Dikutip dan disarikan berdasarkan tulisan “Kata Pengantar” oleh A. Setyo Wibowo dalam buku Cara Kerja Ilmu Filsafat Dan Filsafat Ilmu: Dari Dialektika Ke Dekonstruksi (2022), Kepustakaan Populer Gramedia.
Pembahasan cara kerja ilmu-ilmu dilakukan bertitik tolak dari sudut pandang filsafat. Ilmu-ilmu (khususnya sians) dikaji dari sudut pandang filsafat, misalnya, lewat aliran-aliran besar filsafat seperti Positivisme, Fenomenologi Edmund Husserl (yang juga ahli matematika), dan Teori Kritis Postmodernisme. Aliran-aliran besar terakhir juga banyak dipakai dalam ilmu-ilmu sosial-empiris. Auguste Comte (1798-1857) menggunakan istilah philosophie des sciences saat hendak mengklasifikasi ragam ilmu pengetahuan. Dalam bahasa Inggris, istilah philosophy of science baru muncul pada 1840 dari tangan William Whewell (1794-1866) dalam bukunya The Philosophy of the Inductive Sciences Founded upon Their History. Dalam bahasa Indonesia, kita lantas menerjemahkannya sebagai filsafat ilmu—sebuah kajian mengenai hakikat pengetahuan manusia yang biasa disebut sebagai ilmu (dalam arti luas maupun dalam arti sains).
Positivisme Auguste Comte
Auguste Comte, seorang Prancis yang royalis (pro raja, anti-revolusi) menolak Revolusi Prancis yang matanya adalah sebuah “metafisika”. Mengapa metafisis? Karena orang merombak tatanan sosial dengan alasan tak jelas bernama “kehendak rakyat”. Menurut Comte, Prancis harus ditata berdasarkan sains yang mulai membuahkan banyak hasil di awal abad ke-19. Comte mengusung doktrin Positivisme, baginya masyarakat harus ditata secara rasional dan ilmiah. Masyarakat tidak bisa maju kalau landasannya adalah hal-hal fiktif seperti teologi, atau hal-hal metafisis dan abstrak yang hanya memberi “istilah tepat” tetapi tidak memecahkan masalah dan tidak memberi solusi apa-apa. Optimisme kaum positivis menggambarkan zaman awal penemuan mesin uap, listrik, dan berbagai industri massal di abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Martin Heidegger melihat tanda-tanda bahaya dari sains yang tidak dilihat Auguste Comte.
Martin Heidegger (1889-1976) mempertajam kritiknya pada sains yang menurutnya juga berakar pada tradisi filsafat itu sendiri. Sejarah filsafat di mata Heidegger adalah onto-teo-logi. Tiap kali pikiran manusia mencari sesuatu, hasrat ini hanya terpenuhi bila ia telah menemukan on (being, yang terdasar), yang sekaligus dianggap sebagai yang berderajat paling tinggi (those) dan bisa dijadikan pengetahuan (logos). Cara berpikir ontoteologis ini turunan paling nyatanya tampak dalam sains dan teknologi. Tiap kali kita sudah menemukan bahwa dasar realitas sebagai atom (atau quark, atau quantum), maka kunci rahasia alam telah ditemukan, dan alam tinggal dieksploitasi. Demikianlah kemajuan sains dan teknologi—yang intinya sebuah pola pikir metafisis—membawa manusia pada nihilisme. Segala apa yang ada di depan diperlakukan sebagai “sumber daya” yang siap dieksploitasi.
Thomas S. Kuhn dan paradigma dalam sains
Sejalan dengan kritik atas sains, Thomas S. Kuhn (1922-1996) membuktikan bahwa perkembangan sains tidak bersifat akumulatif dan evolutif, melainkan sains berkembang secara revolusioner. Lewat teori tentang paradigma, Kuhn menjelaskan bahwa sains bekerja di bawah sebuah payung sudut pandang tertentu. Di bawah payung itu, metode ilmiah dan proyek penelitian sains dilakukan. Manakala anomali-anomali bermunculan, sains mengalami krisis.
Kelas Filsafat Salihara seri kedua bertajuk Filsafat Ilmu dalam Bayang-Bayang Pascamodernisme diampu oleh A. Setyo Wibowo, J. Sudarminta, dan Karlina Supelli, akan mengurai bagaimana posisi Filsafat Ilmu di tengah munculnya ilmu baru: Sains dan Teknologi, serta tokoh filsuf siapa saja yang terlibat di dalamnya. Daftar sekarang melalui kelas.salihara.org.