Kesusastraan Frankofon dalam Mon Amour!

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Catatan pendek dari LIFEs 2023: Mon Amour!

Sastra dan gagasan dari negeri maupun bahasa Prancis telah meluas ke wilayah-wilayah lain dunia. Melalui kolonialisme—dengan segala ironi dan paradoksnya—bahasa Prancis kini digunakan di negeri-negeri yang digolongkan sebagai Frankofon (di mana bahasa Prancis digunakan). Untuk merespons fenomena tersebut, LIFEs 2023 mengusung tema Frankofon dengan jargon Mon Amour! (“Cintaku!”, dalam bahasa Prancis). Jika kesusastraan Prancis lebih mencerminkan dinamika kehidupan khas Prancis dan Eropa, kesusastraan Frankofon adalah sebuah ruang besar yang menggambarkan kompleksitas identitas, keragaman budaya, isu-isu sosial, gender, ras, dan agama dalam konteks poskolonial, yang membentang dari tanah Afrika, negara-negara Maghribi, Timur Tengah, Asia Tenggara, hingga Kanada dan Karibia. Selain itu, Prancis juga memiliki jejak sejarah dan hubungan tersendiri dengan Indonesia. Pembahasan tersebut hadir dalam rangkaian program LIFEs 2023 dengan balutan diskusi, pameran, pembacaan dramatik, pemutaran film, lokakarya, dan pertunjukan. 

LIFEs 2023: Mon Amour! berlangsung pada 05 hingga 12 Agustus di Komunitas Salihara. Menampilkan sastrawan dan seniman dalam dan luar negeri, antara lain Amalia Yunus, Beni Satryo, Fitra Yanti, Pinto Anugrah, Andya Primanda, Jean Couteau, musisi Monita Tahalea, Jean-Baptiste Phou, Johary Ravaloson, Zack Rogow, Elisabeth D. Inandiak, Goenawan Mohamad, Martin Suryajaya, seniman teater Lorri Holt, Asmara Abigail, Elghandiva  Astrilia,Sha Ine Febriyanti, Sri Qadariatin, dan grup musik Klassikhaus. Selain itu, LIFEs juga mengundang beberapa pembicara melalui Undangan Terbuka Menulis Makalah Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan yang berkolaborasi dengan Program Studi Prancis Universitas Indonesia. 

Salah satu program menarik LIFEs 2023 adalah pemutaran dua film karya Jean-Luc Godard, yaitu La Chinoise dan Le Mépris. Program ini bekerja sama dengan Kineforum untuk mengenang 343 hari Godard. Mengenang Godard adalah usaha untuk mengenang dan mengupas karya-karyanya bersinonim dengan sinema yang nonkonvensional. Jean-Luc Godard, dan gerakan French New Wave yang ia pelopori pada awal 1960-an menciptakan gelombang baru dalam sinema dunia. Inovasi dalam penyuntingan film yang bersifat eksperimentatif, lebih spontan dan jujur dalam penuturan cerita serta narasi, pengambilan gambar yang panjang, karya-karya yang berangkat dari tema-tema ideologis, eksistensialisme dan keresahan sosial, adalah kata-kata yang terdapat dalam “kamus sinema” Godard.

Pameran bertajuk Les Liasons Amoureuses hadir mewadahi hubungan mesra antara Indonesia dan negeri Frankofon melalui pameran buku-buku sastra, komik dan penelitian terjemahan. Pameran ini memperlihatkan sumbangsih karya-karya berbahasa Prancis serta para penerjemahnya untuk ditampilkan bagi pembaca Indonesia. Pemeran ini terbagi menjadi tiga wilayah. Wilayah pertama menampilkan komik-komik (bande dessinée) populer seperti Petualangan Tintin karya Hergé, Asterix karya René Goscinny dan Albert Uderzo, hingga novel grafis terkini, Persepolis karya Marjane Satrapi. Wilayah kedua memamerkan karya-karya sastra klasik dari Pangeran Kecil karya ‎Antoine de Saint-Exupéry, Memoar Hadrianus karya Marguerite Yourcenar hingga Malam yang Keramat oleh Tahar Ben Jelloun. Sedangkan wilayah terakhir menjejerkan terbitan-terbitan École française d’Extrême-Orient (EFEO), sebuah lembaga penelitian Prancis yang secara khusus meneliti kebudayaan di Asia. 

Makan Malam Sastra juga dihadirkan kembali bersama program Bintang-Bintang di Bawah Langit Jakarta. Menampilkan pembacaan karya oleh empat sastrawan muda yang menjadi bintang sekaligus mewakili tren dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir, yaitu tren tentang cerita silat, perihal tubuh dan citra-diri, puisi warna lokal dan puisi mbeling baru. Mereka adalah Amalia Yunus, Beni Satryo, Fitra Yanti, Pinto Anugrah. Musisi Monita Tahalea tampil membagikan pandangan dan gagasannya terhadap karya musisi Julien Oomen, seorang gitaris dan penulis lagu dari Belanda, ibunya berasal dari Prancis. Julien menjalani masa kanak di Indonesia, tempat sang ibu memperkenalkan ia pada gitar. Album Julien Les Cahiers de Marinette digarap dari puisi-puisi yang diam-diam disimpan ibunya, album ini juga bercerita tentang tiga generasi keluarga mereka. LIFEs 2023 juga menghadirkan dua program peluncuran buku, yaitu Surat Tentang Kekasih: Pembacaan Surat Menyurat Louis-Charles Damais dan Claire Holt menampilkan Marsha Habib dan Rizal Iwan sebagai pembaca dan Wabah dan Kolera karya Patrick Deville yang dibahas oleh penulis Andya Primanda. 

Jean Couteau, seorang intelektual, sejarawan seni dan pengulas seni budaya asal Prancis yang bermukim di Bali hadir dalam Ceramah Utama: Universalisme Prancis: Antara Imajinasi dan Realitas. Ceramah ini membahas tentang universalisme Prancis, dengan berbagai paradoksnya dan membahas pengaruh Prancis mutakhir yang bereaksi keras terhadap universalisme tersebut: pluralisme, dekonstruksi dan politik identitas. Program seminar dari Undangan Terbuka Menulis Makalah Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan, menampilkan narasumber terpilih antara lain Ferdy Thaeras, Joned Suryatmoko, Salira Ayatusyifa, Amos, Faiza Nuralifah Khairunnisa, Joesma Tjahjani, R.H. Authonul Muther, Ari Bagus Panuntun, Nilna Nabilatus Sholihah, dan Rifdah Aliifah Putri. Rangkaian program diskusi juga hadir dalam tajuk Klasik Nan Asyik: Membaca Dini, Sitor, dan Wing, Rewriting the World Map: Multilingual Writing Across Languages and Continents, Tamu dari Seberang, Venture of Language, Rancière untuk Seni Emansipatif Indonesia, Manusia, Mesin, Bahasa: Deleuze, Guattari, dsb, Puisi Mbeling, Prosa Merinding dan dan Kesetaraan Radikal dan Yang Tertindas. 

Selain menghadirkan program diskusi, pameran, dan pemutaran film, LIFEs 2023 menampilkan pembacaan dramatik dan pentas musik. Pembacaan dramatik oleh empat seniman peran yaitu  Asmara Abigail, Elghandiva Astrilia,Sha Ine Febriyanti, dan Sri Qadariatin dalam Erotika Feminis. Pembacaan dramatik ini menampilkan fragmen dari karya Anaïs Nin, Anne Cécile Desclos, Margueritte Duras, dan pemenang Nobel Annie Ernaux yang adalah penulis perempuan dengan karya-karya erotik. Klassikhaus tampil dalam konser Les Femmes sans Paroles, membawakan enam karya dari abad ke-17 hingga era kontemporer: Jacquet de La Guerre (1665), Pauline Viardot, Cécile Chaminade (1857), Germaine Taillefer (1892), hingga Betsy Jolas (1926). Pentas musik ini adalah perjalanan waktu spesial melalui ekspresi musik komponis perempuan. Selain itu ada pertunjukan monolog spesial dari Lorri Holt yang membawakan Colette Uncensored, sebuah monolog tentang kehidupan seru penulis Prancis Colette (1873–1954), yang punya banyak jejak bagi pemberdayaan perempuan, cinta alam, hingga pembebasan seksual. 

Untuk memberikan pengalaman secara langsung pada publik, LIFEs 2023 memiliki program lokakarya menulis cerita pendek, The Game of Writing bersama pengampu Johary Ravaloson, penulis dari Prancis yang lahir di Madagaskar. Program penting lainnya yang tidak kalah menarik adalah pemutaran dokumentasi wawancara antara penulis dan Direktur LIFEs 2023, Ayu Utami bersama tokoh-tokoh dari negeri Frankofon seperti filsuf Prancis Jacques Rancière, mantan pejuang kebebasan dan menteri luar negeri Aljazair Lakhdar Brahimi, kurator Arwad Esber dan penulis Grace Ly. Dari wawancara tersebut kita dapat membaca, mendedah dan mengetahui bagaimana kerja-kerja kesusastraan Prancis. 

LIFEs 2023: Mon Amour! memberikan pengalaman yang berharga mengenai perkembangan kesusastraan Frankofon yang berkaitan pula dengan Indonesia. Perhelatan sastra dan ide yang diadakan Komunitas Salihara setiap dua tahun ini penting untuk kita apresiasi, sebab tidak hanya menampilkan perkembangan sastra terkini, tapi menggarap tema agar ada kedalaman dalam keragaman aspek dan acara: sastra, filsafat, musik, teater, seminar, juga makan malam di bawah langit terbuka. Sampai jumpa pada LIFEs 2025 mendatang!

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter