arsuka

Nirwan Ahmad Arsuka
(05 September 1967—06 Agustus 2023)

Nirwan Ahmad Arsuka adalah salah satu penulis esai terbaik Indonesia. Dengan suara yang khas ia bersoal jawab dengan sastra, teater, sinema, seni rupa, filsafat dan ilmu pengetahuan.

Lulus dari Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ia semakin giat memasuki pergaulan kesenian-kebudayaan di berbagai kota di Jawa dan luar Jawa. Ia juga ikut mengembangkan jejaring dan institusi, antara lain dengan menjadi redaktur lembaran budaya Bentara di harian Kompas dan kurator di Bentara Budaya Jakarta. Buku kumpulan esainya adalah Percakapan dengan Semesta (2015), Semesta Manusia (2018), dan Two Essays (terjemahan, 2015).

Ia mendirikan Pustaka Bergerak Indonesia, yang mengembangkan komunitas baca di berbagai pelosok Nusantara. Bersama Pustaka bergerak, ia membawa buku-buku dengan perahu, kuda, gerobak, dan sarana apa saja. Ia tidak percaya bahwa masyarakat Indonesia tidak gemar membaca. “Masalahnya ialah tidak ada bacaan yang bisa mereka jangkau,” katanya sering kali. Upaya ini mendapat apresiasi sangat baik dari berbagai pihak, di dalam dan luar negeri. Misalnya, ia dan Pustaka Bergerak Indonesia tampil dalam Istanbul Biennial ke-17 (2022).

Nirwan Ahmad Arsuka adalah sahabat bagi Komunitas Salihara. Ia tidak jemu-jemu memberikan usul, kritik dan semangat kepada kami.

Selamat beristirahat, Kawan.

 

Sumber foto: suara.com/Pebriansyah Ariefana

Helatari 2023: Menilik Arsip Bali Lampau Lewat Koreogreafi Wayan Sumahardika

Jakarta, 20 Juni 2023 – Salah satu peserta Undangan Terbuka Wayan Sumahardika (Bali) telah mementaskan pertunjukan tari The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance di Teater Salihara Sabtu (17/06) dan Minggu (18/06) lalu. Pentas tari ini membawa penonton menikmati tarian Igel Jongkok karya I Ketut Marya. The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance adalah perkembangan lain dari proyek repertoar-arsip Squatting & Dance yang mencoba menyingkap konstruksi estetis dan politis laku jongkok dalam hubungannya dengan lanskap repertoar-arsip pada panggung tari/pertunjukan serta koreografi sehari-hari.

Wayan Sumahardika sebagai sutradara menjadikan Igel Jongkok dari arsip Bali 1928 sebagai sumber inspirasi kekaryaannya dan nyawa utama dari pertunjukan The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance.  Arsip tersebut memperlihatkan tarian Igel Jongkok yang dibawakan oleh I Wayan Sampih yang ditampilkan di proyektor. Penonton disajikan dengan fragmen pembuka, menampilkan seorang penari menirukan gerakan tari yang sama persis ditampilkan melalui proyektor. Dalam video yang disorot proyektor tersebut adalah sosok penari I Wayan Sampih. 

Tidak hanya mempelajari tarian dari sisi kesejarahannya, pementasan yang dipandu oleh tiga orang penari; Agus Wiratama, Komang Tri Ray Dewantara, dan Jacko Kaneko mengajak penonton untuk turut mencoba mempelajari dasar dari tarian ini yakni berjongkok. Pertunjukan yang memanfaatkan partisipasi penonton secara langsung menjadi gimik yang segar. Desy Arsyati; seorang karyawan swasta mengatakan bahwa pertunjukan ini tidak hanya menarik dan menghibur namun juga mengedukasi,

Penonton mempelajari dasar dari Igel Jongkok dipandu oleh penariDok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

Penonton mempelajari dasar dari Igel Jongkok dipandu oleh penari Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

 

“Kemasan pertunjukan yang berbeda, namun menarik, menghibur, dan juga mengedukasi. Penyampaian sejarah dibawakan dengan alur cerita yang apik dan dibalut dengan guyonan lucu. Ditambah pula dengan memberikan kesempatan audiens untuk ikut mencoba Igel Jongkok, membuat audiens lebih mengerti bahwa tarian ini memiliki teknik yang cukup sulit dan membutuhkan waktu untuk menguasai.”

Wayan Sumahardika juga berharap lewat pertunjukan ini ia dan tim dapat memberikan penonton sebuah ruang yang dapat dijelajahi sembari bermain dan berimajinasi lewat praktik kerja arsip dan seni, “Melalui pertunjukan ini, kami menawarkan penonton ruang jelajah untuk bermain dan berimajinasi di antara praktik kerja arsip dan repertoar seni. Kami ingin mengajak penonton untuk bersama-sama memaknai kembali ekspresi komunal tari dalam tradisi masyarakat serta konteks kesejarahannya yang tak lepas dari tegangan estetis dan politis.”

Selain pertunjukan Wayan Sumahardika, Helatari Salihara masih mengadakan pertunjukan hingga akhir bulan Juni ini yang bisa disaksikan di Teater Salihara. Pertunjukan terakhir dalam rangkaian Helatari yang masih dapat disaksikan adalah Tuti In The City (Yola Yulfianti) yang seluruh informasi mengenai pemesanan tiket dan jadwal pentas bisa dilihat di tiket.salihara.org.

 

Tentang Penampil

Wayan Sumahardika adalah penulis, sutradara dan pembuat teater kelahiran Denpasar, Bali, 1992. Ia menjadi pendiri Teater Kalangan, sebuah kolektif lintas disiplin pertunjukan berbasis di Bali. Praktik artistiknya banyak bergerak pada persimpangan teater, tari, ragam seni, laku sehari-hari sebagai studi budaya melalui pendekatan site-specific, repertoar-arsip, dan spekulatif. Karya-karyanya telah dipentaskan, di antaranya The (Famous) Squatting Dance (2022), Lelintasan Gering dalam 33 Diorama (film-tari) (2019-2020), dan Joged Adar, Kekasihmu dan Kesibukan Melupakannya (teater-tari) (2018). Saat ini ia juga bergiat dalam perkembangan riset artistik pertunjukan melalui Mulawali Institute.

 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

Helatari 2023
Bermain dengan Gerak dan Tari dalam Budi Bermain Boal

Jakarta, 08 Juni 2023 – Potensi yang dimiliki sebuah pertunjukan seni baik itu tari, musik, dan teater sangatlah luas. Ia bukan sekadar media hiburan namun bisa menjadi alat untuk menyampaikan kritik maupun pesan yang sulit terucap. Begitu juga yang dilakukan oleh oleh koreografer asal Yogyakarta  Megatruh Banyu Mili. Pada pertunjukan tari Budi Bermain Boal karya Megatruh yang ditampilkan pada 03 dan 04 Juni lalu, mengangkat tentang pendidikan sebagai isu utamanya.

Koreografi dalam pertunjukan Budi Bermain Boal menampilkan tiga penari (Megatruh, Putri, dan Widi) mengenakan seragam Sekolah Dasar (putih-merah) dengan memanfaatkan berbagai atribut yang lazim ditemukan dalam lingkungan sekolah seperti kursi, buku gambar, sepatu, dan kertas, serta pensil. Tarian ini mengajak ratusan mata penonton untuk mengenang kembali bagaimana sekolah membentuk kepribadian murid-muridnya melalui peraturan-peraturan yang diseragamkan dan diwujudkan dalam koreografi dengan aksi teatrikal.

Megatruh menilai sistem pendidikan yang ia alami menerapkan peraturan absolut tanpa mempertimbangkan daya kreatif dan tujuan dari proses belajar mengajar. Dalam mencari inspirasi atas tarian ini, Megatruh mengumpulkan berbagai pengalaman orang yang digabung dengan pengalaman pribadinya. Ia juga menelaah karya-karya dari Augusto Boal sebagai tokoh teater yang ia gunakan namanya untuk pertunjukan ini.

Budi Bermain Boal yang dipentaskan di Teater SaliharaDok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

Budi Bermain Boal yang dipentaskan di Teater Salihara Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

 

“…inspirasi karya ini adalah karya-karya dari Augusto Boal sebagai pemrakarsa teater kaum tertindas. Di mana teater ia upayakan menjadi media untuk bersuara para kaum-kaum yang selama ini tertindas oleh peran-peran penguasa. Ia selalu memberikan sudut pandang yang berbeda atas sebuah sistem yang ada untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi orang-orang di sekitarnya yang tertahan.”

Tidak hanya menampilkan tarian, interaksi dengan penonton pun juga ditunjukkan dalam pentas tari ini. Para penonton diajak melakukan koreo sederhana dan menyenangkan yang dipandu oleh Widi dan Putri sebagai penari. Megatruh juga berorasi sekaligus membagikan sebuah lembar jawaban yang mengajak penonton untuk mengisi kisah-kisah mereka terkait peraturan-peraturan di lingkungan pendidikan yang pernah penonton alami semasa di bangku sekolah.

Pesan dari Budi Bermain Boal relevan dengan pengalaman pendidikan  yang dialami oleh para penonton terutama Asmara Abigail (aktris) yang merasa pertunjukan ini bisa dirasakan oleh seluruh anak Indonesia terutama mengenai trauma-trauma yang terjadi dari masa TK hingga SMA terkait peraturan sekolah,

“Jujur lumayan merinding karena ini kayak trauma-trauma masa kecil dari TK sampai SMA dan aku rasa seluruh anak Indonesia bisa relate dengan karya ini. Semoga setelah Budi Bermain Boal Kita bisa mengucapkan selamat tinggal kepada Budi.”

Selain Budi Bermain Boal yang dibawakan oleh Megatruh Banyu Mili, Helatari Salihara masih mengadakan pertunjukan hingga akhir bulan Juni ini yang bisa disaksikan di Teater Salihara. Pertunjukan tersebut antara lain adalah: The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance (Wayan Sumahardika), dan Tuti In The City (Yola Yulfianti) yang seluruh informasi mengenai pemesanan dan jadwal pentas bisa dilihat di tiket.salihara.org.

 

Tentang Penampil

 Megatruh Banyu Mili adalah adalah penari dan koreografer asal Yogyakarta. Megatruh mulai aktif terlibat dalam dunia seni pertunjukan pada 2010 bersama Bengkel Mime Theatre dan Teater Garasi/Garasi Performance Institute. Sejak 2018, Megatruh berfokus menciptakan karya yang berangkat dari isu tentang pendidikan; baik dalam pendidikan formal maupun di lingkungan dan keluarga. Karya-karyanya antara lain yaitu Space of Silence (2018), Aku Siapa (2019), Nama Saya Budi (2020), Ini Budi (2020), Ini Bapak Budi (2021) dan Budi Bermain Bola (2022). Pada 2021 bersama Banyu Mili Art Performance, Megatruh membuat platform bertajuk Ruang Menari: Festival Virtual Gerak dan Tari untuk koreografer muda mempresentasikan karya film tari.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

tiket.salihara.org_event_helatari-salihara-2023_

Helatari 2023
Koreografi Tari dengan Isu Pendidikan, Norma, dan Budaya

03-25 Juni 2023
Teater Salihara |Rabu, Sabtu, dan Minggu |16:00 dan 20:00 WIB
Penampil: Megatruh Banyu Mili, Annastasya Verina, Wayan Sumahardika, Olé Khamchanla, Yola Yulfianti

Jakarta, 22 Mei 2023 – Komunitas Salihara telah menyelenggarakan Salihara Jazz Buzz dan Helateater pada awal 2023 lalu, pada Juni nanti akan hadir kembali festival mini bertajuk Helatari. Acara ini menjadi penutup dari rangkaian program dengan konsep Undangan Terbuka pada 2023; setelah sebelumnya kami juga melakukan pencarian talenta-talenta baru di bidang musik (Salihara Jazz Buzz) dan teater (Helateater). Helatari adalah festival seni tari kontemporer dua tahunan yang menampilkan karya-karya tari baru, yang berangkat dari khazanah tradisi tari Nusantara maupun dunia.

Tahun ini kami menampilkan tiga koreografer yang lolos melalui proses seleksi Undangan Terbuka. Tiga koreografer tersebut adalah Megatruh Banyu Mili, Annastasya Verrina, dan Wayan Sumahardika. Tiga koreografer ini memiliki kekuatannya masing-masing dan membawakan isu-isu yang relevan dengan masa kini seperti pendidikan, hingga batasan-batasan norma yang masih terlihat abu-abu di masyarakat

Kurator Tari Komunitas Salihara, Tony Prabowo mengungkapkan dasar kekaryaan dari para koreografer terpilih di tahun ini, “Konsep koreografi yang disuguhkan oleh koreografer Megatruh dan Verina merupakan upaya menerjemahkan sebuah narasi tentang simpanan ingatan masa lalu dalam menjalankan aturan-aturan mengenai kedisiplinan, tentang norma, tentang apa yang dianggap baik-buruk.”

Wayan Sumahardika mengangkat konsep ‘repertoar-arsip’ sebagai ide dasarnya, yang terinspirasi video arsip Bali 1928 dengan menggunakan materi arsip karya tari Igel Jongkok oleh maestro penari Bali, I Ketut Marya. Sebagai karya tari monumental di jamannya, Igel Jongkok menjadi sumber gagasan untuk menguraikan percakapan jongkok dalam zaman kolonial serta persepsi masyarakat tentang jongkok pada era sekarang. ”

Kelompok tari dan koreografer terpilih akan mempersembahkan karya mereka di Teater Salihara dari 03 – 25 Juni 2023. Khusus di pertunjukan ini, para penonton dapat membeli “Tiket Terusan”; yakni sebuah sistem di mana pembeli cukup membayar satu kali untuk dapat menikmati keseluruhan pementasan Helatari 2023 dengan harga Rp300.000,- untuk lima (5) pertunjukan. Bagi yang ingin membeli terpisah, tiket dapat dibeli seharga Rp75.000,- (umum) dan Rp50.000,- (pelajar). Pembelian dapat dilakukan melalui tiket.salihara.org. Selain menampilkan tiga koreografer dari Undangan Terbuka, Komunitas Salihara juga menampilkan pertunjukan tari karya Olé Khamchanla (Prancis) dan Yola Yulfianti (Indonesia).

Berikut adalah jadwal serta sinopsis dari pertunjukan Helatari 2023:

1. Budi Bermain Boal
Koreografer: Megatruh Banyu Mili ( Yogyakarta).
Sabtu, 03 Juni 2023, 20:00 WIB | Minggu, 04 Juni 2023, 16:00 WIB
Judul dalam pertunjukan ini diambil dari dua penanda peristiwa dalam pendidikan melalui sudut pandang yang berbeda. Premis karya ini adalah bagaimana sebuah idiom–sebagai bagian dari metode pendidikan–tanpa disadari memengaruhi pandangan dan perilaku sehari-hari. Premis ini kemudian diurai melalui kerja interdisiplin yang mengekstraksi tubuh (tari) dengan pendekatan teater ala Augusto Boal, sehingga memberi dimensi lain pada karya.
Sejak 2018 Megatruh mendalami tentang berbagai kasus dalam pola pendidikan. Hampir semua ruang pendidikan, mulai dari pendidikan formal hingga keluarga memiliki kasus yang sama, yaitu adanya sosok penguasa yang melakukan penyeragaman atau yang dalam konteks karya ini akan disebut sebagai pem-budi-an. Pendidikan dijadikan permainan bagi yang berkuasa seperti layaknya sebuah bola. Budi bermain bola.

2. Waktu Ku Kecil, Tidak Besar
Koreografer: Annastasya Verina (Surakarta).
Sabtu, 10 Juni 2023, 20:00 WIB | Minggu, 11 Juni 2023, 16:00 WIB
Karya ini memperlihatkan bagaimana gagasan pekarya mengkoreografi pertunjukan sebagai perluasan atas praktik koreografi normatif. Waktu Ku Kecil, Tidak Besar secara berani mempertunjukan kualitas gerak yang bukan berangkat dari teknik tari secara umum–yaitu baris-berbaris (PBB), hingga pilihan pendekatan artistik yang diambilnya. Karya ini lantas memainkan ketegangan antara realita sosial dan dramaturgi panggung yang memberi kesempatan bagi penonton untuk menafsir secara luas.

Karya ini mengajak untuk merefleksikan kembali norma-norma, serta membuka ruang dialog dan pemikiran kritis tentang asal-usul, implikasi, dan relevansi norma-norma dalam kehidupan sehari-hari. Pemilihan PBB sebagai konsep pertunjukan dipilih sebagai alat untuk mengeksplorasi dalam penyampaian dan perbincangan mengenai “norma” selama pertunjukan.

3. The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance
Koreografer: Wayan Sumahardika (Bali)
Sabtu, 17 Juni 2023, 20:00 WIB | Minggu, 18 Juni 2023, 16:00 WIB
Karya ini menawarkan pemaknaan atas relasi tradisi, kesejarahan (arsip) dan proses artistik yang menantang tatapan atas karya tari Bali dalam dunia kontemporer. Pekarya secara jelas mengambil posisi atas praktiknya, sehingga mampu memiliki kejernihan dalam menjelaskan gagasan melalui konsep pertunjukan dan berani mencoba tawaran pemanggungan yang berbeda. Hal ini juga sekaligus memperlihatkan bagaimana karya tersebut mampu menipiskan sekat yang mungkin ada di antara praktik kerja riset dengan seni itu sendiri, yaitu pekarya secara apik menjalin keduanya sebagai satu praktik riset-artistik yang tidak terpisah dan terus bertumbuh secara konsisten.

The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance adalah perkembangan lain dari proyek repertoar-arsip Squatting & Dance oleh Wayan Sumahardika yang mencoba menyingkap konstruksi estetis dan politis laku jongkok dalam hubungannya dengan lanskap repertoar-arsip pada panggung tari/pertunjukan serta koreografi sehari-hari.

4. Cercle
Koreografer: Olé Khamchanla (Laos)
Rabu, 07 Juni 2023, 20:00 WIB
Dalam Cercle, Olé Khamchanla mempertanyakan esensi tariannya, mulai dari asal-usulnya dalam hip hop hingga hibriditasnya saat ini dengan tarian kontemporer dan tarian tradisional Thailand dan Laos. Cercle adalah pertunjukan tunggal yang menunjukkan persimpangan budaya Barat dan Timur, dari gerakan jalanan dan seni klasik. Pertunjukan ini juga menyajikan ruang yang intim di dalam dan zona eksplorasi di luar, lingkaran ini juga membangkitkan universalitas tertentu yang dapat dibaca dalam gerakannya, dan gerakan terus-menerus yang mendorongnya untuk mencari mekanisme baru. Pertunjukan ini kuat dan puitis ketika koreografer berbagi kisah intim dengan kita yang menjadi bagian dari pencarian artistik dan pribadinya.

5. Tuti in The City
Koreografer: Yola Yulfianti (Jakarta)
Penampil: DANSITY X LASTEAM689
Sabtu, 24 Maret 2023, 20:00 WIB | Minggu, 25 Maret 2023, 16:00 WIB
Tuti in The City adalah karya Yola yang terinspirasi oleh ruang-ruang kota yang bersifat transformatif. Realitas kota Jakarta yang sangat kompleks selalu mengalami disjungsi peristiwa dari gerak keseharian tindakan masyarakatnya. Keadaan inilah yang mendorong Yola untuk melakukan proses dan melatih para penarinya di ruang publik.

Yola tidak khusus melatih teknik tari di dalam ruangan. Ia membutuhkan interaksi atas tubuh penari dan tubuh-tubuh lain di sekitarnya. Dalam upaya merealisasikan konsep artistiknya, Yola juga bekerja sama dengan komunitas hip-hop Lastream689. Yola menyatukan karya ini dengan salah satu komunitas tari yang tumbuh di Jakarta dan berlatih di ruang publik, perpaduan bentuk koreografi kolektif dari proses hingga pementasan, diharapkan bisa memberikan perspektif baru bagi penontonnya.

Tentang Penampil

Megatruh Banyu Mili adalah adalah penari dan koreografer asal Yogyakarta. Megatruh mulai aktif terlibat dalam dunia seni pertunjukan pada 2010 bersama Bengkel Mime Theatre dan Teater Garasi/Garasi Performance Institute. Sejak 2018, Megatruh berfokus menciptakan karya yang berangkat dari isu tentang pendidikan; baik dalam pendidikan formal maupun di lingkungan dan keluarga. Karya-karyanya antara lain yaitu Space of Silence (2018), Aku Siapa (2019), Nama Saya Budi (2020), Ini Budi (2020), Ini Bapak Budi (2021) dan Budi Bermain Bola (2022). Pada 2021 bersama Banyu Mili Art Performance, Megatruh membuat platform bertajuk Ruang Menari: Festival Virtual Gerak dan Tari untuk koreografer muda mempresentasikan karya film tari.

Annastasya Verina adalah penari dan koreografer kelahiran Jakarta, 2000. Ia menempuh pendidikan di Jurusan Tari Institut Seni Indonesia Surakarta. Verina mulai aktif berlatih menari sejak 2015 dan telah terlibat dalam produksi karya beberapa seniman. Saat ini, Verina mengembangkan praktik artistiknya di Surakarta melalui kelas intensif di Studio Plesungan. Karya tari dan film yang ia ciptakan di antaranya adalah Nyorog (2021), Habituasi (2021) dan Waktu Ku Kecil, Tidak Besar (2022).

Wayan Sumahardika adalah penulis, sutradara dan pembuat teater kelahiran Denpasar, Bali, 1992. Ia menjadi pendiri Teater Kalangan, sebuah kolektif lintas disiplin pertunjukan berbasis di Bali. Praktik artistiknya banyak bergerak pada persimpangan teater, tari, ragam seni, laku sehari-hari sebagai studi budaya melalui pendekatan site-specific, repertoar-arsip, dan spekulatif. Karya-karyanya telah dipentaskan, di antaranya The (Famous) Squatting Dance (2022), Lelintasan Gering dalam 33 Diorama (film-tari) (2019-2020), dan Joged Adar, Kekasihmu dan Kesibukan Melupakannya (teater-tari) (2018). Saat ini ia juga bergiat dalam perkembangan riset artistik pertunjukan melalui Mulawali Institute.

Olé Khamchanla adalah koreografer asal Laos, ia bersinggungan dengan tarian hip-hop pada 1990, kemudian membentuk tarian yang memiliki unsur kontemporer dan kapoeira. Sedikit demi sedikit, ia menemukan gaya dan cara menari yang menjadi miliknya. Di perusahaan A’CORPS (1997-2011), ia turut mengerjakan beberapa pertunjukan yang menunjukkan kreativitas dan keunikan dari tariannya. Pada 2006 ia pergi ke Laos dan Thailand untuk belajar tarian tradisional dan menciptakan karya solo pertamanya. Karya-karyanya banyak menggali pertanyaan-pertanyaan tentang manusia, asal-usulnya, inspirasinya, arahnya, juga interaksinya dengan yang lain. Untuk menemukan bentuk-bentuk karya tersebut, Kham menggali dan memperkaya koreografinya melalui kembali pada sumber atau akar keberadaan kita.

Yola Yulfianti adalah penari dan koreografer yang kerap bekerja bersama dengan koreografer dan sutradara dari dalam maupun luar negeri. Ia pernah mendapat penghargaan Pearl dalam ajang Dance Film Internasional di Berlin, Jerman. Ia melanjutkan studi doktoral program Pengkajian dan Penciptaan Seni di ISI Surakarta (2014-2017) dengan karya berjudul Kampung Melayu-Pasar Senen PP. Saat ini ia adalah salah satu anggota komite tari Dewan Kesenian Jakarta periode 2015-2018 dan sebagai Ketua Komite Tari periode 2020-2023.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center
Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.
___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

Menyingkap Belenggu Pendidikan Bersama Budi

Penulis: Lestari dan Amos

 

Pada ruang yang gelap itu, bukan hanya saya dan penonton lain saja yang duduk untuk menyaksikan “Budi Bermain Boal”. Akan tetapi, dua orang berpakaian atasan putih dan bawahan merah di arena pertunjukan juga  duduk tegak di bangku kayu. Mereka adalah laki-laki dan perempuan yang mengenakan seragam SD. Gaya rambut dikuncir dua si perempuan dan sehelai rambut yang menjuntai di samping telinga kanan lelaki agak mengecoh saya untuk memandang mereka sebagai bocah.

Bocah-bocah itu kemudian tidak berdiam diri duduk saja. Tangan-tangan mereka mulai bergerak menarasikan frasa-frasa koreografi. Kedua tangan bocah-bocah itu diangkat lurus ke atas, ke depan tubuh, lalu dilipat di depan dada seakan tangan mereka ditopang meja. Tubuh kedua bocah itu juga condong ke depan ketika tangan dilipat, seperti siswa-siswi yang mencoba memperhatikan guru dengan lebih jeli. Tidak hanya tubuh mereka yang berupaya menceritakan suatu narasi, tetapi wajah mereka juga berusaha bercerita dengan ekspresi senyum yang disunggingkan kala tubuh mereka condong ke depan. Namun, senyum mereka serupa senyum yang janggal, karena terlihat hanya bibir yang berekspresi. Sementara, mata mereka hanya menatap kosong.

Frasa-frasa koreografi karangan Megatruh Banyu Mili ini tidak ingin menarasikan masa kecil bahagia di bangku Sekolah Dasar. Mulai dari kejanggalan dalam fragmen awal pertunjukan, justru rangkaian koreografi di atas panggung ingin mengungkap bagaimana kuasa tersebar, terselip, dan bersembunyi di ruang-ruang pendidikan formal sejak kita berusia enam tahun. Terlebih, bagaimana kuasa itu menubuh dalam diri kita hingga mengubah laku kita serupa robot. Tulisan ini ingin mengurai bagaimana kuasa terselip, menempel, sampai menubuh ke dalam diri kita ketika duduk di bangku SD.

Kejanggalan pada fragmen awal semakin terasa karena narasi koreografi di atas diulang berkali-kali, membuat bocah-bocah itu mewujud seperti robot. Namun, gerak yang tak berkesudahan itu segera diisi dengan adegan lain. Seorang lelaki berpakaian seragam SD turun dari area penonton dan berjalan menuju panggung. Ia mendekati sebuah papan persegi yang tergantung di sisi kiri belakang panggung. Pada permukaan papan tersebut ada goresan alat tulis yang membentuk gambar panorama alam imajinasi umum bocah-bocah kecil: dua gunung menjulang dengan satu matahari di tengah, dua petak sawah, dan satu ruas jalan.

Lelaki tersebut mengeluarkan alat tulis berwarna merah, lalu mewarnai dua petak sawah. Kemudian, ia beralih ke warna kuning dan mewarnai lembah gunung beserta kedua pucuknya. Gambar matahari ia isi dengan warna hijau. Terakhir, ia menuang goresan warna hijau pada gambar ruas jalan.

Tiba-tiba, lelaki itu melakukan adegan yang tak kalah janggalnya dari adegan dua bocah di awal tadi. Lelaki itu mengambil kursi yang diduduki bocah perempuan dan meletakkannya di sebelah perempuan. Lalu, ia memeluk tubuh perempuan, menggendongnya, dan membawa tubuh itu ke depan papan. Bentuk dan laku tubuh perempuan masih tetap sama persis seperti ketika ia duduk di bangku: lutut ditekuk dan tangan bergerak. Lelaki itu seolah membawa robot yang tangannya bergerak kaku.

Kemudian, ia meletakkan tubuh perempuan, mencoba membungkukkan tubuh itu hingga tangannya menyentuh lantai, dan punggungnya menghadap ke atas. Sang lelaki mengangkat salah satu kakinya ke atas punggung bocah perempuan, lalu yang satunya lagi, dan berdiri tegak di atas punggung perempuan itu. Sembari ia naik ke atas punggung, tubuh saya ikut bergetar dan merinding ketika melihat getaran hebat tubuh yang ditunggangi manusia lain. Dengan perlahan laki-laki itu melepaskan papan dari gantungan dan membawanya. Masih dengan tubuh yang bergetar karena beban laki-laki di atasnya, perempuan itu berusaha jalan dengan kedua tangan dan lututnya yang ditekuk. Persis seperti bayi berjalan merangkak. Fragmen ini semakin mengundang ketegangan karena iringan suara alat musik perkusi yang dipukul keras dan tempo cepat, seperti dalam sinema-sinema psychological thriller.

Sembari ia terus berjalan ke depan panggung, ada suara seorang pria dewasa membacakan sesuatu, intonasinya seperti seorang anggota badan legislatif mengucap lantang aturan yang baru saja dibuat. Teks yang dibaca suara itu mungkin adalah “Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 52 tanggal 17 Maret 1982”. Surat ini adalah teks resmi untuk mewajibkan pemakaian seragam di seluruh sekolah, baik tingkat dasar hingga menengah pada era Orde Baru.

(Kutipan dari “Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 52 tanggal 17 Maret 1982”)

 

Aturan yang diucap lantang pria itu seakan ikut membebani tubuh bocah perempuan sampai ia tergopoh, kepayahan, dan terus bergetar. Bahkan, suara pembacaan aturan itu jadi ikut menghajar tubuhnya. Penghajaran itu memang dilakukan melalui penyeragaman. Apa yang dimaksud penyeragaman adalah pendisiplinan tubuh. “Seragam” dalam karya “Budi Bermain Boal” adalah metafora, ia bukan hanya sehelai kain. “Seragam” sejatinya tak kasat mata, ia seperangkat cara mengatur, memerintah, dan membentuk tubuh untuk patuh. Maka, apa yang benar-benar diseragamkan adalah cara berpikir, cara bergerak, tindakan, dan perilaku.

Penghajaran itu semakin terlihat pada fragmen di mana bocah perempuan tiba-tiba berpose menyilang tangan untuk memegang kedua telinga dan mengangkat salah satu kaki. Persis seperti pose seorang siswa dihukum gurunya. Kemudian, seorang lelaki melepaskan sepasang sepatu yang menempel pada kedua kaki perempuan. Ia membawa sepasang sepatu ke sisi kiri belakang panggung dan menyemprotkan pylox berwarna hitam ke permukaan sepatu. Fragmen ini menyingkap dengan jelas bagaimana penyeragaman berupaya menghajar dan menubuh dalam siswa-siswi sejak mereka duduk di bangku SD.

Penghajaran itu tidak hanya disingkap melalui tubuh-tubuh dan keaktoran para penampil di panggung. Dalam fragmen selanjutnya, Megatruh menampilkan dirinya sebagai guru dan membagikan soal Ujian Akhir semester dan pensil kepada para penonton. Lalu, ia menginstruksikan kami untuk mengisi lembar ujian dengan jawaban diri sendiri, jawaban yang otentik. Di sini terjadilah momen ketika batas antara panggung dan penonton mulai mengabur. Penonton ikut menjadi aktor yang diatur dan di-“seragamkan”. Fragmen ini seakan ingin mengajak penonton membuka kembali ingatan mereka akan belenggu penyeragaman di bangku SD.

Penyeragaman itu ternyata berlanjut dalam hal yang lebih mendasar, yaitu substansi mata pelajaran. Dalam fragmen menuju akhir pertunjukan, dua bocah perempuan dan laki-laki tadi berubah serupa guru dan instruktur tarian. Sang lelaki mengeluarkan suara beratnya dan mengajak para penonton untuk berdiri. Kemudian, ia menginstruksikan kita untuk menirukan gerak kaki, tangan, dan panggul yang menyerupai goyang kekinian ala Tiktok. Pada fragmen ini, lelaki yang tadinya merupakan siswa SD berubah menjadi guru tari. Sesekali ia mengucap dengan kalimat yang kurang lebih berbunyi demikian, “Jangan lupa tersenyum, ya. Penari harus tersenyum supaya penontonnya terhibur”. Selain itu, ia menambahkan narasi lain yang lebih menohok, seperti “Ayo, tersenyum kalau gak mau dimarahi!”.

Narasi-narasi seperti di atas seakan berfokus pada hukuman ketimbang esensi dari pelajaran yang diberikan. Apalagi, ada unsur keharusan yang berujung pada paksaan karena berorientasi pada hukuman. Atas nama pendisiplinan, tubuh wajib patuh pada perintah dan hukuman.

Selain narasi-narasi yang sifatnya menyuruh dan menghukum, lelaki itu juga menjelaskan mengenai pembelajaran tari secara teoritik. Akan tetapi, narasi yang disampaikan juga terlalu memusat. Ia menjelaskan bahwa tarian pasti terdiri dari wirama, wiraga, dan wirasa. Narasi itu cukup memantik saya karena dari pengalaman belajar tari secara non formal, tidak semua tarian memerlukan ketiga unsur tersebut. Sekali lagi, penyeragaman begitu terlihat. Kali ini, ia berbentuk wacana pengajaran tari di sekolah.

 

Antara Paulo Freire, Augusto Boal, dan “Budi”.

Penyeragaman yang dituturkan tiga penampil melalui frasa-frasa koreografi mengingatkan saya pada Paulo Freire. Bagi Freire, pendidikan yang gagal adalah pendidikan yang menempatkan manusia sebagai objek yang menjalankan perintah satu arah, tidak pernah merefleksikan diri, dan tak pernah mengupayakan penciptaan kreatif (Freire, 2008: 57-60).

Freire menggugat pendidikan yang memperlakukan manusia sebagai mesin pasif. Dalam ruang kelas seperti itu, tubuh digerakkan seperti robot. Tentu tubuh diperintah agar bergerak patuh pada kuasa dominan yang mengintervensi gerbang sekolah, ruang kelas, hingga lapangan upacara.

Menyimak “Budi Bermain Boal” adalah menyimak bagaimana kuasa bekerja dalam ruang keseharian. Karya ini berhasil menggambarkan bagaimana cara kerja politik keseharian yang menubuh dalam subjek siswa dan guru. Maka, koreografi ini berupaya menyingkap lapisan kuasa dalam seragam dan tubuh-tubuh yang memakainya.

Perihal judul “Budi Bermain Boal”, tampak bahwa Augusto Boal sangat berpengaruh dalam gagasan mendasar karya ini. Pemakaian dramaturgi ruang kelas seakan mempertemukan sosok Paulo Freire dan Augusto Boal, memang faktanya kedua tokoh dari Brazil ini sangat dekat. Freire dengan pedagogy of the oppressed menginspirasi Boal untuk mengembangkan theater of the oppressed. Koreografi Megatruh tampak menyatukan ide besar antara Freire dan Boal, sebab pertunjukan ini berupaya menyingkap belenggu kuasa yang mengitari bangku kayu, ruang kelas, dan berbagai praktik pendidikan yang menindas.

Dalam situasi pendidikan yang membelenggu ini, “Budi” adalah kita semua. Dibanding sekedar nama sosok, “Budi” dalam koreografi Megatruh menjelma sebagai kata kerja. Semua tubuh di panggung dan bangku penonton adalah “Budi”. Ia tidak hanya dieja dan diucap, tetapi ia menjadi modus kuasa untuk menyeragamkan.

Semua penonton kemudian menjadi “Budi” dengan bermain-main bersama dalam “teater forum”. Dalam fragmen ketika penonton diperintah berdiri dan bergerak sesuai sabda otoriter instruktur tari, atau dalam fragmen ketika penonton “diwajibkan” mengisi lembar soal Ujian Akhir Semester: penonton ditarik menjalani peran sebagai “Budi” yang lain. Penonton tidak hanya menyaksikan tingkah “Budi” di panggung, tetapi sama-sama dijejali perintah dan dijerat oleh “pem-Budi-an”.

Menyadari kita semua menjelma sebagai “Budi” adalah momen politis, sebab kita dikekang perangkap kuasa yang sama. Memang penonton tidak diprovokasi agar mengintervensi “Budi” di panggung, sebab kita semua adalah “Budi” dan dibentuk menjadi “Budi”. Menyingkap “pem-Budi-an” adalah tawaran penting yang diberikan “Budi Bermain Boal”.

Lalu, apa kita semua akan terus dibentuk dan dirakit menjadi “Budi”, robot, atau mesin berseragam?

 

Referensi:

Paulo Freire. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Augusto Boal. 2000. Theatre of the Oppressed. London: Pluto Press.

Mothers-Tongue-990x660

Jean-Baptiste Phou dan Suara Semangat untuk Minoritas

Apa yang terlintas di kepala kita jika mendengar atau membaca nama Jean-Baptiste Phou? Barangkali di kepala kita masih kosong, namun remang-remang kita akan menemukan beberapa kata kunci ketika mendengar namanya disebut. Ia adalah penulis, aktor, dan sutradara berkebangsaan Prancis-Kamboja. Ia lahir pada 24 Januari 1981, kedua orang tuanya berketurunan Tionghoa-Kamboja yang tinggal di Prancis. Phou tak hanya aktif dalam pertunjukan musikal dan berakting dalam film, ia juga menulis naskah teater berjudul Cambodia, Here I am dan menyutradarai pertunjukan tersebut. 

Karya-karya Phou begitu kental dengan persinggungan ras dan kehidupan orang-orang Asia di Prancis. Tak hanya mengupas persoalan hidup sehari-hari orang Asia yang tinggal di Prancis, tapi ia juga mengupas persoalan seksualitas yang kadang kala menjadi sebuah persoalan yang tabu untuk dibahas sekaligus tabu untuk diekspresikan. Phou meniti karier artistiknya sejak 2008, dan ia mulai banyak menyampaikan gambaran pengalaman hidup orang Asia di Prancis. 

Phou menyadari bahwa isu tentang ras dan seksualitas adalah isu yang harus hati-hati ia kupas dan bicarakan. Phou pun memanfaatkan berbagai karya dengan topik sosiologi, sastra, sejarah, studi gender, hingga budaya populer untuk  diteliti dan  ia kemudian mampu menawarkan strategi yang dikembangkan untuk membicarakan persoalan ras, emosi dan seksualitas. Bagi Phou, begitu sulit menjadi orang Asia yang menjadi minoritas dalam haknya untuk mengekspresikan emosi dan seksualitasnya. 

Kita tentu penasaran seperti apa karya-karya Jean-Baptiste Phou yang sangat membuka kemungkinan bagi kaum minoritas orang Asia untuk tetap mendapatkan haknya dalam mengekspresikan diri, hasrat juga seksualitasnya. Pembicaraan tentang Jean-Baptiste Phou akan ada dalam LIFEs 2023 yang mengusung tema Frankofon. Seperti apa pengalaman kehidupan orang Asia yang tinggal di negara-negara Frankofon ini? Mari kita temukan jawabannya dalam program LIFEs 2023, hanya di Komunitas Salihara.

ranciere

Undangan Menulis
Seminar Membaca Pemikiran Jacques Rancière: Politik, Seni, dan Pembebasan

Program ini bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Ide-ide filsafat Prancis dan pemikiran kiri berpengaruh besar pada corak intelektualitas Indonesia. Jacques Rancière adalah salah satu filsuf Prancis terpenting saat ini. Sebagai mahasiswa, ia terlibat dalam demonstrasi Mei 1968 di Paris, yang dimotori kelompok kiri dan anarkis. Setelah peristiwa itu, ia mengembangkan pemikirannya, antara lain tentang  kesetaraan radikal dan tentang disensus sebagai sifat pokok demokrasi.

Literature and Ideas Festival (LIFEs) 2023 akan mengadakan seminar sehari mengenai pemikiran Jacques Rancière. Seminar ini akan dibuka dengan wawancara bersama Jacques Rancière. LIFEs mengundang akademisi, peneliti, mahasiswa, dan masyarakat umum pecinta dunia gagasan untuk berpartisipasi dalam:

“Seminar Membaca Pemikiran Jacques Rancière: Politik, Seni, dan Pembebasan” 

Kami mengutamakan makalah yang membahas pemikiran Rancière sehubungan dengan bidang: politik, seni, dan pendidikan seni atau politik.

  • Pendaftaran: 26 Mei-19 Juni 2023;
  • Seleksi: Juni 2023
  • Pengumuman: 30 Juni 2023;
  • Presentasi makalah terpilih: Sabtu, 12 Agustus 2023 di Komunitas Salihara
  • Makalah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris;
  • Makalah berisi judul, abstrak, dan isi (4.000-7.000 kata, MS-Word);
  • Mencantumkan daftar kepustakaan;
  • Melampirkan biodata pendek (lembar terpisah);
  • Melampirkan surat pernyataan bebas plagiarisme dengan mencantumkan materai 10.000;
  • Pengiriman makalah ke alamat surel: opencall@salihara.org.
  • Tim kuratorial seminar akan memilih paling banyak 5 makalah;
  • Pemakalah terpilih wajib mempresentasikan makalah dalam program Seminar Prancis & Francophone LIFEs pada Agustus 2023 di Komunitas Salihara;
  • Pemakalah terpilih akan mendapat biaya presentasi sebesar Rp1.500.000;
  • Untuk pemakalah dari luar kota, kami tidak menanggung akomodasi dan transportasi kedatangan.
perubahan

Johary Ravaloson dan Suara dari Madagaskar

Johary Ravaloson menulis novel Vol à vif (2016) yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Perburuan (Marjin Kiri, 2022). Novel tersebut juga mendapatkan penghargaan Prix du livre insulaire 2016 dan Prix Ivoire 2017. Johary adalah seorang penulis yang lahir di Antananarivo, Madagaskar. Bersama istrinya Sophie Bazin seorang seniman kontemporer, pada 2006 mendirikan penerbitan bernama Dodo Vole Publishing. 

Barangkali kita cukup asing mendengar nama Johary Ravaloson sebagai salah satu penulis dari negara Frankofon tepatnya dari Madagaskar. Jika kita hendak menelusuri lagi bagaimana karya-karyanya, kita akan menemukan tulisan dengan napas yang mencekam dan membuat kita berpikir kritis dengan apa yang terjadi di sekitar kita. Misalnya saja dalam Vol à vif, Johary mengajak kita untuk lebih jeli dalam menghakimi sebuah kejadian. Karyanya menawarkan pemikiran kritis sebelum kita mengungkap suatu perkara yang masih kita lihat berdasarkan moral masyarakat. 

Johary tuntas mengaduk pergolakan batin tokoh-tokoh dalam Vol à vif yang berkisah tentang aksi tujuh pemuda suku Baar yang berjuang mempertahankan diri dan menyelamatkan diri dari kejaran aparat. Belum lagi ia menggambarkan bagaimana ganasnya bertahan hidup di dalam alam Madagaskar. Emosi yang muncul dari para tokoh lambat laun membuat pembaca tak lagi terburu-buru mengecap tindakan kriminal yang dilakukan para tokoh. 

Johary juga menggambarkan bagaimana sebuah sistem berkuasa pada masyarakat yang lebih rentan. Ia menghadirkan narasi tentang negara yang dianggap sebagai musuh oleh suku Baar. Kebiasaan sebuah negara yang meminta jatah upeti kepada suku tersebut menggambarkan bagaimana yang berkuasa kemudian dengan mudah menindas yang dianggap primitif. Jika kita baca lagi, pergulatan antara suku Baar yang bertahan dan negara yang hadir menguasai alam Madagaskar, seperti kita melihat beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki konflik sengketa tanah. 

Seperti apa karya-karya yang penuh gejolak, mencekam dan kritis yang ditulis oleh Johary? LIFEs 2023 akan hadir dan membahas bagaimana Johary Ravaloson berjuang dan berkisah melalui karya-karya tulisannya.

decenta

Menilik Sejarah Seni Desain Indonesia lewat Daya Gaya Decenta

Galeri Salihara | 14 Mei – 25 Juni 2023
Selasa – Minggu | 11:00 – 19:00 WIB

 

Jakarta, 08 Mei 2023 – Sebuah biro desain berbadan hukum lahir pada 1973 dengan nama Decenta (Design Center Association) yang beranggotakan A.D. Pirous, G. Sidharta, Priyanto Sunarto, T. Sutanto, dan Sunaryo. Kelima orang tersebut merupakan pengajar sekaligus murid dan asisten pengajar dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Sebagai perusahaan desain yang berakar dari aneka ragam hias tradisi Nusantara, Decenta hadir sebagai manifestasi langsung para anggotanya dalam pencarian identitas artistik sebagai seniman Indonesia. 

Untuk mengenal sejarah dan kiprah kelompok tersebut Komunitas Salihara menyelenggarakan pameran dengan tajuk Daya Gaya Decenta yang dikuratori oleh Chabib Duta Hapsoro dan Asikin Hasan. Pameran ini akan menilik perjalanan Decenta sebagai biro desain dalam berbagai aspek seperti; sejarah, kekaryaan anggotanya, kegiatan kolektif, serta pengaruh artistik dalam proyek-proyek pembangunan yang terjadi di era Orde Baru. 

Chabib Duta Hapsoro sebagai Kurator tamu dalam pameran ini mengatakan “Sedari awal visi Decenta sudah jelas untuk menjadi perusahaan desain dengan sebuah pilihan gaya; menjelajahi beraneka ragam hias tradisi Indonesia sebagai pokok soal maupun modus artistik untuk proyek-proyek perancangan. Ini juga menjadi manifestasi pencarian identitas mereka sebagai seniman Indonesia”. Hal ini selaras dengan praktik kerja Decenta yang banyak menangani klien-klien dari lembaga negara. Dalam kerja-kerja kreatifnya, Decenta menerapkan elemen dekoratif yang khas dari daerah lembaga yang menjadi mitra.

Sebagai badan seni desain, Decenta memelopori teknik desain grafis yang disebut dengan istilah cetak saring. Pada awalnya Decenta menggunakan teknik cetak saring untuk kepentingan komersial, berjalannya waktu teknik tersebut hadir sebagai misi Decenta untuk mempromosikan seni grafis. Teknik cetak saring Decenta juga memiliki karakteristik yang khas. Karya cetak saring Decenta banyak hadir dalam bentuk sampul poster, sampul buku, maupun karya yang bisa dijadikan elemen dekorasi. 

Pameran ini akan menghadirkan arsip dokumentasi dan karya seni yang dibagi ke beberapa bagian. Dimulai dari memperlihatkan aspek kesejarahan berdirinya Decenta, bagaimana para anggotanya menggaungkan wacana identitas kebudayaan dan seni rupa Indonesia,  serta bagaimana Decenta hadir dalam distribusi dan pemasaran seni. Tidak hanya hadir sebagai sebuah biro desain, Decenta juga memiliki sebuah galeri yang aktif menyelenggarakan pameran, diskusi dan lokakarya seni rupa.

Sejumlah pameran dan diskusi juga menampilkan medium dan topik yang masih asing dalam medan seni rupa Indonesia saat itu. Dalam semangat pemasaran seni, galeri ini pun memiliki sebuah toko yang menjual tidak hanya karya seni melainkan juga karya kriya, perabotan dan reproduksi karya seni dalam bentuk kartu ucapan, poster dan lain sebagainya. Decenta menjadi begitu berpengaruh dalam ekosistem seni rupa Indonesia dari 1970-an hingga 1980-an.

Pameran yang diselenggarakan di Galeri Salihara ini bisa dikunjungi dari 14 Mei-25 Juni 2023 setiap Selasa-Minggu (11:00-19:00 WIB). Untuk menikmati ragam instalasi dan arsip sejarah Decenta, pengunjung bisa membeli tiket seharga Rp35.000 (umum) dan Rp25.000 (pelajar) yang dapat dipesan melalui tiket.salihara.org.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

 

 

gumarang

Kelas Wacana Tari Gumarang Sakti: Menjejak Seni Tari dari Akar Tradisi

Jakarta, 02 Mei 2023 – Kelas Wacana Tari Gumarang Sakti kembali hadir setelah pelaksanaan perdananya secara daring pada 2022 lalu. Untuk makin memperdalam materi tentang wacana tari, Kelas Salihara 2023 akan kembali melangsungkan Kelas Wacana Tari Gumarang Sakti melalui pertemuan tatap muka yang  akan diadakan secara daring dan luring. Kelas Wacana Tari Gumarang Sakti akan dilaksanakan pada 26-28 Mei 2023 di Komunitas Salihara dengan pengampu Helly Minarti dan Benny Krisnawardi. 

Gumarang Sakti sendiri merupakan kelompok tari kontemporer terpenting dari Sumatera Barat pada era 1980 hingga 1990-an yang didirikan oleh Gusmiati Suid. Di tahun-tahun tersebut banyak tari kontemporer Indonesia yang dipengaruhi oleh gaya dari Gumarang Sakti. Gusmiati Suid (1942-2001) adalah maestro tari asal Sumatera Barat yang pernah mendapatkan penghargaan tari bergengsi; The Bessie Awards (Amerika) pada 1991.

Melalui kelas ini peserta akan diajak untuk mempelajari teknik tubuh dasar dan koreografi dari Gumarang Sakti lewat penelusuran arsip dan teknik tari berdasarkan Silek (Pencak Silat Minangkabau). Peserta akan diajak menelisik karya koreografi Limbago yang dikomposisi oleh Gusmiati Suid melalui tontonan video Modul Akar yang bisa disaksikan sebelum mengikuti kelas. Selain itu, peserta juga akan mempelajari sejarah singkat mengenai Gumarang Sakti melalui karya dan kolaborasi yang dilakukan oleh Gusmiati Suid dan Boi Sakti lewat penelusuran melalui kliping koran/majalah dan video pertunjukan kelompok tari Gumarang Sakti. 

Helly Minarti selaku kurator independen sekaligus pengampu dalam kelas ini mengatakan bahwa Gumarang Sakti dan koreografi dari Gusmiati Suid menjadi penting terutama dalam perjalanan tari kontemporer Indonesia, “Tari bukan sekadar hiburan karena ia juga mengandung sejarah ketubuhan kita sebagai orang Indonesia. Koreografi bukan sekadar menata gerak tubuh di dalam ruang melainkan seni berpikir kritis dalam wacana, kedua prinsip ini tercermin dalam rekam jejak Gusmiati Suid pendiri Gumarang Sakti yang sangat mempengaruhi perjalanan tari kontemporer kita.”

Pernyataan tersebut mengukuhkan bahwa kelas ini sangat cocok bagi para praktisi, koreografer, peneliti, maupun publik yang berminat mengembangkan praktik ketubuhannya melalui pengayaan wacana tari atau sekadar ingin mengetahui lebih banyak tentang tari modern/kontemporer di Indonesia. Para peserta yang mengikuti Kelas Wacana Tari Gumarang Sakti akan mendapatkan fasilitas seperti menginap di Wisma Salihara serta mendapat satu kali makan dan snack selama program berlangsung.

Peserta juga akan mendapatkan sertifikat digital serta dapat mengakses Modul Akar (Makalah, video, kliping) hingga akhir 2023. Kami juga menyediakan opsi bagi peserta yang hanya ingin melihat Modul Akar saja dan juga bisa diakses hingga akhir 2023. Rangkaian kelas ini dapat diikuti dengan biaya Rp800.000 (Kelas + Modul) dan Rp400.000 (Modul saja) yang dapat diakses melalui kelas.salihara.org.

 

Tentang Pengajar 

Helly Minarti bekerja sebagai kurator independen di Jakarta. Ia mengkuratori Indonesian Dance Festival (2014 & 2018), Art Summit Indonesia: Reposisi (2016) dan beberapa acara internasional seperti edisi pertama Asia Windows Series untuk Asian Arts Theatre (2015), Monsoon: Asia-Europe Exchange (2006) dan 2nd Asia-Europe Dance Forum (2004). Ia terpilih menjadi Ketua Bidang Program Dewan Kesenian Jakarta untuk dua periode berturut-turut sejak 2013. Ia menerima British Chevening Awards (1999), Asia Fellows (2004, 2006), Asian Cultural Council (2011). Helly merampungkan studi doktoral dalam bidang kajian tari di Universitas Roehampton, London, pada 2014, dengan disertasi berjudul “Modern and Contemporary Dance in Asia: Bodies, Routes and Discourse”. 

Benny Krisnawardi adalah penari dan penata tari. Pada 1986 ia bergabung dengan kelompok tari Gumarang Sakti pimpinan Gusmiati Suid. Ia pernah tergabung dalam beberapa kelompok tari, seperti Cipta Dance Company dan Deddy Luthan Dance Company. Ia juga sempat berkolaborasi dengan sejumlah koreografer, seperti  Gerard Mosterd (Belanda) dan Katia Engel (Jerman). Ia beberapa kali mementaskan pertunjukan keliling dengan kelompok tari luar negeri, di antaranya bersama produksi Lear Asia (Japan Foundation) dan karya sutradara Ong Keng Sen (Singapura). Pada 2000 ia mendirikan kelompok tari Sigma Dance Theatre Indonesia. 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org