asemic3

ASEMIC SOUND CYCLES

Representasi Seni dalam Memvisualisasikan Bunyi
Selasa-Minggu, 10-24 April 2022, 13:00-20:30 WIB
Galeri Salihara
Jl. Salihara No. 16, Jakarta Selatan

 

Jakarta, 09 April 2022 – Pada semester pertama di tahun 2022, Komunitas Salihara mengadakan pameran tunggal seniman Kanada, Félix-Antoine Morin yang bertajuk Asemic Sound Cycles. Pameran ini bisa menjadi pilihan kegiatan ngabuburit seni bagi seluruh warga DKI Jakarta dan sekitarnya di bulan Ramadan. Pameran ini adalah salah satu rangkaian tur pameran tunggal si seniman yang telah dilaksanakan di Prancis, Meksiko, dan Turki.

Asemic Sound Cycles adalah pameran yang khusus dibuat oleh Félix-Antoine Morin untuk Komunitas Salihara Arts Center. Karya-karya Morin dalam pameran ini menawarkan sebuah pengalaman berkesenian baru yang menampilkan kolase visual antara bunyi dan gambar. Pameran ini menjadikan Galeri Salihara sebagai satu-satunya platform untuk menikmati karya-karya Morin di Indonesia.

 

Tentang Pameran Asemic Sound Cycles

Asemic Sound Cycles memamerkan representasi bentuk musik berdasarkan repertoar komposisi yang digubah juga oleh Félix-Antoine Morin. Melalui konstruksi visual dan permainan ketukan, ia menciptakan hubungan antar bunyi dan mengubah nada-nada utama menjadi materi yang abstrak. Hasilnya adalah bentuk-bentuk karya yang puitis dan berirama dalam torehan-torehan grafis.

Karya media baru ini tidak hendak ditafsirkan dari sisi musikalitasnya. Kita dapat menikmati pengalaman estetik yang multitafsir berdasarkan keberagaman persepsi yang abstrak. Di sisi yang lain Asemic Sound Cycles hendak menunjukkan sisi kepekaan musik dan gambar dari si seniman.

Selain torehan-torehan grafis, karya lain dalam pameran ini adalah instalasi yang terletak di tengah Galeri Salihara. Terinspirasi oleh teknik “locked groove” yang ditemukan oleh Pierre Schaeffer pada pertengahan abad 20. Teknik tersebut hendak menjelaskan fenomena timbulnya bunyi saat jarum alat pemutar piringan hitam menyentuh alur-alur di piringan. Dengan metode serupa, instalasi bunyi karya Morin terdiri dari sebuah mikrofon yang mengeluarkan reaksi bunyi terhadap benda-benda yang dilewatinya di sepanjang lantai.

 

Tentang Félix-Antoine Morin

Félix-Antoine Morin belajar seni visual di Université du Québec à Montréal (UQAM) dan aransemen elektro akustik di Conversatory of Montreal. Ia pernah memenangkan penghargaan JTTP pada tahun 2008 dan menerima penghargaan Joseph S. Stauffer dari dewan kesenian Kanada pada tahun 2012. Karya-karyanya telah banyak dipamerkan di berbagai acara berskala nasional dan internasional.

Karya-karya Félix-Antoine Morin terinspirasi dari komposisi nada musik sakral dan tradisional yang banyak digunakan dalam berbagai ritual adat. Ia menjelajahi bermacam kemungkinan dan menciptakan karya melalui berbagai medium sehingga eksekusi karya-karyanya dapat diterjemahkan menjadi mantra-mantra yang puitis. 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

artcamgm

Membaca Pemikiran Goenawan Mohamad Bersama Penikmat Sastra di Seluruh Indonesia

Komunitas Salihara x Komunitas Utan Kayu
Art Camp: Membaca Goenawan Mohamad
Jumat-Minggu: 25-27 Maret 2022

Jakarta, 28 Maret 2022 Komunitas Salihara bekerja sama dengan Komunitas Utan Kayu telah sukses menggelar Art Camp: Membaca Goenawan Mohamad pada Jumat-Minggu, 25-27 Maret lalu. Acara ini menghadirkan 16 pembicara yang terdiri dari kalangan sastrawan, filosof dan akademisi lainnya. Terbagi ke dalam tujuh sesi, masing-masing pembicara memaparkan pemikiran mereka tentang tulisan-tulisan Goenawan Mohamad seputar sastra, filsafat dan demokrasi. 

Sebagai acara hybrid pertama di tahun 2022 ini, Art Camp diikuti oleh 25 peserta luring, dan 33 peserta daring dari berbagai kalangan yang tentunya memiliki satu visi yaitu hendak mengupas secara mendalam pemikiran Goenawan Mohamad. 

 

Karya yang Dapat Dinikmati Lintas Generasi

Karya Goenawan Mohamad tak terbatas pada generasi tertentu, terbukti dalam acara kemarin juga hadir peserta remaja yang ikut berdiskusi dan mengkritisi tulisan-tulisan Goenawan Mohamad yang genap berusia 80 pada tahun lalu. Ayu Utami, selaku Direktur Program Komunitas Utan Kayu dan Perumus Art Camp: Membaca Goenawan Mohamad mengatakan bahwa karya Goenawan Mohamad masih relevan untuk dibahas sampai sekarang terutama bagi mereka yang ingin mengasah kebebasan berpikir dan berekspresi. 

Melalui karya Goenawan Mohamad kita belajar sejarah bagaimana pemikiran Indonesia berkembang, kita belajar bagaimana berinteraksi dengan filsafat dunia, dan belajar mengasah kepekaan estetika juga. Itulah yang dibutuhkan untuk mengisi kebebasan berpikir dan ekspresi.”

Maka tidak heran, bahwa tulisan Goenawan Mohamad masih mendapat tempat di kalangan generasi muda yang tertarik mendalami dan memahami sosoknya yang banyak dikenal sebagai salah satu tokoh jurnalis penting Indonesia.

Salah satu peserta Art Camp: Membaca Goenawan Mohamad, Thalia (17) memaparkan bahwa kegiatan ini membuka lebih banyak lagi wawasan terutama bagi dirinya yang menyukai sastra dan filsafat. Seluruh diskusi yang dipaparkan oleh pemateri justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru selepas sesi usai. 

“Itu sih yang menarik, menjadi pemikir itu seperti itu toh. Materi yang diberikan tadi justru meninggalkan kita banyak pertanyaan yang memancing untuk lebih mencari tahu dan memperdalam lagi pemahaman kita, itu sih yang asik banget menurutku.”

Peserta lain Tamara (18), memiliki respon yang berbeda, pertanyaan-pertanyaan yang muncul memotivasi dia untuk bertanya lebih banyak melalui sesi coffee break atau saat jamuan malam. 

“Serunya adalah, saat kita timbul banyak pertanyaan, aku bisa memanfaatkan sesi coffee break atau dinner untuk kembali menanyakan kepada pemateri untuk meminta penjelasan lebih. Karena jujur, kalau saat sesi QnA itu cukup intimidating karena bicara depan banyak orang. Ternyata para pemateri begitu hangat saat di-approached secara personal di sesi yang di luar sesi acara.”

 

Tentang Art Camp:

Kurangnya kajian mengenai pemikiran intelektual Indonesia mendorong Komunitas Salihara一bekerja sama dengan Komunitas Utan Kayu一untuk memulai program Art Camp, sebuah acara berkala mendiskusikan pemikiran para intelektual Indonesia. Art Camp hendak memperdalam pemahaman kita dengan membaca kembali karya-karya dari tokoh-tokoh yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan gagasan di Indonesia. 

Acara ini pun menjadi acara luring perdana bagi Komunitas Salihara di masa pandemi COVID_19. Sehingga kegiatan ini menjadi pintu pembuka yang memotivasi kami untuk memulai kembali kegiatan yang sebenarnya sudah dirindukan baik bagi kami sendiri maupun para penikmat setia program-program seni di Komunitas Salihara.

Untuk mengetahui tentang Art Camp: Membaca Goenawan Mohamad baca di sini

 

Tentang Goenawan Mohamad:

 

Goenawan Mohamad atau akrab disapa GM lahir di Kabupaten Batang, 29 Juli 1941. Sebagai seorang intelektual, Goenawan Mohamad menempati posisi khas dalam perkembangan pemikiran seni di Indonesia. Ia berseberangan dengan Sutan Takdir Alisjahbana maupun Pramoedya Ananta Toer dalam hal hubungan seni dengan politik dan pembangunan. Tapi, seperti Takdir, ia mengolah filsafat Barat dengan tekun dan bergairah. Karya-karya Goenawan Mohamad dapat dikatakan tak lekang oleh waktu, karena meskipun ditulis pada masa kemarin, pemikirannya selalu relevan hingga saat ini. Ia sangat dikenal sebagai penulis Catatan Pinggir, esai-esai pendek di majalah Tempo yang sampai kini telah dibukukan dalam 14 jilid. Beberapa karya-karya terbaru Goenawan Mohamad adalah Estetika Hitam: Adorno, Seni, Emansipasi (2021); Rupa, Kata, Obyek, dan yang Grotesk: Esai-Esai Seni Rupa dan Filsafat Seni 1961-2021 (2021); Eco dan Iman (2021); Dari Sinai sampai Al-Ghazali (2021); dan Albert Camus: Tubuh dan Sejarah (2021).

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

artcamgm

Menelisik Gagasan Seorang Tokoh Intelektual dalam ART CAMP: MEMBACA GOENAWAN MOHAMAD

25-27 Maret 2022
Komunitas Salihara & Zoom webinar

 

Kurangnya kajian mengenai pemikiran intelektual Indonesia mendorong Komunitas Salihara一bekerja sama dengan Komunitas Utan Kayu一untuk memulai program Art Camp, sebuah acara berkala mendiskusikan pemikiran para intelektual Indonesia. Art Camp hendak memperdalam pemahaman kita dengan membaca kembali karya-karya dari tokoh-tokoh yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan gagasan di Indonesia.

Memperingati usia Goenawan Mohamad yang ke-80 pada 2021 lalu, Art Camp tahun ini mengangkat pembacaan terhadap karya-karya Goenawan Mohamad serta sumbangsihnya kepada dunia seni, sastra, jurnalistik, filsafat dan demokrasi di Indonesia.

Pemilihan Goenawan Mohamad sebagai tokoh yang dibahas dalam Art Camp juga didasari atas relevansi karya-karyanya di zaman sekarang ini, di mana kini kebebasan berekspresi dan sikap kritis mulai terkungkung kembali karena sikap dogmatisme, fundamentalisme dan ujaran-ujaran kebencian. Melalui karya-karya Goenawan Mohamad, kita bisa belajar mengenai sejarah pemikiran di Indonesia dan polemiknya, serta pandangan dan sikapnya mengenai kemanusiaan, seni dan filsafat, beririsan dengan itu juga: politik dan agama.

Art Camp menampilkan beragam diskusi menarik bersama para penulis dan intelektual Indonesia dari pelbagai generasi. Mereka akan menanggapi pemikiran Goenawan Mohamad yang ditulis pada masa kemarin hingga hari ini.

Ni Made Purnama Sari, penulis dan salah seorang pemateri dalam acara ini mengatakan sosok Goenawan Mohamad merupakan tokoh yang mengedepankan kritik elaboratif sebagai upaya dialog dengan pemikiran-pemikiran seni budaya yang berbeda.

“Goenawan Mohamad  adalah sosok yang memiliki dimensi kekaryaan luas. Dari sisi genre, dia menulis puisi, prosa, naskah drama, serta esai-esai budaya. Dari sisi tematik, dia mengolah khazanah tradisi hingga penjelajahan ke pemikiran modern. Dia tumbuh dari generasi intelektual pada zamannya yang masih mengedepankan kritik elaboratif sebagai upaya dialog dengan pemikiran-pemikiran seni budaya yang berbeda, meskipun tradisi ini mengalami represi kekuasaan negara.”

Purnama menambahkan, “dan sayangnya, tradisi intelektual seperti ini kian memudar akibat perkembangan teknologi, media sosial dan perilaku kita berinteraksi di dunia maya: kritik elaboratif tidak hadir sebagai upaya membangun silang pendapat yang membangkitkan pengetahuan, bahkan kesadaran.”

Selain itu Art Camp dapat menjadi jawaban akan kerinduan para peminat sastra dan filsafat yang selama dua (2) tahun ini tidak dapat berdiskusi secara langsung karena pandemi Covid-19. Kegiatan ini adalah langkah awal Komunitas Salihara untuk mempertemukan para penikmat sastra dan filsafat dari Jakarta dan sekitarnya secara langsung.

Art Camp diadakan selama akhir pekan secara hybrid (luring dan daring). Pada kegiatan luring, para peserta akan mengikuti acara di Salihara dengan protokol kesehatan yang ketat. Para peserta luring pun dapat berinteraksi langsung dengan para pembicara. Sedangkan untuk kegiatan daring, peserta bisa mengikuti materi-materi pembicara dari rumah melalui Zoom Meeting.

Rangkaian materi yang bisa diikuti para peserta terbagi ke dalam beberapa sesi, di antaranya adalah:

Jumat, 25 Maret 2022
Sesi 1 | 15:30 WIB – Di Antara Sajak dan Intelektualisme
Pembicara: Ni Made Purnama Sari, Nirwan Dewanto, Triyanto Triwikromo
Moderator: Avianti Armand
19:00 WIB (khusus luring) – Diskusi dan Musik
Goenawan Mohamad, Seni dan Kebebasan
Bersama Ayu Utami dan Sri Hanuraga

Sabtu, 26 Maret 2022
Sesi 2 | 10:00 WIB – Adorno: Bagaimana Seni Membebaskan?
Pembicara: Fitzerald K. Sitorus & Bambang Sugiharto
Moderator: Akhmad Sahal

Sesi 3 | 13:00 WIB – Nietzsche: Mungkinkah Ambiguitas Dijelaskan?
Pembicara: A. Setyo Wibowo & Yulius Tandyanto
Moderator: Martin Sinaga

Sesi 4| 15:30 WIB – Rancière: Apakah Politik Selalu Tentang Kekuasaan?
Pembicara: A. Setyo Wibowo & Sri Indiyastutik
Moderator: Martin Sinaga

Sesi 5 | 19:00 WIB – Dari Marx ke Derrida: Masih Adakah Humanisme?
Pembicara: Y.D. Anugrahbayu & Martin Suryajaya
Moderator: Akhmad Sahal

Minggu, 27 Maret 2022
Sesi 6 | 10:00 WIB – Jurnalisme, Demokrasi dan Pergulatannya
Pembicara: Agus Sudibyo dan Donny Danardono
Moderator: Arif Zulkifli

Sesi 7 | 14:00 WIB – Tuhan dan Hal-hal yang Tidak Selesai
Pembicara: Ayu Utami dan Ulil Abshar Abdalla
Moderator: Nong Darol Mahmada
Direktur Program Komunitas Utan Kayu dan Perumus Art Camp: Membaca Goenawan Mohamad, Ayu Utami memaparkan bahwa pemilihan tema dan pembicara dalam acara ini secara garis besar memiliki dua tema utama: filsafat dan pemikiran tentang seni. Tapi, beririsan dengan dua tema utama itu adalah isu politik dan agama. Tema filsafat dibahas oleh para ahli dalam studi filsafat. Tema pemikiran seni oleh praktisi.

“Kita mengundang pembicara ahli untuk tema itu dan melihat bagaimana GM mengolah pemikiran tersebut. Untuk seni, juga agama, kita memilih orang-orang yang juga terlibat di dalam dunia kesenian yang memikirkan bagaimana seni, bahasa, dan agama berperan atau berhubungan dalam masyarakat,” lanjut Ayu Utami.

Melalui tujuh (7) sesi yang dipaparkan di atas, para peserta diharapkan bisa berkenalan dengan garis besar sejarah pemikiran Indonesia dan dunia melalui kacamata Goenawan Mohamad. Diharapkan pada akhir sesi, peserta bisa memetakan isu pemikiran, politik, dan seni baik dari konteks sejarah nasional maupun dunia.

Diskusi ini juga bisa menjadi perkenalan sosok Goenawan Mohamad kepada para pembaca yang menaruh minat terhadap perkembangan intelektual di Indonesia. Bagi para pembaca yang ingin mengenal Goenawan Mohamad bisa memulai dengan merujuk rekomendasi bacaan dari Ayu Utami yaitu sajak-sajak karya Goenawan Mohamad, atau bisa juga dengan membaca novel pendeknya yang berjudul Surti dan Tiga Sawunggaling.

Ayu Utami menambahkan, “untuk pembaca yang ingin tahu garis besar pemikiran Goenawan Mohamad tentang tokoh-tokoh penting dalam sejarah Indonesia, bisa baca Pembentuk Sejarah: Pilihan Tulisan Goenawan Mohamad, terbitan KPG, Freedom Institute  dan Komunitas Salihara.”

 

Tentang Goenawan Mohamad:

Goenawan Mohamad atau akrab disapa GM lahir di Kabupaten Batang, 29 Juli 1941. Sebagai seorang intelektual, Goenawan Mohamad menempati posisi khas dalam perkembangan pemikiran seni di Indonesia. Ia berseberangan dengan Sutan Takdir Alisjahbana maupun Pramoedya Ananta Toer dalam hal hubungan seni dengan politik dan pembangunan. Tapi, seperti Takdir, ia mengolah filsafat Barat dengan tekun dan bergairah. Karya-karya Goenawan Mohamad dapat dikatakan tak lekang oleh waktu, karena meskipun ditulis pada masa kemarin, pemikirannya selalu relevan hingga saat ini. Ia sangat dikenal sebagai penulis Catatan Pinggir, esai-esai pendek di majalah Tempo yang sampai kini telah dibukukan dalam 14 jilid. Beberapa karya-karya terbaru Goenawan Mohamad adalah Estetika Hitam: Adorno, Seni, Emansipasi (2021); Rupa, Kata, Obyek, dan yang Grotesk: Esai-Esai Seni Rupa dan Filsafat Seni 1961-2021 (2021); Eco dan Iman (2021); Dari Sinai sampai Al-Ghazali (2021); dan Albert Camus: Tubuh dan Sejarah (2021).

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center merupakan sebuah Institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

Untuk mengetahui jadwal pertunjukan dan pameran berikutnya sila kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara atau hubungi: media@salihara.org

richard

Obituari: Richard Oh

Richard Oh (Tebing Tinggi, 30 Oktober 1959 – Jakarta, 7 April 2022) adalah perpaduan yang jarang bagi dunia sastra dan film Indonesia. Ia berangkat dari bisnis periklanan, masuk dunia sastra dan film sebagai hobi yang kemudian jadi serius. Namanya mulai dikenal publik ketika mendirikan toko buku berbahasa Inggris QB World Books pada 1999. Indonesia baru saja mengalami kerusuhan dan Reformasi, gerai yang bertempat di jalan Sunda, Jakarta Pusat—di lantai dasar gedung yang sama dengan lokasi Bakmi GM—ini menawarkan kafe dan toko buku yang nyaman dan mentereng, yang waktu itu belum jamak. Sebelum mal jadi lazim, bisa dibilang Richard Oh adalah orang yang memperkenalkan paduan intelektualitas dan gaya hidup gemerlap perkotaan.

Tapi, kecintaannya pada sastra bukan cuma permukaan. Sejak kecil sebenarnya ia suka mengarang. Pendidikannya adalah penulisan kreatif di University of Wisconsin, Madison, dan University of California, Berkeley. Ia bekerja di periklanan dan berbisnis sebelum memutuskan untuk ikut berkiprah di dunia sastra dan film. Dekade awal 2000-an adalah periode optimistisnya di dunia sastra. QB World Books membuka gerai baru, ia membuat penerbit Metafor—salah satu buku pertamanya adalah Goenawan Mohamad: Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001, bekerja sama dengan Metro TV dalam program Book Review. Bahkan, melalui penerbit yang sama, ia menerbitkan majalah Jakarta Review of Books—meski hanya bertahan beberapa nomor. Pada 2001 ia melahirkan Khatulistiwa Literary Award, hadiah sastra tahunan dengan nilai seratus juta rupiah, yang penyerahannya dilakukan di Atrium Plaza Senayan. Meski berubah nama dan beberapa tahun belakangan ini nilai hadiahnya menurun jauh, Kusala Sastra Khatulistiwa tetap menjadi penghargaan sastra yang bergengsi dan dinanti.

Masa cemerlang toko buku kafe mulai redup dengan pergantian ke zaman digital. Tak sampai sepuluh tahun, QB World Books menutup gerai-gerainya. Richard dikenang membiarkan para pecinta buku, yang kebanyakan tak punya uang, mengambil buku-buku tanpa jaminan melunasi. Ia kemudian membuka Reading Room di Kemang Timur, tempat orang bisa menikmati perpustakaan dan kafe, ikut diskusi atau nonton film bersama. Bahkan, setelah Reading Room tutup, ia masih berniat membuka ruang yang sama di kawasan Bumi Serpong Damai.

Richard mengarang dan membuat film—baik sebagai produser, sutradara, penulis naskah, maupun pemain. Novel pertamanya, The Pathfinders of Love (2000). Film pertamanya—ia menjadi penulis dan sutradara—adalah Koper (2006). Tapi, karya layar lebarnya—juga sebagai penulis naskah dan sutradara—yang paling dinanti publik barangkali adalah Perburuan (2019), adaptasi dari novela Pramoedya Ananta Toer. Di antara itu, ia ringan bermain sebagai aktor pembantu di banyak film, antara lain Yowis Ben (1), 2, dan 3.

Tidak semua karya Richard Oh dibicarakan orang, tidak semua usahanya berhasil. Tapi, di dalam jatuh-bangun hidup dan bisnisnya ia tidak pernah berhenti berkarya atau menciptakan ruang-ruang bagi bertumbuhnya sastra dan film. Itu semua justru menunjukkan cinta dan dedikasinya yang luar biasa pada sastra dan film. Selamat jalan, Richard Oh! Selamat beristirahat, teman!

 

Sumber foto: Instagram/@richard0h._

soedarsono

Obituari: Srihadi Soedarsono

Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo (Solo, 4 Desember 1931一Bandung, 26 November 2022) adalah salah satu tokoh dan seniman penting dalam khazanah seni rupa Indonesia. 

Ia mulai gemar menggambar sejak usia dini. Pada masa pendudukan Belanda, ia senang melihat karya para pelukis Belanda di majalah d’Orient. Sementara pada masa pendudukan Jepang, ia telah menjumpai lukisan S. Sudjojono, Basoeki Abdullah dan lainnya di majalah Djawa Baroe.

Pada akhir pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, Srihadi Soedarsono bergabung secara sukarela dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Dalam komunitas itu, ia ikut dalam kegiatan pembuatan poster-poster, grafiti, hingga menulis slogan-slogan perjuangan di dinding-dinding kota dan gerbong-gerbong kereta. 

Ia juga terlibat sebagai wartawan pelukis yang meliput peristiwa-peristiwa militer dan peperangan untuk dokumentasi, ulang-alik dari Solo dan Yogyakarta. Di tahun-tahun itu pula, rombongan Seniman Indonesia Muda (SIM, 1947) pindah ke kota Solo dan menempati sebuah gedung bekas bioskop, tidak jauh dari rumahnya. Ia berkenalan dengan S. Sudjojono, bergabung dengan SIM dan menjadi anggota termuda di perkumpulan itu, setelah sebelumnya gelar itu digenggam pelukis Kartono Yudhokusumo.

Srihadi Soedarsono melanjutkan pendidikan ke Balai Pendidikan Universiter Guru Seni Rupa FTUI Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) pada tahun 1952. Di sana ia mendapatkan pengalaman dan ilmu yang sepenuhnya baru. Perjumpaannya dengan Ries Mulder membawanya kepada corak seni lukis baru, yaitu seni abstrak dan kubisme. Ia kemudian melanjutkan studi ke Ohio State University (OSU). Di sana ia berjumpa dan berkarya di satu gedung seni rupa bersama Roy Lichtenstein, pelukis Amerika Serikat yang mengembangkan Pop Art di era 1960-an.

Dari pengalaman itulah Srihadi Soedarsono membaurkan berbagai gaya seni lukis. Ia memiliki gaya abstraksi yang khas. Salah satu tema yang paling ditekuninya adalah “horison”. Melalui esensi garis dan warna, ia membagi tegas mana yang langit dan mana yang bumi. Karya yang bisa merepresentasikan ini adalah seri Borobudur. Sedangkan kecenderungan abstrak figuratif dapat ditemukan di lukisannya yang bertemakan tarian. Meskipun demikian, ia tak melulu menempuh seni abstrak itu. Ada pula periode kritik sosial dalam karya-karyanya, seperti seri lukisan Lapar dan Kemiskinan (1960-an), misalnya.

Srihadi Soedarsono senantiasa melukis sepanjang hidupnya. Baginya “lukisan adalah alat untuk menyampaikan buah pikiran, mengungkap rasa dan kalbu.” Baginya kehidupan ini secara keseluruhan adalah perjalanan spiritual. Kini, Srihadi Soedarsono telah berpulang, namun karya-karyanya abadi. 

Istirahat dalam damai, Srihadi Soedarsono. Indonesia berduka dan kehilangan.

siaranpers-kelas-filsafat-2022

Memahami Perkembangan Dunia Digital dalam Perjalanan Sejarah Manusia melalui Kacamata Filsafat

Seri Kelas Filsafat Manusia dan Dunia Digital
Antropologi: Manusia dan Dunia Digital
Pengampu: Reza A.A. Wattimena
Setiap Sabtu, 05, 12, 19, 26 Februari 2022, 13:00 WIB
Zoom Webinar

Jakarta, 10 Januari 2022 – Revolusi digital telah mengubah modes of being kita. Dunia digital ada secara paralel dengan dunia korporeal. Kita hidup dalam keduanya. Bagaimana filsafat menanggapi perubahan ini? Mengusung tema besar Manusia dan Dunia Digital, tahun ini Komunitas Salihara Arts Center menggelar seri kelas filsafat yang membahas fenomena dunia digital yang kita alami dan berbagai perubahannya dari perspektif antropologi, etika dan epistemologi.

Seri kelas filsafat tahun ini dibagi dalam tiga putaran. Pertama, melalui perspektif antropologi (Februari) kita akan membahas bagaimana eksistensi pikiran manusia ketika berhadapan dengan “kemayaan realitas” di dunia digital. Kedua, dari perspektif etika (Mei), kita akan membahas berbagai cabang filsafat Barat dari yang klasik hingga mutakhir dalam mempersepsikan dunia virtual. Ketiga, melalui perspektif epistemologi (November), kita akan membahas kata-kata kunci terpenting dari filsafat Barat kontemporer (demokrasi dan sosialitas) dan kaitannya dengan watak dunia digital.

Untuk putaran pertama dan kedua, kelas diampu oleh Reza A.A. Wattimena (peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur). Adapun pada putaran ketiga kelas diampu oleh F. Budi Hardiman (alumnus Hochschule für Philosophie München dan pengajar di Universitas Pelita Harapan).

*

Putaran pertama berjudul Antropologi: Manusia dan Dunia Digital. Di sini kita akan membahas bagaimana manusia dan dunia digital dilihat melalui sudut pandang antropologi. Dibagi dalam empat pertemuan, kelas akan berlangsung secara daring setiap Sabtu, 05, 12, 19, 26 Februari 2022 pukul 13:00 WIB.

Reza A.A. Wattimena, pengampu kelas sekaligus penulis buku Urban Zen (2021) menuturkan bahwa dunia digital banyak memberikan pengaruh baik terhadap cara berpikir, pola hubungan antar sesama manusia, dan pemaknaan identitas. “Makna kenyataan dan identitas berubah total. Kenyataan tidak lagi sekadar kenyataan fisik, tetapi juga kenyataan digital yang dibentuk oleh angka dan algoritma. Pola hubungan antar manusia pun berubah. Ada peluang kemajuan, sekaligus ancaman kehancuran peradaban. Filsafat-filsafat sebelumnya tak lagi mampu menanggapi kompleksitas yang terjadi. Diperlukan pemaknaan reflektif dan kritis yang lebih sesuai.”

“Dunia digital mengubah hidup manusia, dan bahkan mengubah jati diri kita sebagai manusia.” Reza menambahkan bahwa keempat diskusi ini ingin memberikan kejernihan pemahaman atas revolusi digital yang terjadi, sekaligus menawarkan arah, sehingga keseimbangan hidup bisa terjaga di masa revolusi digital ini.

 Pertemuan pertama dimulai dengan sub materi “Zen, Ilusi Ego dan Internet” yang membahas bagaimana Zen dapat membantu memahami ego di era digital. Pertemuan kedua “Nietzsche dan Cyborg” kita akan berdiskusi tentang konsep “manusia atas” dari Nietzsche yang telah mengantisipasi realitas pasca-humanisme antara manusia dan mesin.

Pertemuan ketiga “Neurofilosofi dan Manusia Digital” kita akan membahas perkembangan baru dalam neurofilosofi yang telah banyak mengubah pemahaman kita tentang kesadaran di era digital. Pertemuan terakhir “Panpsikisme dan Kesadaran Digital” akan membahas sejauh mana dunia digital mendukung panpsikisme yaitu sebuah pemahaman bahwa semua hal termasuk benda-benda yang ada di dunia memiliki kesadarannya masing-masing.

Koordinator program edukasi Komunitas Salihara Arts Center, Rebecca Kezia memaparkan bagaimana teknologi berkembang begitu pesat dan memainkan peran penting terutama di masa pandemi ini. “Kita melihat dan merasakan bagaimana teknologi berkembang pesat dan sejumlah peranti di dalamnya memainkan peran penting dalam kehidupan manusia. Apalagi di masa pandemi yang membatasi ruang gerak kita di dunia fisik, kian mempercepat keakraban kita dengan teknologi dan ruang-ruang digital.” Rebecca menambahkan bahwa sesuai dengan tujuan kelas filsafat, Komunitas Salihara ingin mengajak publik memaknai perubahan dan kenyataan hari ini melalui pemikiran filsafat dari sejumlah tokoh penting seperti Nietzsche, Kant, Marx hingga prinsip pemikiran Buddhisme.

Program Kelas Filsafat ini niscaya dapat merawat ruang berpikir kritis publik melalui sejarah dan teori para pemikir dunia. Rebecca juga mengatakan bahwa Komunitas Salihara selalu mengambil tema-tema yang spesifik berkaitan dengan isu sosial, politik, bahkan fenomena-fenomena terkini di dunia digital yang semakin marak selama pembatasan sosial di masa pandemi. Tema pilihan tersebut kemudian dilihat dari kacamata filsafat bukan sebagai kebenaran cara pandang yang tunggal tapi jalan untuk melihat suatu isu dengan lebih luas dan kritis.

Untuk informasi lebih lanjut tentang Kelas Filsafat Salihara silakan kunjungi website salihara.org dan media sosial kami.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

Cerita Residensi - Wildan

Cerita Residensi: Wildan Indra Sugara

Pada akhir tahun 2019 saya berkesempatan untuk menjadi seniman residensi di Zentrum für Kunst und Urbanistik (ZK/U) Berlin, sebuah lembaga seni rupa dan hal-hal yang menyangkut kota dan manusia. Koridor dan kertertarikan personal dalam karya saya一saya sengaja tidak merencanakan bentukan karya akhir yang akan saya presentasikan一adalah hubungan antara manusia dan obyek konsumsi.

Sesampainya di Berlin, saat berjalan menuju ZK/U untuk pertama kali, saya tak menyangka bahwa kondisi akses pedestrian yang sebetulnya nyaman kadang dipenuhi oleh tumpukan obyek hasil konsumsi masyarakat setempat. Benda habis pakai seperti furnitur, elektronik, bahkan otomotif tergeletak bahkan menumpuk di sisi trotoar atau ujung taman. Hal tersebut menjadi poin menarik untuk saya angkat sebagai karya selama residensi di ZK/U.

ZK/U sendiri memiliki program seniman OPENHAUS yang diadakan tiap dua bulan sekali secara berkala dalam satu tahun. Menuju OPENHAUS pada bulan Januari, para seniman residensi ZK/U melakukan beberapa kali diskusi, sehubungan dengan konsep besar yang bertepatan dengan Transmediale 2020, rangkaian festival seni dan budaya digital. Tahun itu mengangkat tema “network”. Para seniman residensi sepakat menerjemahkan “network” sebagai hubungan-jejaring, entah itu hubungan antar manusia, manusia dan memorinya, manusia dan benda, dan lainnya.

Selama proses berkarya, saya menggunakan flaneur sebagai metoda berkarya. Saya menelusuri pedestrian di sekitaran Moabit dan beberapa sudut kota Berlin untuk meriset keberadaan obyek-obyek bekas pakai yang ditinggalkan. Beberapa obyek yang saya temukan kemudian saya bubuhi dengan teks kata kerja lampau yang berelasi dengan setiap obyek. Persentase keberadaan obyek yang dianggap obsolet di area publik lebih besar di area yang berdekatan atau berada di daerah pemukiman warga, sedangkan di luar itu yang ditemukan hanya sisa-sisa konsumsi produk-produk harian seperti residu pangan dan sejenisnya.

Budaya menumpuk benda obsolet seolah lumrah di kota itu. Padahal menurut kabar dari masyarakat setempat sebetulnya ada regulasi dari pemerintah yang mengatur tentang hal ini. Masyarakat yang ingin membuang benda bekas pakai seharusnya menghubungi dinas kebersihan setempat untuk mengadakan kesepakatan waktu dan biaya angkut yang harus mereka tanggung. Tapi lebih banyak dari mereka abai karena menghindari tanggungan biaya. Mereka membiarkannya sampai kurang lebih dua minggu sampai ada pihak yang bertugas mengambilnya atau menjadi target vandal masyarakat urban lainnya.

Kegiatan program residensi di ZK/U selain OPENHAUS adalah presentasi mingguan, kunjungan kurator, seniman, ahli dan open studio. Presentasi mingguan diadakan tiap senin, dengan menghadirkan dua seniman residensi sebagai pemateri presentasi. Materi presentasi tidak dibatasi pada satu tema atau bahasan. Pemateri dapat memaparkan karya-karya sebelumnya, proyek yang sedang dilakukan, membedah karya, atau bahkan melakukan performans.

Di sela-sela program residensi saya pun mengunjungi beberapa museum, pameran, presentasi, performans, dan studio visit. Di antaranya adalah Hamburger Bahnhof – Museum für Gegenwart, ACUD Macht Neu, CTM Festival 2020, KW Institute for Contemporary Art, Haus der Kulturen der Welt, Transmediale 2020, DDR museum, MMK museum of modern art Frankfurt, Ambiente 2020 dan lain sebagainya. Sembari melakukan kunjungan ke tempat tersebut saya lebih banyak berjalan kaki dengan tujuan sekaligus mengamati kondisi keberadaan benda-benda yang ditinggalkan di area publik.

Kunjungan ke beberapa tempat tersebut membuka cakrawala baru bagi saya baik dalam hal kemutakhiran bentuk kekaryaan yang memanfaatkan kemajuan teknologi atau mengapresiasi karya-karya seniman idola seperti Joseph Beuys atau Robert Rauschenberg secara langsung. Saya juga berjejaring dengan seniman-seniman yang berkarya di Berlin atau seniman Indonesia yang berkarya di Berlin.

 

Cerita Residensi - Argya

Cerita Residensi: Argya Dhyaksa

Pada awal residensi saya diperkenalkan pada seniman keramik bernama Eiair. Ia menyewakan tungkunya untuk saya pakai membuat keramik. Ia juga memberitahu di mana lokasi-lokasi membeli material keramik yang saya butuhkan. Karya-karya keramik yang ia buat sangatlah kecil, bahkan saya masih heran bagaimana ia bisa sesabar itu membuat keramik berukuran tidak lebih besar dari satu buku jari. Karya-karyanya mengajak untuk lebih menyadari keberadaan sesuatu yang tidak jarang luput oleh pandangan mata. Ketika saya berada Bangkok, Thailand, Eiair sedang menyiapkan karya-karya untuk pameran di Ceramic Art London yang sayangnya harus batal karena wabah yang menimpa ini.

Karya saya dari hasil residensi selama di Bangkok berjudul Sacred Admirer dan berikut catatan selama saya berada di Bangkok yang mungkin melatarbelakangi lahirnya karya tersebut.

Selama melakukan residensi, hal-hal yang membuat saya tertarik adalah keberadaan benda-benda mistis yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural. Benda-benda itu beredar di masyarakat, bahkan mereka diberikan kebebasan untuk memeluk berbagai macam bentuk kepercayaan. Mereka pun diperbolehkan mengagungkan figur-figur yang keberadaannya dipercaya berdampak bagi kehidupan mereka. Karya saya merupakan perujudan dari hal tersebut. Saya meminjam visual dari hal-hal yang dianggap sakral dan dipuja di masyarakat, misalnya jimat-jimat dan tato “Sak Yant”. Saya memberikan sentuhan dari karakter budaya populer yang mengafirmasi kekuatan tersebut dengan syarat tertentu.

“Jika kamu menyimpan karya ini kamu bisa menjadi kebal peluru, dengan syarat kamu juga memakai rompi kebal peluru atau tidak keluar rumah dan menghindari peluru. Jika kamu memajang karya ini maka kamu bisa menjadi kaya raya, dengan syarat kamu bekerja dengan giat dan tidak memiliki pengeluaran terlalu banyak.”

Jimat-jimat dan benda-benda berbau mistis di Thailand diperjualbelikan secara legal dan terbuka. Bahkan ada tempat khusus yang melayani hasrat klenik atau kebutuhan untuk menuju jalan pintas kemudahan dalam berkehidupan dengan cara-cara supranatural. Amulet Market yang lokasinya sangat berdekatan dengan istana kerajaan menjual barang-barang klenik yang dipercaya berkhasiat untuk mempermudah orang-orang dalam menjalani kehidupan. Hampir semua benda berbau mistis seperti jimat kebal peluru, kesaktian, pelet sampai pesugihan bisa dicari di tempat ini. Saya suka melihat bentuk-bentuknya karena saya menaruh minat pada action figure. Tetapi saya menganggap obyek-obyek ini seperti benda-benda koleksi, ketimbang untuk kebutuhan untuk menuju jalan pintas.

Setelah itu saya mengamati proyek keramik yang diinisiasi oleh Wasinburee Supanichvoraparch. Mereka berkolaborasi dengan seniman muda dari sembilan universitas. Mereka menggabungkan dan mengembangkan motif-motif yang merupakan kearifan lokal dan warisan budaya dengan seni kontemporer. Mereka merefleksikan nilai dari desain untuk komunitas dan perubahan gaya hidup seiring berjalannya waktu.

Kegiatan lainnya, saya berkeliling Bangkok menaiki tuk-tuk, alat transportasi yang mirip dengan bajaj di Indonesia. Saya mengunjungi pembukaan pameran-pameran di sejumlah galeri yang diadakan rutin tiap tahun. Acara yang bertajuk Galleries Night itu digelar hanya dua hari saja dengan rute yang berbeda. Pameran yang membuat saya tertarik adalah pameran keramik di La Lanta Fine Art  dan WTF Gallery.

Thailand merupakan negara di mana filosofi Buddha bercampur dengan mistis dan supranatural. Hal pertama yang membuat saya tertarik ketika berada di sana adalah San Phra Phum atau rumah pemujaan roh/dewa pelindung. Para penduduk membuat sebuah miniatur rumah untuk dewa(?) atau roh(?) pelindung yang dipercaya bisa memberikan keberuntungan. Setiap pagi mereka mempersembahkan berbagai makanan dan minuman, biasanya fanta rasa stroberi karena warna merahnya menyimbolkan darah sebagai perujudan dari kehidupan dan kematian. Mereka hendak mengusir energi jahat di lingkungan San Phra Phum itu berada.

Saya berkunjung di rangkaian acara Bangkok Design Week. Salah satu pameran yang diminati orang banyak adalah pameran Hundred Years Between yang memamerkan karya-karya fotografi dari Thanpuying Sirikitiya Jensen. Beberapa pameran dari Bangkok Design Week ini menarik karena diadakan di sebuah bangunan tua, sehingga hanya beberapa pengunjung saja yang diperbolehkan berada di dalam ruangan.

Terakhir, saya berkunjung ke pameran Spectrosynthesis II- Exposure of Tolerance: LGBTQ in Southeast Asia di Bangkok Art and Culture Centre. Yang menarik perhatian saya adalah karya dari Ramesh Mario Nithiyendran seniman keramik yang berdomisili Australia. Ia kerap membahas isu seksualitas serta simbol-simbol mitos pada alat genital yang dituangkan ke dalam karya-karya keramiknya.

Cerita Residensi - Andrita

Cerita Residensi: Andrita Yuniza

Ketika saya melewati masa residensi di Gyeonggi Creation Center, Korea Selatan, ada pengalaman yang membuat saya terpesona kepada sebuah ide, di mana sesuatu yang abstrak punya andil kendali besar atas sesuatu yang tampak berjarak dengannya. Seperti halnya free will atau kehendak bebas seseorang dapat mengubah lingkungan kehidupannya. Kehendak bebas atau intensi (keinginan) seyogyanya memang tidak berbentuk, namun berdampak. Internet sebenarnya terbuat dari radiasi elektromagnetik—tidak berbentuk tetapi menyimpan banyak sekali informasi. Maka saya membuat beberapa karya eksperimental untuk menelusuri ide ini. Yang pertama adalah tentang hubungan antara Korea Selatan dengan Cina, yang ditautkan laut dan angin. Yang kedua membahas tentang gubahan gen atau DNA manusia; dan yang ketiga membahas tentang realitas hibrida (hybrid reality).

Korea Selatan dan Cina saling mempengaruhi satu sama lain secara tidak langsung dengan perantaraan alam. Kekuatan alam mempengaruhi ekosistem lingkungan, seperti bagaimana gelombang lautan datang silih berganti, atau bagaimana angin membawa partikel-partikel dari bagian bumi lain. Gyeonggi Creation Center terletak dekat dengan Haesolgil Track, dengan beting yang menghadap Laut Kuning, yang tersibak dua kali sehari setiap surut. Laut Kuning menghubungkan Korea Selatan dengan Cina, maka saya pun menganggap bahwa gelombang lautan pasti membawa ombak yang pernah menyentuh kedua daratan. Gelombang terjadi karena bulan mempengaruhi bumi. Dari pengamatan ini, saya menyadari bahwa pasang surut di area saya mirip dengan gelombang beta pada otak kita, yang menunjukkan keterjagaan otak kita di sebuah titik waktu. Hal ini terjadi ketika kita larut dalam sebuah aktivitas atau percakapan, seperti halnya hubungan antara Korea Selatan dan Cina. Tak hanya lautan, angin pun membawa serta debu kuning, atau kabut beracun yang timbul dari limbah industri. Hampir kasat mata tetapi dampaknya sungguh besar.

Melalui observasi ini, muncul ide untuk merekam gelombang sebagai karya cetak, atau print, mirip detektor gelombang seismik gempa bumi. Saya menggunakan etching, sebuah teknik cetak di mana cairan asam (acid) digunakan untuk menggerus pelat logam, dan apa yang tersisa dari reaksi kimia tersebut digunakan untuk membuat jejak gambar. Saya terpikir untuk menggunakan air laut alih-alih cairan kimia asam untuk menggerus logam. Tetapi air laut tidak sekeras air asam, sehingga hanya meninggalkan karat. Maka karya ini tidak selesai karena bagian yang terkorosi tidak cukup dalam untuk membuat cetakan, kecuali kalau saya ingin mencetak karat-karat tersebut. Tetapi saya tidak mau melakukannya.

Saya kemudian berpikir bagaimana saya dapat menciptakan bentuk angin, dan akhirnya memutuskan untuk menggunakan bebunyian. Saya meminta orang-orang tua dan muda untuk mengutarakan pemikiran mereka tentang “damai” dan harapan masa depan, dengan cara berbisik. Orang akan berbisik pada salah satu dari dua kondisi berikut: ketika sedang berbagi rahasia, atau ketika sedang berdoa. Saya menggunakan bisikan untuk menggubah suara angin. Saya ingin menyampaikan ajakan: mengapa kita tidak mengirimkan sesuatu yang baik, seperti doa atau harapan baik? Jangan kirimkan kabut beracun atau hal-hal yang merusak.

Sudah beberapa tahun saya memperhatikan perihal operasi plastik di Korea Selatan tetapi saya tidak tahu bahwa DNA pun dapat digubah. Saya tidak membahas mengenai operasi plastik tetapi saya kira sangat menarik bagaimana kita dapat mengubah bentuk/tampilan kita dengan mengatur sesuatu yang ukurannya mikroskopis, yaitu DNA. Ide ini mendorong saya untuk menelusuri kemungkinan adanya makhluk buatan atau artifisial di dunia pasca-manusia. Maka, saya menelusuri lebih jauh perihal biomaterial seperti biopolimer, untuk menciptakan makhluk baru.

Kali pertama saya mendengar tentang hybrid reality adalah ketika saya menghadiri simposium yang diadakan di MMCA Seoul. Di sana, seorang peneliti menjelaskan bahwa sekarang ini ada banyak ruang publik, dan salah satunya adalah internet. Kita mendiami dua alam, realita (kenyataan) dan realita internet (kenyataan maya). Sebagai seorang seniman yang dahulu banyak bekerja di ruang terbuka, ide ini tentu menantang pemahaman tentang konsep/ide ruang yang selama ini saya pegang. Maka, saya membuat sebuah proyek eksperimental dengan mencetak poster berisi kalimat-kalimat yang saya ambil dari Twitter. Biasanya kita mengunggah hal-hal dari realita kita ke internet. Sekarang, bagaimana jika hal-hal dalam internet itu kita bawa kembali pada realita, entah sebagai teks biasa atau sebagai angka biner?

Secara keseluruhan, saya gunakan waktu senggang untuk mengunjungi 25 pameran, 3 open-studio yang diadakan seniman residensi lain, lebih dari 10 museum seni, dan berbagai acara budaya. Saya takjub mengetahui ada begitu banyak art platform dan ruang seni di Korea Selatan; di Gyeonggi-do saja ada cukup banyak. Ada yang merupakan ruang milik negara, ada juga ruang milik pribadi atau perusahaan. Banyak perusahaan besar memiliki galeri seni. Maka, selalu ada hal untuk dilihat, selalu ada pembukaan pemeran untuk dihadiri, dan selalu ada kesempatan bertemu dengan seniman residensi lainnya. Saya jadi tahu lebih banyak mengenai bagaimana lanskap seni Korea Selatan kini menjadi sebuah destinasi bagi seniman internasional, karena begitu banyaknya program and seminar yang mengundang penggiat seni mancanegara. Negara ini juga melestarikan budaya tradisional mereka dengan tepat, sehingga menarik untuk dipelajari dan disaksikan. Saya menonton pertunjukan shaman yang berlangsung dua malam suntuk di sebuah teater tradisional di depan sebuah istana; sangat melelahkan tetapi sangat menarik.

Saya belum pernah mengikuti sebuah program residensi di tempat yang mempunyai program setahun penuh seperti di Gyeonggi Creation Center. Mereka memiliki program residensi satu tahun penuh khusus untuk seniman Korea Selatan. Pesertanya dipilih dari ratusan pemohon yang masuk; yang terpilih diberikan dana untuk berkarya. Maka ada lebih dari dua puluh seniman berkumpul di satu tempat. Terkadang, kami bersama-sama pergi mencari makan malam, menghadiri pembukaan pameran, atau ikut serta dalam bengkel seni yang diadakan seniman yang mengajar di institusi itu. GCC juga memiliki program pendidikan di mana seniman mengampu kelas atau bengkel seni bagi anak kecil atau lansia.

gunawan-maryanto

Gunawan Maryanto

Gunawan “Cindil” Maryanto (Yogyakarta, 10 April 1976-06 Oktober 2021) pada mulanya mendapatkan keharuman namanya dalam bidang sastra dan teater—baru kemudian: film.

Sastra dan teater ditempuhnya dalam waktu yang hampir bersamaan—sebagaimana umumnya para sastrawan di negeri ini. Kecintaannya pada teater tumbuh sejak ia duduk di bangku SMA 6 Yogyakarta, sementara kegemarannya kepada sastra mengantarkannya kepada studi Sastra Jawa di Universitas Gadjah Mada. Jika teater mengantarkannya bergabung dengan kelompok Teater Garasi, maka studi sastra Jawa secara akademis memberikan kepekaan tersendiri kepada puisi dan fiksi yang ditulis Cindil.

Fiksi gubahan Cindil mengolah kembali dunia keseharian masyarakat Jawa yang tampaknya sederhana, padahal rumit. Sesekali, dengan modal pengetahuan sastra Jawa itu, fiksi Cindil juga masuk kepada kisah-kisah dalam khazanah sastra Jawa yang selama ini hanya dikenal melalui legenda, dongeng dan serat. Ia bermain-main bentuk modern dengan khazanah kisah tradisional dengan sangat lincahnya sebagaimana sejumlah cerpennya yang terkumpul dalam Bon Suwung (2005) dan Galigi (2007).

Puisi Cindil menempuh jalan yang hampir serupa dengan fiksinya. Dunia keseharian masyarakat Jawa yang berhadapan dengan dunia modern dan tegangan di antaranya adalah tema yang kerap digarap Cindil. Buku puisinya yang mengolah tema ini Sejumlah Perkutut buat Bapak (2010) meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2010.

Sesungguhnya, teater telah menempatkan Cindil sebagai aktor dan sutradara yang bukan hanya khatam akan lakon-lakon realis, semisal Tuk karya Bambang Widoyo SP, tetapi juga sangat memikat ketika mementaskan bentuk-bentuk non-realis semisal Repertoar Hujan (2001-2005). Teater pula yang mengantarkannya ke dunia film yang lebih gemerlap. Mulai sebagai pelatih akting untuk pemain film hingga sebagai bintang film itu sendiri.

Ia membintangi sejumlah film Indonesia. Perannya sebagai penyair Widji Thukul dalam film Istirahatlah Kata-kata (2017) karya Yosep Anggi Noen membuat Cindil meraih penghargaan Usmar Ismail Awards 2017. Sementara perannya sebagai Siman dalam film Hiruk Pikuk si Alkisah (2020) juga besutan Yosep Anggi Noen membuat ia meraih Piala Citra, penghargaan tertinggi perfilman di Indonesia.

Gunawan Maryanto telah berpulang dengan sangat tiba-tiba bersama segala prestasinya yang bisa kita kenang. Kita sungguh kehilangan.