aga

Jazz sebagai Metode Menjadi Indonesia dalam (LIFEs) Literature and Ideas Festival 2025

Teater Salihara, 14 Agustus 2025 | 20:00 WIB

 

Jakarta,12 Agustus 2025 – Komunitas Salihara Arts Center sebagai pusat seni di Jakarta Selatan kembali dengan festival sastra dua tahunan yang dikenal dengan Literature and Ideas Festival (LIFEs). Tahun ini, LIFEs mengangkat tema Menjadi Indonesia, di mana festival ini akan mengajak kita kembali memaknai dan merenungkan secara luas isu-isu tentang diri, identitas, komunitas, dan kebangsaan, serta relevan bagi khalayak di dalam maupun luar Indonesia. Festival ini dilaksanakan dari 08 – 16 Agustus 2025. 

LIFEs 2025 tidak hanya hadir dalam program diskusi dan sastra saja namun juga menyajikan program musik salah satunya adalah Pentas Ceramah: Jazz sebagai Metode Menjadi Indonesia yang dibawakan oleh Sri Hanuraga (Aga), musisi jazz yang juga berprofesi sebagai dosen musik di Universitas Pelita Harapan pada Kamis, 14 Agustus 2025 di Teater Salihara.

Pentas Ceramah: Jazz sebagai Metode Menjadi Indonesia akan membahas bagaimana Aga memahami situasi menggunakan jazz sebagai metode dalam memaknai Indonesia. Bagi Aga, kesenian dan estetika adalah sebuah moda berpikir, di mana imajinasi dan rasionalitas saling terkait satu sama lain. Jazz, sebagai tradisi kesenian yang paling melekat di dirinya, telah membentuk cara pandangnya dalam menangkap dan memaknai berbagai hal di sekitarnya.

Indonesia, dalam pemaknaan Aga adalah hasil proses intersubjektif dan saling merujuknya pemahaman tentang identitas mulai dari tingkat individu, komunitas kecil, hingga level ekonomi dan sosial yang lebih luas.

“Lalu bagaimana jazz membantu saya dalam memahami itu semua? Pertama, musisi jazz mengamati dan menyerap kosabunyi di luar dirinya lalu mempersonalisasinya dengan cara yang khas. Bunyi itu diserap apa adanya hingga benar-benar menubuh, baru kemudian mengalami proses abstraksi. 

Hasil abstraksi tersebut pun dipelajari sampai menjadi bagian dari tubuh dan kesadaran. Kedua, jazz terbiasa hidup bersama kontradiksi, merangkumnya tanpa harus mencari resolusi. Ketiga, jazz mengolah benda-benda bekas dari keseharian dan segala sesuatu di luar dirinya, lalu mengasingkannya melalui improvisasi.” terang peraih Artis Jazz Kontemporer Terbaik pada Anugerah Musik Indonesia 2022.

Dalam ceramah ini, Aga akan menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip dalam jazz dapat digunakan untuk memahami realitas. Mulai dari kebiasaan musisi jazz menyerap kosabunyi dari luar dirinya lalu mempersonalisasi hingga menjadi bagian dari tubuhnya serta menampilkan contoh sonifikasi terhadap puisi dan penyulingan air minum di Jakarta, di mana keduanya akan dikonversi menjadi komposisi bunyi yang memancing pendengar untuk melihat realitas dari perspektif baru.

Untuk melihat lebih detail tentang apa yang akan Sri Hanuraga presentasikan dalam memaknai menjadi Indonesia lewat Jazz, pengunjung dapat melakukan pembelian tiket melalui tiket.salihara.org dengan harga Rp75.000 (prapesan), Rp110.000 (on the spot), dan Rp55.000 (pelajar).

Selain Jazz sebagai Metode Menjadi Indonesia, pengunjung juga bisa menikmati program musik lain yakni penampilan grup musik Sukatani dalam Malam Penutupan LIFEs 2025, Sabtu, 16 Agustus 2025. Informasi selengkapnya kunjungi lifes.salihara.org .

 

Tentang Penceramah:

Sri Hanuraga adalah pianis dan musisi  yang menamatkan studi program master piano jazz di The Conservatorium van Amsterdam, Belanda, pada 2011 dengan predikat summa cum laude. Ia kerap berpentas di festival-festival musik penting dengan banyak seniman internasional dan musisi Indonesia terkemuka. Salah satu album musiknya adalah To the Universe (2015). Ia telah meraih sejumlah penghargaan internasional maupun nasional seperti soloist prize di East of Eastern Jazz Festival, Nijmegen (2006), The European Keep an Eye Jazz Award 2011 untuk kategori “Best Band” bersama Daniel Master Quartet dan Anugerah Musik Indonesia (AMI) 2016 untuk kategori Artis Jazz Instrumental Terbaik dan Artis Jazz Kontemporer Terbaik pada Anugerah Musik Indonesia 2022. Selain bermusik, ia mengajar di Universitas Pelita Harapan (UPH).

 

TENTANG LIFEs

LIFEs (Literature and Ideas Festival) adalah acara dua tahunan yang diselenggarakan oleh Komunitas Salihara Arts Center. Festival ini pertama kali hadir pada awal era demokrasi Indonesia. Meskipun saat itu masih menggunakan nama yang berbeda, LIFEs kini menjadi salah satu festival sastra aktif tertua di Indonesia. Program LIFEs mencakup beragam kegiatan, seperti seminar, diskusi, pertunjukan, jamuan sastra, dan lokakarya. 

Tahun ini adalah 80 tahun Indonesia merdeka. Kita bangga bahwa sastra dan sastrawan selalu terlibat dalam perjuangan. LIFEs kali ini pun bertajuk “Menjadi Indonesia”, soal yang makin relevan untuk menjawab kegelisahan generasi muda yang sempat melihat #IndonesiaGelap, ingin #KaburAjaDulu, atau ingin tahu penulisan kembali sejarah Indonesia. Kita akan menelusuri karya-karya dari klasik maupun suara terkini, dalam bedah buku, seminar, ceramah, pentas bincang, maupun pentas inovatif, yang membincangkan apa itu menjadi Indonesia dan masih perlukah.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

 

slot

“Sloth Canon” Tampil Perdana di Indonesia: Kolaborasi T.H.E (Singapura) dan Company 605 (Kanada) Hadir di Salihara

Sabtu-Minggu, 28-29 Juni 2025
20:00 WIB | 16:00 WIB
Teater Salihara

 

Jakarta, 26 Juni 2025 – Sebuah kolaborasi kelompok tari antara The Human Expression/T.H.E (Singapura) dan Company 605 (Kanada) akan mempersembahkan karya terbaru mereka dalam pertunjukan Sloth Canon pada 28-29 Juni 2025 mendatang.

Sloth Canon merupakan hasil gagasan dan koreografi dari Anthea Seah (T.H.E) dan Josh Martin (Company 605), dua figur penting dalam dunia tari kontemporer Asia dan Amerika Utara. Bersama lima penari dari berbagai latar belakang—Brandon Lee Alley, Haruka Leilani Chan, Chang En, Billy Keohavong, dan Rebecca Margolick—pertunjukan ini menafsirkan ulang pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kerja kolektif, tubuh, kecepatan, dan ilusi dalam masyarakat

Koreografi di dalam Sloth Canon menceritakan dunia paralel penuh absurditas yang dimasuki oleh para penari, di mana gerak tubuh menjadi representasi dari “ambisi” yang  mengalami berbagai turbulensi. Ketika gelembung imajinasi mereka mulai mendekati dunia realitas, karya ini mengajak penonton memasuki dunia yang tidak stabil dengan pikiran magis yang kompulsif.

Sebagai kelompok seni asing, Indonesia menjadi negara pertama dalam tur mereka dan menampilkan karya Sloth Canon. Sebelumnya pentas ini perdana dilakukan di negara asal masing-masing kelompok yakni Singapura dan Kanada, Indonesia menjadi negara pertama–di luar negara asal mereka–sekaligus wadah baru dalam mempertunjukkan karya seni lintas-benua ini.

“Ini adalah pertama kalinya saya mengenal istilah Komunitas Salihara. Kami sering menggambarkan tim Sloth Canon sebagai sebuah peradaban mikro, jadi datang ke komunitas Salihara terasa seperti peradaban yang melayang bertemu dengan peradaban lain yang berakar di ruang ini.

Kami benar-benar antusias bisa membawakan Sloth Canon di ruang dan budaya seperti ini, dan yang paling kami tunggu adalah kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan komunitas lain yang ada di sini.” ujar Anthea Seah, Koreografer T.H.E dalam merespons pertunjukan mereka di Teater Salihara.

Hal serupa pun juga dirasakan oleh Josh Martin, Koreografer Company 605 saat ditanya bagaimana reaksi kelompok saat akan membawakan karya ini di Salihara. Menurutnya, pengalaman pertama di Indonesia ini membuat ia ingin bersinergi baik dari segi budaya, lingkungan, hingga ruang pertunjukan dalam mempersembahkan apa yang sudah mereka persiapkan untuk pertunjukan nanti.

Sloth Canon akan menemani akhir pekan pengunjung Salihara secara perdana. Untuk bisa menikmati pertunjukan ini, pengunjung bisa melakukan pemesanan tiket di tiket.salihara.org dengan harga Rp110.000 (Umum) dan Rp55.000 (Pelajar). 

 

Tentang Penampil:

The Human Expression (T.H.E) Dance Company didirikan pada 2008 oleh Direktur Artistik Kuik Swee Boon. Berakar kuat di Singapura namun berpandangan universal, karya-karya tari kontemporer T.H.E menjadikan tubuh sebagai medium untuk menjelajahi dan merayakan kondisi manusia. Para seniman tari di T.H.E mendalami metodologi khas perusahaan ini, HollowBody™, yang membimbing mereka untuk mengakses naluri dan dorongan terdalam melalui gerak. Kosakata gerak T.H.E memiliki estetika yang sangat personal dan intens, namun tetap memukau dalam keragamannya. Didorong oleh keinginan tulus untuk menggali dimensi manusia yang rumit, halus, dan sering kali terabaikan, pengamatan tajam T.H.E terhadap kondisi manusia serta karya-karya orisinalnya menjadi cermin penting bagi isu-isu dan irama kehidupan kontemporer.

Company 605 terus menembus wilayah-wilayah baru dan membangkitkan estetika yang segar dan menggugah, bersama-sama membentuk seni tari yang sangat atletis, dengan fisik yang ekstrem dan berakar pada pengalaman manusia. Dipimpin oleh dua Direktur Artistik, Lisa Gelley dan Josh Martin, Company 605 adalah organisasi seni yang berbasis di Vancouver, yang terletak di atas tanah adat yang belum pernah diserahkan secara resmi oleh masyarakat Musqueam, Squamish, dan Tsleil-Waututh. Melalui proses kreatif yang kolektif, mereka menghasilkan beragam proyek tari dan pertunjukan yang menekankan pada penciptaan gerak dan eksplorasi fisik yang menantang. Karya-karya mereka mempertentangkan antara ekspresi mentah dan presisi, serta menonjolkan usaha, risiko, dan keterhubungan.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org +62 813-1777-8480 (Cliff)

Teater Petra Akan Membawakan “Les Justes” karya Albert Camus Di Teater Salihara

Sabtu-Minggu, 21-22 Juni 2025
20:00 WIB | 16:00 WIB
Teater Salihara

 

 

Dok. Pribadi Teater Petra

 

Jakarta, 20 Juni 2025 – Komunitas Salihara menghadirkan sebuah pertunjukan klasik karya Albert Camus dengan judul “Les Justes” yang akan dibawakan oleh Teater Petra pada 21 dan 22 Juni 2025 mendatang. Karya ini menyuarakan konflik batin para revolusioner yang dihadapkan pada dilema antara perjuangan politik dan konflik batin antara nilai kemanusiaan dan tirani yang harus diberantas lewat kekerasan.

Drama Les Justes pertama kali ditulis pada 1949 yang berangkat dari peristiwa nyata yakni pembunuhan Adipati Agung Sergei Aleksandrovich, Gubernur Jenderal Moskow, oleh kelompok revolusioner Rusia bernama Partai Sosialis Revolusioner pada tahun 1905. Namun dalam versi Camus, ia lebih menggali sisi psikologis para revolusioner sekaligus “teroris” dalam melakukan berbagai tindakan. Camus mengajak kita melihat lebih dalam: apa yang mereka pikirkan saat harus mengambil keputusan yang tak pernah benar-benar hitam atau putih. 

Secara singkat karya Les Justes menceritakan sekelompok revolusioner yang merencanakan dan melaksanakan pembunuhan terhadap pemimpin tirani demi membebaskan rakyat dari penindasan. Para tokohnya adalah idealis muda yang bergulat antara moralitas pribadi dan keharusan politik. Tokoh utamanya, Ivan Kaliayev, merupakan penyair dan idealis yang percaya pada keadilan, tetapi juga harus menghadapi dilema batin mengenai pembunuhan dan kekerasan sebagai alat perjuangan. Ketika rencana pembunuhan akhirnya terlaksana, Kaliayev ditangkap dan dipenjara.

Di dalam penjara, ia harus menghadapi konsekuensi moral dari tindakannya, termasuk pertemuan yang penuh emosi dengan istri korban, yang menantangnya untuk mempertanyakan motif dan makna sejati dari apa yang dia lakukan. Karya ini merupakan drama lima babak yang cukup sering dibawakan oleh kelompok teater tanah air; Termasuk Teater Petra yang pernah membawakan naskah ini dalam Festival Teater Jakarta 2021.

Dok. Pribadi Teater Petra

 

Teater Petra sendiri merupakan kelompok teater ternama dengan sejumlah prestasi yang membanggakan. Kelompok ini didirikan pada 2016 dan merupakan wadah kreativitas remaja karang taruna dan pemuda yang ada di Kelurahan Galur, Jakarta Pusat. 

Kiprah kreativitas biasa berlangsung di Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki dalam rangka Festival Teater Jakarta. Pada 2022, Teater Petra dinobatkan sebagai grup alumni Festival Teater Jakarta setelah berhasil mendapatkan predikat sebagai grup terbaik selama tiga tahun berturut-turut.

Les Justes versi teater Petra disutradarai oleh Sultan Mahadi Syarif dan akan menemani akhir pekan pengunjung Salihara dengan garapan yang perdana dipentaskan di Teater Salihara. Untuk bisa menikmati pertunjukan ini, pengunjung bisa melakukan pemesanan tiket di tiket.salihara.org dengan harga Rp110.000 (Umum) dan Rp55.000 (Pelajar). 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org +62 813-1777-8480 (Cliff)

serampai

“Serampai Selatan-Utara” oleh J Modern Quartet Sukses Mengalun di Teater Salihara

Jakarta, 24 Mei 2025
Sabtu, 20:00 WIB 
Teater Salihara

 

Jakarta, 23 Mei 2025 – Salah satu grup kuartet gesek yang fokus mendedikasikan diri untuk menginterpretasi karya-karya musik abad 20 telah sukses membawakan tiga repertoar di Teater Salihara pada Sabtu, 24 Maret 2025. J Modern Quartet, sebagai grup musik yang terdiri atas empat musisi strings yakni; Glen Afif Ramadan (biola), Saynediva Al Fatah Putra (biola), Galih Yoga Pratama (biola alto) dan Dubertho Christnoval Ngangady (Cello). 

Sebagai grup musik yang aktif sejak 2023–sebelumnya aktif di 2019 dengan nama Bangun Jiwo Quartet—J Modern Quartet hadir sebagai kelompok musik yang didukung oleh beberapa nama besar dalam dunia seni musik seperti Tony Prabowo, Kurator Musik dan Tari Komunitas Salihara, Max Riefer, Konduktor Utama Jakarta Modern Ensemble, dan Martin Jaggi, Dosen di The Yong Siew Toh Conservatory of Music, National University of Singapore.

Dalam pentas yang bertajuk Serampai Selatan-Utara yang dipentaskan di Teater Salihara kemarin, grup ini membawakan tiga repertoar musisi Indonesia hingga mancanegara dalam durasi 60 menit pertunjukan. Ketiga repertoar tersebut adalah: String Quartet No. 1 yang pada mulanya dipilih sebagai percobaan pertama pada awal latihan J Modern Quartet. Karya Béla Bartók memiliki unsur-unsur melodi, ritme, gaya polifoni atau kontrapung yang dikerjakan secara cermat dan kuat. 

Selanjutnya ada String Quartet No. 2 karya Matius Shanboone yang merupakan komposisi yang berangkat dari konsep repetisi dengan materi motif sederhana dan dikembangkan menjadi bentuk kompleksitas yang cukup rumit, ia mengakhiri komposisinya dengan kembali ke motif awal. Terakhir adalah Arangkak yang ditulis secara khusus oleh komponis Adi Darmawan untuk dimainkan oleh J Modern Quartet. Arangkak mencoba menyatukan konsep musik jaz dan yang nonjaz.

“Tiga repertoar pilihan ini merupakan hasil pilihan dari kami dan mentor untuk meningkatkan kemampuan pendengaran dan ensembleship antara satu dan yang lainnya, memasyarakatkan komposisi komponis lokal serta mengangkatnya ke publik.” Ujar Glen Afif Ramadan menjelaskan alasan pemilihan dari tiga repertoar yang dipersembahkan ke penonton.

Sebagai kelompok musisi muda, tampil di panggung Salihara merupakan salah satu tonggak pencapaian baru dari J Modern Quartet. Menjadikan Salihara sebagai wadah berkesenian sudah diangankan oleh kelompok ini sejak sebelum pandemi COVID-19. 

“Kesempatan untuk perform di Salihara merupakan mimpi dari kami dahulu kala sebelum Pandemi Covid. Saat masih kuliah impian itu hanya bagaikan mimpi. Jadi apapun hal yang terjadi, itu sangatlah di luar ekspektasi kami.” tambah Glen.

Tidak hanya J Modern Quartet yang merasa antusias membawakan karya mereka di Salihara, salah satu pengunjung sekaligus pengajar musik, Dorra Farhana membawa beberapa muridnya yang sama-sama fokus di alat musik strings untuk menikmati pertunjukan ini.

“Melihat mereka (murid-murid) senang dan excited bisa melihat kegiatan ini. Salah satu hal yang menarik adalah mereka bisa menyaksikan musisi dari jarak yang dekat.”

Pertunjukan Serampai Selatan–Utara dibawakan dalam format arena di mana jarak antara penonton dan musisi begitu dekat. Penonton bisa menyelami langsung setiap alunan yang dibawakan tanpa jarak seperti batas panggung dan sebagainya. Konser ini menjadi bagian dari program Komunitas Salihara yang senantiasa menghadirkan sajian musik lintas zaman dan disiplin—sebuah ruang bagi eksperimen musikal sekaligus penghargaan dalam mengeksplorasi khazanah musik oleh musisi tanah air.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org +62 813-1777-8480 (Cliff)

ghost

Melihat Perjalanan 500 Juta Tahun Evolusi Kita dalam Pertunjukan Tari “Ghost of Hell Creek: Stone Garuda” di Teater Salihara

Jakarta,17-18 Mei  2025
Sabtu, 20:00 WIB | Minggu, 16:00 WIB
Teater Salihara

 

Jakarta,05 Mei 2025 – Prehistoric Body Theater (PBT), sebuah kolektif seni pertunjukan eksperimental berbasis di Jawa Tengah, hadir di Teater Salihara membawakan karya Ghosts of Hell Creek: Stone Garuda pada 17-18 Mei mendatang di Teater Salihara. Pertunjukan ini menjadi panggung pertama Ari Rudenko dan PBT di Teater Salihara.

Karya Ghosts of Hell Creek: Stone Garuda sebelumnya perdana dipentaskan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada 2024 lalu dengan tajuk Ghosts of Hell Creek. Secara garis besar pertunjukan ini mengisahkan perjalanan evolusi selama 500 juta tahun, dimulai dari masa kejayaan dinosaurus hingga munculnya nenek moyang primata manusia melalui perspektif Acheroraptor– jenis raptor berbulu–dan Purgatorius; nenek moyang primata yang berhasil bertahan dari kepunahan massal akibat tumbukan asteroid Chicxulub 66 juta tahun yang lalu.

Pertunjukan ini  menghadirkan narasi yang mendalam tentang asal-usul manusia dan krisis planet yang kita hadapi saat ini melalui penelitian dan kolaborasi yang mendalam antara sang seniman dengan ilmuan paleontologi internasional. Pertunjukan ini membawa kita melihat gerak anatomi, kinetika, dan perilaku dari hewan-hewan pra-sejarah melalui tubuh para penarinya.

Melalui karya ini penonton dapat menemukan pertemuan unik antara ekspresi tubuh yang berakar tradisi dengan imajinasi sains modern. Para penari PBT yang berakar pada tradisi secara kolektif mengembangkan gerak dari makhluk prasejarah lewat berbagai sumber termasuk hasil penelitian dari paleontolog dunia. Dengan demikian, karya ini menjadi jembatan antara seni dengan ilmu paleontologi global.

Ghosts of Hell Creek: Stone Garuda disutradari oleh Ari Dharminalan Rudenko, seorang seniman multidisiplin asal Amerika yang telah bermukim di Indonesia selama lebih dari satu dekade. Ari juga yang menjadi pendiri dari Prehistoric Body Theater dan lewat karya ini ia menghadirkan teater imersif yang menggabungkan antara sains, seni, serta konservasi alam.

Perbedaan antara Ghosts of Hell Creek versi 2024–di ISI Surakarta–dengan Ghosts of Hell Creek: Stone Garuda terletak pada instalasi artistik dan durasi pertunjukan. Sebelumnya, di 2024 pertunjukan ini dibawakan dalam format 90 menit, sedangkan di Salihara akan dibawakan dalam durasi 45 menit. Pertunjukan ini menjadi pertunjukan perdana Ghosts of Hell Creek di Jakarta dan selanjutnya karya ini akan dipentaskan kembali di Amerika Serikat pada Juni mendatang.

Bagi pengunjung yang ingin menyaksikan Ghosts of Hell Creek: Stone Garuda di Salihara dapat melakukan reservasi di tiket.salihara.org dengan harga Rp110.000 (Umum) dan Rp55.000 (pelajar). Pertunjukan tari ini bisa disaksikan oleh pengunjung berusia 12 tahun ke atas. 

 

Tentang Penampil:

Prehistoric Body Theater adalah kelompok pertunjukan seni-ilmiah eksperimental. Studio mereka terletak di tengah hutan Jawa Tengah, Indonesia. Prehistoric Body Theater terdiri dari para penari dan seniman pertunjukan Indonesia, yang semuanya berakar kuat dalam tradisi dan tari ritual dari berbagai penjuru nusantara. Karya-karya Prehistoric Body Theater merupakan sintesis dari teknik tari tradisional dan praktik budaya, panggung eksperimental mutakhir, serta riset kolaboratif yang berkelanjutan. Selain itu, Prehistoric Body Theater juga bekerja sama dengan panel mentor ilmuwan internasional, yang membantu merancang karakter dan narasi tari yang benar-benar didasarkan teori dan temuan paleontologi terkini.

Konsep awal Prehistoric Body Theater digagas oleh koreografer, Ari Dharminalan Rudenko, sekaligus sebagai Direktur Eksekutif dan Artistik. Ari meluncurkan proyek ini pada 2017 di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta bersama kelompok penari. Ari terus mengembangkan Prehistoric Body Theater sembari menempuh studi doktoral (Ph.D.) dalam bidang Penciptaan Tari di ISI, ia menulis disertasi dwibahasa tentang metodologi interdisipliner mengenai proyek pertunjukan pertama bertajuk Ghosts of Hell Creek.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

ber3

Teater Gardanalla Kembali ke Teater Salihara Membawakan “Bertiga tapi Berempat”

Jakarta, 10-11 Mei  2025
Sabtu, 20:00 WIB | Minggu, 16:00 WIB
Teater Salihara

 

Jakarta, 30 April 2025 – Salah satu kelompok teater yang pernah mempresentasikan karyanya dalam Work In Progress di SIPFest 2024 lalu; Teater Gardanalla akan kembali hadir di Teater Salihara pada 10-11 Mei mendatang. Membawakan Bertiga tapi Berempat, Teater Gardanalla akan membawakan secara penuh lakon hasil dari pengembangan karya dengan judul Bertiga yang pertama kali dipentaskan pada 2009 silam. 

Joned Suryatmoko, Penulis dan Sutradara dari pentas ini mengatakan bahwa lakon Bertiga tapi Berempat bertumpu pada dua komponen yakni akting berlagak dan metateater (teater dalam teater). 

Dalam produksi Berempat tahun 2025 ini, naskah Bertiga yang hanya terdiri dari tiga karakter dibawakan oleh empat orang secara bergantian. Dengan begitu meta-teater (teater berbingkai) dalam karya ini langsung bisa dilihat ketika empat orang tersebut mengisahkan lakon Bertiga. Singkatnya, Berempat adalah peragaan Bertiga. Naskah Bertiga tidak dimainkan sebagaimana dulu tahun 2009,” jelas Joned.

Bertiga tapi Berempat berkisah tentang 13 tahun setelah sekelompok mahasiswa membakar majalah Gatra di depan Grha Sabha Pramana Kampus UGM Yogyakarta, tiga orang yang secara langsung dan tidak langsung terlibat dalam aksi itu bertemu kembali untuk bercinta bertiga. Sejumlah kisah terbuka di balik pembakaran itu dan masing-masing punya sisi sendiri di tiap kisahnya. Lakon ini juga memberi penonton pengalaman melihat dan mengalami politik lewat teater. 

Joned memilih lakon ini untuk dipentaskan sebab bentuk pemanggungan yang ditampilkan di Salihara nanti akan memberikan pengalaman keaktoran serta pengalaman menonton yang ‘lain’.  Dalam pentas ini, aktor tidak dituntut menjadi karakter melainkan dituntut untuk menjadi kritis lewat peristiwa yang terjadi di panggung.

Joned melanjutkan, “Alasan lain, baik Bertiga tapi Berempat mengajak kita melihat politik sebagai masa lalu, yang seringkali dibicarakan secara nostalgik dan dimanipulasi untuk kepentingan yang berbeda-beda. Dalam lakon ini nostalgia dan manipulasi ini bahkan dilipatgandakan. Setelah kita melewati tahun politik yang panas beberapa tahun terakhir, semoga pementasan ini memberikan ruang reflektif bagi kita melihat dinamika kita berpolitik belakangan ini.”

Tiket pertunjukkan dengan durasi 85 menit ini dapat dipesan melalui tiket.salihara.org dengan harga Rp110.000 (Umum) dan Rp55.000 (Pelajar) dan dikhususkan untuk penonton berusia 18 tahun ke atas. Pengunjung yang tertarik untuk menikmati karya ini tentunya akan mendapatkan pengalaman menonton teater yang menarik sesuai dengan harapan sang sutradara yang diajak untuk menjadi kritis bersama dengan aktor-aktor yang berlaga di atas panggung pada 10-11 Mei mendatang.

 

Tentang Teater Gardanalla

Berhimpun sejak 1997, Teater Gardanalla mulai memfokuskan diri pada pengembangan berbasis realisme dengan dasar kajian kehidupan sehari-hari di awal 2000-an. Lewat pendekatan ini produksi Gardanalla mulai mengeksplorasi model pemanggungan baik di panggung konvensional maupun di ruang publik, teknik akting, juga konflik dan tema lakon. Kekaryaan teater ini dan Joned Suryatmoko banyak difasilitasi Hibah Seni Yayasan Kelola yang memungkinkan Gardanalla bisa meneruskan eksplorasinya secara berkesinambungan. Hibah Seni yang diterima antara lain kategori Hibah Keliling lewat Tiga Dara (2002), dan beberapa Hibah Karya Inovasi seperti Jalur 17 (2005), Jam Sembilan Kita Bertemu (2007), Bertiga (2009), dan Margi Wuta (2013). Gardanalla juga hadir di Helateater Salihara 2014 dengan Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer dan Art Summit 8.0 2016 dengan Margi Wuta #3, Bandung. Teater Gardanalla juga ikut menggagas dan mendukung berdirinya Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) sejak 2009.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

marka

Marka/Matriks: Menyusuri Jejak dan Metafora dalam Seni Cetak Grafis Kontemporer

Jakarta, 19 April – 18 Mei 2025

Galeri Salihara

 

Jakarta, 19 April 2025 – Komunitas Salihara membuka pameran perdananya di 2025 dengan tajuk Marka/Matriks pada Sabtu, 19 April di Galeri Salihara. Pameran yang berlangsung selama satu bulan ini menghadirkan 30 seniman lokal dan mancanegara serta menampilkan lebih dari 105 karya dengan berbagai teknik cetak grafis yang beragam.

Seni cetak grafis kontemporer bukan hanya sekadar teknik mencetak gambar pada media tertentu, tetapi sebuah ruang yang luas untuk eksperimen, dialog, dan berinteraksi antara berbagai disiplin ilmu. Dari teknik cukilan kayu, etsa, litografi dan sablon hingga penggunaan fotografi, teknologi digital dan kecerdasan artifisial, seni cetak grafis terus berkembang mengaburkan batasan-batasan medium dan tak lagi terbatas pada teknik atau prosedur tertentu, tapi menjadi cara baru dalam berpikir dan berekspresi. 

Marka/Matriks sebagai judul diambil dari kata marker (tanda) dan matriks (acuan cetak). Dua kata ini diangkat untuk menegaskan bahwa ini adalah pameran seni cetak grafis dan merupakan dua istilah yang melekat dengan seni grafis; dikemukakan oleh Agung Hujatnika selaku ko-kurator pameran ini. 

“Marka itu sesuatu yang ditinggalkan ketika bekerja dengan plat tertentu dalam teknik konvensional sedangkan matriks itu merupakan acuan cetaknya yakni plat, batu, kayu cukil dan sebagainya…” lanjut Agung.

Pameran Marka/Matriks menampilkan beragam teknik cetak grafis dalam berbagai bentuk baik yang tradisional–cukil kayu, etsa, litografi, sablon, dsb–hingga berbasis digital hasil eksplorasi dari seniman yang berpartisipasi. 

 

Jembatan di Tengah Diskursus Seni Cetak Grafis Asia Tenggara

Dalam keterangan tertulis, Kurator Galeri Komunitas Salihara, Asikin Hasan mengatakan bahwa karya-karya dalam pameran ini dapat membuka ruang eksplorasi serta menjadi jembatan di tengah diskursus seni cetak grafis Asia Tenggara yang begitu luas.

“Karya-karya dalam pameran ini menunjukkan bagaimana proses cetak dapat bergerak di luar fungsi tradisionalnya, menjadi ruang bagi seniman untuk mengungkapkan gagasan-gagasan seputar kekinian dan kemutakhiran. 

Seniman yang berpartisipasi tidak hanya mengandalkan teknik yang sudah ada, tetapi juga berani untuk mengeksplorasi bahan-bahan alternatif dan alat yang tidak biasa. Dalam pameran ini, kita akan melihat bagaimana seni cetak berfungsi sebagai jembatan, menghubungkan berbagai medium dan membuka ruang bagi eksplorasi lebih lanjut.”

Dalam pameran ini pengunjung dapat melihat berbagai irisan dalam dunia cetak grafis seperti karya Agugn, The Tower (2022) yang bisa dilihat di dekat pintu masuk yang memperlihatkan contoh karya dan matriksnya disandingkan bersebelahan.

Lalu ada karya Cecil Mariani yang memanfaatkan teknologi terkini; AI dalam proses penciptaan karyanya. Teknik AI dimanfaatkan Cecil dalam menciptakan prompt yang nantinya diolah menjadi matriks yang melahirkan karya Dragon Praying to be Dove 4: Earth Malkuth (2023) & Distant Shaman Kiss (2024).

Pengunjung juga bisa berinteraksi dengan karya dalam pameran ini melalui karya Adi Sundoro berjudul Pasal Karet (2025). Karya ini mengajak pengunjung untuk mencelup kain PVC ke dalam air dan mengeringkannya di jemuran yang sudah disediakan sebagai representasi akan kondisi hukum Indonesia saat ini dalam pandangan sang seniman. 

Selain karya-karya di atas, pengunjung akan menikmati lebih dari 105 karya lainnya yang bisa disaksikan selama satu bulan ke depan.

 

Berikut adalah daftar seniman dalam pameran Marka/Matriks:

Adi Sundoro Fuad Pathil Prihatmoko Moki
Agugn Garis Edelweiss RW Mulyadi
Agung Kurniawan Goenawan Mohamad Satria Nugraha
Amnat Kongwaree Gunawan Bonaventura Septa Adi
Amorn Thongpayong Haslin Ismail Syahrizal Pahlevi
Arpatsarin Khunnarong Henryette Louise Syaiful Ardianto
Cecil Mariani Krack Printmaking Collective Theresia A. Sitompul
Devy Ferdianto M. Muhlis Lugis Tisna Sanjaya
Edi Sunaryo Maharani Mancanagara Ucup Baik
Firman Lie Ong Hieng Fuong Vimonmarn Khanthachavana

Pameran Marka/Matriks dibuka untuk umum mulai 19 April – 18 Mei 2025, setiap Selasa-Minggu pukul 11:00-19:00 WIB (kunjungan terakhir 18:30 WIB). Pengunjung dapat melakukan pembelian tiket di tiket.salihara.org dengan harga Rp50.000 (umum) & Rp25.000 (pelajar). 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

gmkehormatan2025

Goenawan Mohamad Terima Tanda Kehormatan Official Cross of the Order of “Isabel la Catolica” oleh Kerajaan Spanyol

Jakarta, Selasa, 18 Maret 2025 | 18:00 WIB

 

Jakarta, 18 Maret 2025 – Atas kontribusi Goenawan Mohamad dalam dunia sastra, seni, dan jurnalistik, Raja Spanyol H.M. King Felipe VI melalui Duta Besar Kerajaan Spanyol untuk Indonesia, Francisco Aguilera Aranda menganugerahi Goenawan Mohamad Official Cross of the Order of “Isabel la Catolica” pada Selasa (18/03) di kediaman Duta Besar Kerajaan Spanyol untuk Indonesia, Jakarta.

Penghargaan ini diberikan sebagai pengakuan atas dedikasi luar biasa Goenawan Mohamad dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi, keadilan sosial, serta kontribusinya dalam mempererat hubungan budaya antara Indonesia dan Spanyol.

Ketertarikan Goenawan Mohamad terhadap sastra global salah satunya sastra Spanyol, menjadi salah satu alasan Ia dianugerahi penghargaan ini. Sosok Goenawan Mohamad digambarkan persis seperti sosok Don Quijote dalam karya Miguel de Cervantes yang selalu mengangkat tema akan keadilan, idealisme, dan perjuangan melawan kesulitan.

“Tema universal seperti keadilan, idealisme, dan perjuangan melawan kesulitan—yang begitu kuat diwujudkan dalam sosok Don Quijote—tercermin dalam karyanya. Sebagaimana ksatria pengembara ciptaan Cervantes yang menentang norma-norma kaku pada zamannya, Goenawan secara konsisten menggunakan suaranya untuk mempertanyakan kekuasaan dan memperjuangkan kebenaran.” ujar Fransisco dalam pidato pembukaan di kediamannya.

Jembatan budaya antara Spanyol dan Indonesia tercermin dalam pertunjukan teater boneka yang ditulis oleh Goenawan Mohamad yang berjudul Den Kisot. Pentas boneka  ini  pertama kali dipentaskan pada 2019 di Salihara Arts Center, dan disutradarai oleh Endo Suanda.. Setelahnya, pementasan ini mulai dipentaskan di berbagai tempat antara lain Bandung, Solo, Yogyakarta, Ternate, dan Tidore. Perjalanan karya Den Kisot ke berbagai daerah ini merupakan bentuk kolaborasi antara Komunitas Salihara dengan Kedutaan Besar Spanyol.

“Kisah Don Quijote telah menginspirasi saya sejak kecil. Saya merasa terhormat dapat mementaskan pertunjukan wayang yang mengadaptasi dari kisah tersebut. Prosesnya cukup berat namun menyenangkan, saya begitu senang dan bangga. Bagi saya pribadi, pementasan (Den Kisot) ini merupakan sebuah pencapaian budaya bagi saya. Di mana karya ini dipentaskan dalam format wayang golek ala Sunda dari cerita Don Quijote de La Mancha.” Ujar Goenawan Mohamad saat pidato penyerahan medali Order of “Isabel la Catolica”.

Seusai pemberian medali acara ini ditutup dengan dua rangkaian pertunjukan, yang pertama adalah pembacaan puisi berjudul Epilog dari kumpulan puisi Don Quixote (2024) karya Goenawan Mohamad oleh Rebecca Kezia. Rangkaian penghargaan ini ditutup dengan pertunjukan musik oleh DeKa yang juga menjadi pengiring dalam pentas boneka Den Kisot dan membawakan lagu-lagu dalam pertunjukan tersebut. 

 

Pidato Duta Besar Kerajaan Spanyol untuk Indonesia, Francisco Aguilera Aranda:

Text diterjemahkan ke bahasa Indonesia. 

Hari ini, kita berkumpul untuk memberikan penghormatan kepada seorang ikon sastra dan jurnalistik Indonesia, Goenawan Mohamad. Kariernya yang ditandai dengan komitmen teguh terhadap kebebasan berekspresi dan keadilan sosial menjadikannya penerima yang layak dari Order of “Isabel la Católica”, sebuah penghargaan yang tidak hanya mengakui pencapaiannya secara individu, tetapi juga dampak besar terhadap masyarakat serta kontribusinya dalam memperkuat hubungan budaya antara Indonesia dan Spanyol.

Goenawan Mohamad lahir pada 29 Juli 1941 di Batang, Indonesia. Sejak usia muda, kecintaannya terhadap sastra telah membawanya pada karier yang kaya, termasuk penerbitan berbagai kumpulan puisi seperti Parikesit (1971) dan Asmaradana (1992), serta esai-esai yang menantang norma dan membuka dialog kritis tentang budaya serta politik Indonesia.

Lebih dari itu, ia juga mendalami tradisi sastra global, termasuk sastra Spanyol. Tema universal seperti keadilan, idealisme, dan perjuangan melawan kesulitan—yang begitu kuat diwujudkan dalam sosok Don Quijote—tercermin dalam karyanya. Sebagaimana ksatria pengembara ciptaan Cervantes yang menentang norma-norma kaku pada zamannya, Goenawan secara konsisten menggunakan suaranya untuk mempertanyakan kekuasaan dan memperjuangkan kebenaran.

Kecintaannya terhadap sastra tidak terbatas pada karyanya sendiri. Sebagai penerjemah dan kritikus, ia telah memperkenalkan para pembaca Indonesia kepada para sastrawan dunia, sebagaimana Spanyol telah menjadi jembatan antarbudaya sepanjang sejarah. Ia memiliki rasa ingin tahu intelektual yang sama dengan para penulis besar Zaman Keemasan Spanyol—Quevedo, Calderón, dan terutama Cervantes.

Salah satu pencapaian paling signifikan dari Goenawan adalah pendirian majalah Tempo, di mana ia menjabat sebagai pemimpin redaksi selama lebih dari dua dekade. Melalui platform ini, ia menjadi pembela gigih jurnalisme independen, menggunakan kata-katanya untuk mengungkap ketidakadilan dan mempromosikan hak asasi manusia. Kolom mingguannya, Catatan Pinggir, menjadi mercusuar pemikiran kritis, memberikan analisis tajam terhadap isu-isu sosial dan politik—mirip dengan esai intelektual ternama Spanyol seperti Ortega y Gasset ketika mendirikan La Revista de Occidente pada tahun 1920-an. Suaranya, seperti para penulis kronik terdahulu, telah membentuk wacana publik dan membimbing generasi pemikir serta penulis.

Goenawan bukan hanya seorang penyair dan jurnalis; ia adalah pemikir yang pengaruhnya melampaui batas tulisan. Esai-esainya, seperti Seks, Sastra, dan Kita (1980) serta Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), mengeksplorasi hubungan antara sastra dan kekuasaan, mendorong para penulis untuk merenungkan peran mereka dalam membentuk masyarakat. Pendekatan humanistiknya serta kemampuannya untuk menghubungkan diri dengan perjuangan sehari-hari mengingatkan kita pada pemikiran sastra dan filsafat Spanyol, mulai dari refleksi eksistensial Miguel de Unamuno hingga kritik sosial Federico García Lorca.

Kontribusinya terhadap sastra kontemporer Indonesia tidak terbantahkan. Ia telah menginspirasi para penulis muda untuk menemukan suara mereka sendiri dan mengangkat tema-tema kompleks dengan keberanian. Seperti yang dikatakan Ayu Utami dengan begitu indah, “Melalui karya-karya Goenawan Mohamad, kita belajar bagaimana berinteraksi dengan filsafat global dan mengasah kepekaan estetika kita.”

Kemampuan untuk menumbuhkan pemikiran kritis dan kreatif inilah yang menjadikan warisannya begitu berharga, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia, termasuk di Spanyol, di mana kebebasan intelektual dan ekspresi seni telah lama menjadi nilai yang dijunjung tinggi.

Sepanjang kariernya yang cemerlang, Goenawan telah menerima berbagai penghargaan yang mengakui kiprahnya dalam jurnalisme dan sastra, termasuk International Press Freedom Award yang bergengsi dari Committee to Protect Journalists pada tahun 1998. 

Penghargaan-penghargaan ini menjadi bukti dedikasinya yang tak tergoyahkan terhadap kebenaran, keadilan, dan kebebasan—prinsip-prinsip yang menjadi dasar tradisi demokrasi baik di Indonesia maupun Spanyol.

Dengan menganugerahkan Order of “Isabel la Católica” kepada Goenawan Mohamad, kita merayakan perannya sebagai jembatan budaya antara Indonesia dan Spanyol. Karyanya mencerminkan semangat Don Quijote dari Cervantes—sebuah pengejaran ideal yang tak kenal lelah, perlawanan terhadap penindasan, dan keyakinan pada kekuatan transformatif kata-kata. Tulisan-tulisannya mengingatkan kita bahwa sastra dan jurnalisme bukan sekadar alat pencatat sejarah, tetapi juga kekuatan yang mampu membentuk masyarakat dan menginspirasi perubahan.

Selamat kepada Goenawan Mohamad atas penghargaan yang sangat layak ini. Semoga warisannya terus menginspirasi mereka yang percaya pada kekuatan abadi sastra dan pencarian kebenaran yang tak pernah surut, sebagaimana Spanyol dan Indonesia terus memperdalam pertukaran budaya dan intelektual mereka untuk generasi mendatang.

 

___________________________________________________________________ 

 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

handaru

Handaru: Negosiasi Kultur Melalui Ornamentasi Vokal dan Instrumen Gesek

Sabtu, 08 Februari 2025 | 20:00 WIB 

Teater Salihara

 

Jakarta, 23 Januari 2025 – Komunitas Salihara menyapa kembali di awal 2025 dengan pertunjukan musik karya Dinar Rizkianti pada 08 Februari mendatang di Teater Salihara. Pertunjukan musik karya Dinar ini akan memadukan ornamentasi dari vokal Sunda dengan instrumen gesek.

Dalam pertunjukan Handaru yang akan dibawakan nanti, Dinar mempersembahkan empat repertoar musik yakni: Handaruan, Seah, Suar dan Salah Gumun. Melalui pertunjukan ini, Dinar mencoba menggabungkan antara dua artikulasi dari bunyi dan vokal dan mengupayakan negosiasi dari dua kultur yang berbeda untuk meleburkan fleksibilitas di antara keduanya. 

Kurator Musik Komunitas Salihara, Tony Prabowo mengatakan bahwa pertunjukan yang sudah direncanakan dari setahun lamanya ini berangkat dari gagasan musikal pengolahan bunyi pada suara manusia, berdasarkan extended technique ornamentasi pada vokal tradisi Sunda yang diimplementasikan pada dua format musik, yaitu dua vokal dan kuartet gesek, “Pertunjukan ini fokus terhadap eksplorasi bunyi antara kuartet gesek dan vokal sunda yang berangkat dari tradisi Ronggeng Gunung,” tambah Tony.

Handaru hadir sebagai perayaan kebebasan ekspresi yang memadukan tradisi dan modernitas melalui bunyi-bunyi yang dipadukan secara harmonis–selaras dengan esensi pertunjukan-pertunjukan khas Komunitas Salihara selama ini. Empat repertoar yang dipersembahkan tidak hanya menghadirkan keindahan musik tetapi juga menggali nilai-nilai budaya dari eksplorasi Dinar sebagai seorang komposer yang telah lama berkutat dengan tradisi Sunda dan instrumen barat lainnya.

Untuk dapat menikmati pertunjukan dengan durasi 40 menit ini, calon pembeli sudah dapat mengunjungi laman tiket.salihara.org. Pertunjukan musik ini terbuka untuk semua umur dengan harga tiket Rp110.000 (umum) dan Rp55.000 (pelajar).

 

Tentang Komposer

Dinar Rizkianti adalah salah satu pendiri kelompok Perempuan Komponis. Ia alumni jurusan Seni Karawitan dan pascasarjana Program Studi Pengkajian dan Penciptaan Seni di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung pada 2017. Karya-karyanya banyak mengeksplorasi vokal, berbagai alat tradisi Sunda dan instrumen Barat.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

akting24

Dinamika Kota dan Humor Dewasa dalam Pentas Kelas Akting Salihara 2024

Sabtu 30 November 2024 | Kota dan Topeng-Topeng yang Ganjil | 20:00 WIB 
Minggu, 01 Desember 2024 | JATAH | 16:00 WIB
Teater Salihara

 

Jakarta, 25 November 2024 – Di penghujung 2024, Komunitas Salihara kembali hadir dengan pementasan Kelas Akting Salihara; menampilkan lakon bertajuk Kota dan Topeng-Topeng yang Ganjil yang dipentaskan oleh peserta Tingkat 1 dan JATAH dipentaskan peserta Tingkat 2. Pentas ini akan diselenggarakan pada 30 November dan 1 Desember 2024 di Teater Salihara yang disutradarai langsung oleh Rukman Rosadi selaku pengampu dari Kelas Akting Salihara.

Kelas Akting Salihara merupakan program reguler yang diselenggarakan setiap tahun; kelas dibagi dalam Tingkat 1 dan Tingkat 2. Dalam program ini, peserta akan mendalami metode keaktoran dengan Sistem Stanislavski selama tiga bulan dan kelas ini bisa diikuti oleh siapa saja yang tertarik untuk menyelami seni peran tanpa menimbang latar belakang keaktoran masing-masing peserta. Pada akhir kelas, para peserta harus mempresentasikan hasil latihan mereka dalam bentuk sebuah pementasan yang bisa dilihat pada Sabtu dan Minggu pekan ini.

Kurator Teater Komunitas Salihara, Hendromasto Prasetyo mengatakan tujuan utama dari program Kelas Akting ini adalah untuk mendistribusikan pengetahuan kepada mereka yang tertarik mendalami seni peran. Hasil dari pelatihan ini tentunya dapat diimplementasikan sesuai kebutuhan masing-masing peserta dalam kehidupan sehari-hari.

“Program ini sejak awal didesain untuk menjadi ruang mendistribusikan pengetahuan yakni seni peran. Kita percaya seni peran tidak hanya berguna bagi para aktor di panggung atau di depan kamera, tetapi juga bisa untuk keseharian. Bagaimana seni peran dapat dipahami semua orang tanpa peduli latar belakangnya. Jadi hadirnya kelas ini adalah untuk mereka bisa mendalami dan mengimplementasikannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.”

Sejalan dengan visi Kelas Akting Salihara yang bisa membantu peserta mendalami dan mengimplementasikan materi ke personal masing-masing; berbagai latar belakang pun menghiasi peserta Kelas Akting tahun ini. Salah satunya adalah Arief Ramadhan, engineer yang tertarik mendalami dunia seni peran lewat Kelas Akting Salihara. 

“Saya tertarik belajar akting karena melihatnya sebagai pengembangan soft skill yang berguna dalam karir. Dalam akting kita belajar untuk berekspresi, membentuk citra diri, hingga membaca lawan bicara. Kemampuan ini relevan untuk semua manusia, termasuk engineer.” ujar Arief.

Lewat kelas ini, Arief berharap pembelajaran yang didapat dapat meningkatkan kecerdasan emosional, seperti lebih bisa berempati, memahami perspektif orang lain, dan mengekspresikan diri yang kelak dapat berguna untuk kehidupan sehari-hari.

Selain Arief yang merupakan peserta Tingkat 1, ada Ratih Kumala–Penulis Gadis Kretek–yang menjadi peserta Kelas Akting Salihara Tingkat 2. Menurut Ratih yang mengikuti Tingkat 1 di tahun sebelumnya, pembelajaran yang dirasakan begitu berbeda. Tingkat 1 fokus terhadap pembangunan fondasi sebagai seorang aktor sedangkan Tingkat 2 lebih ke proses ke dalam keaktoran itu sendiri.

“Jika di tingkat 1 adalah fondasi yang diberikan oleh mentor kami, Mas Rukman Rosadi, untuk mempersiapkan diri menjadi ‘aku aktor’, maka di tingkat 2 ini adalah proses benar-benar masuk ke ‘aku peran’. Dan karena kelas akting untuk teater, saya merasa tantangannya jauh lebih besar daripada aktor film. Bagi saya yang sehari-hari bekerja sebagai penulis, ini adalah modal yang penting untuk proses kreatif menulis.” Ujar Ratih. 

Informasi pembelian tiket untuk pertunjukkan Kota dan Topeng-Topeng yang Ganjil dan JATAH dapat dilakukan di tiket.salihara.org dengan harga donasi sebesar Rp50.000,-. Kedua pentas dengan durasi 60 menit ini akan menampilkan hasil pembelajaran selama ± 3 bulan yang dikembangkan tidak hanya oleh sutradara namun juga secara kolektif bersama dengan seluruh peserta.

 

Tentang Pentas:

 

Kota dan Topeng-Topeng yang Ganjil
Penampil: Kelas Akting Salihara Tingkat 1 2024
Sutradara: Rukman Rosadi
Sabtu, 30 November 2024 | 20:00 WIB

 

Sinopsis:

Kota dan Topeng-Topeng yang Ganjil menggambarkan dinamika kota yang secara sadar atau tidak kerap menuntun penghuninya untuk memiliki banyak topeng dalam kesehariannya. Yang terlihat dalam ruang publik seperti di kantor, berbeda dengan apa yang nampak di tempat nongkrong, dan berbeda pula ketika di ruang privat. Situasi tersebut memantik tegangan yang membuat lupa tentang wajah asli diri sendiri.

Kota dan Topeng-Topeng yang Ganjil adalah kolase pengalaman personal dan kolektif para peserta Kelas Akting Salihara Tingkat 1 2024. Karya ini bermula dari kepingan cerita masing-masing peserta yang mereka olah selama kelas berlangsung dan kemudian dijahit oleh sutradara menjadi keping-keping cerita dalam Kota dan Topeng-Topeng yang Ganjil.

 

Daftar Pemain:

Ahmed Dwiky Febrian, Alvino Owen Susilo, Arief Ramadhan, Ayu Kenar Briliane Mulia, Bela Nabila, Boetje Bismart, Denny Kristianto, Ferdinand Pavel Gunawan, Ibnatalain Jasin, Idoan Marciano, Kamal Zidane Ardarifa, Kunti Dewanggani, Marshanda Ratna Jelita, Mochammad, Hisyam Hidayat, Muhammad Fahmi Rizki, Rio Masito Situmeang, Runny Rudiyanti, Sarah Azka Isrinadi / Sarazany, Sebastian Partogi, dan Shaquilla Rahmadina.

 

*JATAH

Penampil: Kelas Akting Salihara Tingkat 2 2024
Sutradara: Rukman Rosadi
Penulis Naskah: Farhan Arief & Ratih Kumala
Minggu, 01 Desember 2024 | 16:00 WIB

 

Sinopsis:

Di sebuah kampung yang permai, warga tengah gelisah. Tanah mereka dilirik investor sekaligus Caleg setempat untuk disulap jadi kawasan wisata. Para lelaki bersemangat menjual tanah, sementara istri-istri mereka tegas menolak. Beda pendirian itu berujung pada aksi mogok seks para istri agar suami-suami mereka mengubah sikap.

Jatah ditulis oleh Farhan Arief dan Ratih Kumala yang terinspirasi Lysistrata karya Aristophanes. Jatah dikembangkan bersama seluruh peserta Kelas Akting Tingkat 2 2024. Dalam prosesnya, masing-masing peserta bertugas menajamkan karakter sementara sutradara mengatur ansambel permainan untuk menjaga premis naskah komedi tersebut. Jatah adalah tantangan serius bagi para peserta kelas mengingat komedi sama sekali bukan soal mudah. 

* Pertunjukan ini untuk usia 18 tahun ke atas.

 

Daftar Pemain:

Attila Syah, Dina Amalina, Farhan Arief, Firly Savitri, Fitria Sari, Manik, Michelle Evelyn Tanoto, Muthi Trileva, dan Ratih Kumala

 

 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org