Melihat Kembali Masa 1950-1970-an: Pasang Naik Perebutan Keindonesiaan

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Gesyada Siregar

Tulisan ini adalah tanggapan terhadap sesi empat program Zoom In Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia (2021).

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan seni rupa Indonesia? Bagaimana kita bisa melacak identitas keindonesiaan dalam perkembangan seni rupa di negara ini? Dalam usaha memetakan gagasan-gagasan terdahulu untuk menjawab perihal ini, Komunitas Salihara menyelenggarakan rangkaian webinar Zoom In Rupa Bangsa: Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia, yang merupakan kelanjutan dari Seni Rupa Indonesia dan Internasionalisme Baru pada Oktober-November 2020.  

Pada sesi diskusi keempat (10 Februari 2021), mengangkat tema “Melihat Kembali Masa 1950-1970-an: Pasang Naik Perebutan Keindonesiaan”, para pembicara mencoba melihat kembali berbagai gelora keindonesiaan dalam seni rupa ketika masyarakat Indonesia mengalami transisi dari era pranata kolonial, kemerdekaan, hingga menuju puncak Orde Baru, yang mengandung berbagai dinamika ideologi, tantangan zaman, kekaryaan dan generasi seniman.

Pada webinar yang berlangsung selama dua jam ini, Nirwan Dewanto bertindak sebagai penengah diskusi antara dua narasumber yakni Agus Burhan dan Jean Couteau, serta pemirsa yang mengikuti sesi tanya-jawab secara daring. Agus Burhan yang merupakan seorang akademisi, kurator, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta periode 2019-2023, dan penulis buku Perkembangan Seni Lukis: Mooi Indië sampai Persagi di Batavia, 1900-1942 (Galeri Nasional Indonesia, 2008) membagikan rangkuman pernak-pernik sejarah mental keindonesiaan dalam seni rupa dalam rentang waktu dua puluh tahun pasca kemerdekaan. Jean Couteau, seorang akademisi dan sejarawan yang telah menerbitkan berbagai buku mengenai seni dan budaya Bali, di antaranya Bali Inspires: The Rudana Art Collection (Tuttle Publishing, 2011), menyajikan amatannya akan perkembangan seni rupa di Bali pada cakupan tahun yang sama. 

Pembicara Pertama

Agus Burhan mengawali pemaparan pertama dengan pokok Seni Lukis Modern dan Dialektika Keindonesiaan (1950-1970). Ia menyajikan pemikiran-pemikiran yang melatarbelakangi dialektika keindonesiaan serta contoh-contoh karya yang menggambarkannya. Babak-babak yang digarisbawahi oleh Agus Burhan adalah nasionalisme kerakyatan pada tahun 1950-an, kerakyatan revolusioner pada 1960-an, hingga seni rupa lirisisme (humanisme universal) pada 1970-an.

Pada babak 1950-an pasca kemerdekaan, visi estetik yang beredar dalam medan seni kita memiliki muatan nasionalisme: bercorak antikolonialisme, mencari keindonesiaan, dan menampilkan realitas yang kontekstual dengan kerakyatan. Nasionalisme kerakyatan yang bertumbuh sejak digagas oleh anggota-anggota Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada 1938 menjadi kian matang pada masa Jepang, dengan berkembangnya lokus-lokus pendidikan kesenian seperti Keimin Bunka Shidōsho dan Poesat Tenaga Rakyat (Poetera). Dalam perkembangannya, jiwa kerakyatan dengan pandangan sosialis itu membentuk paham kerakyatan revolusioner yang didukung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Nasionalisme kerakyatan menjadi visi estetik masuk akal jika melihat gambaran situasi pada masa itu yang disampaikan oleh Agus Burhan. Penggagas awalnya, Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), hidup dengan bekerja serabutan, ini hal wajar pada kondisi krisis akut sosial ekonomi dan infrastrukturnya. Ide seniman bohemian yang dekat dengan masyarakat bawah lantas terlukis dan menjadi citraan yang melegenda hingga hari ini di kalangan umum.  

Akan tetapi, tahun 1950-an, seni lukis yang merakyat ini naik ke permukaan kalangan atas karena Presiden Soekarno menjadi patron aktif bagi kalangan seniman. Hal ini juga kemudian menggerakkan Dinas Penerangan RI, kolektor Mayjen Bambang Sugeng, Raka Sumichan, Wen Peor, beberapa perusahaan, dan ekspatriat untuk mengoleksi karya-karya seni tersebut. Peran Soekarno sebagai pencipta tren seni lukis pada masa itu juga nantinya berdampak dalam seni lukis Bali, sebagaimana yang dipaparkan oleh Jean Couteau di sesi berikutnya. 

Visi estetik nasionalisme kerakyatan juga kian merebak pada generasi pelukis angkatan baru berkat munculnya berbagai sanggar yang dipimpin penggagas-penggagas visi tersebut. Sanggar-sanggar itu di antaranya adalah Seniman Indonesia Muda atau S.I.M (Madiun 1946, Solo 1947, Yogyakarta 1948), Pelukis Rakyat (1947) dan Sanggar Bumi Tarung (1959/1960) di Yogyakarta, serta sanggar lainnya di Bandung, Medan, Surakarta dan Surabaya.

Beberapa contoh karya yang disajikan untuk menggambarkan dialektika ini di antaranya: “Kawan-Kawan Revolusi” (1947) karya S. Sudjojono, “Laskar Rakyat Mengatur Siasat” (1946) karya Affandi, “Persiapan Gerilya” karya Dullah, “Pengantin Revolusi” (1955) karya Hendra Gunawan.  Di samping itu ada pula karya-karya yang mengusung tema kerakyatan humanis seperti “Pertemuan” (1947) karya Otto Djaya, “Kethoprak” (1956) karya Soerono, “Doger” (1956) karya Djoni Sutrisno dan “Awan Berarak, Jalan Bersimpang” (1957) karya Harijadi.

Memasuki babak kedua, kerakyatan revolusioner pada 1960-an, visi estetik kerakyatan pada seni lukis menjadi sangat dominan. Agus Burhan menandai bahwa kondisi itu dipertegas ketika kesenian menjadi alat persaingan lembaga-lembaga politik praktis. Visi realisme sosialis merupakan ide kesenian yang dipropagandakan Lekra, yang sejalan dengan Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) dan Manipol (Manifesto Politik) di masa “Demokrasi Terpimpin”.

Salah satu figur yang dikenal vokal pada babak ini adalah S. Sudjojono, yang sewaktu di S.I.M mencanangkan perubahan gaya lewat pernyataan “kembali ke realisme.” Setelah sebelumnya dikenal dengan gaya ekspresionistik dengan garis-garis yang kasar, lukisan S. Sudjojono periode realisme dimulai dengan: “Potret Seorang Tetangga” (1950), “Mengungsi” (1957) dan “Seko (Perintis Gerilya)” (1957). Perubahan karya S. Sudjojono menuju―yang ia beri istilah sebagai―“realisme nasi” lebih dimaksudkan untuk fungsi komunikatif dan mudah dicerna masyarakat.

Perubahan tersebut membuka jalan pada wacana menuju realisme sosialis (kerakyatan revolusioner). Agus Burhan mencatat bahwa ciri visualnya memperlihatkan ekspresi rakyat yang mengeras, potensi perlawanan dan konflik sosial. Seperti karya Amrus Natalsya: “Pekerja yang Membangun Kota” (1960/1961), karya Itji Tarmizi: “Lelang Ikan” (1964), karya Misbach Tamrin: “Gejolak” (1960/1961), karya Batara Lubis: “Mengganyang Macan Kertas” (1960/1961), karya Djoko Pekik: “Tuan Tanah Kawin Muda” (1964), karya Kusmulyo: “Bojolali” (1965), dan karya-karya ilustrasi Delsy Syamsumar di majalah Bintang Timur pada tahun 1961. Selain lukisan, poster dan patung pun juga berperan dalam menyebarluaskan ideologi tersebut. 

Babak terakhir yang dipaparkan Agus Burhan adalah seni rupa lirisisme (humanisme universal) pada 1970-an, yang cikal bakalnya ditandai dengan dibentuknya pernyataan Manifes Kebudayaan. Pernyataan ini dulunya dicemooh secara tajam dari pihak Lekra dengan memberikan akronim Manikebu yang berarti sperma kerbau, sehingga penggunaan singkatan ini bersifat pejoratif. Reaksi dan perlawanan kelompok Manifes Kebudayaan memakai landasan paradigma humanisme universal, yang menekankan kesadaran kebebasan manusia dan kreativitas penciptaan kesenian. Dalam perkembangannya, visi estetik kesenian di masa awal Orde Baru ini menjadi tesis baru yang menggeser kecenderungan langgam kerakyatan revolusioner.

Pandangan estetik ini melahirkan ungkapan yang menitikberatkan perasaan dan emosi (lirisisme), yang mengandung sifat-sifat abstrak, intuitif, imajinatif, dekoratif, nonformal, improvisatoris, serta adanya sintesis idiom bentuk tradisi. Dalam sesi tanya jawab, pembicara menambahkan bahwa kecenderungan ini telah mulai digagas oleh Oesman Effendi (OE), Zaini, Nashar dan Rusli sejak masanya di S.I.M. Namun, gerakan ini kian pesat pasca 1965 dengan berkembangnya komponen pendukung kesenian di medan seni Indonesia, yakni program-program pemerintah dengan mendirikan akademi dan pusat-pusat kesenian (Taman Budaya), serta adanya konsensus kultural di mana pelukis harus mempertahankan identitas lokal-nasional.

Beberapa contoh di antaranya: Amang Rahman―pelukis Surabaya, dengan ungkapan yang surealistis, Ahmad Sadali dan OE menggarap bentuk abstrak dengan muatan mistis-religius, Abas Alibasyah, Fadjar Sidik, Widayat, Amri Yahya, Suparto, Rusli, Zaini, Nashar, A.D. Pirous, dan Srihadi Soedarsono membuat bentuk-bentuk abstraksi dari transformasi elemen alam dan tradisi. Langgam ini juga diteruskan oleh generasi seniman baru pada masa itu, yakni: Umi Dahlan, Sunaryo, Haryadi Suadi, Aming Prayitno, Nyoman Tusan, Nyoman Gunarsa,  Suwaji, Subroto S.M., Irsam, Mulyadi W., dan Made Wianta.

Menjawab pertanyaan moderator Nirwan Dewanto pada akhir sesi, Agus Burhan pun menambahkan bahwa karya-karya yang ia sebutkan dalam presentasi tersebut sebagian besar merupakan koleksi yang ada di Istana Negara dan Galeri Nasional Indonesia, sehingga hadirin yang ingin menelusuri lebih jauh dapat mengakses karya-karya ini di ruang publik tersebut.

Pembicara Kedua

Jean Couteau memaparkan materi bertajuk Nasionalisme di dalam Seni Rupa di Bali. Ia mengurai isu nasionalisme dan kebhinnekaan dalam ragam seni rupa Bali, di mana akar tradisi, spiritualitas dan situasi politik saling bersinggungan dalam membentuk kemodernan seni di Bali. Pembicara membagi babak periode ini dengan melacak perubahan dari estetika tradisional, pemodernan bentuk rupa, pemfokusan keeksotisan, simbolisme religius, dan ragam modern “tradisi”.

Di Bali, evolusi ke realisme dan modernisme lebih baru dan bersifat ganda; merujuk kesenian yang ada di desa dan di kota. Perkembangan seni rupa modern yang tercatat di desa dimulai pada tahun 1910-an, ditandai dengan pembukaan sekolah dasar pertama. Hal ini dicermati lewat perubahan dunia visual pada karya-karya senimannya; yang sebelumnya cenderung bersifat peniruan dari memori visual. Masyarakat Bali umumnya memiliki perhatian dan ketertarikan yang tinggi terhadap visual sehari-hari, seperti membuat sesajen, melihat tari, pertunjukan hingga melakukan ritual. Kebiasaan ini terlihat pada karya Kamasan yang ada di masa prakolonial, di mana sistem rupa terdiri dari peniruan pola pewayangan. 

Di daerah perkotaan pasca 1945-an, Jean Couteau mengamati bahwa evolusi ini dipercepat di bawah pengaruh pelukis Eropa seperti Walter Spies dan Rudolf Bonnet yang membawa paham-paham modernisme. Namun, evolusi pada gaya gambar di kota ini mempertahankan estetika tradisional (ruang penuh, penggunaan motif, simbolisme). Jika melihat di Jawa, peralihan dari seni simbolis Jawa menuju seni yang mengamati kenyataan terjadi sedini pertengahan abad ke-19; ditandai dengan karya-karya Raden Saleh dan perkembangan seni lukis Mooi Indië.

Untuk melihat cikal-bakal seni Bali yang “nasionalis”, Jean Couteau menampilkan lukisan Ida Bagus Grebuak dan I Nyoman Ngendon. Pada karya Ida yang menampilkan suasana pertandingan bola, tampak bahwa tubuh digambarkan dengan lebih natural, adegan lebih kekinian, tetap dengan aspek pemenuhan ruang, pengulangan figur, dan interaksi yang bercerita. Lukisan Ida ini menunjukkan ambiguitas antara seni rupa yang modern dengan yang tradisional. Sedangkan karya I Nyoman Ngendon, seniman yang juga merupakan pejuang revolusi, menunjukkan fase lanjutan yang mempelopori representasi yang semakin modern. Karya yang ditampilkan menggambarkan seorang pria yang duduk sembari merokok dan menatap selembar potret. Ada upaya realis dengan menunjukkan pakaian non-tradisional serta hanya menghadirkan satu figur, alih-alih serangkaian kelop (sesuai) figur yang memenuhi bidang gambar. Karya keduanya mengindikasikan potensi nasionalis pada perkembangan seni rupa di Bali, dengan menampilkan visual-visual keseharian, yang bisa jadi sejalan dengan kecenderungan kerakyatan humanis yang dipaparkan oleh Agus Burhan.

Perkembangan seni rupa modern Bali selanjutnya ditandai dengan berdirinya organisasi Pita Maha (1937). Titik ini diambil karena munculnya pemodernan bentuk rupa, seperti yang terlihat pada karya I Gusti Nyoman Lempad dan Anak Agung Gde Sobrat. Lewat pengajaran dari referensi yang dibawakan Spies dan Bonnet, para seniman Bali ini meramunya dengan gaya Bali di mana ada representasi anatomi tubuh yang proporsional dan ruang yang realistis, serta menampilkan adegan-adegan keseharian manusia.

Situasi politik Bali juga mempengaruhi kecenderungan pada masa itu. Pada zaman pendudukan Jepang, pameran-pameran yang ada konon sangat mengakomodir jati diri tradisional para seniman, karena di satu sisi, karya-karya yang bersifat “nasionalis” lebih direm. Namun Jean Couteau mengatakan belum ada bukti formal yang mendukung hal tersebut. Peran puri dan istana juga kuat dalam mengarahkan identitas karya, karena kebanyakan seniman berasal dari desa yang diwajibkan patuh pada perintah raja. Ada pula trauma kolektif dengan revolusi kemerdekaan di Batuan, Jatasura yang memakan banyak korban, di antaranya Ngendon sendiri. Menurut pembicara, faktor-faktor tekanan politik inilah kemudian yang mendasari bahwa gaya seni rupa Bali lebih banyak merepresentasikan tradisi, namun bukan berarti seniman-seniman ini tidak nasionalis.

Pertukaran budaya dari diaspora pelajar Bali di pulau Jawa beserta kedatangan seniman-seniman dari Jawa seperti Affandi, Srihadi Soedarsono, Rusli, Barli dan Dullah pun turut mempengaruhi perkembangan identitas keindonesiaan di dalam seni rupa Bali. Hal ini memantik perkembangan neo-impresionis dan neo-ekspresionis, salah satunya pada lukisan-lukisan Raka Swasta.

Pengaruh inipun kemudian turut mengembangkan tema keeksotisan yang dipersepsikan sebagai kecenderungan nasionalis pada seniman lukis di Bali, seperti figur perempuan bertelanjang dada di sawah dan pasar, yang kemudian pun didukung oleh patron aktif Presiden Soekarno. Penggambaran keeksotisan Bali menjadi titik negosiasi seniman Bali masa itu untuk mengangkat identitas keindonesiaan pada kekaryaannya.

Pasca Oktober 1965,  dengan situasi seperti yang terjadi di Jawa di mana wacana realisme sosialis ditekan, langgam modern Barat pun kian dirangkul secara formal ditandai dengan dibukanya Institut Seni Indonesia (ISI) Bali pada tahun 1967. Hal ini juga memantik kecenderungan abstraksi dari simbolisme religius Bali sebagai ungkapan identitas lokal yang kelak menjadi dominan, di antaranya adalah karya-karya A.A Rai Kalam dan Nyoman Tusan.

Perkembangan selanjutnya ditandai dengan terbentuknya Sanggar Dewata di Yogyakarta, 1967, yang merangkul diaspora seniman Bali. Sanggar ini mengadopsi corak-corak di Yogyakarta dan kemudian turut menyebarluaskan ragam seni lukis berdasarkan tafsir kebangsaan: Bhinneka Tunggal Ika. Ragam ini dengan sadar mengedepankan anasir ikonik Bali (tari dan wayang). Nyoman Gunarsa menjadi pelopor kecenderungan ini lewat sketsa-sketsa cepat dengan pendekatan semi-abstrak dan kaya warna pada lukisannya.

Ragam Bhinneka ini kemudian memunculkan pemfokusan ke ikonografi agama Hindu pada seni lukis Bali periode 1970-1980an. Seniman-seniman ini menciptakan karya-karya pseudo-abstraksi dari prinsip alam semesta Hindu, seperti Wayan Sika, Nyoman Erawan, I Made Djirna. Ragam ini juga sejalan dengan kecenderungan abstrak liris di Jawa, seperti pada karya A.D. Pirous dan Amri Yahya yang disebutkan oleh Agus Burhan, di mana seniman mencoba menggali kembali khazanah tradisi dan ikon-ikon spiritualitasnya.

Ada pula Ragam Tunggal, yang dikenal lewat karya Made Wianta. Ragam ini menolak acuan ikon-ikon pariwisata budaya Bali dalam seni rupa, yang dapat dibaca sebagai pernyataan non-politik namun bernafas sosial. Mereka menomorduakan identitas kesukuan untuk menggali abstraksi geometris dengan corak baru yang lebih mengglobal. Ragam ini terlihat pada karya instalasi dan performance Wianta dengan eksplorasi medium knalpot. 

Di saat yang sama, tradisi lukis dari Pita Maha tetap berkembang dan menghasilkan ragam modern “tradisi”, yang menjadi babak ragam terakhir yang dipaparkan Jean Couteau. Seniman-seniman ini mengikuti arus rupa yang religius untuk dipadukan dengan estetika pasca-Pita-Maha yang realis. Dua maestro dari ragam ini di antaranya Dewa Nyoman Batuan dan Ketut Budiana.

Jean Couteau menekankan bahwa dengan adanya tradisi visual di Bali yang masih dipertahankan hingga hari ini bersamaan dengan kaidah realis yang diajarkan di akademi seni, perkembangan seni lukis Bali ini bukanlah sesuatu yang berjalan secara linear. Kemunculan kesadaran nasionalisme yang berbeda di Bali membuat perkembangan seni rupa Bali memiliki ciri yang khas, sehingga andai ditanya kapan modern dan kapan tradisi, kita akan sedikit kesulitan untuk meletakkan di mana kursornya. Ambiguitas memang menjadi ciri khas perkembangan seni rupa modern Bali, dan bisa jadi, ciri seni rupa Indonesia secara keseluruhan yang selalu memiliki sentuhan ganda.

Kedua bahasan ini memancing hadirin pada sesi tanya jawab untuk mengingat kembali permasalahan tanpa titik terang yang dibawa oleh kritikus dan seniman Oesman Effendi (OE) pada tahun 1969 mengenai “Seni Lukis Indonesia Tidak Ada” serta kritikus Dan Soewardjono di tahun-tahun berikutnya. Di tengah semarak konsensus kultural masa itu, para kritikus itu mensinyalir bahwa karya-karya itu belum bisa memperlihatkan jati diri keindonesiaan yang kuat dengan masih terlacaknya pengaruh “Barat”. Isu ini pun melanda bukan seni lukis aja, namun juga sastra, pertunjukan, tari serta bentuk kesenian modern lainnya.

Perlakuan kata “di” pada judul program ini: Seni Rupa Modern dan Nasionalisme (di) Indonesia, mengingatkan penulis pada pemerihalan OE dalam pernyataannya pada tahun 1969 tersebut. Ia mengatakan bahwa seni lukis Indonesia tidak atau belum ada, yang ada hanyalah seni lukis “di” Indonesia. Bicara soal keindonesiaan, berbagai risalah sejarah seni rupa yang tersedia secara umum cenderung masih memiliki bias Jawa-sentris. Risalah itu mengasumsikan letupan-letupan pergerakan kesenian yang ada di sekitar pulau itu, terutama yang berada di Bandung, Jakarta dan Yogyakarta, menjadi monumen gagasan yang diamini sebagai perwakilan identitas keindonesiaan. Seturut antropolog Yunus Melalatoa di Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (1995), identitas kita bersifat plural atau jamak, sebab identitas bangsa Indonesia yang disebutkan dalam UUD 1945 adalah identitas tiap-tiap suku di seluruh Indonesia.  Kejamakan ini menghasilkan perundingan tiada akhir antara pewacana seni rupa Indonesia demi menutup celah-celah akan ketidakterwakilan ini. Untuk mengimbangi bias geografis ini, seri webinar Salihara kali ini menjadi menarik dengan menghadirkan beragam perspektif dari kesejarahan seni rupa, baik yang terjadi di Jawa hingga yang muncul di Bali. Peluang pencarian keindonesiaan sangat bisa dan perlu diteruskan pada titik-titik geografis lain di Indonesia, yang dapat menjadi catatan bagi pemerhati seni dalam menggalang wacana seni rupa di kemudian hari.  

Kita melihat bagaimana pada periode 1950-1970, pemerintah berandil dalam mengarahkan arus corak seni yang bernafas keindonesiaan. Peran Soekarno dalam mempopulerkan seni lukis bertema kerakyatan dan keeksotisan Bali, hingga polemik Lekra versus Manifes Kebudayaan menjadi bukti keotoriteran masa itu dalam membentuk wacana seni rupa yang tersebar. Keberagaman bentuk dan wacana seni hari ini, selain sebagai penanda kekontemporeran, juga dapat menandakan bagaimana kekuasaan kini tersebar di berbagai rumpun masyarakat.

Apabila melihat situasi seni kontemporer dunia hari ini, bentuk-bentuk seni seperti seni pelibatan (participatory art) atau seni keterkaitan (relational art) dari Barat sebenarnya bisa menjadi hal yang amat ketinggalan zaman apabila kita membandingkannya dengan praktik berkehidupan di berbagai budaya Indonesia. Ilustrasi berkehidupan Bali yang diceritakan Jean Couteau menunjukkan bagaimana seni selalu menjadi bagian keseharian masyarakat, jauh sebelum penahbisan galeri kubus putih akan apa yang dianggap seni dan bukan. 

Cara berpikir seni modern membuat seniman Indonesia harus merepresentasikan ulang kesehariannya secara dwimatra ataupun trimatra. Keharusan merepresentasikan ini menghasilkan berdekade-dekade kecanggungan di para pewacana seni ketika mencoba menafsirkan keindonesiaan pada medium seni yang sangat membatasi naluri manusia Indonesia untuk hadir dan beraksi langsung di lapangan (present alih-alih represent)

Perihal ini setali dengan kritik kurator Asep Topan pada sesi diskusi, menyoal: “Bagaimana kita dapat membuktikan bahwa lukisan-lukisan realisme sosial yang dijelaskan tadi mampu “mengobarkan semangat rakyat?” Apakah rakyat yang dilukiskan di dalam karya-karya tersebut juga aktif menjadi penontonnya?” Dewasa ini, berbagai praktik seniman, kolektif dan ruang alternatif seni di Indonesia pascareformasi mengindikasikan semangat pembebasan dari kungkungan seni modern dan pengaruh Barat. Generasi seniman baru ini dengan menghasilkan identitas keindonesiaan lewat karya, proyek, dan program yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, tanpa mengatasnamakan gerakannya sebagai seni pelibatan ataupun seni keterkaitan.  

Peran lokus-lokus pendidikan seni dalam membentuk keindonesiaan ini pun menjadi butir penting dari pembahasan ini. Baik lewat sanggar, kelompok hingga kampus seni seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Institut Seni Indonesia (ISI), mazhab keindonesiaan dalam seni rupa coba diformulakan dan didakwahkan dalam pengajarannya. Pengaruh Barat yang diperdebatkan di atas itu tak lepas karena referensi dan kurikulum pengajaran kampus modern yang memang mengadopsinya dari sana.  Lokus pendidikan seni, formal maupun informal, dapat menjadi wahana penerang bagi dialektika keindonesiaan, apabila sumber pengetahuan yang diajarkan tidak melulu dari luar, namun dari dalam Indonesia.  

Diskusi ini mengantarkan pada peluang pencarian keindonesiaan, di mana metode artistik seniman mestilah berjangkar pada konteks lokal di mana dia berada. Pada tiap ragam seni keindonesiaan yang dicontohkan oleh kedua pembicara, kita bisa melihat bagaimana situasi keseharian yang melingkupi seniman tercermin dalam karyanya. Dari figur-figur pejuang kemerdekaan pada masa kerakyatan revolusioner, hingga ragam modern “tradisi” di Bali yang menggambarkan ikonografi agama mayoritas masyarakatnya; kesemuanya mencoba memvisualkan ulang situasi yang ada di depan matanya saat itu. Sebagaimana catatan Nirwan Dewanto pada akhir diskusi, penelusuran ini memperlihatkan bagaimana Indonesia mencerna modern. Keindonesiaan itu kualitas yang plural, dan berlapis-lapis; sesuatu yang tak pernah final, sebab zaman terus berganti dan tantangan keseharian seniman di setiap generasi tak akan pernah sama.***

Gesyada Siregar adalah seorang kurator, penulis dan pengurus kegiatan seni. Ia bekerja sebagai koordinator subyek Artikulasi & Kurasi di Gudskul: Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer, Jakarta. Beberapa pameran yang ia kuratori adalah pameran tunggal Syaiful “Jahipul” Ardianto Corak Klise Bererot (RURU Gallery, 2020), Festival Seni Media Internasional “Instrumenta”: Sandbox & Machine/Magic (Galeri Nasional Indonesia, 2018-2019) dan pameran koleksi Dewan Kesenian Jakarta karya Nashar, Oesman Effendi, Rusli dan Zaini: Lukisan Tanpa Teori (Galeri Cipta III, 2017). 

Ia menulis tentang lukisan Cap Go Meh karya S. Sudjojono untuk seri buku Pusaka Seni Rupa Indonesia (Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2017). Ia telah berceramah dan dilibatkan di berbagai bincang publik seperti Simposium Equator Biennale Jogja (2016), Art Jakarta (2019), serta di Art Gallery of York University (Toronto, 2019), Monash University (Melbourne, 2020), dan Festival sur le Niger (Ségou, 2021).

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter