Ignas 1

Berita Acara Penjurian Pemakalah Terpilih

UNDANGAN TERBUKA MEMBACA PARAKITRI T. SIMBOLON DAN MEMBACA IGNAS KLEDEN

 

Pada Senin, 21 Juli 2025, telah berlangsung penjurian secara daring melalui platform Zoom Meeting untuk program Undangan Terbuka Membaca Parakitri T. Simbolon dan Membaca Ignas Kleden, yang akan dipresentasikan dalam Literature and Ideas Festival (LIFEs), 08–16 Agustus 2025. Proses ini dilakukan oleh Dewan Juri, yaitu Ayu Utami & Zen Hae.

Berdasarkan hasil penjurian dan diskusi yang dilaksanakan, Dewan Juri memutuskan dua pemakalah yang terpilih untuk mempresentasikan karya mereka pada 12 Agustus 2025 dalam program Klasik Nan Asyik: Membaca Ignas Kleden, yaitu sebagai berikut:

  • Fajri Siregar

Judul Makalah: Membaca Ignas Kleden: Merayakan Otonomi Keilmuan, Sikap Ilmiah dan Rasio

  • Alexander Aur

Judul Makalah: Sosiologi Keselamatan: Upaya Ignas Kleden Merumuskan Sosiologi Agama Konteks Indonesia 

Adapun pada program Klasik Nan Asyik: Membaca Parakitri T. Simbolon, Dewan Juri memutuskan bahwa tidak ada pemakalah yang terpilih untuk mempresentasikan karya pada 13 Agustus 2025. Keputusan ini diambil karena seluruh makalah yang diterima belum cukup memenuhi kriteria kelayakan yang telah ditetapkan oleh Dewan Juri, baik dari segi substansi, analisis, maupun keterkaitan dengan tema.

Demikian berita acara ini kami sampaikan dengan saksama. 

Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat.

 

Jakarta, 21 Juli 2025

Dewan Juri,

 

Ayu Utami
Zen Hae

 

les

Les Justes: Bom yang Gemetar di Tangan, Nurani yang Gemetar di Hati

Les Justes, yang dalam terjemahan Arif Budiman menjadi Teroris, adalah salah satu karya teater paling penting yang ditulis oleh Albert Camus, seorang filsuf Prancis yang terkenal dengan gagasan absurdisme dan humanisme. Karya ini bukan hanya sebuah drama panggung yang menegangkan, tetapi juga sebuah perenungan mendalam tentang konflik moral antara idealisme revolusioner dan nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar. Dengan latar Rusia awal abad ke-20, naskah ini menyoroti sekelompok revolusioner yang hendak menyingkirkan seorang bangsawan tiran demi kebebasan rakyat Rusia. Namun di balik rencana penuh bahaya itu, Camus justru menampilkan dilema-dilema moral yang menggetarkan.

Cerita dimulai di sebuah apartemen sederhana di Moskow, markas para revolusioner. Babak demi babak menampilkan suasana yang tegang: diskusi tentang rencana pembunuhan, debat tentang disiplin partai, dan ketegangan antara semangat kolektif dan kebimbangan pribadi. Para tokoh utama di antaranya Annenkov (pemimpin yang tegas), Dora (sosok perempuan yang kuat tapi juga rapuh), Stevan (revolusioner fanatik yang penuh amarah), Voinov (yang gemetar oleh rasa takut), dan Kaliayev seorang penyair yang kelak menjadi eksekutor utama bom. Yang membuat drama ini hidup bukan hanya rencana aksi mereka, tetapi juga konflik batin yang merobek mereka satu per satu. Camus menghadirkan pertanyaan mendasar tentang apakah demi tujuan besar (keadilan dan kebebasan) seseorang berhak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaannya? Pertanyaan ini tidak dijawab secara hitam putih. Drama ini justru memperlihatkan bagaimana setiap tokoh berusaha menegosiasikan idealisme mereka dengan nurani yang tak bisa dibungkam.

Kaliayev menjadi tokoh kunci dalam drama ini. Ia dijuluki “si Penyair” bukan hanya karena kegemarannya menulis sajak, tetapi juga karena jiwanya yang penuh keraguan dan kepekaan. Ketika dia mendapat tugas untuk melemparkan bom ke kereta yang ditumpangi sang bangsawan, dia sudah sangat siap dengan mempelajari jalur kereta, kecepatan kuda, bahkan retak pada kaca lampu kereta. Namun, segalanya berubah saat ia melihat ada anak-anak dalam kereta itu. Seketika itu juga, jiwanya memberontak. Kaliayev menolak melemparkan bom, karena bagi dia membunuh anak-anak adalah sebuah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan yang paling dasar. Momen ini menggambarkan bahwa seorang revolusioner tidak hanya bertempur dengan senjata, tetapi juga dengan hati nuraninya sendiri.

Konflik paling tajam terjadi ketika Stevan menuduh Kaliayev tak setia pada revolusi. Stevan adalah representasi ideologi yang ekstrem: bahwa demi revolusi, semua sah, termasuk membunuh anak-anak, jika perlu. Ia melihat kematian sebagai angka statistik yang tak lebih dari sekadar pengorbanan kecil demi perubahan besar. “Segala yang menghalangi tujuan revolusi harus disingkirkan!” begitu kira-kira argumennya. Stevan percaya bahwa keadilan sosial yang baru hanya bisa lahir melalui kekerasan tanpa ampun. Ini membuat kita sebagai penonton atau pembaca bertanya-tanya: apakah perjuangan keadilan sosial harus sampai menumpahkan darah anak-anak yang tak berdosa? 

Pertentangan antara Kaliayev dan Stevan ini menjadi inti drama: apakah revolusi harus mengabaikan kemanusiaan demi kemenangan? Kaliayev dengan penuh keyakinan menjawab tidak. Baginya, kehormatan manusia adalah satu-satunya harta yang dimiliki rakyat miskin. Ia percaya bahwa revolusi sejati adalah revolusi yang tetap menghargai martabat manusia. Camus, melalui Kaliayev, menegaskan bahwa terorisme yang membunuh anak-anak justru akan menciptakan bentuk tirani baru yang sama menindasnya dengan tirani lama yang hendak mereka gulingkan.

Tokoh Dora juga menambah lapisan emosional yang mendalam dalam drama ini. Sebagai perempuan yang terlibat penuh dalam pembuatan bom dan persiapan aksi, ia bukan hanya figur pendukung. Dora juga merasakan kegamangan yang bercampur aduk dengan kebanggaan, ketakutan, dan rasa cinta yang samar kepada Kaliayev. Dalam percakapannya dengan Kaliayev, Dora mengatakan bahwa mereka harus membunuh agar dunia menjadi lebih baik, tetapi di dalam hatinya dia sadar bahwa bom bukan hanya menghancurkan tiran, tapi juga menghancurkan kepolosan dan nurani mereka sendiri. Dialog antara Dora dan Kaliayev memperlihatkan bahwa dalam revolusi, mereka tidak hanya kehilangan hidup, tetapi juga rasa kemanusiaan yang membuat mereka berharga sebagai manusia.

Camus sendiri menulis drama ini berdasarkan kisah nyata tentang percobaan pembunuhan terhadap Grand Duke Sergei Alexandrovich pada 1905 oleh kelompok Sosialis Revolusioner Rusia. Namun dalam naskahnya, Camus memilih untuk menggali lebih dalam tentang psikologi para teroris itu, tentang apa yang mereka pikirkan, rasakan, dan bagaimana mereka bergulat dengan pilihan moral yang berat. Ia menolak melihat mereka sekadar sebagai “penjahat” atau “pahlawan,” tetapi lebih sebagai manusia biasa yang dilanda dilema. Dalam salah satu dialog paling menggetarkan, Stevan menegaskan bahwa rasa malu hanyalah kemewahan bagi kaum bangsawan, sedangkan bagi rakyat kecil, yang paling penting adalah kemenangan. Kaliayev menolak pandangan ini. Baginya, rasa malu adalah satu-satunya kekayaan yang tersisa bagi orang-orang tertindas. Ini menjadi kritik keras Camus terhadap revolusi yang lupa pada martabat manusia dan hanya mengejar kekuasaan. Camus ingin menegaskan bahwa revolusi yang adil tidak bisa dibangun di atas kejahatan yang sama dengan musuh yang mereka lawan.

Melalui Les Justes, Camus menegaskan pandangannya bahwa keadilan tidak bisa dicapai melalui kekerasan buta yang mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Ia menolak ide bahwa “tujuan menghalalkan cara.” Naskah ini bukan hanya kisah tentang bom dan konspirasi, tetapi sebuah pengingat bagi kita semua bahwa perubahan yang sejati tidak boleh melupakan nilai-nilai manusiawi. Kalau revolusi kehilangan belas kasih, ia akan tumbuh menjadi tirani baru.

Terjemahan Arif Budiman berhasil menghidupkan ketegangan dan kedalaman pemikiran Camus dengan bahasa yang mengalir, dialog yang tajam, dan adegan-adegan yang dramatis. Pembaca Indonesia dapat merasakan atmosfer tegang markas revolusioner, keraguan yang menusuk batin, dan ketegangan antara cita-cita dan rasa kemanusiaan. Pada akhirnya, Les Justes bukan hanya sebuah drama tentang para teroris yang ingin menjatuhkan tiran, tetapi juga tentang manusia yang rapuh, yang dihadapkan pada pertanyaan abadi: sampai di mana kita bisa mengorbankan nilai kemanusiaan demi cita-cita besar? Drama ini mengajak kita untuk merenungkan, bahwa sekalipun keadilan itu penting, tetap ada garis merah yang tak boleh dilanggar, yaitu kehormatan manusia.

Les Justes bukan hanya tentang perjuangan, tetapi juga tentang nurani manusia yang bergolak. Di balik ledakan bom yang mereka persiapkan, ada ledakan di hati mereka sendiri yang penuh keraguan, ketakutan, dan keyakinan yang saling bertarung. Pada 21 dan 22 Juni 2025, Teater Petra akan membawakan Les Justes di Komunitas Salihara dan mengajak kita semua untuk ikut merenungkan tentang bagaimana nurani dan revolusi bisa berdamai, atau justru saling menghancurkan? 

 

Parakitri 1

Undangan Terbuka
Membaca Parakitri T. Simbolon

Parakitri T. Simbolon, 30 tahun silam, menerbitkan buku yang monumental Menjadi Indonesia. Karya ini penting terutama karena, pada zamannya, ia menekankan gagasan bahwa Indonesia adalah proses menjadi, bukan identitas yang telah beku. Selanjutnya, judul itu digunakan banyak pihak, termasuk LIFEs yang merayakan 80 tahun kemerdekaan kali ini. Menjadi Indonesia adalah suatu usaha awal menuliskan sejarah Indonesia dengan perspektif yang lebih luas dan kritis di zaman ketika informasi masih sangat terbatas dan pemerintah Indonesia sangat otoriter. Buku ini merupakan bukti sejarah tentang semangat menolak satu versi saja sejarah resmi ala pemerintah. Selain Menjadi Indonesia, Parakitri juga menulis novel dan cerpen, antara lain: Ibu, Si Bongkok, Kusni Kasdut, Tawanan.

Kami mengundang anda untuk membaca kembali karya-karya Parakitri T. Simbolon dan membuat esai kajian mengenainya untuk dipresentasikan dalam Literature and Ideas Festival (LIFEs) 08-16 Agustus 2025.

 

Ketentuan:

  • Karya tulis sebaiknya mengambil fokus dan sudut pandang cukup tajam dan dengan pembacaan dalam, serta kritis pada pilihan karya-karya Parakitri T. Simbolon, baik buku Menjadi Indonesia, novel, cerpen, atau esai-esai lain. Beberapa gugus topik yang potensial, antara lain: perbandingan Menjadi Indonesia dengan buku-buku sejarah Indonesia yang terbit belakangan ini, kritik sastra atas novel atau cerpen Parakitri T. Simbolon.
  • Karya ditulis dalam bahasa Indonesia, diharapkan berbentuk prosa yang elegan (bukan format akademis kaku).
  • Panjang karya tulis berkisar antara 5000-8000 kata, dikirim dalam format docs.
  • Karya tulis dikirim ke email: opencall@salihara.org, tenggat waktu pada 12 Juli 2025, pukul 23:59 WIB.

 

Lain-lain:

  • Peserta terpilih akan diumumkan/dihubungi pada 20 Juli 2025.
  • Peserta terpilih akan diundang untuk membawakan presentasi dalam LIFEs pada Rabu, 13 Agustus 2025, dan mendapatkan honorarium sebesar Rp1.500.000 (sudah dipotong pajak dan termasuk pemuatan di kalamsastra.id). 
  • Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu-gugat dan tidak menerima surat-menyurat.
Ignas 1

Undangan Terbuka
Membaca Ignas Kleden

Ignas Kleden adalah figur penting dalam tradisi intelektual Indonesia. Tak hanya meneruskan kegigihan berpikir kritis dari cendekiawan era sebelumnya, ia juga memulai kajian sejarah intelektual Indonesia, yang ditulisnya dalam prosa yang indah, melampaui gaya kaku dunia akademik. Sejarah intelektual sangatlah penting untuk mengimbangi “sejarah resmi” Indonesia yang didominasi kepentingan politik dan kekuasaan. 

Kami mengundang anda untuk membaca kembali karya-karya Ignas Kleden dan membuat esai kajian mengenainya untuk dipresentasikan dalam Literature and Ideas Festival (LIFEs) yang berlangsung pada 08-16 Agustus 2025. 

 

Ketentuan:

  • Karya tulis tidak lagi berbicara secara umum, melainkan mengambil fokus dan sudut pandang yang tajam dan dengan pembacaan dalam serta kritis atas pilihan buah pikir Ignas Kleden. Beberapa gugus topik yang potensial, antara lain: tawaran dan persoalan kritik sastranya, gagasannya tentang peran dan tradisi intelektual di Indonesia, pemikiran sosiologis dan filosofisnya dalam pergulatan antara teori-teori Barat dengan konteks Indonesia.
  • Karya ditulis dalam bahasa Indonesia, diharapkan berbentuk prosa yang elegan (bukan format akademis kaku).
  • Panjang karya tulis berkisar antara 5000-8000 kata, dikirim dalam format docs.
  • Karya tulis dikirim ke email: opencall@salihara.org, tenggat waktu pada 12 Juli 2025, pukul 23:59 WIB.

 

Lain-lain:

  • Peserta terpilih akan diumumkan/dihubungi pada 20 Juli 2025.
  • Peserta terpilih akan diundang untuk membawakan presentasi dalam LIFEs pada Selasa, 12 Agustus 2025, dan mendapatkan honorarium sebesar Rp1.500.000 (sudah dipotong pajak dan termasuk pemuatan di kalamsastra.id). 
  • Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu-gugat dan tidak menerima surat-menyurat. 
patri

Menjadi Indonesia: Proyek Kebangsaan yang Tak Pernah Selesai

Catatan pendek pemikiran Parakitri T. Simbolon.

 

Apa artinya menjadi Indonesia? Pertanyaan ini terdengar sederhana, namun kita masih berhati-hati untuk memberikan jawaban yang pasti. Dalam konteks hari ini, ketika identitas kebangsaan kerap dipertanyakan dan bahkan ditarik-tarik untuk kepentingan politik sesaat, pertanyaan ini kembali penting untuk diajukan. Parakitri T. Simbolon, dalam karyanya Menjadi Indonesia, mengajak kita melihat bahwa Indonesia bukan sesuatu yang “sudah jadi”, melainkan sesuatu yang terus diupayakan. Indonesia adalah sebuah proyek kebangsaan yang dibangun melalui pergulatan ide, bukan sekadar hasil dari geografi atau sejarah politik belaka.

Parakitri T. Simbolon tidak memulai ceritanya dari titik deklaratif seperti Proklamasi 17 Agustus 1945. Ia justru menelusuri proses panjang terbentuknya kesadaran kebangsaan Indonesia, suatu proses yang menurutnya jauh lebih penting daripada sekadar momen-momen monumental. Dalam pandangannya, nasionalisme Indonesia tidak muncul dari kekosongan, melainkan lahir melalui dinamika sosial, budaya, dan intelektual yang terjadi di awal abad ke-20. Ia menunjukkan bahwa menjadi Indonesia adalah sebuah pilihan sadar, bukan sesuatu yang jatuh dari langit atau terbentuk secara otomatis karena adanya penjajahan yang sama. Gagasan bahwa Indonesia adalah sebuah “bangsa yang dibayangkan” bukan hal baru, dan Parakitri T. Simbolon tidak menampik konsep ini yang diperkenalkan oleh Benedict Anderson. Ia melihat bagaimana proses pengimajinasian itu dilakukan secara sadar oleh para intelektual dan pemikir awal bangsa. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan lainnya tidak sekadar menjadi pahlawan, tapi mereka adalah konseptor yang aktif merumuskan dan mempertanyakan: bangsa seperti apa yang ingin kita bangun? Apa artinya merdeka? Apa makna keindonesiaan itu sendiri?

Parakitri T. Simbolon menggali cara pikir para pemimpin bangsa dalam membayangkan Indonesia. Ia mengajak pembaca untuk memahami bahwa “Indonesia” adalah hasil dari kompromi gagasan, perdebatan panjang, dan dialog antara banyak kepala yang berbeda latar. Konsep persatuan, misalnya, bukan lahir dari semangat keseragaman, melainkan dari kesadaran bahwa keberagaman adalah keniscayaan yang harus dirawat. Menjadi Indonesia, bagi Parakitri T. Simbolon, bukan berarti meniadakan perbedaan, tetapi justru mencari titik temu di antara keberagaman itu. Inilah yang membuat konsep kebangsaan Indonesia sangat khas, ia tidak dibangun atas dasar satu ras, satu agama, atau satu bahasa ibu. Indonesia justru berdiri sebagai rumah bersama dari ratusan etnis, bahasa daerah, dan identitas lokal yang berbeda-beda. Dalam semangat itulah Pancasila dirumuskan, bukan sebagai alat pemersatu yang memaksa, melainkan sebagai landasan hidup bersama yang inklusif.

Namun, Parakitri T. Simbolon juga tidak romantis. Ia menyadari bahwa proyek kebangsaan ini selalu berada dalam ancaman: dari eksklusivisme identitas, dari pemusatan kekuasaan, hingga dari erosi nilai-nilai kebangsaan itu sendiri. Dalam narasinya, kita melihat bahwa sejarah Indonesia penuh dengan ketegangan antara cita-cita dan kenyataan. Antara impian kemerdekaan dan praktik kekuasaan. Antara nasionalisme yang mengikat dan politik yang membelah. Justru karena itulah, menjadi Indonesia adalah proses yang tidak pernah selesai. Ia bukan status yang bisa diklaim secara pasif, melainkan proses yang terus diperjuangkan. Setiap generasi punya tugasnya sendiri dalam menjaga dan membentuk ulang keindonesiaan sesuai konteks zamannya. Dalam hal ini, sejarah bukan sekadar pelajaran masa lalu, melainkan ruang refleksi dan orientasi ke masa depan.

Parakitri T. Simbolon menyentuh satu hal yang sangat relevan bagi generasi hari ini: pentingnya keterlibatan dalam percakapan kebangsaan. Ia menyayangkan kecenderungan publik yang melihat sejarah dan nasionalisme sebagai hal yang membosankan, milik masa lalu, atau sekadar jargon politik. Padahal, tanpa pemahaman mendalam tentang proses menjadi Indonesia, kita bisa dengan mudah terjebak pada nasionalisme sempit atau bahkan kehilangan orientasi sebagai bangsa. Salah satu kekuatan buku Menjadi Indonesia adalah kemampuannya menjembatani antara sejarah dan pemikiran.Parakitri T. Simbolon tidak hanya menyajikan kronologi, tetapi juga menafsirkan makna di balik peristiwa. Ia menulis dengan gaya reflektif, kadang filosofis, namun tetap membumi. Pendekatannya mengingatkan kita bahwa sejarah bukan hanya tentang siapa berbuat apa dan kapan, tapi tentang ‘mengapa’ hal itu dilakukan dan ‘bagaimana’ ia membentuk masa depan.

Dalam konteks kekinian, ketika masyarakat Indonesia menghadapi tantangan globalisasi, polarisasi politik, hingga krisis identitas, gagasan Parakitri T. Simbolon terasa sangat relevan. Ia mengingatkan bahwa menjadi Indonesia hari ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana kita membaca dan memahami perjalanan menjadi Indonesia sejak dulu. Menjadi Indonesia berarti memelihara semangat perdebatan, menjaga ruang publik yang sehat, dan merawat semangat kebersamaan tanpa menghapus perbedaan. Parakitri T. Simbolon juga menyiratkan bahwa menjadi Indonesia berarti menjaga akal sehat politik. Nasionalisme yang sehat tidak memusuhi perbedaan, tetapi mengakomodasi dan merayakannya. Ia tidak dibangun atas dasar ketakutan terhadap “yang lain”, tetapi atas keyakinan bahwa kita bisa tumbuh bersama dalam perbedaan. Dalam pandangan ini, nasionalisme bukanlah eksklusivitas, tapi keterbukaan terhadap kompleksitas realitas.

Menjadi Indonesia bukan hanya buku sejarah. Ia adalah undangan untuk berpikir ulang tentang siapa kita sebagai bangsa. Ia adalah ajakan untuk melihat Indonesia bukan sebagai warisan mati, tetapi sebagai warisan hidup yang menuntut partisipasi dan komitmen. Dalam dunia yang terus berubah dan penuh tantangan, kesadaran semacam ini menjadi sangat penting. Kita mungkin tidak pernah bisa sepenuhnya ‘selesai’ menjadi Indonesia. Tapi justru dalam ketidaksempurnaan dan pergulatan itulah, makna keindonesiaan kita terus diperbarui. Dan seperti yang diyakini oleh Parakitri T. Simbolon, menjadi Indonesia adalah kerja sejarah yang dilakukan terus-menerus, oleh kita semua.

“Menjadi Indonesia” adalah tajuk LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2025 yang akan berlangsung pada 08 hingga 16 Agustus mendatang. LIFEs kali ini akan mengajak publik untuk menelusuri karya-karya dari klasik sampai terkini, dalam diskusi maupun pentas inovatif, yang membincangkan apa itu menjadi sebuah bangsa. Informasi selengkapnya dapat dilihat melalui lifes.salihara.org

 

sidang PPKI

Memaknai 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia dengan Membaca Ulang Naskah Sidang BPUPKI

Pada 2025 ini, sudah 80 tahun Indonesia merdeka. Perjalanan panjang dilewati untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa hingga hari ini. Meski dalam perjalanannya kita melalui berbagai fenomena yang mencederai kemerdekaan tersebut, dari pembatasan berekspresi atas nama menyinggung kelompok tertentu hingga penyalahgunaan posisi kekuasaan. Bahkan beberapa catatan sejarah bangsa kita masih ada yang dicap sebagai “koleksi arsip terlarang”. 

Tapi, penting pula bagi kita untuk kembali menengok arsip pembentukan Indonesia. Kita dapat memulainya dari membaca ulang catatan notulensi Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) yang berlangsung pada 28 Mei hingga 1 Juni 1945. Sidang tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh bangsa, antara lain, Mohammad Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo, dan Soekarno. Naskah ini ibarat kitab suci bangsa Indonesia, memuat argumen dan perdebatan mendasar tentang bangsa dan negara. 

Dari naskah BPUPKI, kita akan menemukan misalnya pandangan Mohammad Yamin tentang poin-poin penting yang perlu dimasukkan ke dalam Dasar Negara ialah Peri- Kebangsaan, Peri- Kemanusiaan, Peri- ke-Tuhanan, Peri- Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Berbeda pula dari pandangan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa Negara Indonesia baru yang akan datang itu berdasarkan agama Islam dan akan menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh. Pendapat lain muncul dari Soepomo, menurutnya penting pula untuk memikirkan perhubungan negara dan agama, cara bentukan pemerintahan, perhubungan negara dan kehidupan ekonomi. Dari pembacaan tersebut kita akan menemukan ketegangan dari argumen setiap tokoh yang hadir. Masing-masing dengan kokoh dan berapi-api mempertahankan gagasan-gagasannya. 

Membaca ulang naskah BPUPKI adalah juga merefleksikan kembali apa-apa yang sudah disusun untuk negara dan bangsa ini. Kita juga dapat secara kritis memahami ulang pendapat-pendapat para tokoh bangsa. Selama 80 tahun Indonesia merdeka, jejak-jejak pembentukannya penting untuk kita telusuri. Sebab, dari penelusuran tersebut generasi yang baru akan lebih mengenal bagaimana seluk-beluk negara dan bangsa ini terbentuk. 

Sebagai bangsa Indonesia, manusia yang kemudian terlahir sebagai Indonesia, tentunya memiliki harapan agar kemerdekaan senantiasa tumbuh, hadir, dan seiring dengan kehidupan kita di negara ini. Maka, salah satu upaya untuk turut menjaga kemerdekaan adalah dengan kembali menelusuri pemikiran dan kerja-kerja tokoh bangsa kita. Catatan sejarahnya seharusnya menjadi bekal untuk generasi hari ini dan seterusnya untuk tidak mencederai kemerdekaan yang telah terbangun. 

Menyambut Literature and Ideas Festival of Salihara (LIFEs) 2025, Komunitas Utan Kayu dan Komunitas Salihara menggagas sebuah program Undangan Terbuka Pembacaan Naskah BPUPKI yang dapat diikuti oleh publik yang lebih luas hingga Juni nanti. Tak hanya membaca, para peserta dapat memerankan tokoh bangsa dan pembacaan tersebut akan direkam seluruhnya. Informasi selengkapnya kunjungi bit.ly/PembacaanNaskahBPUPKI.

marka

Marka/Matriks: Menyusuri Jejak dan Metafora dalam Seni Cetak Grafis Kontemporer

Jakarta, 19 April – 18 Mei 2025

Galeri Salihara

 

Jakarta, 19 April 2025 – Komunitas Salihara membuka pameran perdananya di 2025 dengan tajuk Marka/Matriks pada Sabtu, 19 April di Galeri Salihara. Pameran yang berlangsung selama satu bulan ini menghadirkan 30 seniman lokal dan mancanegara serta menampilkan lebih dari 105 karya dengan berbagai teknik cetak grafis yang beragam.

Seni cetak grafis kontemporer bukan hanya sekadar teknik mencetak gambar pada media tertentu, tetapi sebuah ruang yang luas untuk eksperimen, dialog, dan berinteraksi antara berbagai disiplin ilmu. Dari teknik cukilan kayu, etsa, litografi dan sablon hingga penggunaan fotografi, teknologi digital dan kecerdasan artifisial, seni cetak grafis terus berkembang mengaburkan batasan-batasan medium dan tak lagi terbatas pada teknik atau prosedur tertentu, tapi menjadi cara baru dalam berpikir dan berekspresi. 

Marka/Matriks sebagai judul diambil dari kata marker (tanda) dan matriks (acuan cetak). Dua kata ini diangkat untuk menegaskan bahwa ini adalah pameran seni cetak grafis dan merupakan dua istilah yang melekat dengan seni grafis; dikemukakan oleh Agung Hujatnika selaku ko-kurator pameran ini. 

“Marka itu sesuatu yang ditinggalkan ketika bekerja dengan plat tertentu dalam teknik konvensional sedangkan matriks itu merupakan acuan cetaknya yakni plat, batu, kayu cukil dan sebagainya…” lanjut Agung.

Pameran Marka/Matriks menampilkan beragam teknik cetak grafis dalam berbagai bentuk baik yang tradisional–cukil kayu, etsa, litografi, sablon, dsb–hingga berbasis digital hasil eksplorasi dari seniman yang berpartisipasi. 

 

Jembatan di Tengah Diskursus Seni Cetak Grafis Asia Tenggara

Dalam keterangan tertulis, Kurator Galeri Komunitas Salihara, Asikin Hasan mengatakan bahwa karya-karya dalam pameran ini dapat membuka ruang eksplorasi serta menjadi jembatan di tengah diskursus seni cetak grafis Asia Tenggara yang begitu luas.

“Karya-karya dalam pameran ini menunjukkan bagaimana proses cetak dapat bergerak di luar fungsi tradisionalnya, menjadi ruang bagi seniman untuk mengungkapkan gagasan-gagasan seputar kekinian dan kemutakhiran. 

Seniman yang berpartisipasi tidak hanya mengandalkan teknik yang sudah ada, tetapi juga berani untuk mengeksplorasi bahan-bahan alternatif dan alat yang tidak biasa. Dalam pameran ini, kita akan melihat bagaimana seni cetak berfungsi sebagai jembatan, menghubungkan berbagai medium dan membuka ruang bagi eksplorasi lebih lanjut.”

Dalam pameran ini pengunjung dapat melihat berbagai irisan dalam dunia cetak grafis seperti karya Agugn, The Tower (2022) yang bisa dilihat di dekat pintu masuk yang memperlihatkan contoh karya dan matriksnya disandingkan bersebelahan.

Lalu ada karya Cecil Mariani yang memanfaatkan teknologi terkini; AI dalam proses penciptaan karyanya. Teknik AI dimanfaatkan Cecil dalam menciptakan prompt yang nantinya diolah menjadi matriks yang melahirkan karya Dragon Praying to be Dove 4: Earth Malkuth (2023) & Distant Shaman Kiss (2024).

Pengunjung juga bisa berinteraksi dengan karya dalam pameran ini melalui karya Adi Sundoro berjudul Pasal Karet (2025). Karya ini mengajak pengunjung untuk mencelup kain PVC ke dalam air dan mengeringkannya di jemuran yang sudah disediakan sebagai representasi akan kondisi hukum Indonesia saat ini dalam pandangan sang seniman. 

Selain karya-karya di atas, pengunjung akan menikmati lebih dari 105 karya lainnya yang bisa disaksikan selama satu bulan ke depan.

 

Berikut adalah daftar seniman dalam pameran Marka/Matriks:

Adi Sundoro Fuad Pathil Prihatmoko Moki
Agugn Garis Edelweiss RW Mulyadi
Agung Kurniawan Goenawan Mohamad Satria Nugraha
Amnat Kongwaree Gunawan Bonaventura Septa Adi
Amorn Thongpayong Haslin Ismail Syahrizal Pahlevi
Arpatsarin Khunnarong Henryette Louise Syaiful Ardianto
Cecil Mariani Krack Printmaking Collective Theresia A. Sitompul
Devy Ferdianto M. Muhlis Lugis Tisna Sanjaya
Edi Sunaryo Maharani Mancanagara Ucup Baik
Firman Lie Ong Hieng Fuong Vimonmarn Khanthachavana

Pameran Marka/Matriks dibuka untuk umum mulai 19 April – 18 Mei 2025, setiap Selasa-Minggu pukul 11:00-19:00 WIB (kunjungan terakhir 18:30 WIB). Pengunjung dapat melakukan pembelian tiket di tiket.salihara.org dengan harga Rp50.000 (umum) & Rp25.000 (pelajar). 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

gmkehormatan2025

Goenawan Mohamad Terima Tanda Kehormatan Official Cross of the Order of “Isabel la Catolica” oleh Kerajaan Spanyol

Jakarta, Selasa, 18 Maret 2025 | 18:00 WIB

 

Jakarta, 18 Maret 2025 – Atas kontribusi Goenawan Mohamad dalam dunia sastra, seni, dan jurnalistik, Raja Spanyol H.M. King Felipe VI melalui Duta Besar Kerajaan Spanyol untuk Indonesia, Francisco Aguilera Aranda menganugerahi Goenawan Mohamad Official Cross of the Order of “Isabel la Catolica” pada Selasa (18/03) di kediaman Duta Besar Kerajaan Spanyol untuk Indonesia, Jakarta.

Penghargaan ini diberikan sebagai pengakuan atas dedikasi luar biasa Goenawan Mohamad dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi, keadilan sosial, serta kontribusinya dalam mempererat hubungan budaya antara Indonesia dan Spanyol.

Ketertarikan Goenawan Mohamad terhadap sastra global salah satunya sastra Spanyol, menjadi salah satu alasan Ia dianugerahi penghargaan ini. Sosok Goenawan Mohamad digambarkan persis seperti sosok Don Quijote dalam karya Miguel de Cervantes yang selalu mengangkat tema akan keadilan, idealisme, dan perjuangan melawan kesulitan.

“Tema universal seperti keadilan, idealisme, dan perjuangan melawan kesulitan—yang begitu kuat diwujudkan dalam sosok Don Quijote—tercermin dalam karyanya. Sebagaimana ksatria pengembara ciptaan Cervantes yang menentang norma-norma kaku pada zamannya, Goenawan secara konsisten menggunakan suaranya untuk mempertanyakan kekuasaan dan memperjuangkan kebenaran.” ujar Fransisco dalam pidato pembukaan di kediamannya.

Jembatan budaya antara Spanyol dan Indonesia tercermin dalam pertunjukan teater boneka yang ditulis oleh Goenawan Mohamad yang berjudul Den Kisot. Pentas boneka  ini  pertama kali dipentaskan pada 2019 di Salihara Arts Center, dan disutradarai oleh Endo Suanda.. Setelahnya, pementasan ini mulai dipentaskan di berbagai tempat antara lain Bandung, Solo, Yogyakarta, Ternate, dan Tidore. Perjalanan karya Den Kisot ke berbagai daerah ini merupakan bentuk kolaborasi antara Komunitas Salihara dengan Kedutaan Besar Spanyol.

“Kisah Don Quijote telah menginspirasi saya sejak kecil. Saya merasa terhormat dapat mementaskan pertunjukan wayang yang mengadaptasi dari kisah tersebut. Prosesnya cukup berat namun menyenangkan, saya begitu senang dan bangga. Bagi saya pribadi, pementasan (Den Kisot) ini merupakan sebuah pencapaian budaya bagi saya. Di mana karya ini dipentaskan dalam format wayang golek ala Sunda dari cerita Don Quijote de La Mancha.” Ujar Goenawan Mohamad saat pidato penyerahan medali Order of “Isabel la Catolica”.

Seusai pemberian medali acara ini ditutup dengan dua rangkaian pertunjukan, yang pertama adalah pembacaan puisi berjudul Epilog dari kumpulan puisi Don Quixote (2024) karya Goenawan Mohamad oleh Rebecca Kezia. Rangkaian penghargaan ini ditutup dengan pertunjukan musik oleh DeKa yang juga menjadi pengiring dalam pentas boneka Den Kisot dan membawakan lagu-lagu dalam pertunjukan tersebut. 

 

Pidato Duta Besar Kerajaan Spanyol untuk Indonesia, Francisco Aguilera Aranda:

Text diterjemahkan ke bahasa Indonesia. 

Hari ini, kita berkumpul untuk memberikan penghormatan kepada seorang ikon sastra dan jurnalistik Indonesia, Goenawan Mohamad. Kariernya yang ditandai dengan komitmen teguh terhadap kebebasan berekspresi dan keadilan sosial menjadikannya penerima yang layak dari Order of “Isabel la Católica”, sebuah penghargaan yang tidak hanya mengakui pencapaiannya secara individu, tetapi juga dampak besar terhadap masyarakat serta kontribusinya dalam memperkuat hubungan budaya antara Indonesia dan Spanyol.

Goenawan Mohamad lahir pada 29 Juli 1941 di Batang, Indonesia. Sejak usia muda, kecintaannya terhadap sastra telah membawanya pada karier yang kaya, termasuk penerbitan berbagai kumpulan puisi seperti Parikesit (1971) dan Asmaradana (1992), serta esai-esai yang menantang norma dan membuka dialog kritis tentang budaya serta politik Indonesia.

Lebih dari itu, ia juga mendalami tradisi sastra global, termasuk sastra Spanyol. Tema universal seperti keadilan, idealisme, dan perjuangan melawan kesulitan—yang begitu kuat diwujudkan dalam sosok Don Quijote—tercermin dalam karyanya. Sebagaimana ksatria pengembara ciptaan Cervantes yang menentang norma-norma kaku pada zamannya, Goenawan secara konsisten menggunakan suaranya untuk mempertanyakan kekuasaan dan memperjuangkan kebenaran.

Kecintaannya terhadap sastra tidak terbatas pada karyanya sendiri. Sebagai penerjemah dan kritikus, ia telah memperkenalkan para pembaca Indonesia kepada para sastrawan dunia, sebagaimana Spanyol telah menjadi jembatan antarbudaya sepanjang sejarah. Ia memiliki rasa ingin tahu intelektual yang sama dengan para penulis besar Zaman Keemasan Spanyol—Quevedo, Calderón, dan terutama Cervantes.

Salah satu pencapaian paling signifikan dari Goenawan adalah pendirian majalah Tempo, di mana ia menjabat sebagai pemimpin redaksi selama lebih dari dua dekade. Melalui platform ini, ia menjadi pembela gigih jurnalisme independen, menggunakan kata-katanya untuk mengungkap ketidakadilan dan mempromosikan hak asasi manusia. Kolom mingguannya, Catatan Pinggir, menjadi mercusuar pemikiran kritis, memberikan analisis tajam terhadap isu-isu sosial dan politik—mirip dengan esai intelektual ternama Spanyol seperti Ortega y Gasset ketika mendirikan La Revista de Occidente pada tahun 1920-an. Suaranya, seperti para penulis kronik terdahulu, telah membentuk wacana publik dan membimbing generasi pemikir serta penulis.

Goenawan bukan hanya seorang penyair dan jurnalis; ia adalah pemikir yang pengaruhnya melampaui batas tulisan. Esai-esainya, seperti Seks, Sastra, dan Kita (1980) serta Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), mengeksplorasi hubungan antara sastra dan kekuasaan, mendorong para penulis untuk merenungkan peran mereka dalam membentuk masyarakat. Pendekatan humanistiknya serta kemampuannya untuk menghubungkan diri dengan perjuangan sehari-hari mengingatkan kita pada pemikiran sastra dan filsafat Spanyol, mulai dari refleksi eksistensial Miguel de Unamuno hingga kritik sosial Federico García Lorca.

Kontribusinya terhadap sastra kontemporer Indonesia tidak terbantahkan. Ia telah menginspirasi para penulis muda untuk menemukan suara mereka sendiri dan mengangkat tema-tema kompleks dengan keberanian. Seperti yang dikatakan Ayu Utami dengan begitu indah, “Melalui karya-karya Goenawan Mohamad, kita belajar bagaimana berinteraksi dengan filsafat global dan mengasah kepekaan estetika kita.”

Kemampuan untuk menumbuhkan pemikiran kritis dan kreatif inilah yang menjadikan warisannya begitu berharga, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia, termasuk di Spanyol, di mana kebebasan intelektual dan ekspresi seni telah lama menjadi nilai yang dijunjung tinggi.

Sepanjang kariernya yang cemerlang, Goenawan telah menerima berbagai penghargaan yang mengakui kiprahnya dalam jurnalisme dan sastra, termasuk International Press Freedom Award yang bergengsi dari Committee to Protect Journalists pada tahun 1998. 

Penghargaan-penghargaan ini menjadi bukti dedikasinya yang tak tergoyahkan terhadap kebenaran, keadilan, dan kebebasan—prinsip-prinsip yang menjadi dasar tradisi demokrasi baik di Indonesia maupun Spanyol.

Dengan menganugerahkan Order of “Isabel la Católica” kepada Goenawan Mohamad, kita merayakan perannya sebagai jembatan budaya antara Indonesia dan Spanyol. Karyanya mencerminkan semangat Don Quijote dari Cervantes—sebuah pengejaran ideal yang tak kenal lelah, perlawanan terhadap penindasan, dan keyakinan pada kekuatan transformatif kata-kata. Tulisan-tulisannya mengingatkan kita bahwa sastra dan jurnalisme bukan sekadar alat pencatat sejarah, tetapi juga kekuatan yang mampu membentuk masyarakat dan menginspirasi perubahan.

Selamat kepada Goenawan Mohamad atas penghargaan yang sangat layak ini. Semoga warisannya terus menginspirasi mereka yang percaya pada kekuatan abadi sastra dan pencarian kebenaran yang tak pernah surut, sebagaimana Spanyol dan Indonesia terus memperdalam pertukaran budaya dan intelektual mereka untuk generasi mendatang.

 

___________________________________________________________________ 

 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

handaru

Handaru: Negosiasi Kultur Melalui Ornamentasi Vokal dan Instrumen Gesek

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:00 WIB 

Teater Salihara

 

Jakarta, 23 Januari 2025 – Komunitas Salihara menyapa kembali di awal 2025 dengan pertunjukan musik karya Dinar Rizkianti pada 08 Februari mendatang di Teater Salihara. Pertunjukan musik karya Dinar ini akan memadukan ornamentasi dari vokal Sunda dengan instrumen gesek.

Dalam pertunjukan Handaru yang akan dibawakan nanti, Dinar mempersembahkan empat repertoar musik yakni: Handaruan, Seah, Suar dan Salah Gumun. Melalui pertunjukan ini, Dinar mencoba menggabungkan antara dua artikulasi dari bunyi dan vokal dan mengupayakan negosiasi dari dua kultur yang berbeda untuk meleburkan fleksibilitas di antara keduanya. 

Kurator Musik Komunitas Salihara, Tony Prabowo mengatakan bahwa pertunjukan yang sudah direncanakan dari setahun lamanya ini berangkat dari gagasan musikal pengolahan bunyi pada suara manusia, berdasarkan extended technique ornamentasi pada vokal tradisi Sunda yang diimplementasikan pada dua format musik, yaitu dua vokal dan kuartet gesek, “Pertunjukan ini fokus terhadap eksplorasi bunyi antara kuartet gesek dan vokal sunda yang berangkat dari tradisi Ronggeng Gunung,” tambah Tony.

Handaru hadir sebagai perayaan kebebasan ekspresi yang memadukan tradisi dan modernitas melalui bunyi-bunyi yang dipadukan secara harmonis–selaras dengan esensi pertunjukan-pertunjukan khas Komunitas Salihara selama ini. Empat repertoar yang dipersembahkan tidak hanya menghadirkan keindahan musik tetapi juga menggali nilai-nilai budaya dari eksplorasi Dinar sebagai seorang komposer yang telah lama berkutat dengan tradisi Sunda dan instrumen barat lainnya.

Untuk dapat menikmati pertunjukan dengan durasi 40 menit ini, calon pembeli sudah dapat mengunjungi laman tiket.salihara.org. Pertunjukan musik ini terbuka untuk semua umur dengan harga tiket Rp110.000 (umum) dan Rp55.000 (pelajar).

 

Tentang Komposer

Dinar Rizkianti adalah salah satu pendiri kelompok Perempuan Komponis. Ia alumni jurusan Seni Karawitan dan pascasarjana Program Studi Pengkajian dan Penciptaan Seni di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung pada 2017. Karya-karyanya banyak mengeksplorasi vokal, berbagai alat tradisi Sunda dan instrumen Barat.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

lakon_story (3)

Pengumuman Penerima Beasiswa Kelas Menulis Lakon Salihara 2025

Berdasarkan hasil penjurian dan diskusi yang dilaksanakan, Dewan Juri memutuskan bahwa dua orang yang terpilih menjadi Penerima Beasiswa Kelas Menulis Lakon 2025, yaitu adalah

  1. Majid Amrullah
  2. Alifya Maheswari Putri Wibowo

Demikian berita acara ini kami sampaikan hendaknya diterima. Keputusan Dewan Kurator tidak dapat diganggu gugat. Komunitas Salihara akan menghubungi penerima beasiswa untuk informasi lebih lanjut.

Jika memiliki pertanyaan, sila kirim email ke info@salihara.org