Abdul Hadi W.M.
Yang Remang, Yang Bernilai

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Sebagai penyair Abdul Hadi W.M. (24 Juni 1946–19 Januari 2024) dikenal sebagai penyair sufistik. Tetapi, sebenarnya, itu adalah perkembangan yang lebih kemudian. Sajak-sajak awalnya melanjutkan—jika bukan memberi warna lain—tradisi puisi lirik yang sebelumnya telah diperkokoh oleh Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Tilikannya terhadap alam (laut dan alam dan budaya Madura, misalnya) membuat sajak-sajaknya terasa menonjolkan lanskap alam yang sebelumnya tidak digarap oleh para penyair lirik sebelumnya.

Sapardi Djoko Damono dalam sebuah ulasannya tentang buku puisi Abdul Hadi Laut Belum Pasang (1969) menulis bahwa puisi-puisi Abdul Hadi “bermula dengan keremang-remangan dan berakhir pada keremang-remangan; suasana yang remang-remang yang muncul dari alam, alam yang lahir dari suasana yang remang-remang.” Jika kita bersepakat pada pendapat Sapardi, maka pada sajak Abdul Hadi yang menarik perhatian adalah sesuatu yang tidak jelas benar, antara ini dan itu—semacam suasana kebimbangan dalam sajak-sajak Goenawan Mohamad. 

Atau, disonansi yang kelewat kerap dalam satu bait yang membuat bangun puisinya secara keseluruhan kehilangan fokus dan kedalaman.

Tentu saja, yang remang-remang itu bukanlah yang gelap. Pada tampakan yang paling nyata, ia masih menampilkan panorama benda-benda atau bentang alam. Aku lirik puisi-puisi Abdul Hadi selalu kesulitan mengenali sesuatu dari pemandangan di depannya. Dalam sajak “Amsal Seekor Kucing”, rumusannya begini: “Selalu tak dapat kulihat kau dengan jelas/ Padahal aku tidak rabun dan kau tidak pula bercadar.” Yang kabur di situ pada akhirnya yang menimbulkan pesona.

Lebih dari itu, Abdul Hadi memasang penilaian yang kadang-kadang melampaui penampakan sesuatu dalam puisi. Terutama, ketika ia menarik penilaiannya kepada pernyataan filosofis atau menguncinya dengan satu dalil agama yang diambil dari Kitab Suci. Pernyataan filsafat atau politik itulah yang kemudian membuat sajak-sajak Abdul Hadi kehilangan spontanitas pengucapannya. Ia tersendat, misalnya, oleh pemikiran atau komentar sosial yang pada satu masa menjadi menu menarik puisi Indonesia juga.

Pada akhirnya Abdul Hadi mengerjakan semuanya untuk puisi-puisinya itu. Bukan hanya puisi suasana, sajak sufistik, tetapi juga puisi protes atau renungan kepada khazanah budaya Jawa yang menjadi akarnya. Ia berusaha menjadi penyair yang lengkap—sebagaimana bidang pekerjaan yang dia geluti selama ini. Begitulah, selama hidupnya, Abdul Hadi menjalani profesi yang beragam. Selain sebagai penyair, ia juga menulis esai, pernah bekerja sebagai wartawan, anggota Dewan Kesenian Jakarta, redaktur, kurator dan dosen. Pada Jumat, 19 Januari lalu ia berpulang.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter