Menemukan Sejarah dari Kitab yang Hilang

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Sepanjang Oktober hingga Desember 2022 setiap Selasa dan Kamis, Komunitas Salihara telah menyelenggarakan program Membaca Kitab yang “Hilang”: Risalah BPUPKI. Sebuah program yang berkolaborasi dengan Teater Ghanta, mengajak publik yang luas untuk membaca, mendiskusikan, dan memaknai apa-apa yang terjadi pada bulan-bulan sebelum Indonesia terbentuk. Peserta akan sama-sama membaca dengan memilih tokoh mana yang ingin diperankan. Pembacaan ini juga dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana pergulatan ideologi dan gagasan para tokoh pendiri bangsa untuk membentuk undang-undang, pembagian kewilayahan hingga siapa saja yang bisa disebut sebagai warga negara Indonesia. 

Teks notulensi sidang BPUPKI yang digunakan adalah teks pada Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang diterbitkan pada 1998 dan disusun oleh Muh. Yamin. Penyusunan notulensi sidang yang dilakukan oleh Muh. Yamin adalah sebuah kerja penting yang pada masa kini hingga masa ke depan menjadi sumber sejarah tentang semua perdebatan hingga fakta yang muncul pada suasana-suasana sidang pembentukan negara. Program ini memberikan kita kesempatan untuk membaca ulang bagaimana negara Indonesia ini bisa berdiri. 

Usai pembacaan, para peserta, tim Salihara dan teater Ghanta saling berdiskusi untuk mengutarakan analisis mereka tentang teks BPUPKI. Banyak pertanyaan dan kecurigaan muncul dari hasil pembacaan tersebut. Kecurigaan tentang aslikah teks yang dikumpulkan oleh Muh. Yamin hingga membayangkan bagaimana jika beberapa gagasan tokoh dalam sidang yang ditolak justru disepakati hingga hari ini. 

Sidang BPUPKI yang berlangsung pada akhir Mei hingga Agustus 1945 ini diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat dengan anggota di antaranya adalah Soekarno, Muh. Yamin, Hatta, Agoes Salim, Parada Harahap hingga Dahler. Dalam program Membaca Kitab yang “Hilang”: Risalah BPUPKI pembacaan dibagi dalam 25 sesi. Setiap sesi menampilkan konflik yang beragam dan muncul dari pidato beberapa tokoh yang mengutarakan gagasannya. 

 

Ketegangan Pada Setiap Sesi

Sesi pertama pada pembacaan ini dibuka dengan pembicaraan tentang Dasar Negara Indonesia dan diawali dengan pidato dari Muh. Yamin. Dalam pidatonya, Yamin  menguraikan poin-poin penting yang perlu dimasukkan ke dalam Dasar Negara. Poin-poin tersebut di antaranya adalah Peri- Kebangsaan, Peri- Kemanusiaan, Peri- ke-Tuhanan, Peri- Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Yamin menyampaikan bahwa bentuk Negara Indonesia yang merdeka berdaulat ialah suatu Republik Indonesia yang tersusun atas paham unitarisme. Yamin dengan tegas mempersembahkan lampiran suatu rancangan sementara berisi perumusan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. 

Apa yang diutarakan Yamin kemudian berlanjut pada tanggapan-tanggapan anggota lainnya pada sesi kedua hingga kelima dengan pembahasan tentang Dasar Negara Indonesia. Misalnya, pada sesi kedua Ki Bagoes Hadikoesoemo menyampaikan pendapatnya yang terkesan konservatif. Ia mengatakan bahwa Negara Indonesia baru yang akan datang itu berdasarkan agama Islam dan akan menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh, pernyataan ini berbeda dengan keinginan Yamin yang cenderung memandang masa depan Indonesia sebagai negara  dengan paham unitarisme. Terlebih lagi, Ki Bagoes mengutarakan pendapatnya dengan gaya yang meyakinkan dan cukup provokatif. Kemudian pada sesi-sesi berikutnya, gaya Ki Bagoes ini juga turut membakar semangat anggota yang lain untuk teguh dengan pendapatnya masing-masing. 

Ketegangan lainnya juga muncul pada pembacaan sesi ketiga yang banyak menyampaikan pendapat-pendapat dari Soepomo. Ada tiga poin penting yang disampaikan oleh Soepomo, tentang perhubungan negara dan agama, cara bentukan pemerintahan, perhubungan negara dan kehidupan ekonomi. Soepomo seperti hendak merespon apa yang disampaikan Ki Bagoes dengan menyetujui apabila negara juga berjalan beriringan dengan norma-norma yang ada pada agama.  Selain itu hal penting lainnya dari pendapat Soepomo bahwa negara hanya bisa adil, jikalau negara itu menyelenggarakan rasa keadilan rakyat dan menuntun rakyat kepada cita-cita yang luhur. 

Pembicaraan tentang bentuk negara pun masuk pada sesi keenam dan ketujuh. Muncullah tokoh-tokoh lainnya seperti Sanoesi, Soeroso, Dasaad, juga anggota perempuan Nyonya Soenardjo. Kemudian sesi kedelapan dan kesembilan memasuki pembahasan tentang wilayah negara. Pembahasan tentang wilayah negara ini juga tidak terhindar dari perdebatan dan ketegangan. Misalkan perdebatan tentang apakah Papua masuk dalam wilayah Indonesia atau bukan hingga muncul keputusan sementara bahwa daerah yang masuk pada Indonesia merdeka adalah Hindia Belanda, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor-Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya.

 

Hak Individu dalam Undang-Undang

Penyusunan rancangan Undang-Undang Dasar dan panitia perancang Undang-Undang Dasar dibahas pula pada pembacaan sesi ke-10 hingga sesi ke-23. Dalam penyusunan ini salah satu hal yang menarik adalah pernyataan Soekarno tentang tidak perlunya menaungi soal hak-hak individu dalam Undang-Undang Dasar. Soekarno menolak adanya falsafah individualisme dalam negara yang memicu adanya persaingan antar individu sehingga memunculkan kapitalisme dan imperialisme bahkan peperangan. 

Apa yang dikemukakan oleh Soekarno kemudian dijawab oleh Hatta. Hatta pun tidak sependapat dengan adanya falsafah individualisme, namun Hatta memberikan tawaran bahwa penting bagi sebuah negara untuk mendengar dan menampung suara rakyat. Rakyat memiliki hak individu untuk mengeluarkan suara dan pendapat. Hatta membayangkan Indonesia kelak akan menjadi negara yang didirikan sebagai negara pengurus dan tidak menjadi negara kekuasaan dan negara penindas. 

Pada akhir sesi pembacaan yaitu sesi 25, segala pendapat-pendapat para tokoh pun telah sampai pada Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara dan Piagam Jakarta. Membaca ulang jejak penting dalam sejarah melalui Membaca Kitab yang “Hilang”: Risalah BPUPKI adalah juga menyaksikan bagaimana terjadinya transfer pengetahuan para tokoh pendiri bangsa kepada publik yang lebih luas.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter