Obituari Norbertus (Nano) Riantiarno

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Norbertus “Nano” Riantiarno (Cirebon, 6 Juni 1949-Jakarta, 20 Januari 2023) adalah salah satu pembaharu teater Indonesia modern. Bersama Teater Koma yang ia dirikan pada 1977, Nano mengukuhkan tradisi teater realis yang semula ia serap ketika belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan Teater Populer pimpinan Teguh Karya. Dengan gaya kritik dan banyolan di sana-sini, Teater Koma menjadi salah satu kelompok teater yang kuat pada masa Orde Baru dan sesudahnya.

Nano menunjukkan bagaimana teater dapat hadir sebagai tontonan yang bukan hanya menghibur tetapi juga kritis. Di tangannya, kritik terhadap penguasa yang korup, kemiskinan, ketidakadilan hingga nafsu kuasa dapat muncul di atas panggung tanpa disadari oleh penonton bahwa semua itu telah mengetuk kesadaran atas kenyataan yang tengah terjadi di sekitar mereka. Sementara, manajemen Teater Koma memperlihatkan bagaimana ketelatenan membina penonton dari berbagai kalangan dalam waktu bertahun-tahun adalah soal penting yang tidak sembarang kelompok teater bisa melakukannya.

Naskah-naskah lakon yang ditulis Nano, semisal trilogi Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Julini, menjadi korpus naskah teater realis yang istimewa dalam tradisi penulisan lakon berbahasa Indonesia. Bahkan naskah-naskah lakonnya yang mengambil pendekatan tonil atau teater Tiongkok menjadi perbendaharaan tersendiri yang belum ada tandingannya.

Di Salihara, ia pernah menghadirkan produksi ke-120 Teater Koma yang bertolak dari ancaman mematikan HIV/AIDS berjudul Rumah Pasir (2010). Setahun sebelumnya, ia menyajikan drama romantika lewat lakon Tanda Cinta (2009) yang dimainkan berdua dengan Ratna Riantiarno. Pada masa pandemi lalu, ia adalah salah satu pembicara yang membagikan pengetahuannya dalam seri diskusi Pertumbuhan Teater Modern (di) Indonesia dengan tajuk Komedi/Tonil: Eksotisme Timur dan Fantasi yang ditaja Komunitas Salihara.

Nano adalah seorang seniman yang lengkap. Ia adalah aktor, sutradara teater dan film, penulis naskah teater, skenario film dan televisi, novel, cerpen, tinjauan teater, dosen hingga wartawan. Kepiawaiannya dalam menulis lakon telah diganjar dengan sejumlah penghargaan melalui Sayembara Menulis Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta. Begitu juga skenario film dan televisi besutannya.  

 Nano meninggalkan warisan pengetahuan yang berharga bagi kesenian Indonesia. Ia sadar untuk tidak jauh meninggalkan seni tradisi sekaligus konsisten meniupkan nafas kebaharuan pada karya-karyanya. Di saat yang sama, semangat sekaligus ketangguhannya bergulat merawat teater adalah teladan penting bagi siapa saja yang hendak menekuni seni pertunjukan di Indonesia.

 Selamat jalan, Nano Riantiarno.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter