Colette dan Gairah Menulis yang Tak Putus

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Karya-karya sastra yang muncul dari penulis perempuan, tidak selalu mulus dalam perjalanannya. Ia mengalami rintangan juga diskriminasi terutama dari para kritikus sastra. Di Indonesia misalnya, karya-karya Toeti Heraty juga S. Rukiah tidak luput dari kritik keras tentang tulisan yang bersifat “kering” bahkan terkesan “marah-marah”. Pada 1967, A. Teeuw sebagai kritikus sastra berkebangsaan Belanda menganggap puisi karya Rukiah tidak menggugah dan justru malah terasa lemah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kritik-kritik itu muncul pada karya perempuan, misalnya adanya kecurigaan tentang perbedaan pandang politik antara penulis dan kritikus. 

Tak hanya karya penulis perempuan Indonesia yang mendapat kritikan dan diskriminasi. Beberapa penulis dari negara Frankofon juga mendapatkan perlakukan yang sama dalam dunia sastra, salah satunya menimpa Sidonie-Gabrielle Colette, seorang penulis, jurnalis dan seniman teater asal Prancis. Sidonie-Gabrielle Colette atau yang lebih dikenal dengan Colette memasuki dunia jurnalisme pada 1910, ia bergabung dengan majalah mingguan Matin dan mengelola rubrik kesusastraan. Pengalamannya dalam dunia jurnalisme yang kemudian membawanya berkunjung pada beberapa negara, dituangkan dalam karya sastra, salah satunya pada karya les Heures longues. Ia juga menulis banyak artikel yang kemudian menarik perhatian penulis Marcel Proust karena teknik penulisan Colette yang membawa pembaca seperti tengah membaca buku harian. 

Pada 1919-1920-an, Colette cukup produktif menciptakan karya sastra. Ia menggunakan unsur-unsur otobiografis yang kental dengan pengamatannya pada masalah sosial dan kesenjangan sosial di sekitarnya. Colette juga menulis buku yang ia persembahkan untuk ibunya yang meninggal pada 1912, buku itu berjudul Sido (1929). Karya-karya Colette makin banyak digemari dan juga mengundang banyak kritik. Teknik penulisan otobiografinya mengundang banyak ejekan, ia sempat diremehkan dianggap tidak layak masuk dalam geliat dunia sastra hanya karena status pendidikannya yang tidak setinggi penulis Prancis lainnya. Latar belakang keluarganya yang dianggap sebagai keluarga yang jauh dari borjuisme juga membuat karya Colette dipandang sebagai sastra dengan selera rendah. Karya sastra Colette dipandang sebagai sastra yang tidak punya nilai intelektual. Pada saat itu, karya sastra yang berbau metafisik dianggap sebagai karya sastra intelektual, sedangkan karya-karya Colette yang menggunakan bahasa-bahasa lugas tidak termasuk di dalamnya. Bahkan tokoh Jean de Pierrefeu mengatakan bahwa tokoh-tokoh perempuan yang ditulis Colette layaknya hewan primitif dalam hutan yang menjadi buruan laki-laki. 

Kritik-kritik yang menerpa Colette tidaklah lekas membuatnya menyerah. Menjadi satu-satunya penulis perempuan di dalam dunia sastra yang saat itu mayoritas adalah penulis laki-laki, membuat perjalanan Colette begitu berat. Ia juga sempat memasuki dunia teater, lalu kembali lagi pada konsistensinya sebagai penulis. Tak hanya mendapat kritik yang pedas, karya Colette memiliki tempat tersendiri bagi pembaca. Banyak publik yang menyukai tulisannya karena merasa terwakilkan dan dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Tulisan Colette memberikan kekuatan tersendiri bagi para pembaca, terutama perempuan. Pada ulang tahunnya ke-80 tahun di 1953, Colette mendapatkan penghargaan dan sambutan hangat dari para pembaca, wajahnya muncul dalam koran-koran. 

Karya Colette yang memberi warna pada kesusastraan abad ke-20, menjadi begitu penting dan berpengaruh pada masyarakat Prancis saat itu. Tulisannya menginspirasi banyak perempuan Prancis untuk terus menghadapi kehidupan dengan mandiri, bebas mengekspresikan diri dan tetap percaya diri. Ketika ia meninggal pada 1954, ribuan warga Paris yang sebagian besar adalah perempuan, turut mengiringi peti jenazahnya menuju tempat peristirahatan terakhirnya di pemakaman Père Lachaise, Paris. 

Pada rangkaian program LIFEs 2023 Agustus nanti di Komunitas Salihara, yang akan membahas dan membicarakan topik-topik tentang negara-negara Frankofon. Kita akan mendapat kesempatan untuk bisa menyaksikan bagaimana salah satu karya sastra Colette dibacakan dan dipertunjukan dalam sebuah pementasan. Selanjutnya, mari kita turut menikmati dan mengkhidmati karyanya di masa kini.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter