Seri diskusi FOKUS! kembali hadir di penghujung tahun dengan tema besar “Musik Baru dan Warisan Nusantara” yang diselenggarakan sebanyak empat sesi di bulan November 2023 lalu. Tema kali ini Komunitas Salihara menghadirkan pembicara dari kalangan pengajar, komponis, dan musisi untuk membedah perkembangan musik baru Indonesia dari perspektif kesejarahan. Pada sesi satu (Silang Pengaruh Eropa-Nusantara) dan sesi dua (Memperluas Tradisi di Sekolah) kita diajak untuk melihat bagaimana pengaruh musik-musik Eropa memberikan dampak kepada perkembangan musik Nusantara dan menemukan jawaban dari “Apa sebenarnya musik Nusantara?”. Di sesi tiga dan empat ini diskusi akan berfokus terhadap perkembangan jazz-rock dan musik elektronik dalam rangkuman sebagai berikut;
Jazz-Rock dan Godaan Kampung Halaman (Sesi 3)
Diskusi sesi ini dipandu oleh Halida Bunga Fisandra (Dida) sebagai moderator dan menghadirkan dua pembicara; David Tarigan dan Sri Hanuraga. Diskusi pertama dipaparkan oleh Sri Hanuraga (Aga) seorang pianis serta musisi yang telah meraih beberapa penghargaan bergengsi di tingkat internasional dan nasional. Menghadirkan presentasi dengan judul “Jazz dan Warisan Nusantara”. Ia mengatakan bahwa di paruh akhir abad ke-20 banyak musisi jazz Indonesia yang bereksperimen dengan warisan Nusantara contohnya adalah album Djanger Bali oleh Indonesian All Stars (1967) yang disebut-sebut sebagai puncak pencapaian jazz Indonesia.
Fenomena yang sama–bereksperimen dengan warisan Nusantara–juga ditemukan pada generasi setelahnya seperti karya-karya Dewa Budjana, Tohpati, Reza Arsyad, Krakatau Ethno, I Wayan Balawan, dan Aga sendiri. Untuk menjelaskan fenomena ini Aga merujuk kepada tulisan Yayoi Uno Everett (Musikolog) di buku Locating East Asia in Western Art Music yang menawarkan sistem kategorisasi kompositoris oleh para komponis-komponis musik baru abad 20 yakni: Pemindahan, Sinkretisme, dan Sintesis. Pemindahan merupakan strategi kompositoris di mana sumber kultural seperti teks, musik, dan filsafat dari timur dipinjam atau diapropriasi ke dalam konteks musi barat yang lebih dominan. Aga memberikan contoh musisi yang melakukan hal tersebut adalah Olivier Messiaen dengan karya Turangalila Symphony, Maurice Ravel dengan karya Sheherazade, dan John Zorn dengan Forbidden Fruit-nya.
Selanjutnya adalah Sinkretisme yang merupakan suatu kondisi ketika idiom kultural yang berbeda digabungkan namun masing-masing anasirnya tetap dapat dibedakan. Contohnya adalah Chou Wen-Chung dengan karya Willows Are New. Terakhir adalah strategi kompositoris Sintesis di mana karya-karya berhasil mentransformasi idiom dan sumber kebudayaan yang berbeda menjadi suatu entitas hibrida yang anasirnya tidak dapat lagi dikenali. Dalam hal ini Aga mencontohkan karya Chou Wen-Chung, Metaphors. Untuk memahami hal itu semua, Aga mencoba menarik kembali dengan sejarah jazz dengan praktik musik jazz itu sendiri yang merupakan sintesis dari musik klasik Eropa dengan musik Afrika Barat di akhir abad ke-19.
Dari situ Ia membawa kita untuk melihat upaya awal musik jazz bersentuhan dengan musik tradisi nusantara yang dilakukan oleh kelompok Indonesian All Stars dalam album Djanger Bali (1967). Di album ini kita dapat mendengarkan permainan ansambel gamelan Bali berhasil ditransplantasi dengan baik ke dalam sebuah ansambel jazz yang termasuk ke dalam kategori sinkretisme. Selain itu Aga juga mencontohkan musisi Indonesia lain yang melakukan strategi kompositoris yang sama seperti Dewa Budjana, Krakatau Ethno, Simakdialog, dan lain sebagainya.
Selanjutnya diskusi beralih ke pembicara David Tarigan yang membawakan presentasi mengenai musik rock di Indonesia dan irisannya dengan warisan budaya dalam presentasi yang berjudul Kedatangan Musik Rock dan Nasionalisme Orde Lama. Musik rock masuk di pertengahan 1950-an dan dinilai sebagai bentuk yang agresif karena hadir di usia Indonesia yang masih muda. Pada masa itu pengaruh dari luar (seperti musik rock) dinilai sebagai bentuk penjajahan baru di mana pemerintah menilai hal tersebut memprihatinkan dan menjadi ancaman walaupun banyak digemari banyak anak muda.
Upaya nasionalisme yang dilakukan Soekarno untuk mengerem gempuran musik rock adalah dengan menerbitkan aturan agar musik rock dilebur dengan elemen ekspresi nasionalisme untuk bisa dihadirkan dalam rekaman komersial. David mencontohkan rock yang melebur tersebut dibawakan oleh grup Eka Djaja Combo dalam lagu Angkat Sampoeng yang merupakan perpaduan antara Latin, Sunda, dan rock n roll. Secara kronologis David memperkenalkan bagaimana rock yang beririsan dengan musik tradisi dapat didengarkan dalam berbagai periode seperti pada 1970-an yang dicontohkan pada karya Harry Roesli dengan judul Sekar Jepun, periode 1980-an, 1990-an dan yang terakhir adalah era sekarang yang dicontohkan dengan karya-karya pada 2018-2019.
Musik Elektronik dan Suara yang Lain (Sesi 4)
Sesi keempat Fokus! akan membicarakan mengenai topik musik elektronik dan bagaimana musik nusantara menjadi bagian dalam irisannya. Aditya Surya Taruna (Kasimyn), pembicara di sesi ini mengatakan bahwa musik elektronik bukan hanya sekadar musik lantai dansa. Banyak hal yang bisa diperhatikan dari berbagai aspek terlebih terhadap musisi-musisi elektronik Indonesia.Kasimyn, sebagai pembicara membuka sesi kali ini. Ia merupakan seorang produser musik, DJ, dan sound artist. Seperti yang sudah dinyatakan olehnya, musik elektronik memiliki keterkaitan yang cukup dengan politik identitas serta kedekatan-kedekatannya dengan hal-hal yang eksperimentalis yang ia paparkan lewat presentasi yang berjudul Eksotisasi Teknologi & Sonic Baru.
Dalam presentasi ini ia membagikan karya milik Sapto Raharjo dengan judul Win (1992) yang menampilkan musik elektronik dengan bunyi-bunyi eksperimental yang dinobatkan sebagai album paling influential dan penting menurut Kasimyn dalam hal penggabungan teknologi dan tradisi yang menjadikan adanya eksotisasi dari tradisi ke ranah teknologi. Selanjutnya Kasimyn mencontohkan Igor Tamerlan yang juga merupakan pionir dalam hal musik tradisi dan teknologi dengan album Bali Ethno-Fantasy yang mengapropriasi secara berhasil antara kontemporer, tradisi, dan rock yang tercatat keluar di 2014; meskipun beberapa musisi elektronik meyakini ini adalah album yang keluar di era 1990-an.
Selanjutnya Kasimyn mengajak peserta untuk mendengarkan karya dari Herman Barus dan mencoba menyimpulkan bahwa mutasi musik elektronik dan eksotisme teknologi ini terjadi akibat perayaan dan kecelakaan. Dalam hal ini kecelakaan yang dimaksud adalah adanya pengaruh iklim tropis yang dinilai ekstrim untuk beberapa jenis alat musik yang membuat hanya beberapa alat saja yang bertahan di kondisi tersebut sehingga menciptakan bentuk-bentuk baru / mutasi dari musik elektronik secara tidak sengaja. Sesi pun dilanjutkan oleh Harsya Wahono yang secara teknis menjelaskan bagaimana menganalisis mutasi-mutasi musik elektronik menjadi bentuk baru tersebut.
Harsya–pembicara kedua di sesi ini–adalah seorang produser dan pelaku musik yang belajar Komposisi dan Produksi Kontemporer Berklee College of Music di Boston, AS. dalam paparan presentasinya Harsya mengatakan fenomena musik tradisi-elektronik dipengaruhi oleh arsip kebudayaan di mana musik itu berkembang. Arsip-arsip ini bisa dibagi ke dalam arsip tertulis, nirwujud, oral, dan sebagainya. Harysa membedahnya secara terperinci sehingga kita bisa membayangkan bagaimana tradisi masuk dan menjelma ke dalam teknologi; seperti yang Kasimyn katakan, di sini bukan elektronik/teknologi yang masuk ke dalam tradisi tetapi tradisilah yang membentuk keragaman musik Nusantara itu sendiri.
Harysa juga menampilkan analisisnya dalam membaca linimasa budaya musik elektronik yang kehadirannya dapat ditelisik dengan berbagai fenomena seperti hadir/berlatar belakang karena adanya kebebasan, unsur bermain-main, menyuarakan kemarjinalan, unsur kesatiran, perayaan sang introver (karena musik elektronik bisa tercipta tanpa banyak orang), dan ‘kecelakaan’. Kecelakaan yang dimaksud selaras dengan penjelasan Kasimyn–yang ia juga sebutkan–mengenai kasus alat-alat musik yang hanya bertahan di kondisi cuaca/iklim yang ekstrim.