Catatan pendek Musim Seni Salihara 2022
Seni adalah cara kita memuliakan kehidupan. Kita pernah berada pada dua tahun lebih mengalami pandemi Covid-19 yang berlaku di seluruh dunia, seni tetap menjumpai kita, dengan cara apa saja, untuk mengingatkan bahwa hidup selalu berharga dan makin berharga. Juga melalui dunia maya. Kita tahu bahwa situasi karantina sosial telah memaksa kaum profesional mencari pelbagai cara baru supaya tata kehidupan berjalan baik. Demikian juga kaum seniman. Kematian, derita dan rasa sakit di sekitar tidak bisa menghentikan kreativitas. Di tengah perkabungan dan solidaritas, tentu kita bersyukur untuk segala keindahan, kehalusan dan kecerdasan yang tetap datang kepada kita melalui seni dan ilmu melalui kanal-kanal internet dan media sosial. Pada 2022, kita memasuki waktu untuk bisa berwajah cerah ketika, di ujung pandemi saat itu, kehidupan sosial kita mulai bersemi kembali.
Bersemi kembali—dan berseni kembali. Bukan berarti bahwa di hari-hari pandemi lalu kita kekurangan seni. Bukan sama sekali. Bukankah begitu berlimpah hasil eksperimentasi dari kaum seniman di media daring, tidak sedikit pula yang memperbaharui selera dan wawasan kita? Namun ada waktunya seni mengambil tempat lagi di tengah kancah hidup kita bersama, yakni bahwa kita, pemirsa, hadir berhadapan langsung dengan karya-karya seni—hadir dengan segala degup tubuh dan nyawa kita. Pameran seni rupa dan pertunjukan teater, misalnya, adalah peristiwa yang—sebaik-baiknya—kita alami langsung.
Musim Seni Salihara 2022 adalah tawaran untuk menyambut datangnya musim semi setelah musim dingin interaksi sosial dalam dua tahun terakhir (2020-2022). Ini adalah saat ketika kita semua, dengan sikap riang sekaligus berhati-hati, mulai kembali ke gelanggang re-kreasi bersama, melazimkan diri lagi untuk menonton bersama. Dengan tetap merawat dan mengembangkan pelbagai cara komunikasi dan format seni yang tercapai di masa karantina sosial. Para seniman pertunjukan, misalnya, telah mengupayakan pelbagai karya yang bersifat—tentu bukan hanya rekaman pertunjukan mereka—videografis dan interaktif melalui medium daring. Itu sebabnya Musim Seni Salihara 2022 menampilkan pelbagai sajian langsung maupun sajian daring.
Musim Seni Salihara adalah kelanjutan Salihara International Performing Arts Festival (SipFest), peristiwa dua tahunan yang pernah kami selenggarakan sejak 2008 hingga 2018. Musim Seni Salihara 2022, secara khusus menampilkan sejumlah hasil eksperimentasi dari para seniman boneka kontemporer. Nusantara sangat kaya akan khazanah teater boneka dan wayang, dan sudah semestinya seni pertunjukan dan seni rupa kita mengambil inspirasi dari padanya. Warisan itu pula yang hadir dalam sajian musik di Musim Seni Salihara. Sejumlah komponis Indonesia menghadirkan karya-karya yang bertolak dari, dan tentu memperkaya, khazanah musik gamelan kita. Sikap serupa pula tampak dari karya-karya para koreografer di gelanggang yang sama. Sementara itu, ada pula pembicaraan tentang warisan Teater Baru Indonesia secara daring.
Program luring hingga daring.
Musim Seni Salihara 2022 menampilkan sejumlah koreografer Indonesia, yaitu Josh Marcy dengan karya Performing Spiral, sebuah karya tari yang tidak hanya menjadi sebuah pertunjukan, namun juga dibayangkan sebagai sebuah praktik terbuka dan refleksi tubuh dalam praktik sosial sehari-hari. Josh Marcy menggagas pemanggungan karya ini sebagai suatu peleburan dari praktik terbuka dengan pertunjukan tari. Fitri Setyaningsih dalam karya Sleep Paralysis mengolah pengalaman tindihan (sleep paralysis) dengan mengurai mekanisme tidur dan mekanisme bangun dari kondisi sleep paralysis. Kelompok tari dari Taiwan Cloud Gate, turut mewarnai Musim Seni Salihara 2022 melalui karya 13 Tongues yang ditayangkan secara daring. Dalam 13 Tongues, koreografer Cheng Tsung-lung mengubah ingatan masa kecilnya tentang ritual Tao dan hiruk pikuk kehidupan jalanan Bangka menjadi dunia fantasi.
Komposer Indonesia Marisa Sharon Hartanto, bersama kelompok musiknya Bar(u)atimur Ensemble menampilkan pertunjukan musik Lewat Masa Kritis. Pertunjukan musik ini menampilkan Gamelan Sunda degung temprak dengan instrumen Barat (flute, dua violin, viola, dan selo) disertai vokal kontemporer yang membawa kita pada perenungan bunyi melalui koridor masa kritis. Dewa Alit dan Gamelan Salukat hadir secara daring dengan karya GENETIC, karya ini berangkat dari sebuah ide genetik yang dilihat sebagai transformasi bentuk. Sinta Wulur (Belanda) juga hadir secara daring melalui karya Ritual Bells, Global Gongs, sebuah konser teatrikal yang memiliki nuansa Timur dan Barat.
Komunitas Sakatoya dan Ugo Untoro berkolaborasi menampilkan karya Amongraga, pertunjukan teater boneka yang menggunakan teks Amongraga dari Serat Centhini untuk dikembangkan menjadi dialog, alur cerita, penentuan tokoh karakter, dan kebutuhan artistik pertunjukan. Kelompok teater asal Bandung, Wayang Motekar yang dipimpin oleh seniman Herry Dim menampilkan Let’s Save the Earth. Karya ini menunjukkan perkembangan Wayang Motekar dari masa sebelumnya yang meletakkan aspek penceritaan pada bahasa verbal melalui narasi dalang, kini bergeser menggunakan bahasa rupa dan bunyi. Musim Seni Salihara 2022 juga menghadirkan Pentas Bincang secara daring bertajuk Mengapa Seni Peran?, menampilkan Tatiek Maliyati alumni ATNI generasi pertama yang melanjutkan studi teaternya hingga rampung di Department of Drama-Fine Arts, Carnegie-Tech Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, pada 1961. Pentas Bincang ini memperbincangkan ihwal teater dan seni peran. Terutama seni peran yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan teater semacam Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), tempat Tatiek belajar teater dan seni peran hingga selesai. Perbincangan menyoal teater juga hadir dalam program gagasan khusus yang dikemas secara daring, yaitu Fokus!. Program ini membicarakan perihal pertumbuhan teater di Indonesia dan menghadirkan narasumber tokoh-tokoh seni yang dekat dengan wacana teater seperti Matthew Isaac Cohen, N. Riantiarno, Barbara Hatley, Goenawan Mohamad, Cahyaningrum Dewojati, M. Yoesoef, Benny Yohanes, Slamet Rahardjo, Kurniasih Zaitun, Yudi Ahmad Tajudin , Arthur S. Nalan dan Ibed S. Yuga.
Tidak hanya menampilkan karya terbaru, Musim Seni Salihara 2022 membuka akses untuk melihat kembali arsip dokumentasi video pertunjukan program Komunitas Salihara terdahulut. Di antaranya pertunjukan Butterfly Dream karya Arica Theater Company (Jepang), Transducer karya Speak Percussion (Australia), Monolog Sutan Sjahrir yang disutradarai Rukman Rosadi, dan Cablaka karya koreografer Otniel Tasman. Semua dokumentasi ini dapat dilihat secara daring melalui website Musim Seni Salihara yang saat itu beralamat musimseni.salihara.org.
Pada 2024, Komunitas Salihara akan kembali menghadirkan karya-karya seniman terbaik Indonesia dan mancanegara melalui SIPFest 2024. Nantikan karya-karya terbaik yang hadir di Komunitas Salihara. Kunjungi sipfest.salihara.org untuk informasi jadwal dan daftar penampil SIPFest 2024!