Desain tanpa judul (2)

Mengenal Remy Sylado dan Sejarah Puisi Mbeling

Puisi tak selamanya harus indah. Adakalanya para sastrawan ingin mengungkapkan kejengkelan dan protes. Jika puisi liris identik dengan balutan kata yang indah, puisi non liris berlaku lain. Ia melepaskan diri dari kungkungan kaidah estetika penulisan yang ada.

Kali ini kita akan berkenalan dengan Remy Sylado, sastrawan kelahiran Makassar yang mempelopori sebuah istilah dan gerakan dalam dunia sastra pada 1970-an, yaitu puisi mbeling. Apa itu puisi mbeling?

Sebelum ada istilah mbeling, penyair W.S Rendra pernah mengatakan bahwa kemapanan budaya harus dibongkar dengan sikap urakan. Tapi bagi Remy, istilah yang lebih tepat bukanlah itu, melainkan dengan sikap mbeling, yang dalam bahasa Jawa berarti nakal atau kurang ajar. Ide besar mbeling di sini adalah untuk menanggapi kemapanan budaya yang berlaku pada masa itu. Kritik, kelakar dan sindiran menggunakan bahasa sehari-hari adalah ciri khas puisi mbeling. Salah satunya, coba intip satu bait di bawah ini:

 

Menyingkat Kata

karena
kita orang Indonesia
suka
menyingkat kata wr. wb.
maka
rahmat dan berkah Ilahi
pun
menjadi singkat
dan tak utuh buat kita.

 

Nah, mau tahu seperti apa kisah seluk-beluk lahirnya puisi mbeling ini? Yuk simak empat poin menarik ini untuk mengetahui kilas sejarahnya.

 

Bermula di Teater

Sebelum muncul sebagai istilah sastra, kata mbeling mulanya terdengar di seni teater, tepatnya di kelompok Dapur Teater 23761 yang didirikan Remy Sylado di Bandung. Benih gerakan ini mulai bergaung pada 1972 ketika ia mementaskan drama berjudul Genesis II.

Dalam pementasan teater itu Remy Sylado banyak menerima tanggapan mengenai penggunaan kata mbeling. Kata mbeling dirasa terlalu berani dan berkonotasi negatif. Gara-gara pementasan itu Remy diinterogasi polisi Bandung selama hampir dua minggu. Tapi berkat pementasan itu pula, makna kata mbeling tak melulu diasosiasikan dengan perilaku anarkis dan onar, melainkan juga cerdas dan bertanggung jawab.

 

Mbeling ke Ranah Sastra

Istilah mbeling kemudian beralih ke dunia sastra ketika Remy Sylado berkarir di majalah Aktuil. Masih pada tahun yang sama ketika Remy Sylado mementaskan drama Genesis II, Puisi Mbeling muncul sebagai salah satu rubrik di majalah tersebut. Ia sendiri yang mengelola rubrik itu. majalah Aktuil adalah majalah budaya populer yang punya banyak pembaca pada 1970an. Sejak itu pula istilah puisi mbeling kian populer dan menjadi peristiwa baru dalam dunia sastra Indonesia.

 

Fenomena Sosial dan Budaya di Bandung

Ketika istilah puisi mbeling muncul, Bandung (kota bermukim Remy Sylado) sering disebut sebagai kota para hippies-nya pulau Jawa. Para perupa mulai memenuhi tembok-tembok jalan dengan grafiti-grafiti. Mungkin anak-anak muda Bandung pada masa itu terpengaruh kaum hippies dari Amerika Serikat. Kita sering mendengar slogan “Make love not war” yang dilontarkan kaum hippies Amerika Serikat sebagai kritik perang di Vietnam.

Belum lagi kenakalan remaja, seks bebas dan lain-lain yang menjadi fenomena sosial dan budaya di kota Bandung pada 1970an. Bahkan lagu populer “San Francisco (Be Sure to Wear [Some] Flowers in Your Hair” dari Scott McKenzie diganti liriknya oleh anak-anak muda di kota Bandung menjadi:

 If you’re going to Bandung, be sure to wear some flowers in your hair.

 

Menginspirasi Generasi Muda

Majalah Aktuil sejatinya adalah majalah musik, budaya pop dan gaya hidup anak muda pada era 70an. Apa yang dikerjakan Remy Sylado ternyata menarik perhatian banyak penulis. Puisi mbeling menjadi sebuah gerakan. Secara tak langsung Remy Sylado mengajak anak-anak muda pada masa itu untuk menulis dan memperkenalkan bahwa sastra tak melulu “berat”. Ada ratusan sajak-sajak mbeling yang masuk meja redaksi. Penulis seperti Seno Gumira Ajidarma, Noorca M. Massardi, Yudhistira A.N.M. Massardi pernah mengirim sajak-sajak mbeling mereka ke majalah Aktuil.

Itu dia empat kilas sejarah menarik tentang puisi mbeling. Kalau menurutmu, puisi yang bagus itu seperti apa sih? Selain Remy Sylado, kita juga punya sastrawan lain yang juga gemar menulis puisi tanpa gaya liris. Ada yang bisa tebak siapa saja sastrawan itu? Yuk tonton Peta Sastra Indonesia episode 11 untuk berkenalan dengan mereka. Klik di sini untuk menonton ya!

empatcara

Empat Cara Menulis Puisi ala Joko Pinurbo

Kata siapa puisi harus dirangkai dengan kata-kata yang rumit? Melalui karya-karya Joko Pinurbo alias Jokpin, kita bisa tahu kalau ternyata puisi bergaya liris dapat dirangkai dengan perpaduan narasi jenaka dan ironi. Karya-karya Jokpin selalu punya warna dan keunikan tersendiri dalam puisi Indonesia.

Tak hanya dari gaya penulisan, Jokpin mengolah citraan obyek-obyek keseharian menjadi narasi puisi yang mengajak kita merenungkan sesuatu. Ia bisa saja membuat barang-barang “tidak cantik” di sekitarnya menjadi puisi yang indah dan bermakna. Puisi-puisi yang terbilang nyeleneh ini justru menghadirkan nilai refleksi yang menyentuh absurditas kehidupan sehari-hari. Nah, buat kamu yang gemar menulis puisi, yuk intip empat cara di bawah ini supaya tulisanmu bisa seperti Joko Pinurbo:

Berpuisi dari Benda dan Peristiwa Keseharian

Seperti Joko Pinurbo, kamu bisa mulai belajar menulis puisi berdasarkan rekaan pengamatanmu dari kehidupan sehari-hari. Misalkan dari ikan-ikan yang berenang di dalam akuarium atau telur-telur yang sedang duduk manis di dalam lemari pendingin atau sebuah peristiwa kibaran sarung.

Jokpin sangat piawai menyulap benda-benda biasa menjadi puisi. Intip saja karya-karyanya yang terkenal, tiga judul “Celana” dalam kumpulan puisi Celana (1996). Melalui tiga puisi tersebut, ia sekaligus menceritakan pencarian jati diri manusia. Menarik bukan? Ini adalah salah satu baitnya:

 

“Kalian tidak tahu ya,
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan?”

Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan,
“Ibu kausimpan di mana celana lucu
yang kaupakai waktu bayi dulu?”

(Sumber: “Celana 1”, Celana (1999)

 

Penggunaan Diksi yang Sederhana

Ketika menulis puisi, kita tak harus merangkai kata-kata rumit untuk menghasilkan keindahan. Pemilihan kata Jokpin yang sederhana sama sekali tidak mengurangi estetika dalam puisinya. Oleh karena itu, cobalah membuat puisi dengan kata-kata yang sederhana namun bermakna. Mulai saja menulis puisi dengan kata-kata yang memudahkanmu menggambarkan perasaan. Setelah itu, coba baca kembali karyamu dan pastikan pemilihan diksi yang dipakai sesuai dengan alur dan punya kecocokan komposisi dari bait ke bait.

Humor sebagai Sarana Menikmati Hidup

Jokpin membuat puisi liris dapat disampaikan dengan narasi yang menggelitik. Humor dalam puisi ini dipakai untuk menghibur dan mencairkan suasana. Tak sebatas itu, penggunaan humor dalam puisi juga bisa dijadikan cara penulis untuk menikmati hidup.

Di balik guyonan-guyonan tersebut, tentu tersirat cerita yang ingin disampaikan bukan? Maka itu, tak hanya menghibur, penggunaan narasi humor ternyata bisa dipakai sebagai permainan logika juga lho. Kamu bisa membaca salah puisi Jokpin terbaru yang berjudul Perjamuan Khong Guan (2020) yang terinspirasi dari kaleng biskuit legendaris. Lah!

Perbanyak Membaca dan Mendengar Puisi

Nah, cara terakhir yang tak kalah penting adalah jangan lupa untuk memperluas wawasan puisimu dengan banyak membaca dan mendengarkan puisi. Dengan begitu, kamu bisa memperkaya perbendaharaan kata, pemilihan diksi, sekaligus menemukan karaktermu sendiri dalam menulis puisi.

Tentu terlepas dari banyak membaca dan menulis, perbanyak juga menjelajahi bidang-bidang ilmu yang lain sehingga ada banyak hal menarik yang bisa kamu angkat ke dalam puisimu. Dan selama berpuisi, jangan lupa bersenang-senang ya!

Setelah baca cara singkat menulis ala Jokpin di atas, kita jadi tahu bahwa menulis dengan narasi sederhana yang jenaka juga bisa menghasilkan keistimewaan sendiri dalam puisi. Dengan sering menulis dan membaca, kamu juga bisa menghasilkan puisi sekeren Joko Pinurbo!

Selain Joko Pinurbo, kita juga punya sastrawan lain yang menulis puisi liris. Siapa saja sastrawan itu? Yuk tonton Peta Sastra Indonesia episode 10 untuk berkenalan.

 

ahmadthohari

Empat Fakta Menarik tentang Perjalanan Ahmad Tohari Menulis “Ronggeng Dukuh Paruk”

Apa yang kamu ketahui tentang peristiwa 30 September 1965? Selain menjadi peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia, tekanan politik kala itu sesungguhnya banyak mempengaruhi geliat sastra kita lho. Para sastrawan tidak bisa bebas berkarya dan bersuara tentang peristiwa 1965. Bayangkan saja jika berani mengkritik atau memberontak, bisa-bisa masuk penjara.

Tapi di balik ketatnya rezim Orde Baru, sastrawan satu ini berani bersuara dan mengangkat tema yang paling sensitif di masanya. Ia adalah Ahmad Tohari. Lewat salah satu karya monumentalnya, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), kita bisa merasakan suasana kehidupan sosial dan pergulatan politik pada tahun 1960-an. Nah, mau tahu seluk beluk perjalanan Ahmad Tohari ketika menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk? Yuk simak empat fakta menarik di bawah ini:

Pergumulan Ahmad Tohari Selama 15 Tahun 

Tahu nggak kalau ternyata butuh kurang lebih 15 tahun untuk Ahmad Tohari memantapkan diri menulis Ronggeng Dukuh Paruk. Saking seriusnya ia sampai meninggalkan pekerjaannya sebagai redaktur harian Merdeka di Jakarta. Waktu itu ia juga memutuskan untuk pulang ke kampungnya di Tinggarjaya, Banyumas, Jawa Tengah, untuk fokus menulis Ronggeng Dukuh Paruk. Selama proses menulis, ia mencoba mengingat kembali ingatan kolektif masa remajanya untuk dituangkan ke dalam novel. Salah satu pengalaman pahit Ahmad Tohari adalah ketika ia harus menyaksikan pembunuhan warga-warga kampungnya yang dituduh terlibat komunis.

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk

Sebelum akhirnya dirilis ke dalam satu novel pada tahun 2003, Ronggeng Dukuh Paruk ini mulanya diterbitkan secara berkala ke dalam tiga seri: Catatan Buat Emak (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985) dan Jentera Bianglala (1986). Tak hanya di Indonesia, novel ini ternyata juga diminati oleh pembaca sastra di luar negeri. Ronggeng Dukuh Paruk ini juga diterbitkan ke dalam beberapa bahasa asing di antaranya Jepang, Jerman, Belanda dan Inggris.

Lima Hari Bersama Tentara

Usai Ronggeng Dukuh Paruk diterbitkan, tepat pada tanggal 2 Juli 1986, kediaman Ahmad Tohari di Jakarta tiba-tiba didatangi oleh tentara. Ia kemudian dibawa ke Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB) untuk diinterogasi karena novelnya tersebut. Pemerintah merasa bahwa buku itu terlalu sensitif dan kritis pada masa itu. Ketika diinterogasi,  Ahmad Tohari lagi-lagi dituduh beraliansi dengan komunis. Akhirnya selama lima hari diinterogasi, Ahmad Tohari pun dibebaskan karena berhasil meyakinkan para tentara bahwa ia bukan komunis. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga ikut membantunya kala itu.

Dari Buku sampai Ke Layar Lebar

Setahun setelah dirilisnya seri pertama yaitu Catatan Buat Emak (1982), buku ini langsung diadaptasi oleh sutradara Yazman Yazid menjadi film Darah dan Mahkota Ronggeng (1983).  Film ini pun dibintangi oleh Ray Sahetapy dan Enny Beatrice.

Kepopuleran Ronggeng Dukuh Paruk tidak berhenti di situ. Pada tahun 2011, buku ini kembali diadaptasi ke layar lebar oleh sutradara Ifa Isfansyah dengan judul Sang Penari (2011). Dibintangi oleh Prisia Nasution dan Oka Antara, film ini berhasil meraih sepuluh nominasi dari Festival Film Indonesia 2011 dan memenangkan empat Piala Citra. Keren bukan?!

Nah itu dia empat fakta menarik perjalanan Ahmad Tohari ketika menulis Ronggeng Dukuh Paruk. Nggak cuma Ahmad Tohari, kita juga punya sastrawan-sastrawan lain yang harus mengalami pahitnya rezim Orde Baru dan menjalani masa-masa itu dengan sikap realistis. Mau tahu siapa saja sastrawan itu? Yuk tonton peta sastra episode 08 untuk mencari tahu! Klik di sini untuk menonton.