Sehari Multikultural di LIFEs 2023

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Bagaimana ragam budaya Frankofon dapat disajikan dalam satu hari rangkaian acara? Literature and Ideas Festival (LIFEs) 2023 mewujudkannya pada Jumat (11/08) lalu lewat rangkaian diskusi hingga musik selama satu hari. Lewat rangkaian program satu hari ini kita diajak melihat bagaimana literatur yang multikultur menghubungkan antar sesama penulis, seniman, pemikir, dan para pembaca dari berbagai belahan dunia.

 

15:00 – Rewriting the World Map: Multilingual Writing Across Languages and Continents
Pembicara: Abu Maha, Mozhdeh Ahmad, Gladhys Ellionai | Moderator: Primadita Rahma

Judul di atas merupakan pembuka dalam rangkaian sehari multikultur di Jumat pagi. Diskusi ini menghadirkan The Archipelago; sebuah kolektif berbasis literasi yang menghadirkan tulisan-tulisan dari para penulis yang mayoritas berasal dari daerah konflik seperti Sudan, Myanmar, dan Afganistan. Diskusi ini menghadirkan perwakilan dari The Archipelago; Mozhdeh Ahmadi, Penulis: Abu Maha, dan Gladhys Elliona, dimoderatori oleh Primadita Rahma. Diskusi dibuka oleh Mozhdeh yang menjelaskan apa itu Archipelago dan apa yang mereka kerjakan.

Archipelago tak hanya menjadi kolektif yang memberi ruang bagi penulis asing untuk menerbitkan tulisannya; mereka juga hadir untuk memberikan pelatihan bahasa atau penulisan atau membantu menghubungkan penulis-penulis tersebut dengan penerbit rekanan agar bisa menerbitkan tulisan-tulisan mereka. Archipelago aktif menerjemahkan tulisan-tulisan berbahasa asing ke bahasa Inggris agar tulisan mereka dapat tersampaikan secara universal. Tulisan-tulisan tersebut bisa berisi situasi di daerah konflik, harapan, serta impian tentang “rumah”. Sebab banyak penulis–dalam kolektif ini–yang akhirnya meninggalkan rumah atau tanah kelahiran mereka demi mendapatkan kehidupan yang aman jauh dari teror.

Inti dari diskusi ini berbicara mengenai suka dan duka Mozhdeh, Abu, dan Gladhys yang menulis dalam bahasa yang bukan bahasa asli mereka. Menulis bukan dalam bahasa ibu seperti yang sudah dijelaskan diperlukan untuk bisa menyasar audiens yang lebih luas. Namun ada beberapa ketakutan seperti tafsir yang berbeda, adanya sentimen bahwa penulis tidak merepresentasikan budaya yang diterjemahkan, dan lain sebagainya. Namun, dari diskusi ini jawaban atas ketakutan-ketakutan tersebut adalah “menerima keindahan dari ketidaktahuan selama proses menulis/menerjemahkan.” Dengan menerimanya, kita dapat belajar serta meningkatkan empati lewat proses tersebut.

(Dari Kiri ke kanan) Primadita Rahma bersama dengan pembicara: Mozhdeh Ahmad, Abu Maha, Gladhys Ellionai

Sebelum menuju sesi tanya jawab dengan peserta, diskusi diakhiri dengan pembacaan fragmen tulisan dari karya masing-masing pembicara. Yang pertama adalah Gladhys dengan judul “Lembur di Selatan” sebuah tulisan yang menceritakan kehidupan orang-orang pesisir yang ia terjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul To Vanish in the South. Selanjutnya adalah pembacaan fragmen tulisan dari Abu Maha berjudul Secrets of Nyala Market yang menceritakan kehidupannya yang mendapat perlakuakn tidak adil ketika  di kota Nyala, Sudan. Bagaimana Abu (dalam persepektif “aku”) diceritakan menerima perlakuan keji oleh aparat kepolisian yang dipicu oleh sikap rasisme dan menyebabkan dirinya harus pergi meninggalkan kota asalnya tersebut. Tulisan Abu tentang pasar Nyala ini mengantarkan ia menjadi pemenang dalam Archipelago’s 2021 Writing Competition. Terakhir adalah pembacaan puisi yang ditulis oleh Mozhdeh yang berjudul False Hope.

 

16:30 – Venture of Language
Pembicara: Elizabeth D. Inandiak | Moderator: Debra Yatim

Setelah berkelana mendengarkan cerita para penulis asing dari The Archipelago, kali ini Komunitas Salihara akan membawa pengunjung untuk mengikuti petualangan linguistik dari Elizabeth D. Inandiak yang terkenal dengan tafsiran dan terjemahan Serat Centhini–Yang diklaim oleh Elizabeth sebagai sebuah kisah yang sejajar dengan karya-karya Shakespeare dan Mahabarata–dari bahasa Jawa ke berbagai bahasa seperti Prancis dan Indonesia.

Elizabeth D. Inandiak menjelaskan petualangan linguistiknya di Galeri Salihara

 

Dalam diskusi ini Elizabeth juga menceritakan kisah dari novel terbarunya yang berjudul Dreams from the Golden Island yang berasal dari kisah-kisah yang dituturkan oleh penduduk di wilayah Muara Jambi yang tersedia dalam empat bahasa yaitu Mandarin, Indonesia, Prancis, dan Inggris. Buku ini menampilkan dongeng-dongeng, penelitian, dan catatan perjalanan dari masa lampau yang dikemas dengan narasi puitis lengkap dengan gambar-gambar yang–Elizabeth sendiri katakan–persis seperti manga di dunia modern.

 

 

19:00 – Tamu dari Seberang
Pembicara: Jean-Baptiste Phou, Johary Ravaloson, Zack Rogow
Moderator: Ajeng Kamaratih

(Kiri ke Kanan) Zack Rogow, Jean- Baptiste Phou, dan Johary Ravaloson bersama penerjemah
dalam diskusi di Teater Salihara

 

Setelah mengarungi perjalanan Elizabeth dengan petualangan linguistiknya, kali ini kita akan melihat perjalanan kreatif para penulis asing dari berbagai daerah di negara Frankofon seperti Madagaskar, Prancis, dan Amerika lewat karya-karya mereka. Dimoderatori oleh presenter; Ajeng Kamaratih, kita akan mengulas karya dari Jean-Baptiste Phou (Prancis), Johary Ravaloson (Madagaskar), dan  Zack Rogow (Amerika) dalam tema Multikulturalisme. Dalam diskusi ini, ketiga negara yang diwakilkan adalah Amerika (Zack), Prancis (John-Baptiste dan Johary) yang memiliki keterikatan dengan Indonesia dengan multikultural. Amerika dan Prancis misalnya yang  menjadi daerah tujuan para imigran dalam mencari penghidupan lebih layak dan Indonesia yang dikenal dengan keragaman etnis, agama, budaya, dsb. Diskusi ini melihat bagaimana ketiga seniman ini merepresentasikan keragaman tersebut dalam karya-karya mereka.

Zack Rogow, sebagai seorang Amerika banyak menulis puisi dan naskah drama. Salah satu naskah dramanya yang berjudul Colette Uncensored dimainkan di Salihara dan IFI Yogyakarta. Zack menceritakan akar dari puisi-puisinya banyak terinspirasi dari anaknya serta perjalanan spiritualnya terutama dalam karyanya yang bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai Dzikir Mbeling.

Berbicara tentang spiritual, kita juga akan berkenalan dengan Johary Ravaloson; seorang penulis asal Madagaskar yang menetap di Prancis, karyanya baru saja terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul Perburuan. Dalam Perburuan Johary menyematkan unsur spiritual yang akrab dengan masyarakat Madagaskar lewat mantra dan ritual. Dalam novel yang ia tulis, diceritakan Sikid–seorang reporter yang memburu berita– meninggal di pertengahan cerita. Mantra-mantra inilah yang ditulis guna membangkitkan Sikid dari alam kematian, yang terinspirasi dari budaya ritual Madagaskar dengan cara menyemai biji-bijian sebagai bagian dari ritual; memberikan nuansa etnik dalam kekaryaannya.

Penonton pun diajak membaca cuplikan dari mantra yang Johary tulis di dalam novelnya:

 

“Bangun! Bangun!

Bangunlah Sikid nan suci.

 Sikid yang kubangkitkan atas nama Sang Pencipta dan atas nama Pengatur Alam Semesta!

 

Bangun! Bangun!

Bangunlah Sikid Nan Suci, yang kepadanya telah kami salurkan tujuh kekuatan langit!”

 

Johary kini menetap di Prancis dan aktif sebagai seorang penulis. Selain Johary, hadir juga penulis Prancis keturunan Kamboja bernama Jean-Baptiste Phou. Berbeda dengan Johary yang sadar akan akar tradisinya, Jean tidak pernah tahu dari mana ia berasal. Ia lahir dan besar di Prancis, orang tuanya meninggalkan tanah kelahiran mereka karena situasi politik dan tidak pernah membahas masalah ini dengan dirinya.

Jean menceritakan bahwa orang Prancis memiliki kecenderungan untuk menilai siapapun yang berwarga negara Prancis adalah orang Prancis sendiri. Tidak ada istilah pembeda seperti Black-France, Chinese-France, dsb sehingga dia merasa tidak ada bedanya dengan warga Prancis lainnya. Ketertarikan bahwa dirinya “mungkin” tidak terlalu Prancis baru hadir di 90-an. Dia merasa ada sesuatu yang tersembunyi dari akar keluarganya yang akhirnya memicu dirinya untuk berkeliling ke berbagai negara di Asia. Setelah mendengarkan perjalanan kekaryaan dan sumber inspirasi dari Jean-Baptiste yang juga merupakan penulis, aktor, dan juga filmmaker. Setelah diskusi penonton diajak untuk melihat sebuah adegan dari pertunjukan teater Prancis yang berkisah mengenai stereotip orang Prancis terhadap orang-orang Asia dibalut dengan garapan komikal yang mengundang tawa.

Sebagai penutup, Ajeng menanyakan bagaimana pandangan ketiga seniman ini terhadap literatur Prancis dan negara Frankofon; Zack menjawab bahwa dengan banyaknya peraih Nobel sastra dari Prancis membuat literatur Frankofon menjadi lebih dikenal oleh dunia. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Jean dan Johary yang menyatakan bahkan di Prancis saat ini banyak sekali penerbit yang tertarik untuk menerbitkan karya-karya dari negara Frankofon. Hal ini berbeda dengan zaman dulu di mana karya dari negara Frankofon kurang dilirik oleh penerbit di Prancis.

Rangkaian acara satu hari ini ditutup dengan pertunjukan musik khas Prancis dan Frankofon oleh kelompok musik Klassikhaus. Untuk mengetahui ulasan lengkapnya sila membaca di sini.

Shopping Basket

Berlangganan/Subscribe Newsletter