Dari Cinta hingga Maut

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Nama Chairil Anwar tidak pernah lepas dari pembahasan sastra Indonesia hingga hari ini. Tepat pada seratus tahun setelah kelahiran Chairil, Siniar Salihara pada musim kedua hadir dengan tajuk Ngomong-ngomong Soal: Aku dan Chairil. Pada episode pertama dengan narasumber Putri Minangsari, seorang penari Bali dan penulis, berbicara tentang pertemuan-pertemuannya dengan karya Chairil. Siniar ini mencoba mengembalikan pembahasan Chairil pada karya-karyanya secara utuh dan lebih dekat. 

Siniar berdurasi 30 menit ini, Ibam (Ibrahim Soetomo) bertindak sebagai pemandu atau host siniar. Obrolan-obrolan mengalir melalui tanya jawab persoalan Chairil dan karyanya. Pembicaraan ini mengupas pengalaman Putri sebagai pembaca karya Chairil. 

Jembatan Waktu 

Ibam, selaku pemandu siniar memulai dengan melontarkan pertanyaan tentang bagaimana awal perjumpaan Putri dengan puisi, khususnya dengan sajak-sajak Chairil Anwar. Sajak Chairil berjudul “Aku” menjadi jalan pembuka bagi masa anak-anak Putri untuk mengenal puisi. Umumnya di bangku Sekolah Dasar, sajak “Aku” kerap dijadikan salah satu contoh puisi Indonesia. 

Putri yang masih anak-anak merasakan adanya gumpalan emosi besar pada bait-bait puisi “Aku”. Kesan marah, emosi meluap yang diutarakan secara jujur tergambar pada masa kecil Putri ketika berhadapan dengan puisi “Aku”. Putri seperti tengah menyeberangi jembatan waktu yang melewati masa anak-anaknya dan bertumbuh remaja, jembatan waktu yang berupa bait-bait puisi Chairil. Ingatannya pada “Kalau sampai waktuku, ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu. Tidak juga kau.” menumbuhkan perasaan memberontak pada diri remajanya. Hidup sebagai anak sulung dari empat bersaudara membuat Putri merasa kehilangan ruang kebebasannya. Bait puisi “Aku” memberikan inspirasi pada Putri untuk melepas batas-batas posisinya sebagai anak sulung untuk lebih bisa mengutarakan gagasan dan pilihan-pilihannya. Puisi “Aku” kemudian mengantar Putri pada gerbang-gerbang tulisan sastra yang lain, baik karya-karya penulis dalam negeri maupun luar negeri. 

Menyoal Cinta dan Maut Pada Sajak Putih, Sia-Sia, Taman dan Doa

Narasumber pada siniar kali ini memilih tiga hingga empat puisi karya Chairil untuk kemudian dibahas bersama. Putri memilih empat puisi Chairil yang kebanyakan ditulis pada tahun 1943, yaitu “Sia-Sia”, “Taman”, “Doa”, dan “Sajak Putih” (1944). Pilihan-pilihan puisi ini didasari oleh rasa penasaran Putri pada tema-tema cinta yang terasa pada bait-baitnya. Tiga puisi di antara yaitu “Sia-Sia”, “Taman”, dan “Sajak Putih”, terasa memiliki penyampaian rasa cinta yang begitu kuat, entah cinta soal kisah-kisah asmara manusia maupun cinta pada lalu-lalang suasana manusia-manusia pada era Chairil saat itu. Pada puisi “Doa”, menyoal cinta tidak terlalu kentara, bagi Putri bait-bait puisi tersebut lebih menyampaikan persoalan hubungan manusia dengan harapan atau lebih tepatnya pada kepasrahan hidup. Menyoal cinta pada puisi Chairil, seperti mendapat tawaran tentang relasi cinta yang tidak terkesan rumit.  Bagi Putri, relasi manusia pada hari ini terasa penuh dengan kerumitan. Puisi Chairil hadir membawa angin yang lebih sederhana. menggambarkan hubungan yang terasa tidak menuntut banyak hal yang kemudian menimbulkan berbagai persoalan. 

Jika dibawa pada masa sekarang, sajak-sajak Chairil masih begitu relevan terutama tentang jalinan hubungan antar manusia. Meski sajak-sajak itu ditulis pada masa-masa Indonesia membangun jalan kemerdekaannya, namun Chairil seperti menatap tajam bagaimana zaman berjalan. Bagaimana antar manusia saling berhubungan di masa lalu dan justru masih terasa memiliki hubungan dengan masa sekarang. Ketelitian Chairil dalam membaca suasana hari-hari di tengah-tengah masyarakatnya dan menuangkannya pada bait-bait puisi, membuat pembacanya akan merasa barangkali Chairil justru tak pernah mati. Ia juga turut hidup hingga kini, melihat bagaimana kelelahan sekaligus harapan menempel pada tubuh manusia. 

Tak hanya menyoal cinta, Chairil juga seperti dengan sengaja menghadap-hadapkan cinta dengan perkara maut. Seperti pada puisi “Sajak Putih”:

Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah

Bagi Putri, Chairil seolah ingin berbicara pada kita bahwa persoalan cinta dan maut adalah hal yang tidak bisa kita hindari. Keduanya bisa kapan saja saling berhadap-hadapan dan menyerang. Rasa luka tak jadi soal ketika dihadapi bersamaan dengan cinta. 

Pencarian Jati Diri

Pada obrolan ini Putri berbagi bagaimana kemudian ia dari dunia tari menuju ke dunia sastra dan bersama kawan-kawannya menciptakan ruang pembacaan puisi yang diberi nama Unmasked Poetry. Sastra bagi Putri juga memiliki kesinambungan dengan tari, pencarian gerak dalam tari tradisi Bali yang ia geluti seringkali mendapat inspirasi dari bait-bait puisi yang ia baca. Tari dan puisi memiliki kaitan erat dalam meluapkan emosi dalam diri, emosi yang lama tersembunyi dan tak terbahasakan dengan istilah yang terikat. 

Penghujung obrolan ini sampai pada kenapa karya-karya Chairil begitu penting? Putri menyampaikan bahwa membaca karya Chairil seperti menyelami pencarian jati diri sebuah bangsa. Pada sajak-sajaknya, banyak bentuk-bentuk baik emosi maupun keadaan masyarakat yang digambarkan saat itu dapat menjadi referensi pembacaan ulang bagaimana mulanya manusia Indonesia berpikir dan menyelesaikan masalah-masalahnya. Dikemas dengan kemampuan cerdik mengatur diksi yang tak pernah padam oleh zaman. Chairil sekali lagi seolah tak pernah mati, ia betul-betul hidup seribu tahun lagi. 

Dengarkan obrolan lengkapnya tentang Chairil dan karyanya di Siniar Salihara Ngomong-Ngomong Soal: Aku dan Chairil episode 01.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter