catatan-catatan harian. Baginya, menulis karya sastra dalam bentuk catatan harian adalah upaya untuk pembebasan diri, keluar dari sistem-sistem yang mengikat tiap individu. 

Dalam salah satu bukunya bertajuk  Les Petits Oiseaux (Little Birds) berisi 13 cerita pendek, ia menyajikan kisah-kisah erotis dengan tokoh beragam. Ia mampu menciptakan tokoh-tokoh dengan beragam latar belakang. Anaïs Nin tidaklah menuliskan cerita dengan adegan erotis persetubuhan seperti Enny Arrow, ia juga menggambarkan bagaimana kehidupan orang-orang dari beraneka kelas dan status sosial. 

Usaha untuk membebaskan diri dari segala kungkungan sistem seperti digambarkan Anaïs Nin dalam salah satu cerpennya berjudul Runaway. Cerpen ini berkisah tentang seorang perempuan yang melarikan diri dari rumahnya dan tinggal bersama temannya. Perkenalan pada seorang tokoh laki-laki membawanya pada kebebasan hasrat bercinta. Bahwa kebebasan juga berhak didapatkan dalam aktivitas persetubuhan. 

Dalam salah satu cerpennya berjudul Chanchiquito, Anaïs Nin berkisah tentang seorang perempuan yang mengingat masa kecilnya. Tokoh perempuan ini mengingat tentang lubang di antara kedua kakinya yang diendus oleh seekor anjing dan ia pun merasakan sensasi aneh sekaligus menyenangkan dalam dirinya. Ingatan ini muncul ketika ia tengah menjadi model lukisan seorang seniman dan ia melihat lukisan di dinding yang mengabadikan adegan perempuan dengan anjing-anjingnya.  

Masih banyak cerita-cerita erotis sekaligus menarik yang tidak hanya memperlihatkan unsur kecabulan ditulis oleh Anaïs Nin. Tulisan-tulisan Anaïs Nin menunjukkan bahwa penulis perempuan tidak hanya sekadar menulis persoalan pengalaman pribadi, namun ia mengolahnya, menjelmanya menjadi eksperimen sastra yang patut diakui kemahirannya. 

Seperti apa karya-karya Anaïs Nin lainnya? Adakah tulisan-tulisannya berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Prancis hari ini? Dan seperti apa karya penulis perempuan Prancis lainnya yang juga menciptakan sastra erotis? Mari temukan jawaban-jawaban pertanyaan ini melalui LIFEs 2023 yang mengusung tema Frankofon. Tema ini hendak meneroka karya-karya sastra dan pemikiran dari negara-negara penutur bahasa Prancis. LIFEs akan berlangsung pada 05-13 Agustus 2023, sampai jumpa pada LIFEs mon Amour!

 

Sumber Bacaan:

Little Birds karya Anaïs Nin, cetakan pertama Pocket Books, 1990. 
Sepanas Bara karya Enny Arrow, tahun tak diketahui. 
Tulisan Erotika (di) Indonesia: Sedikit Catatan karya Goenawan Mohamad, 2022.

suket

Bandung Bondowoso dan Kisah yang Berputar

Ditulis oleh Telaga Kasih

 

Di dalam ruang galeri dengan tembok cekung seperti dalam tabung, penonton duduk berlesehan. Layar berukuran 1 x 1.5 meter dengan cahaya temaram ada di depan mereka. Jerami disebar di depan penonton untuk memberi jarak pandang pada layar. Layar ini bukan televisi, bukan juga layar yang memancarkan film dalam bioskop, ia semacam kelir atau kain putih yang biasa digunakan dalam pertunjukan wayang dan bayangan. Selama kurang lebih 60 menit, kita diajak berpetualang dalam lakon Bandung Bondowoso versi wayang suket. Pertunjukan wayang suket ini ditampilkan oleh komunitas Wayang Suket Indonesia, sebuah kelompok kesenian yang berusaha melestarikan kesenian wayang suket. Suket atau rumput di sini adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat wayang. Kelompok teater objek ini juga sekaligus mengenalkan jenis wayang selain wayang kulit, wayang golek, dan wayang beber. 

Pertunjukan wayang suket ini hadir dengan nuansa riang dan penuh semangat yang dibawakan oleh dalang. Berbeda dengan pertunjukan wayang kulit yang lengkap dengan seperangkat musisi karawitan, wayang suket ini hadir dengan perpaduan instrumen musik yang modern seperti gitar dan ukulele, namun tetap tidak meninggalkan instrumen kendang dan suara merdu seorang sinden. Wayang suket yang dihadirkan juga tak hanya yang berukuran kecil, tapi juga berukuran orang dewasa yang dimainkan oleh sepasang penari. Dua wayang suket raksasa ini menampilkan tokoh Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang, dua tokoh sentral dalam kisah ini. 

Pada umumnya kita mengenal kisah Bandung Bondowoso berkaitan dengan legenda berdirinya Candi Prambanan—meski kita tak pernah tahu siapa yang pertama kali menyiarkan dongeng ini. Kisah Bandung Bondowoso sebetulnya adalah salah satu cerita rakyat yang kemudian menjadi “sejarah yang lain” dari pembangunan sebuah situs sejarah. Sedikit menyinggung sejarah Candi Prambanan, candi ini termasuk dalam kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia. Berdirinya Candi Prambanan berawal pada abad ke-9 masehi yang dimulai dari Raja Rakai Pikatan pada masa kerajaan Medang Mataram. Pembuatannya dipercaya sebagai bentuk persembahan pada tiga dewa utama Hindu atau Trimurti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Salah satu arca dewi perempuan yang adalah arca Durga Mahisasuramardini kemudian dipercaya sebagai arca Roro Jonggrang, seorang perempuan yang dikutuk oleh Bandung Bondowoso untuk melengkapi candi ke-1000. 

Kisah yang dituturkan Wayang Suket Indonesia berupaya menciptakan tokoh Bandung Bondowoso sebagai sosok laki-laki ksatria yang baik hati dan berjiwa pahlawan. Kelompok ini percaya bahwa kisah Bandung Bondowoso di luar sana atau yang kerap diceritakan adalah karakter yang jahat, kejam, suka membunuh, dan kemudian mengutuk seorang putri dari raja yang ia kalahkan. Pada pertunjukan ini kisah tersebut memiliki tawaran penokohan yang baru atau sama sekali lain dengan apa yang dikenal oleh masyarakat saat ini. Bisa dikatakan Wayang Suket Indonesia mencoba mendekonstruksi kisah Bandung Bondowoso. 

 

Upaya Dekonstruksi Bandung Bondowoso

Kisah dimulai dengan tokoh utama, Bandung Bondowoso ksatria Kerajaan Pengging, diberi tugas untuk melakukan perjalanan sekaligus mengajak Raja Kerajaan Prambanan bersekutu. Permintaan ini ditolak oleh Raja Prambanan (Prabu Boko) dan berakhir dengan peperangan. Perang ini disulut oleh Raja Prambanan yang tidak ingin diajak bekerjasama dan merasa dianggap remeh oleh Kerajaan Pengging. Dengan kalahnya Raja Prambanan yang berakhir dengan kematian Sang Raja, Bandung Bondowoso pun diberi wewenang untuk memimpin kerajaan tersebut—sebuah struktur klasik dari perebutan wilayah melalui peperangan. Kerajaan Prambanan makin makmur di bawah pemerintahan Bandung Bondowoso, hingga ia sadar pada kecantikan Roro Jonggrang—anak Raja Prambanan yang dikalahkan Bandung Bondowoso. Roro Jonggrang dilamar, lamaran Bandung Bondowoso tak bisa ditolak—tentu tak ada yang boleh menolak keinginan Sang Raja. Namun kesedihan mendalam masih melekat pada diri Roro Jonggrang, hingga ia pun menyusun taktik. Ia memberi syarat dibuatkan 1000 candi dalam waktu semalam. Syarat itu disetujui oleh Bandung Bondowoso. Suasana pertunjukan wayang dibuat makin tegang ketika Roro Jonggrang sadar bahwa candi akan segera selesai dan hari belum juga muncul fajar. Siasat ke-2 digunakan, Roro Jonggrang mengutus para dayang untuk menciptakan pagi buatan. Suara ayam, suara lesung, langit yang memancar warna merah fajar dari jerami yang dibakar menciptakan suasana yang seolah-olah pagi. Bandung Bondowoso bekerja dibantu oleh para prajurit jinnya, para jin pontang-panting takut pagi. Para jin meninggalkan tugas mereka dan menyisakan Bandung Bondowoso yang terus membangun candi sendirian. Roro Jonggrang menyaksikannya, ia dengan berani mengatakan bahwa candi tak genap 1000. Segala ucapan serapah keluar dari tokoh Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso dianggap sebagai laki-laki yang gemar melanggar janji. Hati Bandung Bondowoso sakit dan diceritakan Sang Dewa turut tidak terima kemudian mengutuk Roro Jonggrang jadi arca candi ke-1000. Bandung Bondowoso menangis, menyesal atas sakit hatinya dan membuat upacara persembahan pada arca Roro Jonggrang. Pertunjukan ini ditutup dengan nasehat yang baik agar sesama manusia tidak saling membenci dan memberi harapan palsu. 

Sekilas kita memang disuguhkan dengan karakter Bandung Bondowoso yang baik hati, ksatria yang tak pernah melanggar janji. Tapi jika benar kisah ini hendak didekonstruksi, dikisahkan kembali dengan gagasan yang sama sekali baru tapi kisah yang diciptakan dalam pertunjukan ini cenderung sama atau masih pengulangan dengan cerita yang ada. Ada unsur ketidakterimaan tentang “perempuan yang selalu ditindas dalam dongeng” yang kemudian dipatahkan dengan karakter baik hati seorang laki-laki. Tak bisa dihindari bahwa Roro Jonggrang tetap menjadi korban, ia korban dari perihal perputaran politik sebuah negara. Korban dari kesewenangan pimpinan negara demi meluaskan kekuasaannya. Secara emosional, siapa yang tidak sedih jika ayah kandung dibunuh dan si pembunuh justru menikahi anaknya? 

Barangkali akan lain kisahnya jika Bandung Bondowoso menolak permintaan Raja Pengging dan tidak terlibat perseteruan dengan Raja Prambanan. Akan lain kisahnya apabila Bandung Bondowoso bertemu lebih dulu dengan Roro Jonggrang dan membuat negosiasi yang lebih “halus” dengan Kerajaan Prambanan. Akan lain pula kisahnya apabila Roro Jonggrang turun di medan perang melawan Bandung Bondowoso. Atau kisah lain yang lebih mengorek luka diri Bandung Bondowoso setelah berhasil mengalahkan Raja Prambanan, apakah ia puas? Apakah ia betul-betul tak sadar bahwa Roro Jonggrang adalah anak Raja Prambanan? Apakah sampai hati Bandung Bondowoso menikahi anak dari mungsuh yang dibunuhnya sendiri? Penelusuran pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi akan membawa legenda Bandung Bondowoso pada kisah yang tak hanya berputar pada persoalan baik dan buruk. 

 

Upaya Pelestarian Budaya

Pertunjukan Bandung Bondowoso ala Wayang Suket Indonesia terasa masih berkutat pada persilangan baik-buruk, hitam-putih, menang-kalah. Namun di luar kisah yang diusung, pertunjukan ini layak untuk disaksikan oleh masyarakat perkotaan—khususnya usai dua tahun pandemi yang menggempur segala bentuk pertunjukan yang bisa disaksikan secara langsung. Wayang Suket Indonesia sangat sadar akan upaya pelestarian budaya yang barangkali jarang tersentuh mayoritas masyarakat perkotaan. Di Jakarta barangkali sangat minim tontonan yang berangkat dari kesenian tradisi namun tetap dikemas dengan segar. Ditambah usaha pengenalan jenis lain dari kesenian wayang di Indonesia yang ternyata sangat kompleks dan luas yang dikemas dalam pertunjukan wayang suket, disampaikan oleh dalang dengan optimis dan apik. Pada era-era yang makin maju ke depan lengkap dengan kompleksitas kemajuan teknologi digital, kesenian tradisi barangkali tak akan segera luntur dan terlupakan apabila kita terus membuka diri dengan kemungkinan yang ada.