Sebagai seorang tokoh penulis perempuan; Sidonie-Gabrielle Colette atau akrab dengan sebutan Colette, dikenal akan karya-karyanya yang kontroversial di kalangan penulis dan kritikus sezaman. Kritik dan ujaran “sastra selera rendah” pun pernah ia terima, di sisi lain karya-karyanya juga dicintai bahkan diapresiasi hingga masa sekarang. Colette merupakan penulis dengan kisah yang menarik; ia hadir sebagai penulis perempuan di awal abad 20, di mana dunia sastra dan literatur masih didominasi oleh laki-laki.
Karya, persona, dan jalan hidupnya telah menginspirasi dan menjelma ke berbagai kesenian modern seperti film, pertunjukan, tulisan, dan teater; terutama yang ditulis oleh Zack Rogow dan diperankan oleh aktris Lorri Holt dalam pertunjukan Colette Uncensored yang dimainkan di Salihara Sabtu lalu (12/08). Colette Uncensored merupakan pertunjukan tunggal–One-Woman Show– yang diperankan oleh aktris Amerika; Lorri Holt sebagai Colette.
Meski berwarga negara Amerika, Zack Rogow, sebagai penulis merasa terinspirasi oleh sepak terjang Colette dalam dunia kesusastraan Prancis. Tidak hanya karya, cara pandang Colette pun berhasil menyihir Zack bahkan mengilhami dirinya dalam membuat pertunjukan ini.
“Colette menginspirasi saya baik sebagai penulis dan secara pribadi karena ia berani menjalani hidup sesuai dengan identitasnya yang begitu kompleks baik sebagai wanita, kekasih, dan tokoh sastra. Dia adalah pelopor dalam banyak bidang, termasuk kecintaannya yang mendalam dan rasa hormat terhadap semua makhluk hidup.”
Dalam pertunjukan di Teater Salihara, tata ruang dibuat sederhana hanya ada podium dan sepasang meja kursi dengan bejana berisi air yang berbahan kaca. Lorri; sebagai Colette hadir dan mulai menceritakan hidupnya. Tidak hanya sebagai Colette, terkadang ada beberapa peran kecil yang dia tirukan, untuk membangun suasana seperti tokoh ibu Colette (Sido) dan beberapa peran lainnya yang bisa kita nikmati lewat perubahan gestur dan mimik dari Lorri.
Adegan dimulai dengan adegan Colette menyambut penonton yang seolah hadir dalam peluncuran novel terbarunya berjudul Gigi. Dengan nada yang sarkastik, Colette membawa kita untuk menelusuri kehidupannya dari awal sampai ke titik sekarang. Kita diceritakan bagaimana ia muda dan hidup bersama ibunya, hingga pertemuannya dengan Willy; yang menikahi Colette dengan perbedaan umur yang terpaut jauh. Saat itu Colette masih 20 tahun, dan Willy 14 tahun lebih tua. Willy yang diceritakan suka bermain perempuan dan memiliki nafsu tidak terkendali menjadi gerbang pertama dalam karir menulis Colette dicerita ini. Willy adalah seorang yang tidak kompeten, ia sering menyuruh penulis-penulis muda untuk menulis cerita mesum dan diterbitkan atas nama dirinya. Sebanyak 50 novel ia terbitkan tanpa pernah ia tulis sendiri.
Kali ini giliran Colette, bahkan lebih parahnya setelah sukses menerbitkan novel pertama dengan judul Claudine, Colette dikurung di sebuah kamar oleh suaminya selama empat jam setiap hari. Colette adalah sapi perah baru bagi Willy. Apakah Colette menderita? Tidak, bahkan dia menikmati kesendirian itu di dalam ruangannya. Ia senang menulis dan membayangkan tokoh Claudine bahkan baik ia dan pembaca merasa Claudine adalah Colette.
Babak bagian awal dari kehidupan Colette sebagai penulis cukup panjang. Hubungan Willy dan Colette bak skandal yang memalukan bagi keluarga Willy, namun entah mengapa mereka senang menjalaninya. Menggoda, digoda, bahkan mempermainkan perasaan orang hanya demi sumber inspirasi bagi cerita-cerita Claudine lazim mereka lakukan; dalam kasus ini korban mereka adalah Georgie–seorang kaya raya dari Amerika– yang menuntut mereka berdua karena menjadikan dirinya sebagai objek yang digambarkan gila seks dalam cerita Claudine.
Masa awal kehidupan Colette dan Willy pun berakhir dengan perceraian. Dinarasikan Colette bergabung dengan kelompok pantomim dan ia begitu senang dengan kelompok ini, meski pertunjukannya banyak memantik amarah publik dengan keamoralan cerita di dalamnya, nyatanya banyak tur keliling yang sukses besar. Selesai tur Colette langsung mengutarakan keinginannya kepada sang suami untuk segera bercerai.
Seperti nama judulnya; Colette: Tanpa Sensor sepanjang adegan kita akan dinarasikan oleh kisah-kisah erotis yang diceritakan seolah tanpa filter. Hubungan dengan wanita, dengan tiga orang, dan entah-sama-siapa diceritakan mewarnai perjalanan ia selama bersama kelompok ini. Hingga akhirnya hubungan ini ia hentikan dan memulai hidup baru bersama Henry; seorang kaya yang sering menonton pertunjukan Colette. Begitulah Colette dan kisah cintanya. Kita tidak membicarakan keburukannya atau sikap-sikapnyayang tidak elegan di panggung ini, kita lebih merayakan kebebasannya dalam mengekspresikan apa yang dia mau. Kembali ke pernyataan Zack sang penulis, perjalanan Colette walaupun kompleks namun tetap menunjukkan cinta dan rasa hormat yang mendalam dan Colette melakukan semua itu (baik dan buruk tindakannya) dengan sepenuh hati.
One-Woman-Show ini membuktikannya, tidak serta-merta kehidupan tanpa sensornya yang diutarakan namun juga sisi humanis dari sang tokoh juga diperlihatkan. Misalnya dalam bagian terakhir di mana Colette bertemu dengan anaknya; Bel-Gazou (hasil pernikahan dengan Henry) saat perang dunia terjadi. Colette rela memberikan segalanya meskipun dia hampir tidak pernah menemui anaknya.
Kisah ini ditutup seiring dengan berakhirnya kenangan Colette akan masa lalunya. Ia kembali mengajak penonton untuk mengingat bahwa pementasan ini dibuka dengan latar peluncuran bukunya yang berjudul “Gigi”. Gigi merupakan permainan kata dari Gabri (nama kecil Colette) Sido–ibunya– dan Willy–suami pertama– memanggil Colette dengan sebutan tersebut sebelum akhirnya dia memutuskan untuk dipanggil dengan Colette. Dalam paparannya, buku ini (yang berisi perjalanan hidup sang tokoh yang besar di sebuah desa kecil di Burgundy, Prancis) menjadi laris dan dipentaskan di Hollywood dan Broadway, sebuah negeri yang sangat jauh dari Prancis. Buku yang ditulis di masa perang yang kelam berbuah apresiasi yang begitu gemilang. Lewat buku ini Colette menitikberatkan tentang arti kebebasan; kebebasan untuk mencintai, membuat pilihan, dan kebebasan untuk berbuat kesalahan. Lorri membungkuk, semua bertepuk tangan.