Lahir dengan nama Japi Panda Abdiel Tambajong, Remy Sylado adalah sastrawan Indonesia yang penting dan unik sejak awal 1970-an.
Pada 1972 ia memperkenalkan Puisi Mbeling. Remy memelopori genre puisi ini melalui majalah Aktuil, sebuah majalah musik dan budaya pop yang terbit di Bandung. Puisi Mbeling saat itu adalah sebuah gangguan atau interupsi bagi sejarah sastra Indonesia modern, khususnya langgam puisi lirik yang mendominasi sejak sebelum Kemerdekaan. Bagi Remy dan penyair mbeling saat itu, puisi hadir sebagai segala sesuatu yang tidak indah, dengan tema dan bahasa yang rendahan, banal, nakal, humoris, jorok pun bisa.
Dengan humor, gerakan Puisi Mbeling memberikan alternatif penting bagi puisi (lirik) berbahasa Indonesia yang cenderung serius, cenderung selektif dalam pemilihan kosakata dan monoton dalam gaya.
“Remy Sylado (dan Gerakan Puisi Mbeling) datang untuk memperkarakan keseriusan dan ketinggian puisi Indonesia. Bagi dia dan para penyair Puisi Mbeling, puisi harus kembali ke tengah keramaian, merengkuh segala derau dan kotoran yang diingkari kaum priyayi, borjuis dan segala kaum mapan lain. Buat mereka, penyair bukanlah makhluk istimewa: artinya, semua orang bisa jadi penyair,” sebagaimana dinyatakan dalam argumentasi dewan juri Penghargaan Achmad Bakrie 2013 untuk Kesusastraan—salah satu penghargaan sastra yang pernah diterima Remy Sylado.
Sebagai sebuah selaan, Puisi Mbeling terbilang gerakan sastra yang berhasil. Puisi Mbeling menjadi wabah penciptaan sastra pada era 1970-an dengan semangat meledek otoritas sastra Indonesia dan mendesakkan cara pandang pascamodernis melalui sastra—jauh sebelum gerakan pascamodernisme merebak pada 1990-an. Puisi Mbeling juga melahap budaya pop dan meleburkan batas-batas antara budaya tinggi dan budaya rendah dalam produksi kebudayaan kontemporer.
Banyak penyair muda dan bergaya mbeling yang muncul dari Aktuil dan Top. Meskipun berlangsung pada sekitar lima dasawarsa silam, semangat Puisi Mbeling yang penuh humor dan ledekan serta slengekan itu sendiri masih menjadi bagian dari perpuisian Indonesia hari ini, termasuk dalam puisi-puisi Joko Pinurbo dan penyair lainnya.
Dengan Puisi Mbeling, Remy Sylado dan kawan-kawan memperluas cakupan sastra—sesuatu yang selama ini tidak dilakukan oleh puisi lirik yang menjadi tolok ukur kepenyairan di Indonesia saat itu. Puisi Mbeling juga bisa disebut sebagai gerakan kebudayaan yang mendahului gerakan dan pemikiran seni yang menentang elitisme serta mengusung pluralisme dan demokratisasi seni di Indonesia, seperti Gerakan Seni Rupa Baru (1975) dan Sastra Kontekstual (1982).
Remy Sylado dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan, pada masa pendudukan Jepang, 12 Juli 1945. Ia menempuh kariernya dalam banyak bidang, mulai dari wartawan, penulis, dosen, pelukis, sutradara teater, aktor film, penggubah lagu dan penyanyi hingga ahli bahasa Indonesia dan organisator gerakan kebudayaan. Profesinya sebagai wartawan dan sastrawan dibangunnya di Bandung, setelah ia menghabiskan masa kecil dan remajanya di Makassar, Semarang dan Solo. Di Bandung, selain menjadi redaktur majalah Aktuil, ia juga mengelola majalah Top yang sama-sama membuka ruang untuk genre Puisi Mbeling.
Puisi-puisi mbeling Remy Sylado dikumpulkan dalam buku Puisi Mbeling Remy Sylado (2004)—yang lain dalam Kerygma dan Martyria (2004). Adapun novel-novelnya, antara lain, adalah Gali Lobang Gila Lobang (1977), Ca Bau Kan (1999, kemudian difilmkan dengan sutradara Nia Dinata), Kerudung Merah Kirmizi (2002, memperoleh Khatulistiwa Literary Award), Parijs van Java (2003) dan Namaku Mata Hari (2010). Sebagian besar novelnya berkonsentrasi kepada fiksi sejarah, terutama masa kolonial Belanda, dan cerita detektif.
Sebagai pemikir bahasa Remy memberikan sumbangan penting pada segi kesejarahan bahasa Indonesia modern. Ia menelaah bukan hanya sejarah kata-kata dan frasa yang khas dalam bahasa Indonesia, tetapi juga mengajukan watak kosmopolitanisme dan eklektisisme bahasa Indonesia modern. “Sembilan dari sepuluh kata bahasa Indonesia berasal dari bahasa asing,” begitu argumen Remy, sebagaimana diuraikannya dalam bukunya 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing (1996).
Yang cukup unik dari kerja kepenulisan Remy Sylado adalah ia memproduksi sejumlah buku dan tulisan dalam pelbagai nama samaran, antara lain, Juliana C. Panda, Dova Zila, Alif Danya Munsyi. Berbeda dari para penulis generasi tua yang bisa beradaptasi kepada teknologi komputer, Remy masih menuliskan seluruh pemikirannya dengan mesin tik manual. Ia mengoleksi tidak kurang dari 50 mesin tik tua di rumahnya.
Selamat jalan, Remy Sylado.