Les Justes: Bom yang Gemetar di Tangan, Nurani yang Gemetar di Hati

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Les Justes, yang dalam terjemahan Arif Budiman menjadi Teroris, adalah salah satu karya teater paling penting yang ditulis oleh Albert Camus, seorang filsuf Prancis yang terkenal dengan gagasan absurdisme dan humanisme. Karya ini bukan hanya sebuah drama panggung yang menegangkan, tetapi juga sebuah perenungan mendalam tentang konflik moral antara idealisme revolusioner dan nilai-nilai kemanusiaan yang paling mendasar. Dengan latar Rusia awal abad ke-20, naskah ini menyoroti sekelompok revolusioner yang hendak menyingkirkan seorang bangsawan tiran demi kebebasan rakyat Rusia. Namun di balik rencana penuh bahaya itu, Camus justru menampilkan dilema-dilema moral yang menggetarkan.

Cerita dimulai di sebuah apartemen sederhana di Moskow, markas para revolusioner. Babak demi babak menampilkan suasana yang tegang: diskusi tentang rencana pembunuhan, debat tentang disiplin partai, dan ketegangan antara semangat kolektif dan kebimbangan pribadi. Para tokoh utama di antaranya Annenkov (pemimpin yang tegas), Dora (sosok perempuan yang kuat tapi juga rapuh), Stevan (revolusioner fanatik yang penuh amarah), Voinov (yang gemetar oleh rasa takut), dan Kaliayev seorang penyair yang kelak menjadi eksekutor utama bom. Yang membuat drama ini hidup bukan hanya rencana aksi mereka, tetapi juga konflik batin yang merobek mereka satu per satu. Camus menghadirkan pertanyaan mendasar tentang apakah demi tujuan besar (keadilan dan kebebasan) seseorang berhak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaannya? Pertanyaan ini tidak dijawab secara hitam putih. Drama ini justru memperlihatkan bagaimana setiap tokoh berusaha menegosiasikan idealisme mereka dengan nurani yang tak bisa dibungkam.

Kaliayev menjadi tokoh kunci dalam drama ini. Ia dijuluki “si Penyair” bukan hanya karena kegemarannya menulis sajak, tetapi juga karena jiwanya yang penuh keraguan dan kepekaan. Ketika dia mendapat tugas untuk melemparkan bom ke kereta yang ditumpangi sang bangsawan, dia sudah sangat siap dengan mempelajari jalur kereta, kecepatan kuda, bahkan retak pada kaca lampu kereta. Namun, segalanya berubah saat ia melihat ada anak-anak dalam kereta itu. Seketika itu juga, jiwanya memberontak. Kaliayev menolak melemparkan bom, karena bagi dia membunuh anak-anak adalah sebuah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan yang paling dasar. Momen ini menggambarkan bahwa seorang revolusioner tidak hanya bertempur dengan senjata, tetapi juga dengan hati nuraninya sendiri.

Konflik paling tajam terjadi ketika Stevan menuduh Kaliayev tak setia pada revolusi. Stevan adalah representasi ideologi yang ekstrem: bahwa demi revolusi, semua sah, termasuk membunuh anak-anak, jika perlu. Ia melihat kematian sebagai angka statistik yang tak lebih dari sekadar pengorbanan kecil demi perubahan besar. “Segala yang menghalangi tujuan revolusi harus disingkirkan!” begitu kira-kira argumennya. Stevan percaya bahwa keadilan sosial yang baru hanya bisa lahir melalui kekerasan tanpa ampun. Ini membuat kita sebagai penonton atau pembaca bertanya-tanya: apakah perjuangan keadilan sosial harus sampai menumpahkan darah anak-anak yang tak berdosa? 

Pertentangan antara Kaliayev dan Stevan ini menjadi inti drama: apakah revolusi harus mengabaikan kemanusiaan demi kemenangan? Kaliayev dengan penuh keyakinan menjawab tidak. Baginya, kehormatan manusia adalah satu-satunya harta yang dimiliki rakyat miskin. Ia percaya bahwa revolusi sejati adalah revolusi yang tetap menghargai martabat manusia. Camus, melalui Kaliayev, menegaskan bahwa terorisme yang membunuh anak-anak justru akan menciptakan bentuk tirani baru yang sama menindasnya dengan tirani lama yang hendak mereka gulingkan.

Tokoh Dora juga menambah lapisan emosional yang mendalam dalam drama ini. Sebagai perempuan yang terlibat penuh dalam pembuatan bom dan persiapan aksi, ia bukan hanya figur pendukung. Dora juga merasakan kegamangan yang bercampur aduk dengan kebanggaan, ketakutan, dan rasa cinta yang samar kepada Kaliayev. Dalam percakapannya dengan Kaliayev, Dora mengatakan bahwa mereka harus membunuh agar dunia menjadi lebih baik, tetapi di dalam hatinya dia sadar bahwa bom bukan hanya menghancurkan tiran, tapi juga menghancurkan kepolosan dan nurani mereka sendiri. Dialog antara Dora dan Kaliayev memperlihatkan bahwa dalam revolusi, mereka tidak hanya kehilangan hidup, tetapi juga rasa kemanusiaan yang membuat mereka berharga sebagai manusia.

Camus sendiri menulis drama ini berdasarkan kisah nyata tentang percobaan pembunuhan terhadap Grand Duke Sergei Alexandrovich pada 1905 oleh kelompok Sosialis Revolusioner Rusia. Namun dalam naskahnya, Camus memilih untuk menggali lebih dalam tentang psikologi para teroris itu, tentang apa yang mereka pikirkan, rasakan, dan bagaimana mereka bergulat dengan pilihan moral yang berat. Ia menolak melihat mereka sekadar sebagai “penjahat” atau “pahlawan,” tetapi lebih sebagai manusia biasa yang dilanda dilema. Dalam salah satu dialog paling menggetarkan, Stevan menegaskan bahwa rasa malu hanyalah kemewahan bagi kaum bangsawan, sedangkan bagi rakyat kecil, yang paling penting adalah kemenangan. Kaliayev menolak pandangan ini. Baginya, rasa malu adalah satu-satunya kekayaan yang tersisa bagi orang-orang tertindas. Ini menjadi kritik keras Camus terhadap revolusi yang lupa pada martabat manusia dan hanya mengejar kekuasaan. Camus ingin menegaskan bahwa revolusi yang adil tidak bisa dibangun di atas kejahatan yang sama dengan musuh yang mereka lawan.

Melalui Les Justes, Camus menegaskan pandangannya bahwa keadilan tidak bisa dicapai melalui kekerasan buta yang mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Ia menolak ide bahwa “tujuan menghalalkan cara.” Naskah ini bukan hanya kisah tentang bom dan konspirasi, tetapi sebuah pengingat bagi kita semua bahwa perubahan yang sejati tidak boleh melupakan nilai-nilai manusiawi. Kalau revolusi kehilangan belas kasih, ia akan tumbuh menjadi tirani baru.

Terjemahan Arif Budiman berhasil menghidupkan ketegangan dan kedalaman pemikiran Camus dengan bahasa yang mengalir, dialog yang tajam, dan adegan-adegan yang dramatis. Pembaca Indonesia dapat merasakan atmosfer tegang markas revolusioner, keraguan yang menusuk batin, dan ketegangan antara cita-cita dan rasa kemanusiaan. Pada akhirnya, Les Justes bukan hanya sebuah drama tentang para teroris yang ingin menjatuhkan tiran, tetapi juga tentang manusia yang rapuh, yang dihadapkan pada pertanyaan abadi: sampai di mana kita bisa mengorbankan nilai kemanusiaan demi cita-cita besar? Drama ini mengajak kita untuk merenungkan, bahwa sekalipun keadilan itu penting, tetap ada garis merah yang tak boleh dilanggar, yaitu kehormatan manusia.

Les Justes bukan hanya tentang perjuangan, tetapi juga tentang nurani manusia yang bergolak. Di balik ledakan bom yang mereka persiapkan, ada ledakan di hati mereka sendiri yang penuh keraguan, ketakutan, dan keyakinan yang saling bertarung. Pada 21 dan 22 Juni 2025, Teater Petra akan membawakan Les Justes di Komunitas Salihara dan mengajak kita semua untuk ikut merenungkan tentang bagaimana nurani dan revolusi bisa berdamai, atau justru saling menghancurkan? 

 

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter