Sri Astari Rasjid mulai diperbincangkan di kancah seni rupa ketika menjadi ketua penyelenggara Biennale Seni Rupa Jakarta IX (1993-1994), sebuah pameran seni rupa kontemporer Indonesia. Biennale IX adalah perhelatan besar dan sempat menimbulkan kontroversi sepanjang sejarah TIM (Taman Ismail Marzuki) setelah Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (1975). Biennale IX dikuratori oleh Jim Supangkat dan mengusung gagasan seni rupa pascamodern, perhelatan ini menjadi salah satu peristiwa yang sangat berpengaruh dalam menumbuhkan gagasan, praktik, dan wacana seni rupa Indonesia kontemporer.
Astari memiliki peran penting dalam tata kelola seni, ia setara dengan peran perupa dan kurator.
Astari adalah seorang perupa yang melahirkan banyak karya dengan pelbagai media dan ungkapan. Ia merambahi mulai dari seni lukis, fotografi, patung, objek, dan instalasi, sebagaimana yang pernah diperlihatkannya dalam Pameran 10 Perupa Perempuan di Galeri Salihara pada April 2009. Ia banyak mempercakapkan tentang perempuan dalam sebuah gambaran kontradiksi yang tak selesai-selesai di tengah modernisme. Ungkapan-ungkapan visual berupa kebaya dan simbol-simbol tradisi Jawa ditata bersamaan dengan simbol-simbol produk bermerek masa kini, dua dunia yang berjarak sekaligus bertaut.
Luasnya cakupan media yang dipakai oleh Astari sebagaimana terjadi pada seni rupa kontemporer, memungkinkan pelbagai gagasan baru muncul dalam karya-karyanya. Ia berhasil menyusupkan potret dirinya di antara simbol-simbol dan objek lain dalam karya-karya berbasis fotografi dan juga dalam lukisannya, terutama yang muncul pada 2000-an. Dalam karyanya hal definitif tentang lelaki dan perempuan saling mengaburkan bentuk dan karakter masing-masing. Seniman yang lahir di Jakarta, 26 Maret 1953 ini memang tampak berupaya keras beradaptasi dengan berbagai media dan keterampilan.
Pada 13 Januari 2016 di tengah penjelajahan seni rupa yang jauh dari selesai, ia didapuk menjadi Duta Besar RI untuk Bulgaria, Albania, dan Makedonia. Di tengah-tengah tugas yang tidak hanya berat tapi memerlukan adaptasi dan irama tersendiri pula, ia tetap berkarya dan berpameran. Hanya berjarak sebulan dari penunjukannya sebagai duta besar, ia bahkan menyelenggarakan pameran tunggal Yang Terhormat Ibu di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di Bulgaria ia berhasil melobi museum terbesar dan bergengsi yaitu Museum Nasional Sofia, untuk memamerkan keragaman dan jenis-jenis kain—sebagian koleksi pribadinya, serta karya-karya seni rupa kontemporer perempuan Indonesia. Ia percaya bahwa seni dan budaya dapat menjadi pintu diplomasi yang baik. Kesungguhan dan reputasinya dalam dunia diplomasi itu pun mendapat pengakuan. Pada 25 Juni 2020, Presiden Bulgaria Rumen Radev memberi penghargaan Madara Horseman First Degree padanya.
Menjelang akhir jabatan sebagai duta besar pada 2020, ia sempat menulis dan menerbitkan buku Art Diplomacy. Alumni Sastra Inggris UI yang pernah belajar seni lukis di University of Minnesota dan Royal College of Art, London ini telah menerjemahkan buku tersebut dalam bahasa Indonesia sebagai karya terakhirnya.
Sri Astari Rasjid meninggal dunia di Farrer Park Hospital, Singapura, pada 11 Desember 2022.