Penulis: Lestari dan Amos
Pada ruang yang gelap itu, bukan hanya saya dan penonton lain saja yang duduk untuk menyaksikan “Budi Bermain Boal”. Akan tetapi, dua orang berpakaian atasan putih dan bawahan merah di arena pertunjukan juga duduk tegak di bangku kayu. Mereka adalah laki-laki dan perempuan yang mengenakan seragam SD. Gaya rambut dikuncir dua si perempuan dan sehelai rambut yang menjuntai di samping telinga kanan lelaki agak mengecoh saya untuk memandang mereka sebagai bocah.
Bocah-bocah itu kemudian tidak berdiam diri duduk saja. Tangan-tangan mereka mulai bergerak menarasikan frasa-frasa koreografi. Kedua tangan bocah-bocah itu diangkat lurus ke atas, ke depan tubuh, lalu dilipat di depan dada seakan tangan mereka ditopang meja. Tubuh kedua bocah itu juga condong ke depan ketika tangan dilipat, seperti siswa-siswi yang mencoba memperhatikan guru dengan lebih jeli. Tidak hanya tubuh mereka yang berupaya menceritakan suatu narasi, tetapi wajah mereka juga berusaha bercerita dengan ekspresi senyum yang disunggingkan kala tubuh mereka condong ke depan. Namun, senyum mereka serupa senyum yang janggal, karena terlihat hanya bibir yang berekspresi. Sementara, mata mereka hanya menatap kosong.
Frasa-frasa koreografi karangan Megatruh Banyu Mili ini tidak ingin menarasikan masa kecil bahagia di bangku Sekolah Dasar. Mulai dari kejanggalan dalam fragmen awal pertunjukan, justru rangkaian koreografi di atas panggung ingin mengungkap bagaimana kuasa tersebar, terselip, dan bersembunyi di ruang-ruang pendidikan formal sejak kita berusia enam tahun. Terlebih, bagaimana kuasa itu menubuh dalam diri kita hingga mengubah laku kita serupa robot. Tulisan ini ingin mengurai bagaimana kuasa terselip, menempel, sampai menubuh ke dalam diri kita ketika duduk di bangku SD.
Kejanggalan pada fragmen awal semakin terasa karena narasi koreografi di atas diulang berkali-kali, membuat bocah-bocah itu mewujud seperti robot. Namun, gerak yang tak berkesudahan itu segera diisi dengan adegan lain. Seorang lelaki berpakaian seragam SD turun dari area penonton dan berjalan menuju panggung. Ia mendekati sebuah papan persegi yang tergantung di sisi kiri belakang panggung. Pada permukaan papan tersebut ada goresan alat tulis yang membentuk gambar panorama alam imajinasi umum bocah-bocah kecil: dua gunung menjulang dengan satu matahari di tengah, dua petak sawah, dan satu ruas jalan.
Lelaki tersebut mengeluarkan alat tulis berwarna merah, lalu mewarnai dua petak sawah. Kemudian, ia beralih ke warna kuning dan mewarnai lembah gunung beserta kedua pucuknya. Gambar matahari ia isi dengan warna hijau. Terakhir, ia menuang goresan warna hijau pada gambar ruas jalan.
Tiba-tiba, lelaki itu melakukan adegan yang tak kalah janggalnya dari adegan dua bocah di awal tadi. Lelaki itu mengambil kursi yang diduduki bocah perempuan dan meletakkannya di sebelah perempuan. Lalu, ia memeluk tubuh perempuan, menggendongnya, dan membawa tubuh itu ke depan papan. Bentuk dan laku tubuh perempuan masih tetap sama persis seperti ketika ia duduk di bangku: lutut ditekuk dan tangan bergerak. Lelaki itu seolah membawa robot yang tangannya bergerak kaku.
Kemudian, ia meletakkan tubuh perempuan, mencoba membungkukkan tubuh itu hingga tangannya menyentuh lantai, dan punggungnya menghadap ke atas. Sang lelaki mengangkat salah satu kakinya ke atas punggung bocah perempuan, lalu yang satunya lagi, dan berdiri tegak di atas punggung perempuan itu. Sembari ia naik ke atas punggung, tubuh saya ikut bergetar dan merinding ketika melihat getaran hebat tubuh yang ditunggangi manusia lain. Dengan perlahan laki-laki itu melepaskan papan dari gantungan dan membawanya. Masih dengan tubuh yang bergetar karena beban laki-laki di atasnya, perempuan itu berusaha jalan dengan kedua tangan dan lututnya yang ditekuk. Persis seperti bayi berjalan merangkak. Fragmen ini semakin mengundang ketegangan karena iringan suara alat musik perkusi yang dipukul keras dan tempo cepat, seperti dalam sinema-sinema psychological thriller.
Sembari ia terus berjalan ke depan panggung, ada suara seorang pria dewasa membacakan sesuatu, intonasinya seperti seorang anggota badan legislatif mengucap lantang aturan yang baru saja dibuat. Teks yang dibaca suara itu mungkin adalah “Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 52 tanggal 17 Maret 1982”. Surat ini adalah teks resmi untuk mewajibkan pemakaian seragam di seluruh sekolah, baik tingkat dasar hingga menengah pada era Orde Baru.
(Kutipan dari “Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 52 tanggal 17 Maret 1982”)
Aturan yang diucap lantang pria itu seakan ikut membebani tubuh bocah perempuan sampai ia tergopoh, kepayahan, dan terus bergetar. Bahkan, suara pembacaan aturan itu jadi ikut menghajar tubuhnya. Penghajaran itu memang dilakukan melalui penyeragaman. Apa yang dimaksud penyeragaman adalah pendisiplinan tubuh. “Seragam” dalam karya “Budi Bermain Boal” adalah metafora, ia bukan hanya sehelai kain. “Seragam” sejatinya tak kasat mata, ia seperangkat cara mengatur, memerintah, dan membentuk tubuh untuk patuh. Maka, apa yang benar-benar diseragamkan adalah cara berpikir, cara bergerak, tindakan, dan perilaku.
Penghajaran itu semakin terlihat pada fragmen di mana bocah perempuan tiba-tiba berpose menyilang tangan untuk memegang kedua telinga dan mengangkat salah satu kaki. Persis seperti pose seorang siswa dihukum gurunya. Kemudian, seorang lelaki melepaskan sepasang sepatu yang menempel pada kedua kaki perempuan. Ia membawa sepasang sepatu ke sisi kiri belakang panggung dan menyemprotkan pylox berwarna hitam ke permukaan sepatu. Fragmen ini menyingkap dengan jelas bagaimana penyeragaman berupaya menghajar dan menubuh dalam siswa-siswi sejak mereka duduk di bangku SD.
Penghajaran itu tidak hanya disingkap melalui tubuh-tubuh dan keaktoran para penampil di panggung. Dalam fragmen selanjutnya, Megatruh menampilkan dirinya sebagai guru dan membagikan soal Ujian Akhir semester dan pensil kepada para penonton. Lalu, ia menginstruksikan kami untuk mengisi lembar ujian dengan jawaban diri sendiri, jawaban yang otentik. Di sini terjadilah momen ketika batas antara panggung dan penonton mulai mengabur. Penonton ikut menjadi aktor yang diatur dan di-“seragamkan”. Fragmen ini seakan ingin mengajak penonton membuka kembali ingatan mereka akan belenggu penyeragaman di bangku SD.
Penyeragaman itu ternyata berlanjut dalam hal yang lebih mendasar, yaitu substansi mata pelajaran. Dalam fragmen menuju akhir pertunjukan, dua bocah perempuan dan laki-laki tadi berubah serupa guru dan instruktur tarian. Sang lelaki mengeluarkan suara beratnya dan mengajak para penonton untuk berdiri. Kemudian, ia menginstruksikan kita untuk menirukan gerak kaki, tangan, dan panggul yang menyerupai goyang kekinian ala Tiktok. Pada fragmen ini, lelaki yang tadinya merupakan siswa SD berubah menjadi guru tari. Sesekali ia mengucap dengan kalimat yang kurang lebih berbunyi demikian, “Jangan lupa tersenyum, ya. Penari harus tersenyum supaya penontonnya terhibur”. Selain itu, ia menambahkan narasi lain yang lebih menohok, seperti “Ayo, tersenyum kalau gak mau dimarahi!”.
Narasi-narasi seperti di atas seakan berfokus pada hukuman ketimbang esensi dari pelajaran yang diberikan. Apalagi, ada unsur keharusan yang berujung pada paksaan karena berorientasi pada hukuman. Atas nama pendisiplinan, tubuh wajib patuh pada perintah dan hukuman.
Selain narasi-narasi yang sifatnya menyuruh dan menghukum, lelaki itu juga menjelaskan mengenai pembelajaran tari secara teoritik. Akan tetapi, narasi yang disampaikan juga terlalu memusat. Ia menjelaskan bahwa tarian pasti terdiri dari wirama, wiraga, dan wirasa. Narasi itu cukup memantik saya karena dari pengalaman belajar tari secara non formal, tidak semua tarian memerlukan ketiga unsur tersebut. Sekali lagi, penyeragaman begitu terlihat. Kali ini, ia berbentuk wacana pengajaran tari di sekolah.
Antara Paulo Freire, Augusto Boal, dan “Budi”.
Penyeragaman yang dituturkan tiga penampil melalui frasa-frasa koreografi mengingatkan saya pada Paulo Freire. Bagi Freire, pendidikan yang gagal adalah pendidikan yang menempatkan manusia sebagai objek yang menjalankan perintah satu arah, tidak pernah merefleksikan diri, dan tak pernah mengupayakan penciptaan kreatif (Freire, 2008: 57-60).
Freire menggugat pendidikan yang memperlakukan manusia sebagai mesin pasif. Dalam ruang kelas seperti itu, tubuh digerakkan seperti robot. Tentu tubuh diperintah agar bergerak patuh pada kuasa dominan yang mengintervensi gerbang sekolah, ruang kelas, hingga lapangan upacara.
Menyimak “Budi Bermain Boal” adalah menyimak bagaimana kuasa bekerja dalam ruang keseharian. Karya ini berhasil menggambarkan bagaimana cara kerja politik keseharian yang menubuh dalam subjek siswa dan guru. Maka, koreografi ini berupaya menyingkap lapisan kuasa dalam seragam dan tubuh-tubuh yang memakainya.
Perihal judul “Budi Bermain Boal”, tampak bahwa Augusto Boal sangat berpengaruh dalam gagasan mendasar karya ini. Pemakaian dramaturgi ruang kelas seakan mempertemukan sosok Paulo Freire dan Augusto Boal, memang faktanya kedua tokoh dari Brazil ini sangat dekat. Freire dengan pedagogy of the oppressed menginspirasi Boal untuk mengembangkan theater of the oppressed. Koreografi Megatruh tampak menyatukan ide besar antara Freire dan Boal, sebab pertunjukan ini berupaya menyingkap belenggu kuasa yang mengitari bangku kayu, ruang kelas, dan berbagai praktik pendidikan yang menindas.
Dalam situasi pendidikan yang membelenggu ini, “Budi” adalah kita semua. Dibanding sekedar nama sosok, “Budi” dalam koreografi Megatruh menjelma sebagai kata kerja. Semua tubuh di panggung dan bangku penonton adalah “Budi”. Ia tidak hanya dieja dan diucap, tetapi ia menjadi modus kuasa untuk menyeragamkan.
Semua penonton kemudian menjadi “Budi” dengan bermain-main bersama dalam “teater forum”. Dalam fragmen ketika penonton diperintah berdiri dan bergerak sesuai sabda otoriter instruktur tari, atau dalam fragmen ketika penonton “diwajibkan” mengisi lembar soal Ujian Akhir Semester: penonton ditarik menjalani peran sebagai “Budi” yang lain. Penonton tidak hanya menyaksikan tingkah “Budi” di panggung, tetapi sama-sama dijejali perintah dan dijerat oleh “pem-Budi-an”.
Menyadari kita semua menjelma sebagai “Budi” adalah momen politis, sebab kita dikekang perangkap kuasa yang sama. Memang penonton tidak diprovokasi agar mengintervensi “Budi” di panggung, sebab kita semua adalah “Budi” dan dibentuk menjadi “Budi”. Menyingkap “pem-Budi-an” adalah tawaran penting yang diberikan “Budi Bermain Boal”.
Lalu, apa kita semua akan terus dibentuk dan dirakit menjadi “Budi”, robot, atau mesin berseragam?
Referensi:
Paulo Freire. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Augusto Boal. 2000. Theatre of the Oppressed. London: Pluto Press.