Obituari Ajip Rosidi

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Ajip Rosidi—mula-mula ditulis “Ajip Rossidhy—memasuki gelanggang sastra Indonesia pada usianya yang masih belia di era 1950-an. Ia dilahirkan di Jatiwangi, Jawa Barat, pada 31 Januari 1938. Ia telah menulis sastra pada usia 13 tahun, pada mulanya karya-karyanya diterbitkan di majalah sekolah, kemudian di majalah orang dewasa. Pada usianya yang ke-21 tahun, ia telah menerbitkan empat kumpulan prosa (Tahun-tahun Kematian, Di Tengah Keluarga, Sebuah Rumah buat Haritua, Perjalanan Penganten) tiga kumpulan sajak (Pesta, Cari Muatan, Ketemu di Jalan—bersama Sobron Aidit dan S.M. Ardan) dan sebuah buku kumpulan ulasan Cerita Pendek Indonesia.

Ajip adalah generasi penyair yang bereaksi terhadap warisan Chairil dan Angkatan 45. Sajak-sajaknya, begitu juga prosanya, ditulis dengan pendekatan autobiografis yang mencoba merawat hubungan yang akrab pembaca dengan dunia kultural Sunda dan kota-kota besar setelah Revolusi. Meski tidak sepenuhnya berhasil mengolah pengaruh Chairil Anwar dan Sitor Situmorang, seraya menjernihkan daya ucap puisi-puisinya, Ajip menegaskan kembali tegangan antara kampung halaman sebagai masa silam dan kota besar hari ini sebagai harapan kaum urban dan dia selalu tertarik untuk kembali ke masa silam yang indah. Sebuah romantisisme yang lebih lunak ketimbang yang dijalankan penyair generasi Pujangga Baru.

Perhatiannya bukan hanya berfokus kepada penulisan karya sastra, tetapi juga penelitian dan sejarah sastra, bunga rampai sastra, ensiklopedia, bahkan penerbitan dan dunia perbukuan. Pada 1962 ia mendirikan penerbit Kiwari di Bandung, selanjutnya Tjupumanik, Duta Rakyat, Pustaka Jaya, Girimukti Pasaka dan Kiblat Buku Utama. Pustaka Jaya, khususnya, berperan amat penting dalam menerbitkan buku-buku sastra (asli dan terjemahan) pada masa 1970-an hingga sesudahnya. Ia juga ikut mendirikan dan mengelola majalah Budaya Jaya yang telah memuat tulisan-tulisan bermutu tentang sastra dan budaya di era yang sama. Pada 1977 ia menerbitkan bunga rampai karya sastra Indonesia Laut Biru Langit Biru, sebuah upaya yang juga pernah diusahakan H.B. Jassin dan Sutan Takdir Alisjahbana di era sebelumnya. Bahkan sesuatu yang ensiklopedis melalui Ensiklopedi Sunda (2000) setebal 719 halaman tentang alam, manusia dan budaya Sunda.

Komitmennya untuk mempertahankan bahasa daerah sebagai media ungkap sastra daerah diwujudkannya dengan menyelenggarakan pemberian Hadiah Sastra Rancage pada 1989, yang pada setiap tahun memilih karya-karya sastra terbaik dalam bahasa Sunda. Pada mulanya hanya karya sastra berbahasa Sunda, kemudian berkembang ke karya sastra berbahasa Jawa, Madura, Bali, Lampung. Pemberian Hadiah Rancage, meskipun sering kesulitan dana, telah merangsang penerbitan karya-karya sastra berbahasa daerah dan menghidupkan terus kreativitas di antara para penulisnya.

Meskipun tidak menyelesaikan sekolah Taman Madya (setingkat SMA), Ajip Rosidi adalah penulis yang kemudian mendapatkan kehormatan menjadi dosen sastra dan budaya di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Termasuk ketika ia mengajar di sejumlah perguruan tinggi di Jepang dan mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ilmu Budaya dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung pada 2011.

Pada 29 Juli 2020 Ajip berpulang di desa Pabelan, Magelang, Jawa Tengah—desa yang ia pilih untuk menyepi di masa tuanya. Kita kehilangan seorang penulis yang tekun dan penuh semangat, ia yang bekerja keras memajukan bukan hanya sastra Indonesia, tetapi juga sastra Sunda dan sastra daerah lainnya. Beristirahatlah dengan damai, Ajip Rosidi.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter