20200625serigagasan_Page_1

Seri Gagasan Diskriminasi

07, 10, 14, 21, 24 Juni 2020

Diskriminasi dan rasisme, mau sampai kapan? ‘Stay A(r)t Home’ Kali ini kami akan menampilkan secara daring program-program yang pernah membahas soal diskriminasi dan rasisme di Indonesia dan dunia. Sebelumnya, yuk simak dulu tulisan berikut ini.

Diskriminasi terhadap suatu kelompok belum sepenuhnya hilang. Kasus meninggalnya George Floyd (25/05/2020) karena perlakuan polisi di Minneapolis, Amerika Serikat, adalah yang terbaru dari sekian banyak kasus diskriminasi di dunia.

Diskriminasi yang serupa dalam bentuk lain juga sering kita temukan di banyak negara, termasuk Indonesia. Sentimen dan diskriminasi terhadap warga Papua dan Tionghoa sejak masa kemarin sampai hari ini masih sering kita temukan.

Serta beberapa kasus diskriminasi lain terhadap Timor Leste (ketika masih menjadi bagian provinsi Indonesia), orientasi seksual, agama/kepercayaan minoritas, pilihan politik berbeda dan masih banyak lagi, seakan tidak pernah berakhir.

Mereka mengalami perisakan, persekusi bahkan pembunuhan karena dianggap berbeda dari warga mayoritas, yang punya lebih banyak kuasa, akses di parlemen, bahkan kecenderungan akan kekerasan bersenjata. Kasus-kasus diskriminasi dan mengalienasi kelompok minoritas di Indonesia atau di negara mana pun membuktikan adanya ketimpangan atau ketidakadilan.

Kenapa ini terus terjadi dan bagaimana kita bersikap untuk menghadapi hal ini? Komunitas Salihara berupaya, melalui seri program daring ini kita bisa belajar dari berbagai perspektif, seniman dan peneliti, tentang pentingnya menerima perbedaan sebagai bagian dari diri kita.

Program yang kami tampilkan juga menawarkan cara melihat sejarah dengan beragam narasi (inklusif), bukan hanya dari satu sisi (eksklusif) yang gagal membangun kebhinekaan. Sebagai pembuka, kita bisa menyimak penampilan kolaborasi seniman Indonesia, Indo-Belanda dan Suriname.

Pentas Sastra ini hendak menampilkan sudut pandang sejarah melalui cerita-cerita keluarga. Kita juga bisa menyimak tiga podcast tentang bagaimana menyikapi ujaran kebencian yang mendiskriminasi agama minoritas; melihat kembali keindonesiaan dan ketionghoaan; dan diskusi tentang akar kekerasan.

Selain itu, kami menyajikan ceramah Nancy Jouwe, peneliti Belanda yang sebenarnya dekat dengan Indonesia karena ia berasal dari keluarga yang mengungsi akibat peristiwa politik di Papua Barat pada 1960-an.

Tak ketinggalan, penampilan Felix K. Nesi yang membaca petikan dari Orang-Orang Oetimu, sebuah novel yang berlatar peristiwa kekerasan di sebuah tempat di Pulau Timor.

Semoga materi-materi ini bisa memberi fondasi yang kokoh bagi semangat kebhinekaan kita sebagai bangsa Indonesia. Terus ikuti informasinya di media sosial kami. #DiSeniSehat #StayArtHome

Untuk mengetahui detail pertunjukan sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0822-2552-3959 (Muhammad Ridho)

20200625senipertunjukan

Seni Pertunjukan dan Social Distancing: Beberapa Eksperimen

Diskusi Daring (Live)
Pembicara: Ria Papermoon, Yola Yulfianti, Hilmar Farid
Moderator: Nirwan Dewanto (Rabu, 17 Juni 2020)

Wabah Corona telah mengubah cara pandang kita terhadap dunia, manusia, masa kini, masa depan—segalanya. Produksi seni sekarang ini sepenuhnya mengandalkan presentasi daring, melalui jejaring media sosial, dengan kolaborasi yang tanpa batas.

Di samping itu, seni bukan melulu ekspresi yang indah dan subtil, tetapi juga punya kekuatan terapeutik atas trauma akibat pandemi. Pengelola museum seni rupa atau seniman pada umumnya melihat semua ini sebagai cara baru dalam melihat hubungan antara seniman, karya seni dan penikmatnya.

Dalam Situasi seperti ini status ontologis seni dipersoalkan kembali. Seni mengalami “pendefinisian kembali” karena berbagai perubahan yang terjadi akibat wabah yang mendunia dan tidak terduga sebelumnya.

Apakah sebenarnya seni itu? Siapa penikmat seni sekarang ini? Bagaimana ia bisa diakses di tengah penjarakan sosial seperti sekarang ini? Masih diperlukannya “seni tinggi” yang melulu berkutat pada nilai-nilai keindahan yang adiluhung? Ataukah yang kita perlukan sekarang ini adalah seni yang bisa menyembuhkan kita dari trauma? Yang bisa membuat kita bertahan lebih lama di tengah derita dunia ini? Apakah seniman itu sebenarnya? Di mana posisinya di antara derita dunia ini? Apakah akan ada genre baru seni setelah wabah global ini? Komunitas Salihara membuka wadah bagi pertanyaan-pertanyaan itu dalam diskusi daring yang disiarkan secara langsung.

Bersama: Maria Tri Sulistyani (Ria Papermoon), Yola Yulfianti, Hilmar Farid yang akan di moderator oleh Nirwan Dewanto. Diskusi ini akan mempersoalkan perkembangan terbaru di Indonesia dan dunia terkait dengan produksi seni.

Diskusi ini akan mempersoalkan kembali latar belakang filosofis produksi seni di satu sisi, di sisi lain akan meneroka upaya-upaya seniman dalam mengalami wabah global ini. Perbandingan situasi mutakhir wabah global ini dengan peristiwa yang mirip di masa silam, Perang Dunia Kedua misalnya, juga dimungkinkan.

Jika setelah Perang Dunia Kedua muncul pernyataan Adorno “Menulis puisi setelah Auswitcz adalah barbar”, apakah produksi seni setelah wabah Corona akan bernasib serupa. Saksikan diskusinya secara langsung via Youtube: Komunitas Salihara Arts Center, Rabu, 17 Juni 2020, 16:00 WIB.

Untuk mengetahui detail pertunjukan sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org/0822-2552-3959 (Muhammad Ridho)