Festival Salihara dalam SIPFest

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Catatan pendek program SIPFest 2016

SIPFest (Salihara International Performing-arts Festival) adalah festival dua tahunan yang menghadirkan kelompok-kelompok seni penting dari Indonesia dan mancanegara dalam bidang-bidang musik, tari dan teater. SIPFest adalah sebentuk rebranding Festival Salihara. Dengan tetap mengedepankan visi internasional yang sudah diusung Festival Salihara, SIPFest 2016 memperkuat kembali aspek rekreatif, dalam arti bahwa kreasi seniman akan menjadi penghiburan, sekaligus re-kreasi (proses ikut menciptakan kembali, merangsang daya cipta) oleh masyarakat penonton. 

Pada 2016, SIPFest menampilkan 14 kelompok musik, tari dan teater—empat di antaranya adalah kelompok musik perkusi. SIPFest 2016 memiliki “warna khusus” musik perkusi, karena menampilkan tiga kelompok musik perkusi dari Indonesia dengan karya eksperimentasi dan interpretasi baru atas berbagai tradisi perkusi Nusantara. Salihara juga menampilkan seniman dari Australia dengan eksperimentasi yang tak kalah menarik.


Dari bidang tari, Salihara menampilkan dua koreografer Indonesia yaitu Eko Supriyanto dan Fitri Setyaningsih, masing-masing dengan karya tari baru berdasarkan khazanah Nusantara. Sementara Kalanari Theatre Movement menampilkan pentas teater site-specific. Saat itu pementasan karya baru Eko Supriyanto dan Kalanari adalah perdana-dunia. Kelompok-kelompok dari luar negeri juga banyak yang tampil dengan karya-karya yang bersifat world premiere atau Asia premiere. Misalnya, Benoît Lachambre & Montréal Danse (Kanada), She She Pop (Jerman), Lukas Ligeti & Hypercolor (Austria dan AS), The Human Zoo Theatre Company (Inggris) dan Chong Kee Yong (Malaysia).

Di Ruang-Ruang Terbuka Salihara

Tidak hanya menampilkan karya seni pertunjukan, dari program seni rupa menyajikan pameran site-specific di ruang-ruang terbuka Komunitas Salihara yang bisa dinikmati pengunjung. Ini program yang mencoba menantang kreativitas seniman dalam berhadapan dengan ruang sebagai tempat penciptaan karya. Hasilnya adalah beragam karya dengan beragam pendekatan dan gaya. Karya seni rupa yang dipamerkan adalah instalasi Gurita Salihara karya Nus Salomo di dinding atas Anjung Salihara, instalasi Migration (Memori Eksistensi Alam) karya I Made Wiguna Valasara berupa sekelompok burung terbang. Sementara Purjito menampilkan patung Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI dan pemikir Islam yang amat menghargai keberagaman dan kebebasan individu. Indyra menggambar mural trimatra berjudul Be A Daydreamer & A Night Thinker yang menyiratkan posisi Komunitas Salihara sebagai tempat merawat gagasan dan pemikiran

Empat perupa ini telah mendapatkan pengakuan nasional dan internasional atas kiprah mereka. Valasara pernah menjadi Finalis UOB Painting of the Year, Singapura (2012). Indyra banyak mengeksplorasi tubuh perempuan dalam lukisan-lukisannya. Nus Salomo punya bekerja di industri hiburan Hollywood. Purjito berpengalaman dalam mengerjakan patung publik di sejumlah kota di Indonesia. 

 

Menjelajah karya seni pertunjukan

Beragam penampil dari dalam dan luar negeri menyuguhkan karya terbaik mereka, di antaranya karya musisi Indonesia Ryan Saputro bersama grup Total Perkusi yang mengolah musik perkusi terinspirasi oleh khazanah tradisi dan kehidupan sehari-hari. Komposer Al. Suwardi tampil bersama grup Planet Harmonik dengan musik yang berpijak pada pandangan Pythagoras bahwa pergerakan semesta, termasuk perputaran planet-planet, menghasilkan dengung suara, namun telinga manusia tidak mampu menangkapnya. Pertunjukan musik itu dimainkan dengan instrumen baru yang diciptakan oleh Al. Suwardi berdasarkan instrumen gamelan Jawa. Ada pula komposer Iwan Gunawan bersama grup Ensemble Kyai Fatahillah, memadukan musik gamelan Sunda, tradisi lisan dan kemampuan membaca notasi balok yang memiliki interpretasi baru dalam bermusik. Kelompok musik Australia Speak Percussion, menampilkan instrumen pencahayaan dikombinasikan dengan instrumen perkusi untuk membuat suasana ketika musik dan cahaya menjadi sebuah kesatuan. Komposer Chong Kee Yong (Malaysia) menampilkan sebuah konser musik teater yang dimainkan oleh penari Bali, dengan iringan gabungan instrumen musik Asia (gamelan Bali, guzheng, sheng dan sanxian dari Tiongkok), viola, instrumen perkusi, proyeksi video dan aneka bebunyian elektronik. Serta Lukas Ligeti dan Hypercolor (Austria & AS) membawakan repertoar dari album Hypercolor: Tzadik yang dirilis pada 2015. 

Dari pertunjukan teater, kita bisa menyaksikan karya teater site-specific Kalanari Theatre Movement bertajuk Yo-he-ho’s Sites dengan narasi yang bergerak mulai dari teori evolusi hingga mitos-mitos penciptaan bahasa manusia. Dari Jepang, Arica Theater Company hadir dengan pertunjukan bertajuk Butterfly Dream, teater tanpa kata-kata ini menampilkan pencarian makna hidup melalui pertemuan dua manusia. Lewat pentas ini Arica Theater Company mengusung jenis teater fisik yang terinspirasi oleh pertumbuhan teater garda depan Jepang sepanjang 1960-1970-an. The Girl who Fell in Love with the Moon karya The Human Zoo (Inggris) adalah perihal obsesi manusia kepada langit, keingintahuan yang besar atas rahasia yang luas dan hitam di dalamnya. The Human Zoo memadukan cerita, puisi, tari dan musik ke dalam imajinasi visual. She She Pop (Jerman) dengan pertunjukan The Rite of Spring as Performed by She She Pop and Their Mothers membawa tafsir baru dan tidak biasa atas mahakarya Igor Stravinsky yang berfokus pada pengorbanan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. 

SIPFest 2016 menampilkan pertunjukan tari karya Fitri Setyaningsih bertajuk Mega Mendung, menampilkan musik, koreografi, set dan kostum penari yang bergelembung seperti gumpalan awan adalah rancangan dari gradasi tujuh warna megamendung, motif batik yang berwarna dasar putih menuju biru tua. Koreografer Eko Supriyanto membawakan karya barunya Balabala yang menampilkan lima penari muda perempuan dari Jailolo, Maluku Utara. Mereka bersuara untuk masyarakat terpencil di Indonesia timur. Selain koreografer Indonesia, Salihara juga menampilkan karya koreografer Norwegia, Ingun Bjørnsgaard. Ia menampilkan karya Praeambulum, dalam alunan perpaduan musik Barok dan kontemporer, para penari berperan sebagai bahan bangunan di sebuah rumah yang belum selesai. Benoît Lachambre (Kanada) bersama grup Montréal Danse membawakan karya Prisms yang mengajak penonton ke dalam permainan persepsi tentang kehadiran tubuh dan pancaran cahaya, juga penjelajahan pelbagai kemungkinan tubuh dalam berinteraksi dan berkomunikasi. 

SIPFest akan selalu hadir dengan penampilan dan karya-karya seniman menarik lainnya. Nantikan SIPFest selanjutnya!

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter