“My Story, Shared History”: LIFEs 2019 dan Sejarah Kita

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Catatan pendek My Story, Shared History

Identitas dan sejarah, dua hal yang mampu menyatukan jarak dari orang yang berbeda tempat tinggal, berbeda profesi, bahkan berbeda negara. Kisah tentang sejarah dan identitas kemudian hadir dalam satu ruang yang sama, yaitu hadir dalam sastra. Sejarah adalah cerita dan sastra memberi ruang luas pada keragaman cerita. Sayangnya, sering orang malah berkelahi karena perbedaan versi sejarah. Salah satu masalah besar bangsa ini adalah historiografi yang tertutup dan dogmatis, yang tak memberi ruang pada keragaman. Kita perlu penulisan sejarah yang lebih asyik dan inklusif.

LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2019 mengajak penulis dan pembaca untuk merayakan keragaman cerita individu dalam rangka mengisi ruang-ruang kosong dalam sejarah besar bangsa dan antar bangsa. Ini adalah langkah awal untuk memulai penulisan sejarah yang lebih inklusif. Maka, LIFEs 2019 bertema Kisahku, Sejarah Bersama (My Story, Shared History).

LIFEs 2019 memberi tekanan kepada hubungan Indonesia-Belanda. Program istimewanya adalah kolaborasi enam seniman Indonesia dan enam seniman Belanda keturunan Hindia Belanda. Proses kolaborasi ini berawal sebelum Oktober 2019, enam pasangan muda itu telah bertemu, di Indonesia atau di Belanda, untuk saling memperkaya perspektif dan membangun cerita bersama. Tentu, latar sejarah kolonial menjadi konteks bersama. Mereka adalah eksperimen pertama bagi program ini. Pemahaman sejarah yang berawal dari kisah pribadi atau keluarga diharapkan bisa membangun sikap yang lebih terbuka sekaligus kokoh dalam menghadapi perbedaan dan keragaman. Untuk mewujudkan program ini Komunitas Salihara bekerjasama dengan mitra program yaitu Dutch Culture dan Indisch Herinneringscentrum yang mendukung pertukaran seniman Indonesia-Belanda, sehingga pelbagai pertunjukan kolaborasi di LIFEs 2019 bisa tercipta.

Berbagi Masa Lalu, Bertumbuh dengan Karya

My Story, Shared History, menghadirkan penulis dan seniman dari negara yang berbeda, di antaranya adalah Armando Ello (Belanda), Felix K. Nesi (Indonesia, Lala Bohang (Indonesia ) & Lara Nuberg (Belanda), Rizal Iwan (Indonesia) , Dionne Verweij, Francesca Pichel (Belanda), Joshua Allen (Australia), Adrian Mulya (Indonesia), Maria Rey-Lamslag (Belanda ), Robin Block (Belanda), Angelina Enny (Indonesia), dan Jean Tay (Singapura). Sepanjang Oktober 2019, mereka akan saling berkolaborasi dan menampilkan karya mereka, baik berupa pameran fotografi, pembacaan dramatik, musik, hingga diskusi.

Berbeda dengan LIFEs 2017 dengan program pameran seni rupa, LIFEs 2019 hadir dengan pameran fotografi hasil dari kolaborasi penulis Felix K. Nesi dan fotografer Armando Ello. Melalui foto-foto beberapa keluarga di Timor dan Rote, Felix K. Nesi (penulis novel Orang-Orang Oetimu) dan Armando Ello (fotografer Belanda yang Ibunya berasal dari Timor) menceritakan kembali kisah keluarga tersebut di luar sudut pandang yang selama ini kita ketahui dari narasi sejarah Timor. Potret-potret itu juga akan diceritakan kembali dengan gaya teater di layar kompleks Salihara. Felix juga menulis sebuah lirik lagu spesial berdasarkan kisah ini dan menyanyikannya. Selain Felix dan Armando, ada pula pameran gambar bertajuk So Far So Close hasil kolaborasi Adrian Mulya dan Maria Rey-Lamslag. Pada abad ke-20, nenek moyang Adrian Mulya (keluarga Peranakan) dan nenek moyang Rey-Lamslag (keluarga Indo-Belanda) harus melalui kehidupan sehari-hari yang sangat berbeda. Barangkali itu sebabnya leluhur mereka tidak pernah melewati jalan yang sama. Tapi benarkah demikian? So Far So Close menggabungkan gambar-gambar yang berupa fakta dan fiksi berdasarkan arsip pribadi dan anonim. Karya ini mengangkat cerita keluarga Adrian dan Maria di tengah narasi besar sejarah.

Ada pula pembacaan dramatik naskah karya Jean Tay yang dibacakan oleh Indonesia Dramatic Reading Festival (Yogyakarta). Berlatar Asia Tenggara 1997-1998, pembacaan dramatik ini menceritakan krisis ekonomi Asia dan menelanjangi kerentanan negara-negara Asia terhadap ekonomi global yang fluktuatif. Narasi dibangun melalui pembaca berita di Singapura dan perempuan muda di Indonesia yang nasib mereka satu sama lain saling terkait dengan arus informasi dan modal. Naskah karya Jean Tay akan dibacakan oleh Indonesia Dramatic Reading Festival yang diwakili oleh Kelompok Kandang Jaran. Hasil kolaborasi lainnya adalah pementasan Three Fishes Out of One Bowl Trying to find a Common Ground, hasil kolaborasi tiga seniman Rizal Iwan (Indonesia), Francesca Pichel, dan Dionne Verwey (Belanda). Tiga orang yang sangat berbeda asal-usul berkumpul untuk menemukan titik temu sejarah mereka, tapi ternyata persoalan yang muncul tidak semudah yang mereka kira. Pertunjukan ini adalah sebuah karya yang mengeksplorasi perspektif tentang silang identitas–Indonesia, Belanda, Suriname–serta beban sejarah yang kita bawa sepanjang hayat.

Tak hanya menampilkan hasil kolaborasi dari antar seniman dan penulis Indonesia-Belanda, LIFEs 2019 juga menampilkan pertunjukan teater dari Five Arts Centre (Malaysia) dengan pertunjukan bertajuk A Notional History. A Notional History memperkenalkan sebuah kemungkinan penulisan sejarah Malaysia Baharu (New Malaysia) lewat pertunjukan arsip dan dokumentasi. Five Arts Centre melanjutkan serangkaian proyek kreatif yang telah mereka tampilkan sejak 2004 mengenai Malayan Emergency (1948-1960). Karya ini juga memanfaatkan bahan berdasarkan film dokumenter 10 Tahun Sebelum Merdeka (2007), buku-buku sejarah, serta pengalaman para seniman sendiri. A Notional History penting untuk kita mengenal Malaysia lebih jauh, karena pertunjukan ini juga disertai dengan sesi tanya jawab.

Program menarik lainnya dalam LIFEs 2019 adalah Final Kompetisi Debat Sastra Tingkat SMA yang menyuguhkan topik perbandingan novel Sang Raja karya Iksaka Banu dan Memoar Tanah Air Baru, Indonesia karya Hilde Janssen. Membaca kembali sejarah pasca peristiwa 1965 juga dihadirkan dalam lokakarya Membuat Sampul Album Digital dengan pengajar Syaura Qotrunadha. Lokakarya ini mengajak peserta merancang ilustrasi album dan menulis teks penjelasan berdasarkan lagu-lagu berisi kesaksian dan pengalaman ibu-ibu Dialita. Persoalan identitas dan sejarah juga disampaikan melalui ceramah kunci yang dibawakan oleh Hilmar Farid dan Nancy Jouwe (Belanda). My Story, Shared History ditutup dengan malam Dendang Arsip Nusantara yang menghidupkan kembali dan mendekatkan arsip seni rupa, sastra dan musik kepada generasi muda melalui bentuk pesta. Acara ini adalah kolaborasi Pemuda Sinarmas dan Sastra Lintas Rupa.

Seperti apa topik dan perbincangan menarik lainnya dalam LIFEs 2020 dan 2023? Ikuti info selengkapnya di salihara.org.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter