Ditulis oleh Amos.
Menyaksikan pertunjukan Sandikala Ensemble di Salihara pada 4 Februari lalu, adalah pintu gerbang pada ruang harmoni baru berbasis gamelan Jawa, ruang-ruang asing tapi kadang akrab untuk telinga, ruang-ruang penuh noise dan distorsi yang bersumber dari 36 nada baru hasil eksperimen terhadap gender gamelan Jawa.
Komposisi Dion Nataraja yang dibawakan oleh Sandikala Ensemble membawa audiens pada situasi ruang pertunjukan penuh noise, bunyi pukulan acak gamelan, gesekan rebab. Ruang harmoni yang dibangun begitu interuptif, seakan membawa kabur bebunyian gamelan berpola mipil atau imbal-imbalan seperti yang biasa terdengar dari pendopo sebuah keraton di Yogyakarta atau Solo.
Dalam beberapa fragmen pertunjukan, senggreng alat penggesek rebab dipakai menggesek wilahan gender dan gong. Begitu juga dengan bagian bawah gagang tabuh gender yang dipakai untuk memukul secara acak wilahan gender. Teknik eksperimental dengan mengembalikan gamelan pada denging dan dengung menimbulkan suara yang sama sekali lain. Belum lagi noise digital yang bagaikan kepulan asap memenuhi rangkaian komposisi Sandikala Ensemble. Berbagai eksperimentasi itu membuat karya-karya komposisi yang disajikan begitu kuat, menginterupsi pakem-pakem yang disakralkan pada komposisi gamelan Jawa konvensional.
Alunan gamelan dan distorsi bunyi begitu terdengar asing tapi akrab, keasingan itu mungkin konsekuensi dari upaya Sandikala Ensemble membangun ruang harmoni baru. Gender, instrumen penting dalam orkestra gamelan Jawa, menjadi instrumen penting dalam ruang makna yang Sandikala bangun. Komposisi “Hyperkembangan X”, “Herutjokro as Posthuman”, serta beberapa improvisasi kolaboratif dengan Sri Hanuraga dan Gerald Situmorang melempar telinga kita jauh-jauh dari alunan gamelan yang penuh pakem, di mana biasanya para turis menikmatinya karena alunan itu dianggap eksotik dan “khas Jawa”.
Justru eksotisasi dan kekhasan Jawa itu yang Sandikala Ensemble ingin gugat dalam berbagai komposisi eksperimentalnya. Sandikala Ensemble melakukan dekonstruksi bunyi pada tonalitas gamelan Jawa yang selama ini dipakemkan dengan pakem slendro sampai pelog. Sandikala Ensemble membuat tonalitas sendiri yang lepas dari kekangan pakem musik Jawa dan pakem diatonik Barat sekalipun. Upaya ini adalah upaya keluar dari estetika dominan baik estetika tradisional atau modern, mungkin upaya itu sejalan dengan istilah delinking dari Walter Mignolo.
Upaya mencari jalan lain dari kultur dominan ini membuat suara-suara Sandikala bukan sekadar eksperimen bunyi, tapi sebuah suara lantang untuk menggugat otoritas, kanonisasi, kekangan, lalu memilih menziarahi sisi lain dalam sejarah. Apa yang ditampilkan Sandikala Ensemble adalah upaya untuk terhubung kembali dengan pengetahuan lokal, tetapi dengan jalan tempuh alternatif yang sangat hibrida. Di mana batas-batas menjadi lokal, menjadi nasional, menjadi global, lebur pada upaya eksperimental yang penuh improvisasi. Keluar dari eksotisme Jawa yang dikomodifikasi selagi keluar dari kekangan estetika modernis Barat, hal ini membuat Sandikala Ensemble penting disimak.
Pelog, Slendro, dan Penjajahan Estetik Terhadap Musik Jawa.
Dalam sejarah kajian seni Jawa, mungkin tidak ada lembaga sebesar dan semasif Java Instituut yang mengkaji kebudayaan Jawa. Sejak berdiri pada 1919, Java Instituut menjadi pusat kajian Jawa paling penting sepanjang era kolonial. Jawa pada era kolonial berubah semenjak Perang Jawa (1825-1830), Farish Noor dalam kajian soal politik pengetahuan menggarisbawahi bahwa penjajahan tak hanya soal fisik, tapi juga soal pengetahuan. Mendata, mengkaji, melakukan sensus, dan berbagai upaya menghimpun pengetahuan adalah juga bentuk penjajahan.
Pemetaan dan upaya meraup data adalah penting dalam sebuah kolonisasi pengetahuan, sehingga muncul klaim bahwa sang penjajah lebih paham masyarakat jajahan ketimbang mereka memahami diri sendiri. Dalam konteks kolonisasi pengetahuan itulah Java Instituut lahir, mereka mengumpulkan, mengarsipkan, mendata, berbagai artefak kebudayaan Jawa, Bali, hingga beberapa kawasan di Nusa Tenggara Barat. Gamelan Jawa sebagai artefak budaya tanah jajahan menjadi salah satu objek pengamatan bagi para etnomusikolog Belanda, terutama untuk membedah dan menguak estetika masyarakat jajahan yang tersembunyi dalam nada dan ritme “eksotik”.
J.S. Brandts Buys, seorang etnomusikolog Belanda, membuat sebuah makalah berjudul “Een En Ander Over Javaansche Muziek” yang diterbitkan pada salah satu kongres Java Instituut. Pada makalahnya, ia menjelaskan cara kerja orkestra gamelan secara musikologis. Mulai dari pertunjukan, struktur komposisi, hingga fungsi tiap instrumen dalam orkestra gamelan. Apa yang Buys upayakan adalah penjelasan struktural pada musik Jawa, yang mana bagi Buys para seniman tradisi dan masyarakat Jawa sendiri “tak mau ambil pusing soal struktur musikal” (1929: 53-55). Buys memang memiliki klaim bahwa orkestrasi dalam gamelan Jawa bisa dilihat sebagai musik polyphonic, di mana penyajian harmoni berlangsung sangat kompleks. Begitu pula secara ritme, ada peran perkusif gendang yang membuat ritme gamelan begitu dinamis.
Pada satu bagian tentang tonalitas dan tangga nada dalam musik Jawa, Buys menjelaskan slendro dan pelog. Dalam tonalitas pelog, Buys melihat ada sebuah “nada” tambahan selain yang terpatri dalam tangga nada pelog. Apa yang dianggap baru bagi Buys dan agak misterius soal tonalitas pelog, memperlihatkan musik Jawa sebagai musik terra incognita, musik “dunia baru” yang perlu dieksplorasi dan dijelaskan strukturnya oleh etnomusikolog Barat seperti Buys. Tanpa para etnomusikolog Barat ini seakan-akan seni Jawa tak utuh, tak terjelaskan, dan tetap menjadi misteri. Sebagai tangga nada, slendro dan pelog mungkin dianggap “barang unik dan eksotik” dari negeri jajahan, di mana seluruh komposisi yang lahir darinya pun dieksotisasi.

(Arsip penotasian J.S. Brandts Buys, 1929)
Sementara menurut Jennifer Lindsay dalam buku “Javanese Gamelan”, penotasian representatif yang dilakukan terhadap gamelan Jawa tak bisa dilakukan untuk sebuah paten absolut terhadap tonalitas (1992: 38-42). Toh, jika ada beberapa gamelan dijajarkan dan dibunyikan, tentu gamelan-gamelan itu tak akan memiliki tuning yang benar-benar sama, baik intervalnya maupun nadanya. Menariknya, kajian-kajian etnomusikolog Barat pada musik Jawa era kolonial bertendensi untuk mencari paten absolut dalam kategorisasi musikal Barat modern. Padahal, gamelan Jawa dan berbagai musik lokal nusantara memiliki partikularitas yang khas.
Arsip-arsip Buys dalam Kongres Java Instituut yang saya temukan memperlihatkan upaya etnomusikolog Belanda untuk membangun paten terhadap musik Jawa versi mereka. Mulai dari penotasian representatif slendro dan pelog, penyingkapan melalui kajian pertunjukan gamelan, hingga klaim sepihak tentang seniman Jawa yang tak mau ambil pusing soal struktur musikal. Semua itu bisa dilihat sebagai pola umum dari para etnomusikolog Barat yang melihat kebudayaan Jawa sebagai yang Liyan, yang perlu diperadabkan, yang perlu diberi pencerahan melalui estetika modern.
***
Sandikala Ensemble melalui karya komposisi eksperimentalnya melakukan perebutan ulang sejarah (historical reclaiming), khususnya terhadap gamelan. Pada periode abad 19-20, ada eksotisasi, representasi, dan berbagai “penjajahan estetika” atas nama estetika Barat nan adiluhung. Gamelan dipandang Buys dan para etnomusikolog Belanda hanya sebagai “barang seni eksotik” dari tanah jajahan. Segala upaya mendefinisikan gamelan, membekukannya, lalu membuat paten absolut sesuai standar musikal Barat, adalah kekerasan yang jelas terlihat dalam estetika kolonial.
Ide-ide Walter Mignolo soal dekolonisasi pengetahuan nampak sesuai dengan proyek eksperimental Sandikala. Kolonialitas bagi Mignolo bukan sesederhana kolonialisme sepanjang abad 17-20 di tanah jajahan, kolonialitas adalah siklus penjajahan yang berulang dari zaman ke zaman hingga hari ini. Tak tepat menyebutkan bahwa kolonialisme telah berakhir semenjak bangsa jajahan memproklamirkan dirinya merdeka secara politik, justru institusi, cara kerja, sistem, dan hegemoni kultural era kolonial itu masih dilanggengkan hingga kini.
Walter Mignolo menawarkan konsep “relinking/delinking” untuk melampaui kolonialitas itu. Bagi Mignolo, diperlukan upaya terhubung kembali dengan lokalitas ulayat (indigenous) yang keluar dari kekangan modernitas. Dalam “Coloniality is Far from Over, and So Must Be Decoloniality”, Mignolo menutup tulisannya dengan mengatakan:
“Today decoloniality is everywhere, it is a connector between hundreds, perhaps thousands of organised responses delinking from modernity and Western civilisation and relinking with the legacies that people want to preserve in view of the affirming modes of existence they want to live” (2017: 45).”
Sandikala Ensemble menjadi prototipe estetika dekolonial melalui eksperimentasi kontemporer terhadap gamelan. Setelah dialihtubuhkan pada roh bebunyian baru, gamelan mendapatkan nyawa keduanya untuk hidup, setelah pembunuhan pertamanya oleh estetika kolonial di abad 19-20. Kehidupan kedua gamelan Jawa kini merespons isu-isu yang kita hadapi pada kondisi post-human: teknologi digital, algoritma, hingga kolonialitas.
Referensi:
Arsip
Programma van het congres gehouden van het 27 tot en met 29 December 1929 in de Kapatihan Mangkoenagaran Soerakarta, ter Gelegenheid van het tienjaring bestaan van het Java Instituut, 1919-1929. Koleksi Perpustakaan Nasional.
Jurnal dan Buku
Jennifer Lindsay. 1992. Javanese Gamelan: Traditional Orchestra of Indonesia. Singapore; New York: Oxford University Press.
Farish. A. Noor. 2019. Data-Gathering in Colonial Southeast Asia 1800-1900: Framing the Other. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Walter. D. Mignolo. 2017. Coloniality is Far from Over, and So Must Be Decoloniality. Afterall: A Journal of Art, Context and Enquiry. Volume 43.