Obituari: Srihadi Soedarsono

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo (Solo, 4 Desember 1931一Bandung, 26 November 2022) adalah salah satu tokoh dan seniman penting dalam khazanah seni rupa Indonesia. 

Ia mulai gemar menggambar sejak usia dini. Pada masa pendudukan Belanda, ia senang melihat karya para pelukis Belanda di majalah d’Orient. Sementara pada masa pendudukan Jepang, ia telah menjumpai lukisan S. Sudjojono, Basoeki Abdullah dan lainnya di majalah Djawa Baroe.

Pada akhir pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, Srihadi Soedarsono bergabung secara sukarela dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Dalam komunitas itu, ia ikut dalam kegiatan pembuatan poster-poster, grafiti, hingga menulis slogan-slogan perjuangan di dinding-dinding kota dan gerbong-gerbong kereta. 

Ia juga terlibat sebagai wartawan pelukis yang meliput peristiwa-peristiwa militer dan peperangan untuk dokumentasi, ulang-alik dari Solo dan Yogyakarta. Di tahun-tahun itu pula, rombongan Seniman Indonesia Muda (SIM, 1947) pindah ke kota Solo dan menempati sebuah gedung bekas bioskop, tidak jauh dari rumahnya. Ia berkenalan dengan S. Sudjojono, bergabung dengan SIM dan menjadi anggota termuda di perkumpulan itu, setelah sebelumnya gelar itu digenggam pelukis Kartono Yudhokusumo.

Srihadi Soedarsono melanjutkan pendidikan ke Balai Pendidikan Universiter Guru Seni Rupa FTUI Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) pada tahun 1952. Di sana ia mendapatkan pengalaman dan ilmu yang sepenuhnya baru. Perjumpaannya dengan Ries Mulder membawanya kepada corak seni lukis baru, yaitu seni abstrak dan kubisme. Ia kemudian melanjutkan studi ke Ohio State University (OSU). Di sana ia berjumpa dan berkarya di satu gedung seni rupa bersama Roy Lichtenstein, pelukis Amerika Serikat yang mengembangkan Pop Art di era 1960-an.

Dari pengalaman itulah Srihadi Soedarsono membaurkan berbagai gaya seni lukis. Ia memiliki gaya abstraksi yang khas. Salah satu tema yang paling ditekuninya adalah “horison”. Melalui esensi garis dan warna, ia membagi tegas mana yang langit dan mana yang bumi. Karya yang bisa merepresentasikan ini adalah seri Borobudur. Sedangkan kecenderungan abstrak figuratif dapat ditemukan di lukisannya yang bertemakan tarian. Meskipun demikian, ia tak melulu menempuh seni abstrak itu. Ada pula periode kritik sosial dalam karya-karyanya, seperti seri lukisan Lapar dan Kemiskinan (1960-an), misalnya.

Srihadi Soedarsono senantiasa melukis sepanjang hidupnya. Baginya “lukisan adalah alat untuk menyampaikan buah pikiran, mengungkap rasa dan kalbu.” Baginya kehidupan ini secara keseluruhan adalah perjalanan spiritual. Kini, Srihadi Soedarsono telah berpulang, namun karya-karyanya abadi. 

Istirahat dalam damai, Srihadi Soedarsono. Indonesia berduka dan kehilangan.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter