Sanggarbambu: Seni dari Rakyat untuk Rakyat

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Sanggarbambu berdiri pada 01 April 1959 di Yogyakarta, dipelopori oleh Kirjomulyo dan Soenarto Pr., bersama sejumlah seniman muda. Nama “Bambu” dipilih karena bambu adalah lambang kesederhanaan sekaligus kekuatan. Ia bisa tumbuh di mana saja, berguna bagi banyak hal, serta menjadi simbol perjuangan rakyat dalam wujud bambu runcing pada masa revolusi. Semangat itu pula yang dihidupi Sanggarbambu: sederhana, teguh, dan berpihak pada rakyat.

Sejak awal, Sanggarbambu hadir bukan sekadar sebagai sanggar seni rupa. Ia berkembang menjadi ruang lintas bidang, tempat pelukis, pematung, sastrawan, musisi, hingga teaterawan bertemu, berkarya, dan berdialog. Para anggotanya hidup dalam suasana paguyuban. Mereka tinggal bersama, berdiskusi, melukis, bermain musik, hingga merancang pertunjukan. Di sana, seni menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Nama-nama yang pernah bergiat di Sanggarbambu, di hari ini dikenal luas di dunia seni Indonesia. Di antaranya adalah Mulyadi W., Syahwil, Wardoyo, Danarto, Putu Wijaya, hingga Arifin C. Noer. Bahkan, tokoh-tokoh lain seperti Emha Ainun Najib dan Ebiet G. Ade juga pernah bersentuhan dengan atmosfer kreatif sanggar ini. Jaringan persahabatan yang terjalin membuat Sanggarbambu menjadi ladang tumbuhnya banyak seniman besar.

Yang menjadikan Sanggarbambu istimewa adalah visinya untuk mendekatkan seni kepada masyarakat. Mereka tidak membatasi diri hanya pada galeri atau ruang eksklusif, melainkan giat menyelenggarakan pameran keliling. Rombongan Sanggarbambu berkeliling dari kota kecil ke kota kecil di Jawa dan Madura, membawa lukisan, patung, dan pertunjukan. Mereka juga mengadakan drama arena, lomba penulisan seni, ceramah kebudayaan, hingga konser musik sederhana. Aktivitas ini bukan hanya pertunjukan, melainkan juga pendidikan seni yang terbuka bagi siapa saja.

Baca juga: Di Balik Pameran “Adu Manis”

Salah satu capaian penting Sanggarbambu adalah pameran di Balai Budaya Jakarta pada tahun 1961. Peristiwa itu menjadi tonggak karena sanggar yang lahir dari Yogyakarta mampu menembus panggung seni ibu kota. Pada kesempatan lain, mereka juga bekerja sama dengan tokoh besar seperti WS Rendra, menghasilkan pentas drama yang mengguncang dunia teater kala itu.

Namun, lebih dari sekadar prestasi, Sanggarbambu menghidupi nilai persaudaraan. Di dalamnya, setiap anggota bebas berekspresi sekaligus saling menghargai. Soenarto Pr., salah satu pendiri, pernah berujar: “Sanggarbambu lahir tanpa rencana, mbruyul begitu saja. Namun kami percaya seni harus menjembatani seniman dan masyarakat.” Kalimat itu menggambarkan filosofi dasar sanggar: seni bukan hanya milik kalangan terbatas, melainkan milik rakyat luas. 

Baca juga: Sandiwara, Identitas, dan yang Liyan dalam “Theatre and the Other Self”

Kini, setelah lebih dari setengah abad, Sanggarbambu dikenang sebagai tonggak penting perjalanan seni Indonesia. Ia menunjukkan bahwa kesenian bukan hanya urusan estetika, tetapi juga sarana perjuangan, pendidikan, dan hiburan. Dari Yogyakarta, Sanggarbambu menorehkan jejak bahwa seni dapat menjadi ruang persaudaraan, tempat bertumbuhnya seniman, dan jembatan yang menghubungkan kreativitas dengan kehidupan masyarakat.

Jejak-jejak karya seniman Sanggarbambu dapat kita telusuri lagi dalam pameran Di Sini Aku Temukan Kau: Karya dan Arsip Sanggarbambu, yang akan diselenggarakan pada 04 Oktober hingga 07 Desember 2025 di Galeri Salihara.  Beli tiket di sini.

 

Sumber foto: Majalah Minggu Pagi, Nomor 41 Tahun XVI, 12 Januari 1964.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter