Kilas Balik dan Titik-Titik Sambung Seni Rupa dan Internasionalisme Baru dari Farah Wardani dan Jim Supangkat

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Yacobus Ari Respati

 

Tulisan ini adalah tanggapan mengenai tiga sesi program Zoom In Seni Rupa Indonesia dan Internasionalisme Baru (2020).

Sesi kedua ceramah dan wicara webinar Seni Rupa dan Internasionalisme Baru diselenggarakan secara daring oleh Komunitas Salihara pada 11 November 2020. Acara ini menyoroti keterlibatan aktor-aktor seni rupa Indonesia dalam kegiatan-kegiatan seni rupa besar mancanegara.

Sebelumnya, Alia Swastika dan Ade Darmawan telah bicara tentang peran dan sikap kekuratoran dan kelembagaan mereka di tengah kelindan cara kerja dan wacana mutakhir medan seni dunia. Sesi kedua “Kehadiran Indonesia di Pusat-Pusat Baru” bergerak ke belakang untuk melihat bagaimana seni rupa Indonesia sampai pada Internasionalisme Baru. Dua pembicara yang hadir ialah Farah Wardani dan Jim Supangkat. Keduanya adalah kurator, pencatat sejarah seni rupa, dan organisator yang terpaut generasi. Bahkan, Farah Wardani menyebut “Pak Jim” sebagai “guru”.

Ada peta besar yang hendak digambar dari sudut pandang kedua pembicara ini. “Peta” jadi salah satu kata kunci pada webinar ini. Farah Wardani dalam salindianya menampilkan peta yang menjelaskan keadaan seni rupa kita sekarang ini berdasarkan peristiwa-peristiwa dan pameran-pameran penting di dunia. Keadaan “Internasionalisme Baru” dipaparkan dan dibedah lagi, mundur dari yang canggih dan terapan, kepada dasar-dasar dan refleksi nilai dari pengalaman. Refleksi datang dari Jim Supangkat sebagai salah satu kurator pelopor dan kurator Indonesia yang terlibat di kancah internasional pada tahun 1990-an. Masa itu jadi titik untuk menarik pembacaan mundur bagi Farah Wardani, dan sedikit refleksi maju. Ini menjadi refleksi percakapan tentang seni global.

Peta dunia dan kelanjutan peristiwa yang dipaparkan Farah Wardani mengenali adanya perubahan paradigma. Gambaran yang dilacak olehnya adalah sejarah pameran di dunia yang melibatkan peserta global. Jejak ini terhubung lewat keadaan penjajahan. Gagasan dunia dan global hadir di sana dalam cerminan kesuksesan ekonomi dan imperialisme budaya. Sejak pertengahan abad 19 muncul pameran-pameran World’s Fair, Exposition Universelle, World Expo dan Exposition Coloniale yang pada intinya merupakan pameran perdagangan. Pameran-pameran besar ini menghadirkan produk industri, penemuan-penemuan dan kebaruan teknologi. Negeri jajahan turut hadir sebagai pamer ladang dan iklan kesempatan. Imajinasi dan rasa ingin tahu juga turut bercampur di situ. Antara lain, ada “kebun binatang manusia” (human zoo) yang menampilkan orang-orang asli dan suku-suku dari tanah jajahan. Riuh, meriah, canggih, pertemuan antara yang mutakhir dan ilham dari yang liyan. Kebudayaan Bali, misalnya, jadi salah satu fokus pada presentasi Belanda di Exposition Coloniale Paris 1931, dengan anjungan sebagai museum dadakan kecil lengkap dengan arsitektur, artefak, penampil dan seni rupa.

Model pameran besar berkala ini beririsan dengan pameran-pameran besar seni rupa yang sering disederhanakan sebagai model bienale. Sesi webinar pertama sampai pada bagaimana model bienale menjadi ruang pamer lingkup dunia—”global white cube”—yang berkuasa dan serbabisa. Bebas menyertakan dan mempertukarkan kebaruan-kebaruan global lain sebagai bagian dari perkembangan, dalam bayang-bayang kekuasaan penentu selera, modal dan peraturannya yang adalah warisan seni rupa Eropa Barat-Amerika Utara. Hal ini tak ubahnya sebagai bayang-bayang dari expo-expo dunia itu, juga dalam motif perdagangannya yang teknologis, eksploitatif, birokratis dan meliyankan. Dari sesi pertama kita dapat menyimpulkan mengapa ketika agensi disebar di luar pusat-pusat seni rupa, kecenderungan umum dan gerakan untuk membuka akses, identifikasi, pengetahuan jadi lumrah. Hal ini merupakan pembalikan kerja seni secara menyeluruh dalam skema rancangan ruangrupa bagi documenta Fifteen.

Farah Wardani dalam ceramahnya menekankan titik-titik yang menandai perubahan spektrum menuju ke sana. Ia mengenali pertukaran kebudayaan internasional abad 20 melibatkan peristiwa-peristiwa penting misalnya Konferensi Asia-Afrika. Tumbuhkembang modernitas lokal (negara) jadi latar dan perkembangan pascakolonial. Percakapan internasional melalui seni rupa ada dalam latar itu dan negosiasinya. Terutama pada 1950-an ketika terjadi perebutan pengaruh atas negara-negara nonblok. Banyak perupa dan budayawan terlibat pada lawatan-lawatan, belajar, berpameran pada masa ini melalui bermacam-macam lembaga kebudayaan dari satu blok dan yang lain. Paling terkemuka adalah Affandi yang singgah di Shantiniketan, India; berpameran di Inggris, dan paviliun Indonesia pertama di Venice Biennale 1954. Gelombang ini surut pada 1960-an dan setelah peristiwa 1965, seiring perubahan dunia, perubahan geopolitik, perang dingin dan dampak-dampaknya. Bagaimanapun, kepemimpinan negara-negara nonblok juga yang―pada kasus Kuba―menggabungkan daya politik, keaslian dan agensi modernitasnya untuk mendirikan Bienal de la Habana (lihat International Contemporaneity and the Third Havana Bienal (1989) oleh Amy Bruce di jurnal Canadian Art Review, Vol. 43 No. 12, 2018). Bienal de la Habana sengaja jadi bienale “pinggir” karena latar nonbloknya. Edisi ketiganya di bawah kurator Gerardo Mosquera sering jadi contoh purwarupa bienale global yang kita kenal sekarang, meski berubah dan surut setelah itu.

Perubahan pada 1989 jadi titik lain yang disampaikan Farah Wardani. Tercermin pada pameran The Other Story yang dibuat Rasheed Araeen, dan Magiciens de la Terre yang dikuratori Jean-Hubert Martin. Alia Swastika pada sesi pertama juga menyebut Magiciens de la Terre sebagai pembuka kesetaraan seni rupa avantgarde-is—kontemporer—yang dibuat di Barat waktu itu, dengan seni rupa yang seperti tidak terjamah modernitas. Praktik asli dari sejumlah tradisi sebagaimana dari Tibet dan seni aborigin Australia. Sikap ini menyatukan belahan makna kontemporer di antara makna “sezaman” dan “mutakhir” seni rupa kontemporer sejak 1989 pada lapangan di tengah-tengah gang-gang itu, untuk jadi meriah, global, dan bisa bertemu banyak sikap, hal, agen.

Sedikit menyuruk ke masa sebelumnya, Farah Wardani menggarisbawahi adanya pergerakan avantgarde paralel pada 1970-an, termasuk di Asia Tenggara. Pergerakan-pergerakan ini menarik garis perkembangan dari modernitas tersendiri, hingga tiba kemudian pada seni rupa kontemporer pada dekade 1990-an sebagai kemutakhiran “lain”. Jim Supangkat adalah bagian dari peristiwa itu sebagai perupa dan juru bicara Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI). Di Malaysia ada Redza Piyadasa dan Sulaiman Esa, di Filipina Roberto Chabet dan Ray Albano. Lewat GSRBI itulah Jim Supangkat mengikuti Australia and Regions Artists’ Exchange (ARX) pada 1989. Ia bertemu banyak tokoh-tokoh di museum-museum, forum regional dan mengikuti program di sana. Ini membuatnya menjadi kokurator Indonesia bagi Asia Pacific Triennial of Contemporary Art (APT) pertama pada 1993 bersama kritikus-akademisi Sanento Yuliman. Keduanya dari situ memutuskan untuk menjadi kurator untuk meneruskan hubungan seni rupa yang terjalin dan mengembangkannya. Sanento Yuliman meninggal dunia pada tahun 1992.

Farah Wardani kemudian memaparkan situasi dekade 1990-an. Pameran internasional menjadi titik dialog, dengan kurator menjadi ahli utama di tengahnya. Di samping pergeseran geopolitik, datang suatu pergantian iklim kebudayaan yang mengglobal. Ini didorong oleh wacana teoretis baru: postmodernisme, postrukturalisme, subaltern yang mendorong perubahan paradigma dan menjadikan seni rupa kontemporer sebuah kompetisi terbuka.

Jim Supangkat terlibat di sana lebih awal. Ia juga berjejaring dengan Japan Foundation dan Fukuoka Asian Art Museum sejak 1991. Hingga akhir dekade, Australia dan Jepang aktif membuat pameran-pameran yang menyertakan seniman-seniman Indonesia dan membuat mereka terlibat di jejaring internasional yang meluas. Jim Supangkat sebagai satu-satunya kurator dengan relasi internasional Indonesia waktu itu otomatis terlibat di banyak proyek, forum, dan menjadi penghubung di tengah segala perhatian dan pencarian yang mendadak ada.

Jim Supangkat menyambung webinar dengan ceramah tentang keterlibatannya dari akhir 1980 hingga selepas dekade 2000 dalam refleksi yang lebih luas. Bila Farah Wardani memaparkan fenomena, latar, dan gejala paradigmatik dari internasionalisme; Jim Supangkat bicara secara lebih abstrak dan dari sisi prinsip tentang pengalamannya. Terutama, dalam pandangannya untuk meletakan konsep-konsep kesejarahan seni rupa Indonesia dalam refleksi post-factum. Refleksi setelah irisan persilangan, risiko, dan dorongan maju dari fenomena 1990-an.

Jim Supangkat menulis esai berjudul “Multiculturalism/Multimodernism” untuk katalog pameran Contemporary Art in Asia: Traditions/Tensions di New York, Amerika Serikat yang diselenggarakan oleh Asia Society pada tahun 1996. Esai ini dapat kita tunjuk sebagai suatu penanda gagasan Jim Supangkat tentang perkembangan modernitas paralel di negara-negara “pinggir” dan adanya seni rupa modern yang “lain”. Wacana modernitas jamak atau multiple modernities secara lebih luas diadopsi dalam perbincangan seni rupa global sejak dekade 2000 hingga sekarang. Refleksi Jim Supangkat muncul dari divergensi dan paradoks kesezamanan seni rupa kontemporer, yang serupa dengan Magiciens de la Terre. Bedanya, ia datang dari sisi mutakhir-pinggir yang ketika itu tak diketahui alamnya.

Pada globalitas yang sekarang kita bisa melihat ini sebagai sesuatu yang biasa saja, apalagi dibanding capaian jejaring dan kepercayaan yang teraih pada paparan Ade Darmawan dan Alia Swastika. Masa-masa awal “internasionalisme” dalam pengalaman Jim Supangkat adalah permulaan pertemuan kenyataan-kenyataan itu dalam wawasan seni rupa dunia.

Jim Supangkat menyebut tiga macam tanggapan dari aktor-aktor medan seni rupa “pusat” terhadap kehadiran baru seni rupa kontemporer “pinggir” itu. Pertama adalah mereka yang kaget dan dibayangi keraguan. Kedua, adalah yang bersikap terbuka dan egaliter namun menurunkan standar dan harapan. Sementara kelompok ketiga tampak adalah yang disoroti Jim Supangkat, yaitu mereka yang secara serius mencoba mendudukkan persoalan seni rupa global secara ekshaustif dalam kesejarahan seni rupa. Jim Supangkat secara pribadi, selepas dekade 2000 hingga kini, juga mengalur ke sana. Ia menyoroti persoalan ”common ground” atau “landasan bersepakat” sebagai suatu inti dari perundingan dan percakapan dalam gerak internasionalisme untuk jadi bermakna. Sayangnya sambungan Jim Supangkat terputus ketika memasuki pembahasan ini dan terpaksa dilanjutkan dalam sesi perekaman terpisah.

Moderator Nirwan Dewanto melanjutkan wicara bersama Farah Wardani dengan membahas segi kesadaran dari dunia seni rupa “pinggir” setelah semua itu. Perihal “landasan bersepakat” dipadankan dengan homogenisasi cara kerja, tampak, dan bahasa dari pameran-pameran dan karya-karya internasional yang seperti mengikuti pola dan rumus tertentu. Ini mencerminkan apa yang disebut Ade Darmawan sebelumnya sebagai “jebakan” dalam permainan ikutserta seni rupa internasional. Bienale tumbuh menjamur setelah dekade 1990-an dan bahkan menjadi bagian dari industri kebudayaan.

Meski begitu, Farah Wardani yang menjabat sebagai direktur Jakarta Biennale 2021 tetap percaya pada suara asli dan tawaran kemeriahan yang kita punya. Pun dengan pertimbangan seni rupa sebagai tontonan, sebagai salah satu titik tumpunya yang niscaya sekarang. Bagaimanapun, “pekerja seni tetap bagian dari kehidupan,” tuturnya. “Kita sendiri senang-senang saja meskipun kita tidak betul-betul dimengerti” orang-orang dari “pusat” yang tertarik dan menginginkan seni rupa Indonesia ikut andil. Moderator menyambung pembahasan ini kepada pertanyaan tentang bagaimana merumuskan teori kita sendiri dan apakah “landasan bersepakat” itu sendiri bisa tercapai.

Pada perekaman terpisah, Jim Supangkat meneruskan paparan tentang tiga tanggapan “pusat,” dan bagaimana penjabaran sejarah seni rupa global terjadi secara berkembang dalam tanggapan ketiga. Kita bisa melihat perhatian Jim Supangkat merumuskan seni rupa di Indonesia—sesuatu yang dapat dilacak hingga pada sikap-sikap dan pandangan GSRBI pada medio 1970-an. Kerjanya selalu dilandasi upaya mencatat, mengembangkan, dan ada pada bangunan pengetahuan dan kesejarahan seni rupa Indonesia yang masih minim deskripsi.

Dorongan merumuskan ini mungkin dan berlanjut sebab konvergensi dalam internasionalisme telah menerangi eksistensi seni rupa lokal yang patut diyakini. Jim Supangkat menyebut “munculnya seniman dan karya-karyanya yang tidak ragu.” Cenderung kabur, namun bisa kita bayangkan senada dengan pendapat Farah Wardani.

Mimpi Jim Supangkat tentang “common ground” bagaimanapun, pada titik ini dengan pencatatan sejarah seni rupa Indonesia yang sekarang, masih tampak sebagai rimba teori yang ada di luar stamina calon penggunanya untuk menaklukkan hal tersebut.

Kita bisa melihat perbedaan dengan perkembangan mutakhir yang diungkapkan Alia Swastika dan Ade Darmawan pada webinar pertama. Sikap dan gubahan berkegiatan yang baru lebih menubuh secara refleksif terhadap kelembagaan seni sendiri dan politiknya. Hal ini berkaitan dengan tuntutan dan latar Jim Supangkat ketika terlibat dalam internasionalisme 1990-an. Kerja kekuratoran ketika itu adalah suatu rintisan yang diwarnai kesempatan, kejutan dan menuntut penyelarasan aktif. Sesuatu yang diakui Jim Supangkat tetap banyak mengikuti “formula” Barat. Jim Supangkat menjadikannya apropriasi dan ekspansi. Paling tidak baginya seni rupa dunia harus lebih muncul daripada seni rupa dari pusat lama. Gagasan documenta ruangrupa sebagai yang tercanggih, sementara itu, punya padanan-padanan sikap yang jauh berkembang lebih kritis, praktis, dan terintegrasi.

Gagasan Jim Supangkat dalam membuat dan mempromosikan pameran membuatnya “menang” dan menjadikan itu sebagai salah satu pemeran utama seni rupa Indonesia dan Asia Tenggara pada 1990-an. Pada perkembangan setelahnya, pameran internasional perupa-perupa Indonesia sudah jadi hal biasa. Didorong pertumbuhan internet dan teknologi digital, Farah Wardani mengenali adanya dinamika baru. Jejaring internasional semakin menyerabut dengan aktor-aktor baru yang bertambah. Ruang-ruang alternatif tumbuh, kolektif-kolektif dengan cara dan tawaran ketahanannya mulai menjadi pendukung kelangsungan medan seni rupa. Ini ditambah dengan banyak kesempatan pertukaran dan hibah dari lembaga-lembaga kebudayaan asing serta lembaga swadaya masyarakat. Galeri komersial dan pasar seni rupa kontemporer Indonesia bertumbuh pesat dan jadi terlembagakan. Di atas keadaan itu, seni rupa global sudah menjadi relasi institusionalisasi di skala dunia. Ini menutup sekaligus menyambung ceramah dan wicara dengan seri webinar pertama dari belakang.

 

Yacobus Ari Respati adalah bagian dari staf ajar dan penelitian Seni Rupa Institut Teknologi Bandung untuk kekuratoran, sejarah pameran dan sejarah seni rupa sejak 2016. Ia pernah menjadi asisten kurator dalam Pameran Arsitektural Indonesialand (Selasar Sunaryo, 2016) dan “Seteleng to Biennale: Exhibition Histories of 20th Century Indonesia” bagian dari Art Turns, World Turns (Museum MACAN, 2017). Ia juga pernah menjadi kokurator Akal Tak Sekali Datang, Runding Tak Sekali Tiba; anjungan Indonesia di La Biennale di Venezia (Venice Biennale) pada 2019.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter