perubahan

Johary Ravaloson dan Suara dari Madagaskar

Johary Ravaloson menulis novel Vol à vif (2016) yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Perburuan (Marjin Kiri, 2022). Novel tersebut juga mendapatkan penghargaan Prix du livre insulaire 2016 dan Prix Ivoire 2017. Johary adalah seorang penulis yang lahir di Antananarivo, Madagaskar. Bersama istrinya Sophie Bazin seorang seniman kontemporer, pada 2006 mendirikan penerbitan bernama Dodo Vole Publishing. 

Barangkali kita cukup asing mendengar nama Johary Ravaloson sebagai salah satu penulis dari negara Frankofon tepatnya dari Madagaskar. Jika kita hendak menelusuri lagi bagaimana karya-karyanya, kita akan menemukan tulisan dengan napas yang mencekam dan membuat kita berpikir kritis dengan apa yang terjadi di sekitar kita. Misalnya saja dalam Vol à vif, Johary mengajak kita untuk lebih jeli dalam menghakimi sebuah kejadian. Karyanya menawarkan pemikiran kritis sebelum kita mengungkap suatu perkara yang masih kita lihat berdasarkan moral masyarakat. 

Johary tuntas mengaduk pergolakan batin tokoh-tokoh dalam Vol à vif yang berkisah tentang aksi tujuh pemuda suku Baar yang berjuang mempertahankan diri dan menyelamatkan diri dari kejaran aparat. Belum lagi ia menggambarkan bagaimana ganasnya bertahan hidup di dalam alam Madagaskar. Emosi yang muncul dari para tokoh lambat laun membuat pembaca tak lagi terburu-buru mengecap tindakan kriminal yang dilakukan para tokoh. 

Johary juga menggambarkan bagaimana sebuah sistem berkuasa pada masyarakat yang lebih rentan. Ia menghadirkan narasi tentang negara yang dianggap sebagai musuh oleh suku Baar. Kebiasaan sebuah negara yang meminta jatah upeti kepada suku tersebut menggambarkan bagaimana yang berkuasa kemudian dengan mudah menindas yang dianggap primitif. Jika kita baca lagi, pergulatan antara suku Baar yang bertahan dan negara yang hadir menguasai alam Madagaskar, seperti kita melihat beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki konflik sengketa tanah. 

Seperti apa karya-karya yang penuh gejolak, mencekam dan kritis yang ditulis oleh Johary? LIFEs 2023 akan hadir dan membahas bagaimana Johary Ravaloson berjuang dan berkisah melalui karya-karya tulisannya.

collete

Colette dan Gairah Menulis yang Tak Putus

Karya-karya sastra yang muncul dari penulis perempuan, tidak selalu mulus dalam perjalanannya. Ia mengalami rintangan juga diskriminasi terutama dari para kritikus sastra. Di Indonesia misalnya, karya-karya Toeti Heraty juga S. Rukiah tidak luput dari kritik keras tentang tulisan yang bersifat “kering” bahkan terkesan “marah-marah”. Pada 1967, A. Teeuw sebagai kritikus sastra berkebangsaan Belanda menganggap puisi karya Rukiah tidak menggugah dan justru malah terasa lemah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kritik-kritik itu muncul pada karya perempuan, misalnya adanya kecurigaan tentang perbedaan pandang politik antara penulis dan kritikus. 

Tak hanya karya penulis perempuan Indonesia yang mendapat kritikan dan diskriminasi. Beberapa penulis dari negara Frankofon juga mendapatkan perlakukan yang sama dalam dunia sastra, salah satunya menimpa Sidonie-Gabrielle Colette, seorang penulis, jurnalis dan seniman teater asal Prancis. Sidonie-Gabrielle Colette atau yang lebih dikenal dengan Colette memasuki dunia jurnalisme pada 1910, ia bergabung dengan majalah mingguan Matin dan mengelola rubrik kesusastraan. Pengalamannya dalam dunia jurnalisme yang kemudian membawanya berkunjung pada beberapa negara, dituangkan dalam karya sastra, salah satunya pada karya les Heures longues. Ia juga menulis banyak artikel yang kemudian menarik perhatian penulis Marcel Proust karena teknik penulisan Colette yang membawa pembaca seperti tengah membaca buku harian. 

Pada 1919-1920-an, Colette cukup produktif menciptakan karya sastra. Ia menggunakan unsur-unsur otobiografis yang kental dengan pengamatannya pada masalah sosial dan kesenjangan sosial di sekitarnya. Colette juga menulis buku yang ia persembahkan untuk ibunya yang meninggal pada 1912, buku itu berjudul Sido (1929). Karya-karya Colette makin banyak digemari dan juga mengundang banyak kritik. Teknik penulisan otobiografinya mengundang banyak ejekan, ia sempat diremehkan dianggap tidak layak masuk dalam geliat dunia sastra hanya karena status pendidikannya yang tidak setinggi penulis Prancis lainnya. Latar belakang keluarganya yang dianggap sebagai keluarga yang jauh dari borjuisme juga membuat karya Colette dipandang sebagai sastra dengan selera rendah. Karya sastra Colette dipandang sebagai sastra yang tidak punya nilai intelektual. Pada saat itu, karya sastra yang berbau metafisik dianggap sebagai karya sastra intelektual, sedangkan karya-karya Colette yang menggunakan bahasa-bahasa lugas tidak termasuk di dalamnya. Bahkan tokoh Jean de Pierrefeu mengatakan bahwa tokoh-tokoh perempuan yang ditulis Colette layaknya hewan primitif dalam hutan yang menjadi buruan laki-laki. 

Kritik-kritik yang menerpa Colette tidaklah lekas membuatnya menyerah. Menjadi satu-satunya penulis perempuan di dalam dunia sastra yang saat itu mayoritas adalah penulis laki-laki, membuat perjalanan Colette begitu berat. Ia juga sempat memasuki dunia teater, lalu kembali lagi pada konsistensinya sebagai penulis. Tak hanya mendapat kritik yang pedas, karya Colette memiliki tempat tersendiri bagi pembaca. Banyak publik yang menyukai tulisannya karena merasa terwakilkan dan dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Tulisan Colette memberikan kekuatan tersendiri bagi para pembaca, terutama perempuan. Pada ulang tahunnya ke-80 tahun di 1953, Colette mendapatkan penghargaan dan sambutan hangat dari para pembaca, wajahnya muncul dalam koran-koran. 

Karya Colette yang memberi warna pada kesusastraan abad ke-20, menjadi begitu penting dan berpengaruh pada masyarakat Prancis saat itu. Tulisannya menginspirasi banyak perempuan Prancis untuk terus menghadapi kehidupan dengan mandiri, bebas mengekspresikan diri dan tetap percaya diri. Ketika ia meninggal pada 1954, ribuan warga Paris yang sebagian besar adalah perempuan, turut mengiringi peti jenazahnya menuju tempat peristirahatan terakhirnya di pemakaman Père Lachaise, Paris. 

Pada rangkaian program LIFEs 2023 Agustus nanti di Komunitas Salihara, yang akan membahas dan membicarakan topik-topik tentang negara-negara Frankofon. Kita akan mendapat kesempatan untuk bisa menyaksikan bagaimana salah satu karya sastra Colette dibacakan dan dipertunjukan dalam sebuah pementasan. Selanjutnya, mari kita turut menikmati dan mengkhidmati karyanya di masa kini.

diesenta-2023

Decenta dan Sejarah Desain Kita

Pada 1973, lima orang perupa bersepakat mendirikan sebuah biro desain berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang diberi nama Decenta (Design Center Association). Kesepakatan ini diputuskan setelah berhasil mengerjakan proyek Convention Hall dan mendapatkan dana yang cukup besar sebagai tabungan awal mendirikan sebuah biro desain. Kelima perupa ini adalah A.D. Pirous, Gregorius Sidharta, Adrian Palar, Sunaryo, T. Sutanto dan Priyanto Sunarto. Berbekal kemampuan mereka dalam hal seni rupa dan desain, Decenta diciptakan dengan visi untuk menjadi perusahaan biro desain dengan kekhasan pilihan gaya artistik. Beraneka ragam hias tradisi Indonesia sebagai pokok soal maupun modus artistik dijelajahi oleh mereka untuk eksekusi proyek-proyek perancangan (elemen estetik, monumen, desain interior, desain grafis) dan penciptaan seni. Decenta juga sekaligus sebagai ruang untuk menempa pengalaman-pengalaman mereka dalam menjadi pakar bidang seni dan desain. 

Pada praktik kerja Decenta, mereka banyak menangani klien-klien dari lembaga negara. Mereka menerapkan elemen dekoratif yang khas dari daerah lembaga tersebut. Berbeda dengan menangani klien dari lembaga negara yang berada di Jakarta, mereka menerapkan perpaduan elemen dekoratif dari sejumlah daerah tertentu. Pilihan tersebut diterapkan sebagai salah satu modus untuk mengimplementasikan gagasan rezim Orde Baru tentang identitas kebudayaan nasional yang bersumber dari puncak-puncak kebudayaan daerah. 

Decenta juga memelopori teknik desain grafis yang disebut dengan istilah cetak saring. Istilah cetak saring pertama kali dipakai oleh Decenta. Pada awalnya Decenta menggunakan teknik cetak saring untuk kepentingan komersial, berjalannya waktu teknik tersebut hadir sebagai misi Decenta untuk mempromosikan seni grafis. Teknik cetak saring Decenta juga memiliki karakteristik yang khas. Karya cetak saring DECENTA banyak hadir dalam bentuk sampul poster, sampul buku, maupun karya yang bisa dijadikan elemen dekorasi. 

Selain dalam mengurus elemen dekorasi dan teknik seni grafis cetak saring, Decenta juga memiliki peran penting dalam dunia pendidikan, terlebih karena anggota Decenta terdiri dari seniman dan juga para pengajar seni. Mereka sebagai pendidik turut memperluas perwujudan seni nonrepresentasional apolitis yang sebelumnya dibatasi oleh perupaan formalis ala Mazhab Bandung. Teknik-teknik penciptaan yang ditawarkan oleh Decenta sangat memungkinkan untuk diajarkan pada mahasiswa seni rupa dan desain. Salah satu teknik penciptaan tersebut adalah dengan menggunakan ragam hias tradisi dan primitif Indonesia untuk dipadukan dalam lukisan, patung, dan serigrafi. 

Decenta mengerjakan proyek-proyek elemen estetik, desain interior, monumen, dan desain grafis di tengah kondisi di mana studio-studio seni terapan mulai dirintis dan dikembangkan oleh Departemen Seni Rupa ITB. Maka pengalaman juga teknik penciptaan dalam kerja-kerja Decenta menjadi hal yang penting sebagai bahan ajar studio seni terapan yang tengah dirintis pada era itu. 

Seperti apa sejarah panjang dan siapa sajakah yang berperan penting dalam keberlangsungan Decenta pada masa politik Orde Baru? Komunitas Salihara akan menggelar pameran tentang sejarah panjang Decenta. Bersama kurator tamu Chabib Duta Hapsoro, pameran ini akan digelar sepanjang Mei hingga Juni 2023. Menilik kembali bagaimana salah satu biro desain penting di Indonesia bertumbuh, akan membawa kita pada perjalanan panjang tentang seni rupa dan desain di Indonesia yang perlu kita ketahui sebagai salah satu upaya mengenal identitas dan sejarah bangsa.

Le Corbusier dan Desain Hari Ini

Prancis dikenal dengan arsitektur yang indah dan beragam. Bahkan beberapa sumber tertulis mengatakan berkat arsitektur yang indah dan beragam tersebut Prancis dikatakan sebagai negara paling stylish  di dunia. Yang sangat terkenal misalkan arsitektur dari keindahan Menara Eiffel karya Gustave  Eiffel, dekorasi bergaya Art Nouveau yang dipelopori oleh Eugène Grasset, juga arsitektur bergaya Gotik yang memiliki hubungan erat dengan desain katedral di Eropa. Selain terkenal dengan gaya arsitektur tersebut, Prancis juga dikenal dengan arsitektur modern yang salah satunya dipelopori oleh Le Corbusier. 

Charles-Edouard Jeanneret atau yang lebih dikenal dengan nama Le Corbusier, lahir di Swiss (1887-1965) dan pada 1930 menjadi warga negara Prancis. Ia bisa dikatakan sebagai salah satu pelopor gaya arsitektur modern pada abad 20. Di Paris ia sempat menempuh pendidikan konstruksi bangunan modern di bawah bimbingan Auguste Perret dan sempat bekerja sama dengan arsitek Jerman, Josef Hoffman. Ia juga menulis beberapa artikel tentang bidang arsitektur dan dimuat dalam majalah L’Esprit Nouveau, sebuah majalah yang ia dirikan bersama Ozenfant pada 1920. 

Le Corbusier menciptakan bangunan dengan tipe yang unik, ia mengedepankan tipe bangunan yang tetap mengikuti perkembangan zaman dan juga memanfaatkan kemajuan teknologi. Ia memikirkan perihal efisiensi, ekonomis namun tetap memiliki keindahan di dalamnya. Salah satu aliran desain yang paling fenomenal dari Corbusier adalah Purism, yaitu desain bangunan yang tidak memiliki motif atau ornamen apapun, berlawanan dengan gaya art nouveau yang lebih ramai dengan ornamen seperti ilustrasi patung perempuan dan uliran-uliran. Desain Purism ini diciptakan dari gagasan Corbusier bahwa suatu bangunan meskipun ia hadir tanpa ornamen, ia tetap hadir dengan indah dan tidak berpengaruh pada fungsi bangunan itu sendiri. 

Corbusier juga mencetuskan gagasan soal hunian yang mampu menampung atau menjadi tempat tinggal orang banyak. Gagasan itu terkenal dengan sebutan Immeubles Villas, sebuah apartemen individu yang didukung dengan konsep arsitektur modern. Gagasan ini muncul dari pengamatannya pada krisis perumahan dalam lingkungan perkotaan yang mulai padat namun tetap butuh ruang untuk bergerak. Karya-karya Corbusier juga sangat berperan penting dalam pembangunan di Rusia, Amerika, dan India. Selain itu karya Corbusier turut dicatat sebagai daftar warisan dunia UNESCO melalui 17 bangunan yang ia rancang, salah satunya adalah The National Museum of Western Art di Tokyo. Karya bangunan Corbusier lainnya seperti Maison Guiette (1926) di sebuah rumah di Antwerpen, Belgia dan La Haut Cour de Justice di India.

 

Tak hanya memikirkan bagaimana perkembangan desain dalam bidang bangunan, Corbusier juga menciptakan rancangan furnitur. Ia menciptakan furnitur modern berupa kursi. Kursi yang diciptakan bernama LC4 Chaise Longue, sebuah kursi malas yang didesain dengan prinsip desain modern yang tetap efisien dan ergonomi. 

Ide, karya, dan gagasan arsitek Le Corbusier tak bisa kita lupakan begitu saja, karena ia menjelma jadi hal-hal yang kita butuhkan dan tumbuh menjadi desain modern yang bersandingan dengan kecepatan era dan teknologi. Sebuah hal yang melesat melewati waktu yang panjang sekaligus bersandingan dengan kebutuhan yang kita kehendaki. 

soewarsih

Mengenal Sosok Soewarsih Djojopuspito dalam Siniar Salihara Putaran Ketiga

Kehadiran penyair dan sastrawan perempuan dalam gelanggang kesusastraan Indonesia tidak sebanyak nama-nama sastrawan laki-laki di awal abad 20-an. Meski begitu, kehadiran mereka tidak kalah penting untuk dibicarakan baik dari sisi ketokohan dan kekaryaannya. Pada putaran siniar kali ini Komunitas Salihara mengangkat topik “Para Perempuan Penulis”, topik ini dimaksudkan untuk mengenal sekaligus menampilkan pentingnya gagasan dan karya penulis perempuan yang namanya barangkali jarang kita dengar. Pada episode pertama, Ibam (Ibrahim Soetomo) sebagai pemandu acara ditemani oleh narasumber Dhianita Kusuma Pertiwi (penulis) membahas Soewarsih Djojopuspito yang dikenal lewat roman “Manusia Bebas” yang terbit pertama kali dalam bahasa Belanda. 

 

Bibit Pergerakan Nasional dalam Diri Soewarsih

Diskusi dibuka dengan pertanyaan oleh Ibam “Apa yang membuat Soewarsih perlu turun ke pusaran pergerakan? Apakah ada pengaruh dari suaminya? Atau apakah ini adalah keputusan Soewarsih sendiri?”, Dhianita menjelaskan bahwa Soewarsih lahir dari lingkungan ningrat dengan ayah yang berprofesi sebagai dalang. Walaupun ayahnya seorang yang buta huruf, namun ia sadar betapa pentingnya pendidikan bagi anak laki-laki maupun perempuan. Hal ini yang membuat Soewarsih dan kakaknya–Nining–sudah disekolahkan di sekolah Belanda seperti Kartini School, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dan sekolah pendidikan guru di Surabaya. 

Dalam masa studinya di sekolah pendidikan guru ini, Soewarsih dan Nining menjadi dua bumiputera dari total 28 murid lainnya yang keturunan Belanda. Dhianita pun mengutip sebuah tulisan yang ditulis Soewarsih dengan kakaknya, berbunyi:

Pendidikan itu satu-satunya senjata buat kami untuk menghadapi tantangan masa depan.

Kutipan tersebut menjadi penanda bahwa sebagai perempuan dan bumiputera di masa tersebut pendidikan sangatlah diperlukan. Selain itu, keikutsertaan Soewarsih dalam organisasi seperti Jong Java semakin memantik kesadaran wanita kelahiran 20 April 1912 ini untuk aktif di dalam pergerakan; terutama untuk menggaungkan pendidikan bagi perempuan bumiputera dengan aktif mendirikan sekolah-sekolah liar. Dhianita menegaskan bahwa kesadaran–untuk aktif dalam pergerakan nasional–tersebut sudah hadir jauh sebelum ia menikahi suaminya; Sugondo Djojopuspito pada 1933.

Menyuarakan emansipasi perempuan memang menjadi fokus utama dalam pergerakan Soewarsih. Tidak hanya menyuarakan tentang emansipasi, suara vokal Soewarsih juga melebar pada isu-isu lain terutama dalam mengkritik pemerintahan kolonial Belanda; terutama pasca ia menikah dan masuk ke dalam lingkaran tokoh-tokoh nasionalis lainnya. Soewarsih tercatat pernah menulis artikel pada 1941 di sebuah majalah revolusi; Kritiek en Opbouw yang isinya meminta kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengembalikan para tokoh nasionalis yang dibuang ke Boven Digoel, Papua Selatan.

 

Kebangkitan Karya Soewarsih di Negara Asing

Diskusi ini juga membahas hubungan antara Soewarsih dengan Edgar du Perron, terutama bagaimana du Perron memiliki peran yang besar dalam mendorong Soewarsih untuk menerbitkan karya perdananya yaitu Buiten het Gareel (Manusia Bebas). Dhianita sebagai narasumber menjabarkan bahwa sebelumnya Soewarsih juga sudah pernah menulis sebuah novel pendek dalam bahasa Sunda yang kemudian dikirimkan ke Balai Pustaka namun ditolak akibat penggunaan bahasa yang dinilai rendahan, dan substansi yang subversif yakni mengenai perempuan yang tidak bahagia dalam kehidupan pernikahannya. Pascapenolakan tersebut, Soewarsih bertemu dengan du Perron dan menceritakan penolakan yang ia terima dari Balai Pustaka. Edgar Du Perron seorang penyair Belanda mendorong Soewarsih untuk kembali menulis namun kali ini menggunakan bahasa Belanda.

Dorongan ini bukan tanpa sebab, Soewarsih yang besar lewat pendidikan yang berbasis bahasa Belanda lebih terbiasa menulis dalam bahasa tersebut. Sebab menurut penuturan Dhianita, bahasa ibu Soewarsih adalah Sunda, dan bahasa Belanda adalah bahasa kedua yang Soewarsih fasih menggunakannya. Selain menyarankan untuk mengganti penggunaan bahasa, du Perron juga meminta Soewarsih menulis dengan cara yang terbuka, personal, dan langsung sehingga cara penulisan ini dinilai memberikan warna baru dalam kesusastraan Indonesia pada masa tersebut. Naskah tersebut akhirnya dibawa oleh du Perron ke Belanda dan diterbitkan di Utretch dengan judul Buiten het Gareel di mana du Perron juga menuliskan kata pengantarnya dalam buku tersebut. 

Buku ini termasuk ke dalam otobiografi fiksi di mana Soewarsih merepresentasikan dirinya dalam tokoh yang ia namakan Sulastri. Buku ini menampilkan kompleksitas antara ruang publik dan ruang privat di mana Sulastri digambarkan memiliki kompleksitas baik di rumah tangganya, seperti masalah keuangan dan relasi dengan suaminya; Soedarmo dan kehidupannya di luar sebagai seorang wanita yang aktif dalam kegiatan aktivis dalam mendirikan sekolah-sekolah liar. Dhianita menyebutkan lewat karyanya, Soewarsih ingin memperlihatkan bahwa perjuangan emansipasi tidak hanya dilakukan di ruang publik saja namun juga terjadi dalam skala kecil seperti ruang-ruang privat bahkan termasuk hak dalam menentang poligami karena bagi Soewarsih, pernikahan tidak seharusnya mereduksi peran dan hak perempuan.

 

Perjuangan Manusia Bebas untuk Hadir di Indonesia

Novel Buiten het Gareel atau “Manusia Bebas” yang mendominasi diskusi 40 menit ini memiliki perjalanan yang cukup sulit untuk bisa dinikmati pembaca Indonesia. Mulai dari awal terbitnya pada 1940 yang tidak bisa didistribusikan di Indonesia akibat situasi perang, bahkan saat cetak ulangnya pada 1946 akibat agresi militer yang terjadi di tanah air. Novel ini baru bisa dibaca dalam bahasa Indonesia pada 1975 lewat penerbit Djambatan. Dhianita mengakui bahwa penerimaan karya ini tidak semeriah karya bertema nasionalis lainnya yang banyak menggunakan narasi heroik dan maskulin. Soewarsih cenderung banyak menggunakan unsur-unsur privat yang dinilai sepele dan remeh. 

Kekuatan Soewarsih dalam menembus batas-batas gender akan peran dan posisi perempuan di masanya juga terlihat di karya-karyanya yang lain. Dhianita menemukan adanya benang mereka antar karya Soewarsih yang ia baca berjudul Marjanah dan kumpulan cerpen Empat Serangkai dengan Manusia Bebas. Adanya unsur otobiografis yang menunjukkan perjuangan serta pengangkatan tema yang berani dalam melawan batas-batas gender. Dhianita menilai itu menjadi salah satu langkah berani Soewarsih untuk menggambarkan bagaimana perempuan digambarkan baik dari posisi dan perannya di ranah privat maupun pergerakan.

Soewarsih menjadi penting untuk dibaca karena melalui karyanya, kita bisa mengetahui bahwa memulai perubahan bisa berawal dari unsur-unsur terkecil seperti ranah privat; tidak harus melalui aksi heroik besar atau berorasi di depan banyak orang. Soewarsih menyadarkan bahwa untuk menceritakan pergerakan, kita tidak perlu ragu untuk menceritakan diri kita. Karena lewat penyampaian otobiografis tersebut, gagasan yang ingin kita sampaikan akan terasa lebih personal.

Diskusi selengkapnya bisa Anda dengarkan dalam Siniar Salihara Ngomong-ngomong Soal: Soewarsih dan Dilema Kaum Pergerakan di Youtube, Apple Podcasts, Spotify, dan Noice.

 

Menjelajah Komik Berbahasa Prancis

Komik menjadi salah satu bacaan yang banyak digandrungi di setiap negara. Penyampaian alur cerita yang disertai dengan ilustrasi adegan menjadi hal yang seru untuk diikuti. Di Indonesia budaya perkomikan juga tidak luput dari khazanah sastra kita. Pada 1930-an komik Indonesia hadir dalam bentuk strip atau gambar bersambung yang dimuat dalam majalah dan juga dalam bentuk buku komik, misalnya cerita dalam Mentjari Poetri Hidjaoe karya Nasroen A.S. yang dimuat di mingguan Ratu Timur dan komik karya Abdulsalam berjudul Kisah Penduduk Jogja. Setelah itu masuk pada 1940-1950-an, muncul cerita-cerita komik dari Amerika seperti Tarzan, Phantom, dan Rip Kirby di halaman beberapa surat kabar Indonesia. Barulah pada era 70-an muncul komikus Indonesia yang mengadaptasi khazanah budaya nusantara sebagai cerita dalam komik ciptaannya. Komik-komik itu di antaranya adalah Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes TH, Api di Bukit Menoreh karya SH. Mintardja, dan Gundala karya Hasmi. Hingga era 2000-an tradisi perkomikan tetap muncul di Indonesia baik dengan cerita yang lebih segar maupun gaya yang lebih modern. 

Selain mendapat bacaan komik bergaya Amerika, di Indonesia juga masuk komik-komik berbahasa Prancis atau negara-negara Frankofon yang tidak kalah seru. Di antaranya komik Petualangan Tintin, Asterix, The Smurfs, dan Lucky Luke. Judul-judul tersebut tidak asing bagi para pecinta komik di Indonesia. 

 

Terjemahan Komik Prancis dan Frankofon

Petualangan Tintin

Salah satu komik Prancis yang bisa kita baca dalam bahasa Indonesia adalah Petualangan Tintin. Komik ini diciptakan oleh Hergé seorang seniman Belgia dan komik ini pertama kali ditulis dalam bahasa Prancis berjudul Les Aventures de Tintin et Milou pada 1929 yang dimuat dalam koran Le Vingtième Siècle. Tintin adalah nama tokoh utama dalam komik ini yang memiliki pekerjaan sebagai jurnalis. Ia melalui petualangan menjelajahi dunia dengan anjingnya bernama Milo. Dalam setiap petualangan selalu ada kejadian-kejadian yang seru dan lucu yang menarik untuk diikuti. 

Sumber gambar: gramedia.com

 

Asterix

Selain Petualangan Tintin, kita juga bisa membaca komik Asterix dalam terjemahan bahasa Indonesia. Versi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Maria Antonia Rahartati Bambang Haryo, ia tidak hanya menerjemahkan bahasa tapi ia juga mengubah nama-nama tokoh dalam komik tersebut menjadi nama yang familiar di Indonesia. Komik yang pada dasarnya penuh humor ini makin terasa dengan humor yang lebih lokal. Misalnya ia menciptakan nama-nama seperti Licik Munafiks dan Asmabengekis. Komik ini pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Maria pada 1984. Asterix berkisah tentang pahlawan di wilayah Eropa bernama Asterix, ia digambarkan cerdik dan lucu. Asterix berpetualang ke berbagai negara dengan sahabatnya Obelix. 

Sumber gambar: blj.co.id

 

Lucky Luke

Komik Lucky Luke diciptakan oleh ilustrator Morris. Versi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh YY Hidayat dan diterbitkan oleh penerbit Indira. Komik ini berkisah tentang seorang koboi yang berkelana, ia dikenal dengan koboi yang mampu menembak lebih cepat daripada bayangannya. Petualangannya ditemani oleh kuda bernama Jolly Jumper dan anjing bernama Rantanplan. Kisahnya dikenal dengan akhir di mana si Koboi berjalan ke arah tenggelamnya matahari yang diiringi dengan cahaya jingga matahari, sembari bersenandung “I’m a poor lone some cowboy and a long way from home…”.

Sumber gambar: Lucky Luke: Kota Hantu, Penerbit Indira, 1987.

 

 

Marsupilami

Satu lagi komik berbahasa Prancis dari Belgia adalah Marsupilami karya André Franquin. Komik ini terkenal dengan kisah seekor hewan berwarna kuning dengan motif polkadot hitam di tubuhnya. Ia adalah hewan fiksi yang diimajinasikan oleh Franquin. Komik ini pertama kali diterbitkan pada 1952 di majalah Spirou. Pada 1980-an Marsupilami kemudian dibuat versi serial televisi. Tingkah lucu dan khas dari hewan Marsupilami ini kemudian banyak digandrungi oleh pecinta komik dan serialnya.

Sumber gambar: steemit.com

 

Selain judul-judul komik di atas, masih banyak lagi komik Prancis dan Frankofon yang bisa kita jelajahi. Salah satu upaya untuk melihat bagaimana pertumbuhan komik Prancis dan bagaimana pengaruhnya dalam kesusastraan Indonesia, LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2023 akan menggelar pameran komik Prancis yang bisa disaksikan secara langsung di Komunitas Salihara pada Agustus nanti. Untuk informasi selengkapnya dapat dilihat di salihara.org.

 

Sampai jumpa di LIFEs mon Amour!

Sekilas Kisah Erotis dan Penulis Prancis

Sekilas Kisah Erotis dan Penulis Prancis

Sastra juga tak bisa berjarak dengan cerita-cerita yang memiliki tempat tersendiri pada adegan seks atau kita seringkali mengaitkannya dengan istilah erotika. Cerita-cerita yang memuat adegan seks ini tak hanya dituliskan begitu saja tanpa eksperimen estetika di dalamnya. 

Di Indonesia menyebut sastra erotika, kita tak asing dengan tulisan-tulisan penulis yang memakai nama Enny Arrow–meski kita tak pernah yakin siapa sebetulnya sosok Enny Arrow ini. Tulisan-tulisan erotis Enny Arrow yang hadir pada 1980-an diedarkan dalam bentuk buku tipis dengan gambar sampul yang tak jarang menampilkan tubuh perempuan. Narasi yang ditulis Enny Arrow lebih banyak berpusat pada adegan persetubuhan yang dituliskan cukup detail. Kita bisa melihatnya dari potongan cerita berjudul Sepanas Bara:

“…sensasi nikmat teramat sangat saat kepala rudalnya menyerodok masuk ke dalam lubang sempit..”

Jika di Indonesia sastra erotis sering dikaitkan dengan tulisan Enny Arrow, dalam sastra Prancis juga ada penulis erotika, di antaranya adalah Colette, Marguerite Duras, Annie Ernaux, Anne Desclos, dan Anaïs Nin. Prancis menjadi salah satu negara dengan karya sastra erotis yang tak hanya ditulis oleh laki-laki, tapi juga penulis perempuan. Dengan menuangkan pengalaman seksual dari tubuh perempuan, penulis-penulis perempuan Prancis tersebut mampu bereksperimen dengan diksi dan estetika seru untuk diikuti pembaca. Salah satunya muncul pada karya Anaïs Nin, seorang penulis perempuan yang lahir di Prancis. Tulisan-tulisannya berupa cerita pendek dan novel berisi catatan-catatan harian. Baginya, menulis karya sastra dalam bentuk catatan harian adalah upaya untuk pembebasan diri, keluar dari sistem-sistem yang mengikat tiap individu. 

Dalam salah satu bukunya bertajuk  Les Petits Oiseaux (Little Birds) berisi 13 cerita pendek, ia menyajikan kisah-kisah erotis dengan tokoh beragam. Ia mampu menciptakan tokoh-tokoh dengan beragam latar belakang. Anaïs Nin tidaklah menuliskan cerita dengan adegan erotis persetubuhan seperti Enny Arrow, ia juga menggambarkan bagaimana kehidupan orang-orang dari beraneka kelas dan status sosial. 

Usaha untuk membebaskan diri dari segala kungkungan sistem seperti digambarkan Anaïs Nin dalam salah satu cerpennya berjudul Runaway. Cerpen ini berkisah tentang seorang perempuan yang melarikan diri dari rumahnya dan tinggal bersama temannya. Perkenalan pada seorang tokoh laki-laki membawanya pada kebebasan hasrat bercinta. Bahwa kebebasan juga berhak didapatkan dalam aktivitas persetubuhan. 

Dalam salah satu cerpennya berjudul Chanchiquito, Anaïs Nin berkisah tentang seorang perempuan yang mengingat masa kecilnya. Tokoh perempuan ini mengingat tentang lubang di antara kedua kakinya yang diendus oleh seekor anjing dan ia pun merasakan sensasi aneh sekaligus menyenangkan dalam dirinya. Ingatan ini muncul ketika ia tengah menjadi model lukisan seorang seniman dan ia melihat lukisan di dinding yang mengabadikan adegan perempuan dengan anjing-anjingnya.  

Masih banyak cerita-cerita erotis sekaligus menarik yang tidak hanya memperlihatkan unsur kecabulan ditulis oleh Anaïs Nin. Tulisan-tulisan Anaïs Nin menunjukkan bahwa penulis perempuan tidak hanya sekadar menulis persoalan pengalaman pribadi, namun ia mengolahnya, menjelmanya menjadi eksperimen sastra yang patut diakui kemahirannya. 

Seperti apa karya-karya Anaïs Nin lainnya? Adakah tulisan-tulisannya berpengaruh bagi kehidupan masyarakat Prancis hari ini? Dan seperti apa karya penulis perempuan Prancis lainnya yang juga menciptakan sastra erotis? Mari temukan jawaban-jawaban pertanyaan ini melalui LIFEs 2023 yang mengusung tema Frankofon. Tema ini hendak meneroka karya-karya sastra dan pemikiran dari negara-negara penutur bahasa Prancis. LIFEs akan berlangsung pada 05-13 Agustus 2023, sampai jumpa pada LIFEs mon Amour!

 

Sumber Bacaan:

Little Birds karya Anaïs Nin, cetakan pertama Pocket Books, 1990. 
Sepanas Bara karya Enny Arrow, tahun tak diketahui. 
Tulisan Erotika (di) Indonesia: Sedikit Catatan karya Goenawan Mohamad, 2022.

suket

Bandung Bondowoso dan Kisah yang Berputar

Ditulis oleh Telaga Kasih

 

Di dalam ruang galeri dengan tembok cekung seperti dalam tabung, penonton duduk berlesehan. Layar berukuran 1 x 1.5 meter dengan cahaya temaram ada di depan mereka. Jerami disebar di depan penonton untuk memberi jarak pandang pada layar. Layar ini bukan televisi, bukan juga layar yang memancarkan film dalam bioskop, ia semacam kelir atau kain putih yang biasa digunakan dalam pertunjukan wayang dan bayangan. Selama kurang lebih 60 menit, kita diajak berpetualang dalam lakon Bandung Bondowoso versi wayang suket. Pertunjukan wayang suket ini ditampilkan oleh komunitas Wayang Suket Indonesia, sebuah kelompok kesenian yang berusaha melestarikan kesenian wayang suket. Suket atau rumput di sini adalah bahan baku yang digunakan untuk membuat wayang. Kelompok teater objek ini juga sekaligus mengenalkan jenis wayang selain wayang kulit, wayang golek, dan wayang beber. 

Pertunjukan wayang suket ini hadir dengan nuansa riang dan penuh semangat yang dibawakan oleh dalang. Berbeda dengan pertunjukan wayang kulit yang lengkap dengan seperangkat musisi karawitan, wayang suket ini hadir dengan perpaduan instrumen musik yang modern seperti gitar dan ukulele, namun tetap tidak meninggalkan instrumen kendang dan suara merdu seorang sinden. Wayang suket yang dihadirkan juga tak hanya yang berukuran kecil, tapi juga berukuran orang dewasa yang dimainkan oleh sepasang penari. Dua wayang suket raksasa ini menampilkan tokoh Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang, dua tokoh sentral dalam kisah ini. 

Pada umumnya kita mengenal kisah Bandung Bondowoso berkaitan dengan legenda berdirinya Candi Prambanan—meski kita tak pernah tahu siapa yang pertama kali menyiarkan dongeng ini. Kisah Bandung Bondowoso sebetulnya adalah salah satu cerita rakyat yang kemudian menjadi “sejarah yang lain” dari pembangunan sebuah situs sejarah. Sedikit menyinggung sejarah Candi Prambanan, candi ini termasuk dalam kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia. Berdirinya Candi Prambanan berawal pada abad ke-9 masehi yang dimulai dari Raja Rakai Pikatan pada masa kerajaan Medang Mataram. Pembuatannya dipercaya sebagai bentuk persembahan pada tiga dewa utama Hindu atau Trimurti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Salah satu arca dewi perempuan yang adalah arca Durga Mahisasuramardini kemudian dipercaya sebagai arca Roro Jonggrang, seorang perempuan yang dikutuk oleh Bandung Bondowoso untuk melengkapi candi ke-1000. 

Kisah yang dituturkan Wayang Suket Indonesia berupaya menciptakan tokoh Bandung Bondowoso sebagai sosok laki-laki ksatria yang baik hati dan berjiwa pahlawan. Kelompok ini percaya bahwa kisah Bandung Bondowoso di luar sana atau yang kerap diceritakan adalah karakter yang jahat, kejam, suka membunuh, dan kemudian mengutuk seorang putri dari raja yang ia kalahkan. Pada pertunjukan ini kisah tersebut memiliki tawaran penokohan yang baru atau sama sekali lain dengan apa yang dikenal oleh masyarakat saat ini. Bisa dikatakan Wayang Suket Indonesia mencoba mendekonstruksi kisah Bandung Bondowoso. 

 

Upaya Dekonstruksi Bandung Bondowoso

Kisah dimulai dengan tokoh utama, Bandung Bondowoso ksatria Kerajaan Pengging, diberi tugas untuk melakukan perjalanan sekaligus mengajak Raja Kerajaan Prambanan bersekutu. Permintaan ini ditolak oleh Raja Prambanan (Prabu Boko) dan berakhir dengan peperangan. Perang ini disulut oleh Raja Prambanan yang tidak ingin diajak bekerjasama dan merasa dianggap remeh oleh Kerajaan Pengging. Dengan kalahnya Raja Prambanan yang berakhir dengan kematian Sang Raja, Bandung Bondowoso pun diberi wewenang untuk memimpin kerajaan tersebut—sebuah struktur klasik dari perebutan wilayah melalui peperangan. Kerajaan Prambanan makin makmur di bawah pemerintahan Bandung Bondowoso, hingga ia sadar pada kecantikan Roro Jonggrang—anak Raja Prambanan yang dikalahkan Bandung Bondowoso. Roro Jonggrang dilamar, lamaran Bandung Bondowoso tak bisa ditolak—tentu tak ada yang boleh menolak keinginan Sang Raja. Namun kesedihan mendalam masih melekat pada diri Roro Jonggrang, hingga ia pun menyusun taktik. Ia memberi syarat dibuatkan 1000 candi dalam waktu semalam. Syarat itu disetujui oleh Bandung Bondowoso. Suasana pertunjukan wayang dibuat makin tegang ketika Roro Jonggrang sadar bahwa candi akan segera selesai dan hari belum juga muncul fajar. Siasat ke-2 digunakan, Roro Jonggrang mengutus para dayang untuk menciptakan pagi buatan. Suara ayam, suara lesung, langit yang memancar warna merah fajar dari jerami yang dibakar menciptakan suasana yang seolah-olah pagi. Bandung Bondowoso bekerja dibantu oleh para prajurit jinnya, para jin pontang-panting takut pagi. Para jin meninggalkan tugas mereka dan menyisakan Bandung Bondowoso yang terus membangun candi sendirian. Roro Jonggrang menyaksikannya, ia dengan berani mengatakan bahwa candi tak genap 1000. Segala ucapan serapah keluar dari tokoh Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso dianggap sebagai laki-laki yang gemar melanggar janji. Hati Bandung Bondowoso sakit dan diceritakan Sang Dewa turut tidak terima kemudian mengutuk Roro Jonggrang jadi arca candi ke-1000. Bandung Bondowoso menangis, menyesal atas sakit hatinya dan membuat upacara persembahan pada arca Roro Jonggrang. Pertunjukan ini ditutup dengan nasehat yang baik agar sesama manusia tidak saling membenci dan memberi harapan palsu. 

Sekilas kita memang disuguhkan dengan karakter Bandung Bondowoso yang baik hati, ksatria yang tak pernah melanggar janji. Tapi jika benar kisah ini hendak didekonstruksi, dikisahkan kembali dengan gagasan yang sama sekali baru tapi kisah yang diciptakan dalam pertunjukan ini cenderung sama atau masih pengulangan dengan cerita yang ada. Ada unsur ketidakterimaan tentang “perempuan yang selalu ditindas dalam dongeng” yang kemudian dipatahkan dengan karakter baik hati seorang laki-laki. Tak bisa dihindari bahwa Roro Jonggrang tetap menjadi korban, ia korban dari perihal perputaran politik sebuah negara. Korban dari kesewenangan pimpinan negara demi meluaskan kekuasaannya. Secara emosional, siapa yang tidak sedih jika ayah kandung dibunuh dan si pembunuh justru menikahi anaknya? 

Barangkali akan lain kisahnya jika Bandung Bondowoso menolak permintaan Raja Pengging dan tidak terlibat perseteruan dengan Raja Prambanan. Akan lain kisahnya apabila Bandung Bondowoso bertemu lebih dulu dengan Roro Jonggrang dan membuat negosiasi yang lebih “halus” dengan Kerajaan Prambanan. Akan lain pula kisahnya apabila Roro Jonggrang turun di medan perang melawan Bandung Bondowoso. Atau kisah lain yang lebih mengorek luka diri Bandung Bondowoso setelah berhasil mengalahkan Raja Prambanan, apakah ia puas? Apakah ia betul-betul tak sadar bahwa Roro Jonggrang adalah anak Raja Prambanan? Apakah sampai hati Bandung Bondowoso menikahi anak dari mungsuh yang dibunuhnya sendiri? Penelusuran pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi akan membawa legenda Bandung Bondowoso pada kisah yang tak hanya berputar pada persoalan baik dan buruk. 

 

Upaya Pelestarian Budaya

Pertunjukan Bandung Bondowoso ala Wayang Suket Indonesia terasa masih berkutat pada persilangan baik-buruk, hitam-putih, menang-kalah. Namun di luar kisah yang diusung, pertunjukan ini layak untuk disaksikan oleh masyarakat perkotaan—khususnya usai dua tahun pandemi yang menggempur segala bentuk pertunjukan yang bisa disaksikan secara langsung. Wayang Suket Indonesia sangat sadar akan upaya pelestarian budaya yang barangkali jarang tersentuh mayoritas masyarakat perkotaan. Di Jakarta barangkali sangat minim tontonan yang berangkat dari kesenian tradisi namun tetap dikemas dengan segar. Ditambah usaha pengenalan jenis lain dari kesenian wayang di Indonesia yang ternyata sangat kompleks dan luas yang dikemas dalam pertunjukan wayang suket, disampaikan oleh dalang dengan optimis dan apik. Pada era-era yang makin maju ke depan lengkap dengan kompleksitas kemajuan teknologi digital, kesenian tradisi barangkali tak akan segera luntur dan terlupakan apabila kita terus membuka diri dengan kemungkinan yang ada.

swallow

Xu Lizhi dan Kegetiran Buruh dalam Puisi

“I swallowed an iron moon

they called it a screw

I swallowed industrial wastewater and unemployment forms

bent over machines, our youth died young

I swallowed labour, I swallowed poverty

swallowed pedestrian bridges, swallowed this rusted-out life

I can’t swallow any more

everything I’ve swallowed roils up in my throat

I spread across my country

a poem of shame”

19 Desember 2013

Sebuah penggalan puisi karya Xu Lizhi yang diterjemahkan oleh Eleanor Goodman dalam artikelnya di clb.org yang juga organisasi gerakan buruh yang mendukung kesejahteraan pekerja di Tiongkok. Puisi di atas berjudul I Swallowed a Moon Made of Iron, judul yang sama dengan judul pertunjukan musik dan teater karya Njo Kong Kie di Teater Salihara, 17 Maret mendatang. Njo Kong Kie banyak memasukkan elemen-elemen di dalam puisi Xu Lizhi ke dalam karyanya, hingga menjadi sumber inspirasinya dalam pembuatan konser musik dan teater dalam tur Asia Tenggaranya yang diselenggarakan di Singapura, Indonesia, Thailand, dan Malaysia. 

Siapa Xu Lizhi?

September 2014, Xu Lizhi memutuskan untuk mengakhiri hidupnya pada usia 24 tahun, ia meninggalkan sekitar 200 puisi yang tidak terpublikasikan. Saat itu ia bekerja sebagai salah satu buruh di Foxconn, sebuah perusahaan manufaktur yang menghasilkan berbagai perangkat elektronik untuk pembuatan telepon genggam, laptop, dan perangkat digital lainnya. Ratusan puisi yang ia tinggalkan menarasikan kehidupannya sebagai seorang buruh pabrik migran yang dipenuhi oleh rasa sengsara, putus asa, dan rasa kecewa. Tidak hanya menceritakan pengalaman pribadinya, puisi Xu juga menarasikan kehidupan umum para buruh di sana.

Pascakematiannya, puisi dan karya (esai, ulasan film, dan tulisan opini) yang ia tinggalkan menjangkau lebih banyak orang bahkan hingga tingkat mancanegara; memantik berbagai serikat ketenagakerjaan untuk menyuarakan kesejahteraan para pekerja.

Xu lahir di Guangdong, Tiongkok pada 18 Juli, 1990 dari keluarga seorang petani. Ia merupakan bungsu dari tiga bersaudara. Orang tuanya tidak bisa membaca, bahkan tidak ada perpustakaan maupun toko buku di tempat ia tinggal, Xu sendiri juga merasa tidak cocok untuk pekerjaan petani dan mendambakan untuk bisa masuk universitas demi meningkatkan taraf hidupnya. Namun sayang, nasib mujur tidak berpihak pada dirinya. Xu gagal masuk ujian universitas dan dibujuk oleh kedua kakaknya untuk pergi ke kota Shenzhen, setidaknya di sana mereka berpikir Xu akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak. 

Xu memulai karirnya di Shenzhen pada 2011. Shenzhen yang dulunya merupakan sebuah desa nelayan kini berubah menjadi kota industri dengan potensi yang menjanjikan akibat pertumbuhan ekonomi yang melaju pesat di wilayah tersebut. Selain menjalani kehidupan sebagai buruh yang bekerja di pabrik dengan lingkungan kerja ekstrim, Xu menemukan ketenangan batin lewat tulisan. Tulisan-tulisan awal Xu terfokus kepada observasinya atas kehidupan para pekerja migran di Foxconn, menggambarkan kehidupan brutal di sana namun dibalut dengan pemilihan diksi dan kata yang begitu indah seperti penggalan puisinya berikut ini yang berjudul “Kuburan Terakhir” atau “The Last Graveyard”:

 

“Output weighs down their age, pain works overtime day and night

Usia mereka berkurang akibat bekerja siang dan malam

In their lives, dizziness before their time is latent

Dalam hidup mereka, sakit kepala bisa terjadi kapan saja

The jig forces the skin to peel

kulit mereka terkelupas oleh mesin-mesin yang bergerak

And while it’s at it, plates on a layer of aluminum alloy

dan tergantikan oleh lembaran logam alumunium

Some still endure, while others are taken by illness

Beberapa bertahan, namun sisanya tumbang oleh penyakit

I am dozing between them, guarding

Saya berbaring di antara mereka, menjaga

The last graveyard of our youth.

Kuburan anak-anak muda kita.”

— 21 December 2011 (Diterjemahkan oleh libcon.org)

Puisi dan Upayanya Mencapai Hidup yang Sejahtera

Xu Lizhi bertahan dalam kondisi hidup yang penuh tekanan di balik tembok-tembok pabrik manufaktur selama 3,5 tahun. Dunia yang Xu tinggali tidak mudah, dilansir dari artikel yang diterbitkan oleh time.com di tempat Xu bekerja sudah ada 17 percobaan bunuh diri dengan 14 yang meninggal pada 2010; satu tahun sebelum Xu bergabung. Alasan kematian mereka tidak terdefinisikan dengan jelas akibat ketatnya keamanan dan kerahasiaan perusahaan. Serikat pekerja lokal mengatakan alasan adanya “badai” bunuh diri tersebut disebabkan oleh jam kerja yang panjang, bayaran yang tidak sesuai, dan pola kerja yang monoton. Untuk bisa bertahan dari situasi yang seperti itu, satu-satunya pelarian yang  Xu Lizhi lakukan adalah dengan menulis puisi. 

Puisi yang ia terbitkan di berbagai media, baik media lokal maupun platform daring dan berteman dengan sesama penulis di wilayahnya. Saat libur, Xu terkadang mengambil rute bus menuju kota di Guangzhou untuk mengikuti seminar atau pertemuan luring dengan sesama rekan penulis lainnya dan kembali lagi menuju Shenzhen setelahnya. Sepanjang 3,5 tahun karirnya Xu merasa hidupnya bukan untuk menjadi buruh, ia ingin menjadi penulis. Berkali-kali ia mencoba melamar di toko buku, atau penerbit setempat namun tidak berhasil sehingga ia masih harus bertahan di balik tembok-tembok pabrik sebagai seorang buruh elektronik.

Juni 2013, ia sempat menulis sebuah puisi tentang kakeknya yang tewas dibunuh oleh tentara Jepang di usia ke 23. Pada saat itu, Xu pun juga berusia 23 dan mengaitkan banyak kesamaan antara dia dengan kakeknya mulai dari ekspresi muka, hobi, temperamen, dan segala hal yang berkaitan lainnya. Apakah dia akan bernasib sama seperti kakeknya, yakni meninggal di usia yang muda? Tulisan ini ia tulis dalam puisi yang berjudul “A Kind of Prophecy” atau “Sebuah Ramalan”.

Awal tahun 2014 Xu sebenarnya sempat mengundurkan diri dari Foxconn dan hijrah menuju Suzhou, sebuah kota yang tidak jauh dari Shanghai untuk menemui pacarnya dan memulai hidup baru. Tidak ada keluarga maupun temannya yang diberitahu tentang hal ini. Namun tetapi, kehidupannya dengan kekasihnya tersebut terlihat tidak berjalan baik, begitu pula dengan karir baru yang ia cari. Karena pada September 2014 ia kembali menandatangani kontrak dengan Foxconn untuk kembali menjadi buruh. Dua hari setelah menandatangani kontrak tersebut yakni 30 September 2014, ia melompat dari lantai 17 sebuah pusat perbelanjaan dan meninggalkan puisi terakhirnya yang direncanakan rilis pada 1 Oktober 2014 dengan judul “A New Day” atau “Awal yang Baru”.

Selepas kematiannya, Karya Xu Lizhi menggema ke berbagai portal-portal berita asing dan menjadi inspirasi bagi para penyair-penyair muda di Tiongkok dari kalangan buruh/pekerja. Kehidupannya pun diangkat menjadi sebuah film dokumenter oleh penyair Tiongkok; Qin Xiaoyu. Karya Xu yang lugas namun puitis dan imajinatif dapat memberikan gambaran yang begitu nyata akan kehidupan mereka yang tersembunyi dan mungkin terlupakan.

identikit

Diskursus Tubuh dan Jiwa dalam Pertunjukan “Identikit”

Ditulis oleh Wulansari Rembah

Jailangkung sudah lama dikenal masyarakat nusantara sebagai boneka pemanggil arwah. Mendengar kata “jailangkung” akan mengingatkan kita pada sosok boneka dari kayu dengan kepala dari tempurung kelapa yang berpakaian karung goni, sosok menyeramkan dengan jargon khasnya “datang tak dijemput, pulang tak diantar”. Bagaimana jika jailangkung dihadirkan dalam pentas teater?

SEKAT Studio menampilkan boneka ritus ini sebagai elemen utama dalam pertunjukan berjudul Identikit di Salihara pada Sabtu, 25 Februari 2023. Pertunjukan ini merupakan bagian dari pementasan Helateater yang diadakan tiap dua tahun. Tema tahun ini adalah “teater objek”, memungkinkan para kelompok teater bereksplorasi dengan berbagai objek seperti boneka, wayang, hingga benda keseharian, menjadikannya simbol dan memberikan pemaknaan tertentu dalam kisah yang mereka tuturkan, baik secara verbal maupun nonverbal.

Saat memasuki ruang teater, para penonton disuguhi aroma bunga melati yang semerbak, mengingatkan kita pada aroma mistis nan horor (meskipun ada juga sebagian orang menganggapnya aromaterapi yang menenangkan). Di panggung sudah tertata dua layar dari kain putih besar, jailangkung dan foto seorang perempuan di atas laci, serta susunan boneka modern seperti robot android dari yang kecil hingga jumbo, berukuran lebih besar dari manusia dewasa. Sambil menunggu pentas dimulai, nuansa malam dan sayup jangkrik terdengar dari speaker memenuhi ruang auditorium.

Pertunjukan dibuka dengan bunyi gemerincing lonceng yang dibawa oleh sosok bertopeng berambut putih panjang, yang nantinya kita akan tahu ia bertugas sebagai penata musik di sisi kanan panggung. Kemudian hadirlah dua orang laki-laki, yang satu berperawakan lebih tinggi. Lelaki tinggi melakukan ritual memanggil arwah kekasihnya yang sudah meninggal, sambil memasangkan aksesoris tertentu pada jailangkung. Pada percobaan pertama, tidak ada reaksi apapun sehingga lelaki tinggi kesal dan meninggalkan ruangan. Temannya masih melanjutkan ritual, lalu pergi juga tak lama kemudian. Setelah itu datanglah arwah yang berwujud sosok berbaju putih dan berambut putih, merasuki jailangkung hingga bergerak ke sana kemari. Tak puas menempati wadah kecil, arwah itu pindah merasuki boneka android berukuran sedang. Masih tak puas juga, ia masuk ke wadah android yang lebih besar, hingga akhirnya ia merasuki lelaki kecil dan bertingkah seperti perempuan sang kekasih temannya. Cerita mencapai puncaknya ketika arwah perempuan ini bermaksud mengendalikan tubuh kekasihnya juga.

Dalam penyajian kisahnya, Identikit mengombinasikan teater bayangan dan teater gerak. Tiap adegan diselingi dengan adegan kilas balik yang menggunakan bayangan boneka kertas pada proyektor kain. Dari adegan kilas balik itu, penonton bisa memahami perjalanan cinta antara si lelaki dan kekasihnya yang sudah meninggal. Pergantian adegan di masa lalu dan di masa kini mudah dipahami dengan penanda musik latar yang diisi oleh synthesizer, drum, dan instrumen ritmis lainnya. Musik yang lembut (meski kadang menyisakan nuansa sepi dan horor) menandakan kilas balik, sementara musik menegangkan yang didominasi oleh pukulan simbal drum dan lonceng menunjukkan masa kini. Selain penanda alur waktu, musik juga menjadi tanda peristiwa kesurupan. Gemerincing lonceng dan ringbell beberapa kali terdengar sangat intens untuk menggambarkan roh kekasih yang sudah berhasil merasuki wadah.

Para tokoh dan kru yang muncul di panggung menggunakan topeng dan bercerita pada penonton melalui gerak-gerik mereka, tanpa dialog satu kata pun, sehingga penonton akan menerka-nerka dan menafsirkan sendiri. Untungnya proyeksi bayangan boneka kertas yang dibuat sangat apik dan artistik membantu penonton memahami kisah masa lalu si lelaki dan perasaan cintanya yang dalam terhadap kekasihnya.

 

Makna Simbolik Sisir dan Boneka

Di antara serpihan kilas balik, salah satu yang menarik perhatian adalah gambar sisir yang seringkali muncul. Sisir menjadi benda tak terpisahkan yang menemani perjalanan cinta si tokoh. Mulai dari si lelaki yang memberikan sisir pada perempuan ketika mereka masih belia, sampai adegan  lelaki yang sedang menyisiri rambut perempuan dari belakang. Bahkan adegan tersebut diulang kembali secara nyata di akhir cerita, saat arwah merasuki tubuh lelaki. Bentuk sisir sangat khas menyerupai sisir kuno peninggalan kebudayaan China. Mungkinkah sisir ini memiliki makna khusus?

Di China, sisir disebut “shubi”, alat rias yang menyimpan sejarah sejak ribuan tahun lalu. Tak hanya sebagai aksesoris, sisir juga menunjukkan status sosial pemakainya. Bagi masyarakat China, sisir merupakan simbol kebahagiaan. Sisir menjadi salah satu benda seserahan penting yang diberikan mempelai pria kepada mempelai wanita pada acara lamaran. Sebelum melaksanakan prosesi pernikahan, terdapat tradisi penyisiran yang dilakukan keluarga masing-masing mempelai. Anggota keluarga menyisir rambut mempelai sebanyak tiga kali sambil menyisipkan doa dan harapan.

Mengetahui kedudukan sisir yang ternyata sangat bernilai dalam kebudayaan China, tidak heran jika tokoh lelaki mengungkapkan rasa cintanya dengan menyisir rambut kekasihnya. Ungkapan tersebut mungkin sangat jarang ditemukan pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Hal inilah yang agak mengaburkan penonton tentang latar kisah ini, apakah di nusantara ataukah di China? Sebab selama ini, jailangkung selalu dikaitkan dengan tradisi orang Jawa.

Rupanya setelah ditelusuri, jailangkung berasal dari China dan diserap di Indonesia melalui interaksi yang terjalin sejak berabad-abad lalu. Di China, ritual pemanggil arwah ini bernama “Cai Lan Gong”, ritual untuk memanggil dewa keranjang yang biasanya dilakukan saat Festival Rembulan berlangsung. Ritual ini dibawa oleh para pedagang dan pendatang dari Tiongkok, hingga akhirnya terakulturasi dengan kebudayaan animisme Jawa. Kepercayaan orang Jawa tentang roh dan makhluk halus diduga menjadi salah satu faktor pendukung bertahannya ritual ini sampai sekarang. Mereka memandang bahwa semua makhluk hidup berdampingan di alam semesta, baik alam nyata maupun alam gaib. Makhluk halus, termasuk arwah nenek moyang dipercaya memiliki kekuatan supranatural, dapat mengontrol dan memengaruhi kehidupan di dunia nyata. Itulah alasannya ketika terjadi gejala alam di luar kendali manusia, masih ada sekelompok orang yang meminta bantuan terhadap makhluk gaib, menyapa dengan sesajen, maupun melakukan ritual pemanggil arwah.

Dalam pertunjukan Identikit, jailangkung menjadi boneka pertama yang dirasuki roh sebelum roh memasuki wadah-wadah lainnya, termasuk manusia. Saat lelaki kecil kesurupan, kita bisa melihat tubuhnya bergerak dikendalikan roh perempuan. Tangan dan kakinya bergerak seperti tungkai boneka kayu. Ia tak ubahnya seperti seonggok tubuh yang bergerak sembarangan. Adegan kerasukan yang terjadi berkali-kali ini membuat kita sekali lagi meyakini bahwa makhluk hidup memiliki elemen tubuh dan jiwa. Tanpa jiwa, tubuh hanyalah gumpalan daging dan tulang yang tak berarti apa-apa. Jiwalah yang membuatnya hidup. Jiwalah yang menjadi identitasnya, sementara tubuh hanya perangkat saja. Diskursus mengenai tubuh dan jiwa ini rupanya menjelaskan arti judul Identikit yang diusung. Dapat kita simpulkan bahwa Identikit adalah gabungan dua kata, identitas dan kit (perangkat).

Dengan bereksplorasi menggunakan objek jailangkung, pertunjukan Identikit telah mengajak kita untuk menelusuri interaksi budaya antara Indonesia dengan China, sekaligus mempertanyakan kembali makna tubuh dan jiwa, sembari mengaktifkan penuh indra penciuman, penglihatan, dan pendengaran kita.   

 

Bacaan dan Tontonan Lebih Lanjut:

Film Cai Lan Gong yang mengungkap asal-usul jailangkung: https://www.fimela.com/entertainment/read/2342220/cai-lan-gong-ungkap-asal-mula-kehidupan-jailangkung

Kepercayaan orang Jawa tentang makhluk halus: https://historia.id/kultur/articles/hak-hidup-makhluk-halus-PRgbJ

Sisir dalam budaya China: https://www.youtube.com/watch?v=oOzz9jS2HIE