Sandikala Ensemble dan Upaya Melampaui Kolonialitas

Ditulis oleh Amos. 

Menyaksikan pertunjukan Sandikala Ensemble di Salihara pada 4 Februari lalu, adalah pintu gerbang pada ruang harmoni baru berbasis gamelan Jawa, ruang-ruang asing tapi kadang akrab untuk telinga, ruang-ruang penuh noise dan distorsi yang bersumber dari 36 nada baru hasil eksperimen terhadap gender gamelan Jawa. 

Komposisi Dion Nataraja yang dibawakan oleh Sandikala Ensemble membawa audiens pada situasi ruang pertunjukan penuh noise, bunyi pukulan acak gamelan, gesekan rebab. Ruang harmoni yang dibangun begitu interuptif, seakan membawa kabur bebunyian gamelan berpola mipil atau imbal-imbalan seperti yang biasa terdengar dari pendopo sebuah keraton di Yogyakarta atau Solo. 

Dalam beberapa fragmen pertunjukan, senggreng alat penggesek rebab dipakai menggesek wilahan gender dan gong. Begitu juga dengan bagian bawah gagang tabuh gender yang dipakai untuk memukul secara acak wilahan gender. Teknik eksperimental dengan mengembalikan gamelan pada denging dan dengung menimbulkan suara yang sama sekali lain. Belum lagi noise digital yang bagaikan kepulan asap memenuhi rangkaian komposisi Sandikala Ensemble. Berbagai eksperimentasi itu membuat karya-karya komposisi yang disajikan begitu kuat, menginterupsi pakem-pakem yang disakralkan pada komposisi gamelan Jawa konvensional.  

Alunan gamelan dan distorsi bunyi begitu terdengar asing tapi akrab, keasingan itu mungkin konsekuensi dari upaya Sandikala Ensemble membangun ruang harmoni baru. Gender, instrumen penting dalam orkestra gamelan Jawa, menjadi instrumen penting dalam ruang makna yang Sandikala bangun. Komposisi “Hyperkembangan X”, “Herutjokro as Posthuman”, serta beberapa improvisasi kolaboratif dengan Sri Hanuraga dan Gerald Situmorang melempar telinga kita jauh-jauh dari alunan gamelan yang penuh pakem, di mana biasanya para turis menikmatinya karena alunan itu dianggap eksotik dan “khas Jawa”. 

Justru eksotisasi dan kekhasan Jawa itu yang Sandikala Ensemble ingin gugat dalam berbagai komposisi eksperimentalnya. Sandikala Ensemble melakukan dekonstruksi bunyi pada tonalitas gamelan Jawa yang selama ini dipakemkan dengan pakem slendro sampai pelog. Sandikala Ensemble membuat tonalitas sendiri yang lepas dari kekangan pakem musik Jawa dan pakem diatonik Barat sekalipun. Upaya ini adalah upaya keluar dari estetika dominan baik estetika tradisional atau modern, mungkin upaya itu sejalan dengan istilah delinking dari Walter Mignolo. 

Upaya mencari jalan lain dari kultur dominan ini membuat suara-suara Sandikala bukan sekadar eksperimen bunyi, tapi sebuah suara lantang untuk menggugat otoritas, kanonisasi, kekangan, lalu memilih menziarahi sisi lain dalam sejarah. Apa yang ditampilkan Sandikala Ensemble adalah upaya untuk terhubung kembali dengan pengetahuan lokal, tetapi dengan jalan tempuh alternatif yang sangat hibrida. Di mana batas-batas menjadi lokal, menjadi nasional, menjadi global, lebur pada upaya eksperimental yang penuh improvisasi. Keluar dari eksotisme Jawa yang dikomodifikasi selagi keluar dari kekangan estetika modernis Barat, hal ini membuat Sandikala Ensemble penting disimak. 

 

Pelog, Slendro, dan Penjajahan Estetik Terhadap Musik Jawa. 

Dalam sejarah kajian seni Jawa, mungkin tidak ada lembaga sebesar dan semasif Java Instituut yang mengkaji kebudayaan Jawa. Sejak berdiri pada 1919, Java Instituut menjadi pusat kajian Jawa paling penting sepanjang era kolonial. Jawa pada era kolonial berubah semenjak Perang Jawa (1825-1830), Farish Noor dalam kajian soal politik pengetahuan menggarisbawahi bahwa penjajahan tak hanya soal fisik, tapi juga soal pengetahuan. Mendata, mengkaji, melakukan sensus, dan berbagai upaya menghimpun pengetahuan adalah juga bentuk penjajahan. 

Pemetaan dan upaya meraup data adalah penting dalam sebuah kolonisasi pengetahuan, sehingga muncul klaim bahwa sang penjajah lebih paham masyarakat jajahan ketimbang mereka memahami diri sendiri. Dalam konteks kolonisasi pengetahuan itulah Java Instituut lahir, mereka mengumpulkan, mengarsipkan, mendata, berbagai artefak kebudayaan Jawa, Bali, hingga beberapa kawasan di Nusa Tenggara Barat. Gamelan Jawa sebagai artefak budaya tanah jajahan menjadi salah satu objek pengamatan bagi para etnomusikolog Belanda, terutama untuk membedah dan menguak estetika masyarakat jajahan yang tersembunyi dalam nada dan ritme “eksotik”.  

J.S. Brandts Buys, seorang etnomusikolog Belanda, membuat sebuah makalah berjudul “Een En Ander Over Javaansche Muziek” yang diterbitkan pada salah satu kongres Java Instituut. Pada makalahnya, ia menjelaskan cara kerja orkestra gamelan secara musikologis. Mulai dari pertunjukan, struktur komposisi, hingga fungsi tiap instrumen dalam orkestra gamelan. Apa yang Buys upayakan adalah penjelasan struktural pada musik Jawa, yang mana bagi Buys para seniman tradisi dan masyarakat Jawa sendiri “tak mau ambil pusing soal struktur musikal” (1929: 53-55). Buys memang memiliki klaim bahwa orkestrasi dalam gamelan Jawa bisa dilihat sebagai musik polyphonic, di mana penyajian harmoni berlangsung sangat kompleks. Begitu pula secara ritme, ada peran perkusif gendang yang membuat ritme gamelan begitu dinamis.

Pada satu bagian tentang tonalitas dan tangga nada dalam musik Jawa, Buys menjelaskan slendro dan pelog. Dalam tonalitas pelog, Buys melihat ada sebuah “nada” tambahan selain yang terpatri dalam tangga nada pelog. Apa yang dianggap baru bagi Buys dan agak misterius soal tonalitas pelog, memperlihatkan musik Jawa sebagai musik terra incognita, musik “dunia baru” yang perlu dieksplorasi dan dijelaskan strukturnya oleh etnomusikolog Barat seperti Buys. Tanpa para etnomusikolog Barat ini seakan-akan seni Jawa tak utuh, tak terjelaskan, dan tetap menjadi misteri. Sebagai tangga nada, slendro dan pelog mungkin dianggap “barang unik dan eksotik” dari negeri jajahan, di mana seluruh komposisi yang lahir darinya pun dieksotisasi.

(Arsip penotasian J.S. Brandts Buys, 1929)

 

Sementara menurut Jennifer Lindsay dalam buku “Javanese Gamelan”, penotasian representatif yang dilakukan terhadap gamelan Jawa tak bisa dilakukan untuk sebuah paten absolut terhadap tonalitas (1992: 38-42). Toh, jika ada beberapa gamelan dijajarkan dan dibunyikan, tentu gamelan-gamelan itu tak akan memiliki tuning yang benar-benar sama, baik intervalnya maupun nadanya. Menariknya, kajian-kajian etnomusikolog Barat pada musik Jawa era kolonial bertendensi untuk mencari paten absolut dalam kategorisasi musikal Barat modern. Padahal, gamelan Jawa dan berbagai musik lokal nusantara memiliki partikularitas yang khas.

Arsip-arsip Buys dalam Kongres Java Instituut yang saya temukan memperlihatkan upaya etnomusikolog Belanda untuk membangun paten terhadap musik Jawa versi mereka. Mulai dari penotasian representatif slendro dan pelog, penyingkapan melalui kajian pertunjukan gamelan, hingga klaim sepihak tentang seniman Jawa yang tak mau ambil pusing soal struktur musikal. Semua itu bisa dilihat sebagai pola umum dari para etnomusikolog Barat yang melihat kebudayaan Jawa sebagai yang Liyan, yang perlu diperadabkan, yang perlu diberi pencerahan melalui estetika modern.

***

Sandikala Ensemble melalui karya komposisi eksperimentalnya melakukan perebutan ulang sejarah (historical reclaiming), khususnya terhadap gamelan. Pada periode abad 19-20, ada eksotisasi, representasi, dan berbagai “penjajahan estetika” atas nama estetika Barat nan adiluhung. Gamelan dipandang Buys dan para etnomusikolog Belanda hanya sebagai “barang seni eksotik” dari tanah jajahan. Segala upaya mendefinisikan gamelan, membekukannya, lalu membuat paten absolut sesuai standar musikal Barat, adalah kekerasan yang jelas terlihat dalam estetika kolonial.

Ide-ide Walter Mignolo soal dekolonisasi pengetahuan nampak sesuai dengan proyek eksperimental Sandikala. Kolonialitas bagi Mignolo bukan sesederhana kolonialisme sepanjang abad 17-20 di tanah jajahan, kolonialitas adalah siklus penjajahan yang berulang dari zaman ke zaman hingga hari ini. Tak tepat menyebutkan bahwa kolonialisme telah berakhir semenjak bangsa jajahan memproklamirkan dirinya merdeka secara politik, justru institusi, cara kerja, sistem, dan hegemoni kultural era kolonial itu masih dilanggengkan hingga kini.

Walter Mignolo menawarkan konsep “relinking/delinking” untuk melampaui kolonialitas itu. Bagi Mignolo, diperlukan upaya terhubung kembali dengan lokalitas ulayat (indigenous) yang keluar dari kekangan modernitas. Dalam “Coloniality is Far from Over, and So Must Be Decoloniality”, Mignolo menutup tulisannya dengan mengatakan:

“Today decoloniality is everywhere, it is a connector between hundreds, perhaps thousands of organised responses delinking from modernity and Western civilisation and relinking with the legacies that people want to preserve in view of the affirming modes of existence they want to live” (2017: 45).”

Sandikala Ensemble menjadi prototipe estetika dekolonial melalui eksperimentasi kontemporer terhadap gamelan. Setelah dialihtubuhkan pada roh bebunyian baru, gamelan mendapatkan nyawa keduanya untuk hidup, setelah pembunuhan pertamanya oleh estetika kolonial di abad 19-20. Kehidupan kedua gamelan Jawa kini merespons isu-isu yang kita hadapi pada kondisi post-human: teknologi digital, algoritma, hingga kolonialitas.

 

Referensi:

Arsip

Programma van het congres gehouden van het 27 tot en met 29 December 1929 in de Kapatihan Mangkoenagaran Soerakarta, ter Gelegenheid van het tienjaring bestaan van het Java Instituut, 1919-1929. Koleksi Perpustakaan Nasional.

Jurnal dan Buku

Jennifer Lindsay. 1992. Javanese Gamelan: Traditional Orchestra of Indonesia. Singapore; New York: Oxford University Press.

Farish. A. Noor. 2019. Data-Gathering in Colonial Southeast Asia 1800-1900: Framing the Other. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Walter. D. Mignolo. 2017. Coloniality is Far from Over, and So Must Be Decoloniality. Afterall: A Journal of Art, Context and Enquiry. Volume 43.

pers-helateater2023

Helateater 2023: Teater Objek

Menampilkan Permainan Ritual, Gender, dan Pelestarian Lingkungan

18 Februari-12 Maret 2023

Teater & Galeri Salihara |Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu | 12:00, 16:00, dan 20:00 WIB

Penampil: Flying Balloons Puppet, SEKAT Studio, Wayang Suket Indonesia, Institut Tingang Borneo Utara, dan Papermoon Puppet Theatre

 

Jakarta, 7 Februari 2023 – Menjadi salah satu program unggulan di Komunitas Salihara, Helateater kembali menyapa para penikmat seni teater pada 18 Februari mendatang di Teater dan Galeri Salihara. Program ini merupakan acara dua tahunan yang berjalan beriringan dengan Helatari; yakni sebuah festival yang terfokus kepada seni tari yang berakar dari berbagai latar belakang baik kontemporer maupun tradisi. Tahun ini Helateater hadir dengan tema Teater Objek, sebuah gagasan yang mengedepankan pertunjukan dengan memanfaatkan objek–wayang, boneka, benda sehari-hari–sebagai jantung utamanya.

Tiga periode belakangan Helateater 2023 mengusung format “Undangan Terbuka” yang khusus ditujukan kepada para seniman muda untuk mengirimkan konsep dan gagasan yang matang baik dengan basis riset, tradisi, maupun eksplorasi. Kurator Teater Komunitas Salihara, Hendromasto Prasetyo beserta jajaran Dewan Juri (Iwan Effendi dan Zen Hae) mengatakan bahwa tahun ini Helateater memilih empat kelompok teater yang kuat secara cerita dan objek yang terukur.

“Merujuk pada tema Helateater 2023, kami memutuskan untuk memilih empat karya yang dinilai paling menjanjikan keberhasilan sebuah pentas teater berbasis objek seturut konsep karya masing-masing dalam Helateater 2023. Empat karya itu menawarkan pertunjukan yang kuat pada cerita dan berbeda satu sama lain. Juga, memiliki ansambel permainan objek yang rapi dan terukur.”

Keempat kelompok seniman tersebut akan meramaikan Teater dan Galeri Salihara mulai 18 Februari hingga 05 Maret 2023 dengan harga tiket Rp50.000 (pelajar) dan Rp75.000 (umum). Selain itu acara Helateater akan ditutup oleh penampilan spesial dari Papermoon Puppet Theatre asal Yogyakarta yang sudah melakukan banyak sekali pertunjukan di tingkat nasional maupun mancanegara. Berikut adalah sinopsis serta jadwal pertunjukan Helateater.

 

1. Jalinan Kusam di Lemari Sosi

Penampil:  Flying Balloons Puppet ( Yogyakarta). 

Sabtu, 18 Februari 2023, 20:00 WIB | Minggu, 19 Februari 2023, 16:00 WIB

Pentas ini menyajikan permainan boneka di atas meja yang digabungkan dengan aktor dan manipulasi benda-benda keseharian. Hubungan aktor dengan objek dikembangkan ke dalam tiga kemungkinan: aktor sebagai dalang, aktor menggunakan objek sebagai properti pentas dan aktor adalah objek yang dimanipulasi oleh ruang dan aktor lainnya. Karya ini mengusung tema memori dan tantangan bagi perempuan terkait dunia domestik yang membesarkannya sekaligus kungkungan dunia sosial di sekitarnya.

 

2. Identikit

Penampil: SEKAT Studio (Bekasi, Jawa Barat)

Sabtu, 25 Februari 2023, 20:00 WIB | Minggu, 26 Februari 2023, 16:00 WIB

Identikit bercerita tentang seorang seniman yang mencoba menembus kerinduan kepada kekasihnya melalui permainan jailangkung, yang pada beberapa tempat di Indonesia dipercaya sebagai ritus penghubung dunia manusia dengan dunia arwah. Di dalamnya pemanggung akan menghadirkan serangkaian objek, mulai dari topeng, boneka, aktor, bayangan hingga instrumen musik. Pada bentuknya yang paripurna, pentas ini akan menyuguhkan serangkaian permainan metafora terkait tubuh, pikiran dan jiwa manusia.

 

3. Bandung Bondowoso 

Penampil: Wayang Suket Indonesia (Tuban, Jawa Timur)

Kamis, 02 Maret 2023, 20:00 WIB | Jumat, 03 Maret 2023, 20:00 WIB

Pentas ini memberi watak baru kepada Bandung Bondowoso sebagai lelaki baik dan bertanggung jawab terhadap pilihannya membangun seribu candi bagi Roro Jonggrang hanya dalam semalam. Penceritaan kembali legenda terkenal, tetapi dengan sudut pandang perwatakan yang berbeda, akan memberikan penonton kenikmatan tersendiri. Pementasan akan menampilkan wayang suket (wayang yang terbuat dari rumput) dengan teknik teatrikal dan permainan bayangan, serta imbuhan elemen tari, musik dan seni rupa. Kelompok ini punya perhitungan terperinci mengenai konsep pemanggungan dan eksekusinya di atas panggung. 

 

4. Himba 

Penampil: Institute Tingang Borneo Theater (Palangka Raya, Kalimantan Tengah)

Sabtu, 04 Maret 2023, 20:00 WIB | Minggu, 05 Maret 2023, 16:00 WIB

Himba akan dipentaskan menggunakan boneka yang dikolaborasikan dengan permainan bayangan, topeng khas suku Dayak dan pantomim. Dengan tema pelestarian hutan dan tegangan kepentingan antara adat dan industri perkebunan, antara kakek penjaga hutan keramat dan anak muda yang ambisius, kisah ini mengantarkan kita kepada permainan boneka yang kolaboratif; memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan, tanpa kehilangan permainan bentuk boneka dan anasir pentas lainnya yang tidak kalah menarik.

 

5. A Bucket of Beetles

Penampil: Papermoon Puppet Theatre

Jumat, 10 Maret 2023, 20:00 WIB | Sabtu, 11 Maret 2023, 16:00 & 20:00 WIB

Minggu, 12 Maret 2023, 10:00 & 16:00 WIB

Pertunjukan ini menyajikan kisah tentang persahabatan antara Wehea dan seekor kumbang hutan. Tidak hanya kisah persahabatannya yang ditonjolkan, pertunjukan ini juga menyajikan hubungan antara manusia dan alam. Sebuah kisah yang membuat kita bertanya-tanya: apakah kita sudah cukup menjaga air, tanah, dan udara kita? 

 

Pertunjukan ini terinspirasi dari kisah yang diceritakan oleh seorang anak laki-laki berusia 5 tahun. Semua desain boneka hewan dalam lakon diambil dari lukisannya. Produksi ini sebelumnya disajikan secara virtual dengan live streaming performance dari studio Papermoon Puppet di Yogyakarta 2020 lalu. Pada rangkaian Helateater kali ini, A Bucket of Beetles akan ditampilkan secara langsung di atas panggung Teater Salihara.

 

Tentang Penampil

Flying Balloons Puppet adalah grup teater yang berdiri pada Januari 2015 dan digawangi oleh Rangga Dwi Apriadinnur. Flying Balloons Puppet sudah menampilkan lebih dari 15 pementasan baik karya tunggal maupun kolaborasi dengan pelaku seni dan kelompok kesenian di Yogyakarta sejak 2015. Salah satu karya tunggalnya adalah Cerita Origami Merah Muda yang dipentaskan Agustus 2015 pada Festival Teater Remaja Nusantara di ISI Yogyakarta. Beberapa pentas kolaborasinya adalah The Bird bersama Les Rémouleurs (Prancis) dalam Printemps Francais (2016) dan Sori in the Land of Lembuna bersama Gwen Knoxx (Australia) dalam Pesta Boneka #6 (2018). Flying Balloons Puppet menjadi 10 Besar kelompok terpilih untuk Ruang Kreatif Seni Pertunjukan 2017, Galeri Indonesia Kaya dan kelompok terpilih untuk Parade Seni Pertunjukan Media Baru 2020 oleh Garin Workshop dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

SEKAT Studio muncul sebagai sebuah komunitas rumah hantu yang terus mencari formula dan media komunikasi yang tepat dengan ‘dunia hantu’ di tahun 2010. Dalam perjalanannya, SEKAT Studio berusaha mendengar dan melihat cerita-cerita tentang hantu, kemudian mereka mencoba menghidupkannya lewat berbagai bentuk interaksi dan imitasi di tempat-tempat yang penuh dengan aktivitas manusia. Beberapa karya SEKAT Studio, di antaranya adalah Trektrek dan Lapangan Bintang (2021) dan Si Mata Besar dan Si Mulut Besar (2022). 

Komunitas Wayang Suket Indonesia didirikan oleh Gaga Rizky sebagai upaya untuk melestarikan budaya wayang suket. Pada mulanya komunitas Wayang Suket Indonesia dibentuk saat berada di Kota Surakarta, ketika Gaga Rizky merantau untuk  berkuliah di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Pada 2019 Wayang Suket Indonesia melakukan pementasan dan residensi Shadowlight Production bersama Larry Reed (USA) di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Yogyakarta, dengan lakon Dewi Sri. Karya-karyanya antara lain, Timun Emas (2018), Roro Jonggrang (2019), dan Jaka Tarub (2022). Wayang Suket Indonesia juga menjadi salah satu kelompok terpilih dalam program Ruang Kreatif 2019 dari Indonesia Kaya, Garin Workshop, dan Bakti Budaya Djarum Foundation. 

Institute Tingang Borneo Theater berdiri pada 2013 di Kalimantan Tengah. Karya-karyanya antara lain adalah Siapa Aku, Siapa Kamu (2013), Jangan Coblos Saya (2014), dan Sendratari – Air Mata Primata (2021). Mereka juga pernah berkolaborasi dalam The Mapping of Experimental Music, Noise, Sound Art Act from Borneo bersama musisi Theo Nugraha. Pada 2021 menjadi kelompok terpilih pada Gulali Festival yang diinisiasi oleh Papermoon Puppet Theater dan Ayo Dongeng Indonesia. 

Papermoon Puppet Theatre didirikan pada April 2006 di Yogyakarta, Indonesia oleh Maria Tri Sulistyani (Ria). Ia kemudian memelihara, mengembangkan, dan memperluas kerja-kerja  komunitas teater boneka ini bersama Iwan Effendi, seorang seniman visual dan desainer boneka Papermoon. Mereka bekerja sama dengan seniman boneka lainnya, antara lain Anton Fajri, Pambo Priyojati, Beni Sanjaya, Muhammad Alhaq dan Hardiansyah Yoga. Hingga saat ini, Papermoon Puppet Theatre telah menciptakan lebih dari 30 pertunjukan boneka dan instalasi serta pameran seni visual dan telah kelilingi ke lebih dari 10 negara. Pada 2008, Papermoon Puppet Theatre menggagas program Pesta Boneka, sebuah biennale boneka internasional yang menyambut para seniman boneka dari seluruh dunia untuk ditampilkan di Indonesia.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

filsafat-maret-23-luring-thumbnail

Kelas Filsafat 2023 Putaran Pertama – Filsuf Prancis Menafsir Platon

Pengampu: Augustinus Setyo Wibowo dan Anugrah Bayu
Setiap Sabtu, 04, 11, 18, 25 Maret 2023, 14:00 WIB
Zoom Webinar

 

Jakarta, 20 Januari 2023 – Dalam tradisi filsafat modern, filsafat Yunani Klasik adalah sumber atau asal-muasal terpenting. Hampir seluruh puncak-puncak filsafat Barat hari ini bisa ditelusuri asal-muasalnya atau dikembalikan ke tradisi filsafat Yunani Klasik, bahkan yang lebih awal dari itu. Salah satu filsuf dari era Yunani Klasik yang terpenting adalah Platon (Plato). Platon adalah pemikir kuno, berasal dari 2500 tahun yang lalu yang telah ditafsirkan oleh banyak filsuf dari berbagai era tidak terkecuali oleh para filsuf Prancis kontemporer. Maka dari itu, pemikiran filsuf Plato ini menjadi sangat tepat untuk dijadikan tema Kelas Filsafat Salihara di 2023 ini.

Kurator Edukasi dan Gagasan, Zen Hae mengatakan Perspektif filsuf Prancis diambil sebagai bentuk pemanasan dari program Literature and Ideas Festival (LIFEs) yang akan diadakan Agustus 2023 mendatang. LIFEs tahun ini akan mengangkat tema “Frankofon”; sebuah istilah yang digunakan untuk negara-negara penutur bahasa Prancis.

“Meski baru berlangsung pada Agustus, sejak awal tahun kami sudah merancang sejumlah program yang bisa disebut sebagai semacam “pemanasan” atas Festival nanti. Salah satunya adalah Kelas Filsafat bertema “Filsuf Prancis Menafsir Platon” dan bagaimana filsuf kontemporer Prancis membahas pascamodernisme, pascastrukturalisme, historiografi, studi Islam, sastra dan feminisme.”

Kelas Filsafat ini akan dijalankan secara daring setiap Sabtu di bulan Maret 2023 dalam empat pertemuan yang diampu oleh A.Setyo Wibowo untuk pertemuan 1-3 dan Anugrah Bayu pada pertemuan ke-4. Pertemuan pertama kita membahas mengenai Platon yang ditafsir oleh filsuf Alain Badiou. Alain Badiou menerjemahkan Politeia Platon ke dalam bahasa Prancis (The Republique) secara nyleneh; misalnya, gambaran tentang Alegori Goa tiba-tiba menjadi kisah mengenai Gedung Bioskop. Namun, isi tafsiran Badiou atas politik Platon di The Republique tetap menarik: filsuf raja bukanlah realitas, melainkan idea untuk dipikirkan.

Di pertemuan kedua kita akan membahas mengenai pandangan dari Jacques Derrida. Pemikiran Derrida tentang différance yang unik bisa diberi gambaran jelas di teks Platon berjudul Timaios tentang khôra: genus ketiga di antara yang inderawi dan yang intelligible. Derrida sendiri menulis sebuah analisis menarik atas teks Timaios ini. Derrida juga menulis analisis menarik tentang buku Platon berjudul Phaidros. Di situ, pharmakon, yang tidak bisa diterjemahkan, adalah gambaran jenis ketiga di luar oposisi biner yang mencirikan metafisika Barat.

Selanjutnya ada Jacques Rancière, seorang pemikir demokrasi kontemporer. Ia menengarai rezim politik Platon sebagai archipolitique sebuah cara berpolitik yang dilandaskan pada prinsip tertentu, yaitu pengetahuan. Alih-alih mengemansipasi rakyat, model pengetahuan sebagaimana dipraktikkan Socrates, justru mengekalkan pembodohan. Dalam bidang seni, rezim archipolitique menekankan fungsi etis seni bagi masyarakat, sehingga seni dalam arti sebenarnya tidak muncul. 

Terakhir kita akan melihat pandangan Emmanuel Levinas terhadap Platon. Dalam pertemuan ini kita akan membahas Relasi etis dengan Liyan (l’Autre) yang mudah dipahami lewat alegori Goa di mana Platon membicarakan The Good (Kebaikan) yang melampaui pengetahuan.

Untuk mengetahui detail dari para pemikiran tersebut, peserta bisa langsung mendaftarkan diri lewat laman resmi kami di kelas.salihara.org dan media sosial kami.

 

Tentang Pengampu
A. Setyo Wibowo adalah dosen tetap di STF Driyarkara. Ia meraih Baccalaureat Teologi di Universitas Gregoriana, Roma, Italia (1999). Ia menyelesaikan studi Filsafat S2, DEA dan S3 di Université Paris-1, Panthéon-Sorbonne, Paris, Prancis pada 2000-2007. Beberapa buku termutakhirnya antara lain Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon (2017), Gaya Filsafat Nietzsche (2017), Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme (2019) dan Platon: Lakhes (Tentang Keberaian) (2021). Ia juga menerbitkan Filokomik (2020), terjemahan buku komik filsafat dari bahasa Prancis ke bahasa Indonesia.

Anugrah Bayu adalah seorang peminat filsafat yang menyelesaikan studi S1 dan S2 di STF Driyarkara. Sekarang bekerja sebagai penerjemah. Ia juga salah satu pengajar program Philosophy Underground di Komunitas Utan Kayu. 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

jb2023

Menemukan Bentuk Estetika Baru dalam Musik Jazz Tanah Air

Salihara Jazz Buzz 2023:
Pertukaran/Exchange

04, 05, & 11 Februari 2023
Teater Salihara | Sabtu, 20:00 WIB | Minggu, 16:00 WIB
Penampil: Filipus Cahyadi Project, Guernica Quartet, dan Sandikala Ensemble
Kolaborator: Adra Karim, Indra Perkasa, dan Sri Hanuraga

 

Jakarta, 19 Januari 2022 – Salah satu program unggulan yang mendapat tanggapan dan perhatian besar dari publik terkait Komunitas Salihara Arts Center adalah Salihara Jazz Buzz; sebuah festival jazz tahunan yang menampilkan pilihan genre, komposisi dan presentasi konsep musik baru. Berkaca dari suksesnya acara Salihara Jazz Buzz 2022 digelar, kini Komunitas Salihara kembali hadir pada Februari 2023 bersama para musisi pilihan hasil undangan terbuka pada pertengahan 2022 lalu. 

Sejak 2016, Salihara Jazz Buzz selalu mengusung ide besar Jazz Sans Frontières, sebuah gagasan dan konsep musikal “lintas-batas”. Hal tersebut menjadikan Salihara Jazz Buzz sebagai salah satu acara yang paling diminati oleh pemirsa seni Komunitas Salihara. Tema Pertukaran/Exchange ini menjadi bukti nyata bahwa Salihara Jazz Buzz ingin menampilkan sifat jazz yang mampu menjelajah ke genre musik lain.

Kurator Musik dan Tari Komunitas Salihara, Tony Prabowo mengatakan tema Exchange ini dapat menghadirkan konsep baru di tengah masyarakat penikmat musik Jazz.

 “Salihara sebagai penyelenggara pesta kesenian, tentu harapannya bisa memberikan suguhan yang segar, berkualitas, kebebasan berekspresi dan menawarkan konsep-konsep kebaharuan untuk masyarakat peminat musik dan peminat seni seluas-luasnya, di tengah banyaknya festival-festival jazz di negeri ini.”

Hasil dari Open Call (Undangan Terbuka) lalu menghadirkan tiga kelompok musisi terbaik versi tim kurator Salihara. Ketiga musisi tersebut adalah Filipus Cahyadi, Guernica Quartet, dan Sandikala Ensemble yang hadir dengan estetika masing-masing dalam menghadirkan nuansa baru musik jazz.

 

Pendatang Baru yang Perlu Diperhatikan

Tahun 2023 menjadi penanda baru bagi Salihara Jazz Buzz setelah masa pandemi berangsur usai. Di tahun ini, kita akan menyaksikan pertunjukan jazz lewat pengalaman yang sebagaimana mestinya yakni secara langsung pada 04, 05, dan 11 Februari mendatang di Teater Salihara. Selain memperlihatkan karya-karya orisinal mereka, ketiga musisi pilihan ini juga akan berkolaborasi dengan musisi senior untuk membawakan pertunjukan yang hanya bisa disaksikan di Salihara Jazz Buzz 2023.

Penampil pertama adalah Sandikala Ensemble (SE), grup ini merupakan grup asal Yogyakarta  dengan direktur artistik Dion Nataraja ini adalah sebuah grup dengan format yang banyak menggunakan  instrumen gamelan. Dion Nataraja, komponis dan direktur artistik SE yang saat ini sedang menyelesaikan program doktoralnya di University of California, menawarkan konsep yang lebih dalam pada improvisasi gamelan dan jazz. SE tidak sekadar mencampurkan  instrumen gamelan dan instrumen lain yang biasa digunakan dalam jazz, melainkan mencari titik temu yang lebih dalam misalnya mengeksplorasi konsep pathetan dalam gamelan ke improvisasi yang lebih bebas. Dalam kesempatan di Jazz Buzz ini, SE berkesempatan untuk berkolaborasi bersama musisi senior Sri Hanuraga dalam karya Hyperkembangan III  dan Improvisation I.

Selanjutnya adalah Filipus Cahyadi Project (FCP) yang merupakan grup dengan format kuintet. Sebagai direktur artistik dari FCP, Filipus Cahyadi menggunakan konsep pola hitungan ganjil di dalam komposisinya. kuintet ini menghadirkan Restha Wirananda (piano), Arini Kumara (selo), Kuba Skowronski (flute & tenor saksofon), Ferdinand Chandra (kontrabas & elektrik bas), Filipus Cahyadi (drum)  dan musisi senior Indra Perkasa yang akan berkolaborasi dengan FCP.

Terakhir ada Guernica Quartet (GQ) yang menjadi musisi penutup Salihara Jazz Buzz 2023. Guernica Quartet merupakan grup yang merepresentasikan karyanya lewat pencampuran berbagai genre musik dan instrumental yang beragam. Mereka mencoba mengeksplorasi suara dan berbagai jenis musik lain seperti musik tradisional Jepang, India, musik-musik Timur Tengah dan musik Armenia serta sequencer yang menyuarakan elemen suara-suara ‘etnis’. Dalam penampilan kali ini, Guernica Quartet juga akan berkolaborasi bersama musisi jazz senior Adra Karim.

Pertunjukan Salihara Jazz Buzz ini terbuka untuk umum. Untuk menyaksikannya, pengunjung bisa langsung melakukan pemesanan via tiket.salihara.org dengan harga Rp. 75.000 (dewasa) dan Rp. 50.000 (pelajar/mahasiswa).

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

helateater-web banner

Teater Objek

Penampil: Flying Balloons Puppet (Yogyakarta), Institute Tingang Borneo Theater (Palangkaraya), SEKAT Studio (Bekasi), Wayang Suket Indonesia (Tuban), & Papermoon Puppet Theatre (Yogyakarta)

Helateater Salihara 2023 menampilkan empat kelompok teater hasil seleksi undangan terbuka bertema Teater Objek. Tema ini bertolak dari kesadaran atas kekayaan teater Indonesia yang banyak menggunakan ragam objek seperti wayang, boneka, hingga benda umum sebagai jantung pertunjukannya namun belum banyak kelompok menonjol. Dari undangan terbuka Helateater Salihara 2023, empat kelompok terpilih tersebut menunjukkan potensi keberhasilan pertunjukan seturut konsep karya yang cukup kuat.

Empat kelompok itu adalah Flying Balloons Puppet (Yogyakarta), Institute Tingang Borneo Theater (Palangkaraya), SEKAT Studio (Bekasi), dan Wayang Suket Indonesia (Tuban). Tiap kelompok menampilkan karyanya dua kali di Komunitas Salihara pada Februari-Maret. Selain penampilan kelompok teater terpilih, Salihara juga menampilkan pertunjukan teater boneka dari Papermoon Puppet Theatre.

Selamat menyaksikan!

Jadwal Acara

Jalinan Kusam di Lemari Sosi
Penampil: Flying Balloons Puppet
Sabtu-Minggu, 18-19 Februari 2023

Karya ini mengusung tema memori dan tantangan bagi perempuan terkait alam domestik yang membesarkannya sekaligus kungkungan dunia sosial di sekitarnya.

Identikit
SEKAT Studio
Sabtu-Minggu, 25-26 Februari 2023

Identikit bercerita tentang seorang seniman yang mencoba menembus kerinduan kepada kekasihnya melalui permainan jailangkung, yang pada beberapa tempat di Indonesia dipercaya sebagai ritus penghubung dunia manusia dengan dunia arwah orang mati.

Bandung Bondowoso
Wayang Suket Indonesia
Kamis-Jumat, 02- 03 Maret 2023

Pentas ini memberi watak baru kepada Bandung Bondowoso sebagai lelaki baik dan bertanggung jawab terhadap pilihannya membangun seribu candi bagi Roro Jonggrang hanya dalam semalam.

Himba
Institute Tingang Borneo Theater
Sabtu-Minggu, 04-05 Maret 2023

Himba akan dipentaskan menggunakan boneka yang dikolaborasikan dengan permainan bayangan, topeng khas suku Dayak dan pantomime.

Papermoon Puppet Theatre
Jumat-Minggu, 10-12 Maret 2023

Pertunjukan ini adalah tentang Wehea, seorang anak kecil yang tinggal di hutan hujan besar. Sama seperti orang lain yang tinggal di sana, Wehea memiliki hubungan khusus dengan alam.

nano-obi

Obituari Norbertus (Nano) Riantiarno

Norbertus “Nano” Riantiarno (Cirebon, 6 Juni 1949-Jakarta, 20 Januari 2023) adalah salah satu pembaharu teater Indonesia modern. Bersama Teater Koma yang ia dirikan pada 1977, Nano mengukuhkan tradisi teater realis yang semula ia serap ketika belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan Teater Populer pimpinan Teguh Karya. Dengan gaya kritik dan banyolan di sana-sini, Teater Koma menjadi salah satu kelompok teater yang kuat pada masa Orde Baru dan sesudahnya.

Nano menunjukkan bagaimana teater dapat hadir sebagai tontonan yang bukan hanya menghibur tetapi juga kritis. Di tangannya, kritik terhadap penguasa yang korup, kemiskinan, ketidakadilan hingga nafsu kuasa dapat muncul di atas panggung tanpa disadari oleh penonton bahwa semua itu telah mengetuk kesadaran atas kenyataan yang tengah terjadi di sekitar mereka. Sementara, manajemen Teater Koma memperlihatkan bagaimana ketelatenan membina penonton dari berbagai kalangan dalam waktu bertahun-tahun adalah soal penting yang tidak sembarang kelompok teater bisa melakukannya.

Naskah-naskah lakon yang ditulis Nano, semisal trilogi Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Julini, menjadi korpus naskah teater realis yang istimewa dalam tradisi penulisan lakon berbahasa Indonesia. Bahkan naskah-naskah lakonnya yang mengambil pendekatan tonil atau teater Tiongkok menjadi perbendaharaan tersendiri yang belum ada tandingannya.

Di Salihara, ia pernah menghadirkan produksi ke-120 Teater Koma yang bertolak dari ancaman mematikan HIV/AIDS berjudul Rumah Pasir (2010). Setahun sebelumnya, ia menyajikan drama romantika lewat lakon Tanda Cinta (2009) yang dimainkan berdua dengan Ratna Riantiarno. Pada masa pandemi lalu, ia adalah salah satu pembicara yang membagikan pengetahuannya dalam seri diskusi Pertumbuhan Teater Modern (di) Indonesia dengan tajuk Komedi/Tonil: Eksotisme Timur dan Fantasi yang ditaja Komunitas Salihara.

Nano adalah seorang seniman yang lengkap. Ia adalah aktor, sutradara teater dan film, penulis naskah teater, skenario film dan televisi, novel, cerpen, tinjauan teater, dosen hingga wartawan. Kepiawaiannya dalam menulis lakon telah diganjar dengan sejumlah penghargaan melalui Sayembara Menulis Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta. Begitu juga skenario film dan televisi besutannya.  

 Nano meninggalkan warisan pengetahuan yang berharga bagi kesenian Indonesia. Ia sadar untuk tidak jauh meninggalkan seni tradisi sekaligus konsisten meniupkan nafas kebaharuan pada karya-karyanya. Di saat yang sama, semangat sekaligus ketangguhannya bergulat merawat teater adalah teladan penting bagi siapa saja yang hendak menekuni seni pertunjukan di Indonesia.

 Selamat jalan, Nano Riantiarno.

jazzbuzz2023penampil

Pertukaran/Exchange

Penampil: Filipus Cahyadi Project, Guernica Quartet, Sandikala Ensemble
Kolaborator: Adra Karim, Indra Perkasa, Sri Hanuraga

Sabtu-Minggu, 04, 05, & 11 Februari 2023
Teater Salihara

Jazz Buzz 2023 hadir dengan tema Pertukaran/Exchange, sebuah gagasan untuk terus mencari bentuk dan estetika baru. Salihara Jazz Buzz 2023 menampilkan tiga penampil dengan komposisi musik yang menyajikan tema, gaya ritme, motif, serta warna yang dinamis dan dikembangkan ke arah gaya yang lebih ekspresif. Mereka adalah Filipus Cahyadi Project, Guernica Quartet, dan Sandikala Ensemble. Selain itu ketiga musisi ini bekerjasama dengan para kolaborator musisi jazz Indonesia yaitu Adra Karim, Sri Hanuraga, dan Indra Perkasa. Selamat menikmati musik jazz!

Jadwal Acara

Sandikala Ensemble
Sabtu, 04 Februari 2023, 20:00 WIB
Teater Salihara

Sandikala Ensemble adalah grup dengan format yang banyak menggunakan instrumen gamelan. Dion Nataraja adalah komponis sekaligus direktur artistik Sandikala Ensemble, grup ini menawarkan konsep yang lebih dalam pada improvisasi instrumen gamelan dan jazz.

Filipus Cahyadi Project
Minggu, 05 Februari 2023, 16:00 WIB
Teater Salihara

Grup dengan format kuintet ini telah menciptakan empat karya dan satu karya kolaborasi dengan musisi senior Indra Perkasa. Grup ini dengan direktur artistik Filipus Cahyadi akan menghadirkan karya dengan konsep yang menarik, yaitu menggunakan konsep Meter atau pola hitungan 3, 5, 7, 11, 13. Hitungan ganjil ini menandai sebagai pola asimetris.

Guernica Quartet
Sabtu, 11 Februari 2023, 20:00 WIB
Teater Salihara

Guernica Quartet hadir dengan format kuartet (saksofon, piano, bas dan drum), mereka merepresentasikan karya-karyanya berupa campuran berbagai genre musik dan instrumental yang beragam. Mereka mencoba mengeksplorasi suara dan berbagai jenis musik lain seperti musik tradisional Jepang, India, musik-musik Timur Tengah dan musik Armenia.

blog-lakon

Mendalami Logika Pertunjukan melalui Kelas Menulis Lakon

Dalam upaya merawat kesenian bahkan di masa pandemi, Komunitas Salihara rutin mengadakan Kelas Menulis Lakon yang aktif dimulai sejak 2021. Kelas ini bertujuan untuk melatih para peserta dari berbagai latar belakang untuk bisa berpikir kreatif serta kritis dalam membangun sebuah naskah pementasan teater. Melalui kelas yang diadakan secara daring di setiap awal tahun ini, peserta akan dibawa untuk menulis langsung naskah ciptaan mereka. Selain itu peserta juga akan diminta untuk presentasi bahkan bersikap kritis lewat sesi diskusi atau bedah naskah yang dipandu oleh penulis naskah lakon dan aktor, Joned Suryatmoko.

Tidak hanya menyelami bagaimana cara membuat naskah yang baik, peserta akan diperkenalkan ke berbagai bentuk atau genre pementasan dan konteksnya. Lewat perkenalan tersebut, peserta diharapkan bisa menentukan mana yang sesuai dengan gaya penulisan mereka. Dalam kelas ini, peserta juga diarahkan untuk bisa membangun sebuah adegan terstruktur yang melibatkan lebih dari satu karakter.

Di kelas ini, pengampu juga akan mengenalkan logika-logika yang terjadi dalam membangun sebuah pertunjukan serta membedakan bagaimana logika dalam membuat naskah teater akan berbeda dengan naskah film, sinetron, dan juga webseries.

 

2023 Siap Menyapa secara Luring

Pada 2023 Kelas Menulis Lakon hadir dengan program hibrida, di mana peserta bisa merasakan pengalaman kelas secara luring. Ini menjadi sebuah kesempatan yang langka sebab kelas ini memang diprogram untuk daring. Lewat pengalaman luring yang tersedia selama dua sesi di Komunitas Salihara, peserta dapat memanfaatkan suasana tersebut untuk membangun diskusi yang lebih intim baik dengan pengampu maupun dengan sesama peserta lain.

Bagi para peserta di luar Jakarta tetap akan mendapatkan manfaat yang sama lewat interaksi yang bisa dibangun secara digital. Diskusi mengenai membangun naskah yang baik tetap bisa berlanjut di luar jam kelas lewat sesi coffee break atau asistensi via surel.

 

Melahirkan Peserta dengan Karya Gemilang

Di akhir kelas, peserta akan menyelesaikan satu naskah drama yang menerapkan baik kaidah penulisan yang baik dan benar, treatment dialog yang sesuai, serta logika panggung yang baik. Setelah itu, para peserta bisa menerapkan ilmu dari kelas ini sesuai dengan kebutuhan masing-masing yang berhubungan dengan menulis kreatif.

Di antara para alumni yang hadir dari berbagai latar belakang, banyak yang hadir dengan kabar yang membanggakan di antaranya adalah Yessy Natalia dengan karya Tuhan, Tolong Bunuh Emak menjadi Pemenang Rawayan Award oleh Dewan Kesenian Jakarta 2022 sebagai Naskah Terbaik. Ada juga Rizal Iwan dengan naskah berjudul Pindah sebagai pemenang Naskah Potensial pada sayembara yang sama, Rawayan Award. Keduanya merupakan peserta Kelas Menulis Lakon gelombang pertama (2021). Lalu ada I.B. Uttarayana Rake Sandjaja, dengan karya Muspra, Jong Santiasa Putra, Manik Sukadana dengan naskah Panen Anak, Udiarti dengan naskah Dari Dalam Tubuh dan Wulan Dewi Saraswati yang terpilih untuk dibukukan oleh Kalabuku pada program Lelakon 2022, nama-nama tersebut menghasilkan naskah yang dikembangkan dalam Kelas Menulis Lakon maupun yang tidak ditulis selama kelas. Kelima orang ini merupakan peserta Kelas Menulis Lakon gelombang dua (2022).

Kami percaya bahwa penghargaan ini bukanlah salah satu tolok ukur keberhasilan para peserta, karena implementasi dari Kelas Menulis Lakon bisa beragam dan menjadi berhasil apabila para peserta merasakan dan mendapatkan manfaat yang nyata dari kelas ini sesuai kebutuhan yang mereka cari. Bentuk apresiasi dan pengakuan terhadap para peserta dari pihak-pihak luar merupakan bonus yang tentunya menyenangkan serta diharapkan dapat memotivasi calon peserta lain untuk bersama memelihara dan mengembangkan seni teater Indonesia terutama di bidang penulisan naskah lakon.

sidang PPKI 2 (1)

Menemukan Sejarah dari Kitab yang Hilang

Sepanjang Oktober hingga Desember 2022 setiap Selasa dan Kamis, Komunitas Salihara telah menyelenggarakan program Membaca Kitab yang “Hilang”: Risalah BPUPKI. Sebuah program yang berkolaborasi dengan Teater Ghanta, mengajak publik yang luas untuk membaca, mendiskusikan, dan memaknai apa-apa yang terjadi pada bulan-bulan sebelum Indonesia terbentuk. Peserta akan sama-sama membaca dengan memilih tokoh mana yang ingin diperankan. Pembacaan ini juga dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana pergulatan ideologi dan gagasan para tokoh pendiri bangsa untuk membentuk undang-undang, pembagian kewilayahan hingga siapa saja yang bisa disebut sebagai warga negara Indonesia. 

Teks notulensi sidang BPUPKI yang digunakan adalah teks pada Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang diterbitkan pada 1998 dan disusun oleh Muh. Yamin. Penyusunan notulensi sidang yang dilakukan oleh Muh. Yamin adalah sebuah kerja penting yang pada masa kini hingga masa ke depan menjadi sumber sejarah tentang semua perdebatan hingga fakta yang muncul pada suasana-suasana sidang pembentukan negara. Program ini memberikan kita kesempatan untuk membaca ulang bagaimana negara Indonesia ini bisa berdiri. 

Usai pembacaan, para peserta, tim Salihara dan teater Ghanta saling berdiskusi untuk mengutarakan analisis mereka tentang teks BPUPKI. Banyak pertanyaan dan kecurigaan muncul dari hasil pembacaan tersebut. Kecurigaan tentang aslikah teks yang dikumpulkan oleh Muh. Yamin hingga membayangkan bagaimana jika beberapa gagasan tokoh dalam sidang yang ditolak justru disepakati hingga hari ini. 

Sidang BPUPKI yang berlangsung pada akhir Mei hingga Agustus 1945 ini diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat dengan anggota di antaranya adalah Soekarno, Muh. Yamin, Hatta, Agoes Salim, Parada Harahap hingga Dahler. Dalam program Membaca Kitab yang “Hilang”: Risalah BPUPKI pembacaan dibagi dalam 25 sesi. Setiap sesi menampilkan konflik yang beragam dan muncul dari pidato beberapa tokoh yang mengutarakan gagasannya. 

 

Ketegangan Pada Setiap Sesi

Sesi pertama pada pembacaan ini dibuka dengan pembicaraan tentang Dasar Negara Indonesia dan diawali dengan pidato dari Muh. Yamin. Dalam pidatonya, Yamin  menguraikan poin-poin penting yang perlu dimasukkan ke dalam Dasar Negara. Poin-poin tersebut di antaranya adalah Peri- Kebangsaan, Peri- Kemanusiaan, Peri- ke-Tuhanan, Peri- Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Yamin menyampaikan bahwa bentuk Negara Indonesia yang merdeka berdaulat ialah suatu Republik Indonesia yang tersusun atas paham unitarisme. Yamin dengan tegas mempersembahkan lampiran suatu rancangan sementara berisi perumusan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. 

Apa yang diutarakan Yamin kemudian berlanjut pada tanggapan-tanggapan anggota lainnya pada sesi kedua hingga kelima dengan pembahasan tentang Dasar Negara Indonesia. Misalnya, pada sesi kedua Ki Bagoes Hadikoesoemo menyampaikan pendapatnya yang terkesan konservatif. Ia mengatakan bahwa Negara Indonesia baru yang akan datang itu berdasarkan agama Islam dan akan menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh, pernyataan ini berbeda dengan keinginan Yamin yang cenderung memandang masa depan Indonesia sebagai negara  dengan paham unitarisme. Terlebih lagi, Ki Bagoes mengutarakan pendapatnya dengan gaya yang meyakinkan dan cukup provokatif. Kemudian pada sesi-sesi berikutnya, gaya Ki Bagoes ini juga turut membakar semangat anggota yang lain untuk teguh dengan pendapatnya masing-masing. 

Ketegangan lainnya juga muncul pada pembacaan sesi ketiga yang banyak menyampaikan pendapat-pendapat dari Soepomo. Ada tiga poin penting yang disampaikan oleh Soepomo, tentang perhubungan negara dan agama, cara bentukan pemerintahan, perhubungan negara dan kehidupan ekonomi. Soepomo seperti hendak merespon apa yang disampaikan Ki Bagoes dengan menyetujui apabila negara juga berjalan beriringan dengan norma-norma yang ada pada agama.  Selain itu hal penting lainnya dari pendapat Soepomo bahwa negara hanya bisa adil, jikalau negara itu menyelenggarakan rasa keadilan rakyat dan menuntun rakyat kepada cita-cita yang luhur. 

Pembicaraan tentang bentuk negara pun masuk pada sesi keenam dan ketujuh. Muncullah tokoh-tokoh lainnya seperti Sanoesi, Soeroso, Dasaad, juga anggota perempuan Nyonya Soenardjo. Kemudian sesi kedelapan dan kesembilan memasuki pembahasan tentang wilayah negara. Pembahasan tentang wilayah negara ini juga tidak terhindar dari perdebatan dan ketegangan. Misalkan perdebatan tentang apakah Papua masuk dalam wilayah Indonesia atau bukan hingga muncul keputusan sementara bahwa daerah yang masuk pada Indonesia merdeka adalah Hindia Belanda, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor-Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya.

 

Hak Individu dalam Undang-Undang

Penyusunan rancangan Undang-Undang Dasar dan panitia perancang Undang-Undang Dasar dibahas pula pada pembacaan sesi ke-10 hingga sesi ke-23. Dalam penyusunan ini salah satu hal yang menarik adalah pernyataan Soekarno tentang tidak perlunya menaungi soal hak-hak individu dalam Undang-Undang Dasar. Soekarno menolak adanya falsafah individualisme dalam negara yang memicu adanya persaingan antar individu sehingga memunculkan kapitalisme dan imperialisme bahkan peperangan. 

Apa yang dikemukakan oleh Soekarno kemudian dijawab oleh Hatta. Hatta pun tidak sependapat dengan adanya falsafah individualisme, namun Hatta memberikan tawaran bahwa penting bagi sebuah negara untuk mendengar dan menampung suara rakyat. Rakyat memiliki hak individu untuk mengeluarkan suara dan pendapat. Hatta membayangkan Indonesia kelak akan menjadi negara yang didirikan sebagai negara pengurus dan tidak menjadi negara kekuasaan dan negara penindas. 

Pada akhir sesi pembacaan yaitu sesi 25, segala pendapat-pendapat para tokoh pun telah sampai pada Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara dan Piagam Jakarta. Membaca ulang jejak penting dalam sejarah melalui Membaca Kitab yang “Hilang”: Risalah BPUPKI adalah juga menyaksikan bagaimana terjadinya transfer pengetahuan para tokoh pendiri bangsa kepada publik yang lebih luas.

sri-astari

Obituari: Sri Astari Rasjid (1953-2022)

Sri Astari Rasjid mulai diperbincangkan di kancah seni rupa ketika menjadi ketua penyelenggara Biennale Seni Rupa Jakarta IX (1993-1994), sebuah pameran seni rupa kontemporer Indonesia. Biennale IX adalah perhelatan besar dan sempat menimbulkan kontroversi sepanjang sejarah TIM (Taman Ismail Marzuki) setelah Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (1975). Biennale IX dikuratori oleh Jim Supangkat dan mengusung gagasan seni rupa pascamodern, perhelatan ini menjadi salah satu peristiwa yang sangat berpengaruh dalam menumbuhkan gagasan, praktik, dan wacana seni rupa Indonesia kontemporer.

 Astari memiliki peran penting dalam tata kelola seni, ia setara dengan peran perupa dan kurator.

 Astari adalah seorang perupa yang melahirkan banyak karya dengan pelbagai media dan ungkapan. Ia merambahi mulai dari seni lukis, fotografi, patung, objek, dan instalasi, sebagaimana yang pernah diperlihatkannya dalam Pameran 10 Perupa Perempuan di Galeri Salihara pada April 2009. Ia banyak mempercakapkan tentang perempuan dalam sebuah gambaran kontradiksi yang tak selesai-selesai di tengah modernisme. Ungkapan-ungkapan visual berupa kebaya dan simbol-simbol tradisi Jawa ditata bersamaan dengan simbol-simbol produk bermerek masa kini, dua dunia yang berjarak sekaligus bertaut.

Luasnya cakupan media yang dipakai oleh Astari sebagaimana terjadi pada seni rupa kontemporer, memungkinkan pelbagai gagasan baru muncul dalam karya-karyanya. Ia berhasil menyusupkan potret dirinya di antara simbol-simbol dan objek lain dalam karya-karya berbasis fotografi dan juga dalam lukisannya, terutama yang muncul pada 2000-an. Dalam karyanya hal definitif tentang lelaki dan perempuan saling mengaburkan bentuk dan karakter masing-masing. Seniman yang lahir di Jakarta, 26 Maret 1953 ini memang tampak berupaya keras beradaptasi dengan berbagai media dan keterampilan.

Pada 13 Januari 2016 di tengah penjelajahan seni rupa yang jauh dari selesai, ia didapuk menjadi Duta Besar RI untuk Bulgaria, Albania, dan Makedonia. Di tengah-tengah tugas yang tidak hanya berat tapi memerlukan adaptasi dan irama tersendiri pula, ia tetap berkarya dan berpameran. Hanya berjarak sebulan dari penunjukannya sebagai duta besar, ia bahkan menyelenggarakan pameran tunggal Yang Terhormat Ibu di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di Bulgaria ia berhasil melobi museum terbesar dan bergengsi yaitu Museum Nasional Sofia, untuk memamerkan keragaman dan jenis-jenis kain—sebagian koleksi pribadinya, serta karya-karya seni rupa kontemporer perempuan Indonesia. Ia percaya bahwa seni dan budaya dapat menjadi pintu diplomasi yang baik. Kesungguhan dan reputasinya dalam dunia diplomasi itu pun mendapat pengakuan. Pada 25 Juni 2020, Presiden Bulgaria Rumen Radev memberi penghargaan Madara Horseman First Degree padanya.

Menjelang akhir jabatan sebagai duta besar pada 2020, ia sempat menulis dan menerbitkan buku Art Diplomacy. Alumni Sastra Inggris UI yang pernah belajar seni lukis di University of Minnesota dan Royal College of Art,  London ini telah menerjemahkan buku tersebut dalam bahasa Indonesia sebagai karya terakhirnya.

Sri Astari Rasjid meninggal dunia di Farrer Park Hospital, Singapura, pada 11 Desember 2022.