klassikhausblog

Enam Komponis Perempuan Prancis tanpa Kata-Kata

Klassikhaus memainkan komposisi enam komponis perempuan Prancis lintas era dalam pentas Les Femmes sans Paroles (11/8). Pentas ini menjadi bagian dari LIFEs 2023: Mon Amour! yang menjelajahi sastra, budaya dan pemikiran negara-negara Frankofoni. Les Femmes sans Paroles, atau “Perempuan-perempuan tanpa kata-kata,” menjelaskan karya para komponis di pentas ini yang semuanya instrumental.

Klassikhaus (2019) adalah komunitas seni pertunjukan yang ingin mengakrabkan musik klasik pada masyarakat dengan mengadakan resital-resital kasual di ruang-ruang publik. Di Les Femmes, Klassikhaus hadir dalam format trio: Budi Utomo Prabowo duduk di bangku harpsichord dan piano, Windy Setiadi memangku bandoneon, dan Muhammad Ravi Arrauf merengkuh kontrabas. Trio ini menginterpretasi komposisi dari Élisabeth Jacquet de La Guerre (1665–1729), Pauline Viardot (1821–1910), Cécile Chaminade (1857–1944), Germaine Taillefer (1892–1944), Lili Boulanger (1893–1918) hingga Betsy Jolas (1926). Melalui karya keenam komponis, Klassikhaus menjelajahi musik dari Barok ke atonal.

Klassikhaus mengawali pentas dengan memainkan Sonata Biola no. 2 di D Mayor oleh Élisabeth Jacquet de la Guerre. Ia merupakan seorang pemain harpsichord dan organ, dan menjadi komponis perempuan pertama di Prancis yang menciptakan karya opera. Sonata Biola singkat empat bagian ini mulai dengan Presto, yang bertempo cepat, turun ke Adagio, pelan, lalu kembali ke dua Presto selanjutnya. Harpsichord dan kontrabas jalin-menjalin, lapis-melapis, dan memberi ruang bagi bandoneon untuk bermain di wilayah depan ruang dengar kita.

 

previous arrow
next arrow
Slider

 

Komposisi ini sesungguhnya diciptakan untuk biola dan continuo yang terdiri dari harpsichord dan kontrabas. Sekalinya bandoneon dimainkan, kita langsung menyadari beda wataknya: Biola mampu menarik melodi tangkas juga memanjang, sedangkan bandoneon bergantung pada tarik-hembus paru-paru (bellows) instrumen ini. Bagian unik bandoneon adalah tombol melodi yang menyerupai keyboard, yang membedakannya dengan akordion meskipun anatominya mirip, dan Windy Setiadi, yang mempelajari cara main bandoneon pada 2016 di bawah bimbingan musisi Ryota Komatsu, sepanjang pentas, ibarat sedang mengetik nada ketimbang kata. Pada bagian-bagian Presto, terutama, bandoneon tampil jenaka dan eksentrik, terlebih karena instrumen ini juga amat jarang kita lihat atau dengar, jika bukan tak pernah sama sekali. Namun rasanya bandoneon tak dapat menggantikan biola yang mahir mempersedih Adagio. Biola melamun bersama kontrabas, yang dalam sonata ini, banyak digesek selain dipetik.

Aransemen kontrabas dan harpsichord dalam Sonata Biola akan pula mengingatkan kita pada album pop di Inggris dan Amerika Serikat pada 1960-an yang terpengaruh Barok, seperti Pet Sounds, The Beach Boys (1966), atau Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band, The Beatles (1967). Paul McCartney di masa-masa Sgt. Pepper’s, misalnya, akan gemar mengaransemen laju bass sesibuk kontrabas di komposisi ini.

Klassikhaus kemudian membawakan Berceuse (Ninabobo, 1913) dan Arabesque dari Germaine Taillefer. Taillefer merupakan satu-satunya komponis perempuan dalam sebuah grup komponis Prancis abad 20 bernama Les Six. Enam Komponis. Selain Taillefer, grup ini terdiri dari Darius Milhaud, Francis Poulenc, Arthur Honegger, Georges Auric dan Louis Durey. Musik Les Six dikenal berseberangpaham dengan Romantisisme Jerman Richard Wagner dan Richard Strauss, juga orkestrasi rimbun komponis sesama penduduk Prancis, Claude Debussy, dan mengambil inspirasi dari musik-musik Erik Satie dan puisi-puisi Jean Cocteau.

Berceuse, asalnya tercipta untuk piano dan biola, menghadirkan tema yang mendaki dengan ramah dan tak bepergian jauh. Muhammad Ravi Arrauf, yang menggantikan fungsi biola dengan kontrabas, membuat ninabobo ini gagah dan bijaksana, seakan terkandung di dalamnya suatu pengalaman hidup menahun. Sedangkan Arabesque Taillefer sunyi, misterius. Laik Berceuse, mengandung tema berulang. Mendengarnya kita mengandai secercah caya lampu minyak di malam hari, sendiri bergeseran di tembok-tembok dan jalanan sepi.

Klassikhaus kemudian membawakan Piano Trio no. 1 di G Minor, Op. 11 (1881), oleh Cécile Chaminade. Komposisi ini terbagi jadi empat bagian: (I) Allegro, (II) Andante, (III) Presto, (IV) Allegro molto. Dalam Les Femmes, Klassikhaus terlebih dahulu memainkan dua bagian pertama Trio, kemudian menyisipkan Ruht wohl (2011) oleh Betsy Jolas, Nocturne untuk biola dan piano (1911/1914) oleh Lili Boulanger, Romance, 6 Morceaux, no. 1 (1868) oleh Pauline Viardot, lalu kembali ke Piano Trio dengan sisa Presto dan Allegro molto.

Chaminade mengaransemen Piano Trio untuk piano, biola, cello. Kali ini, kita menyaksikan bagaimana Klassikhaus, terkhususnya Windy Setiadi, menguji kapasitas bandoneon dalam memainkan dan mengisi wilayah hembus yang tak terjamah oleh biola, juga dalam mengikuti tempo cepat Allegro, karena ada gerakan tertentu yang membuat bandoneon seolah-olah kehabisan napas. Lain halnya ketika komposisi memasuki Andante. Kita akhirnya mendengar dampak bunyi bandoneon yang berbeda dari saat ia memainkan Sonata Biola di awal pentas; Suatu kualitas yang kita kenal dengan sedih. Bagaimana caranya sebuah instrumen musik dapat terdengar nelangsa? Apakah ini kualitas inheren instrumennya, atau inikah qualia manusia?

Klassikhaus memperlihatkan dampak lain bandoneon ketika ia menggantikan peran biola dalam komposisi Ruht wohl, atau “Istirahatlah dalam damai,” oleh Betsy Jolas. Jolas, kini berumur 97 tahun dan masih aktif berkarya, merupakan komponis kontemporer perempuan yang konsisten menciptakan komposisi atonal. Ruht wohl merupakan sebuah renungan pendek Jolas terhadap bagian akhir oratorio St. John Passion (1724) oleh Johann Sebastian Bach, yang dengan paduan suara, mempersembah ninabobo megah: Ruht wohl, Ihr heiligen Gebeine/Die ich nun weiter nicht beweine (Istirahatlah dalam damai, tulang-tulang kudus/Aku tak lagi menangisimu [terjemahan bebas penulis]). Terkait interpretasi Klassikhaus terhadap Ruht wohl Jolas, bandoneon nampak mampu mendorong renungan ke daerah yang lebih kelam, dan kontrabas, dengan nada yang lebih bawah dari biola dan cello, turut mempertipis udara di atmosfer atonal, menjadikan komposisi ini seperti suatu daerah hampir-vakum.

 

Penulis: Ibrahim Soetomo

Erotika Feminin:
Merayakan Malam Paling Erotis di LIFEs 2023

Teater Salihara | 08 Agustus 2023

 

Jakarta, 10 Agustus 2023 Erotika Feminin sukses digelar Selasa lalu (08/08), bertepatan dengan hari jadi Komunitas Salihara yang ke-15. Erotika Feminin yang secara literal merupakan alusi dari istilah Écriture Féminine atau penulisan perempuan diperkenalkan oleh pemikir Prancis Hélène Cixous. Erotika Feminin merupakan sebuah bentuk perayaaan untuk membicarakan serta mengeksplorasi mengenai hasrat, ketubuhan, dan seksualitas lewat pembacaan karya-karya dari para penulis Prancis ternama, dibawakan dengan sangat baik oleh aktris tanah air secara berurutan: Asmara Abigail, Elghandiva Astrilia, Sri Qadariatin, dan Sha Ine Febriyanti. Dalam keterbatasan yang dimiliki oleh seni, Ayu Utami–Direktur LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2023 dan Kurator Sastra Komunitas Salihara–memaparkan bahwa seni dapat berkembang menjadi begitu luas lewat pengalaman-pengalaman yang beragam.

“Seni dalam keterbatasannya, mengajak kita mengalami pengalaman-pengalaman yang bisa saja ironis, paradoxical, gelap, mengandung tegangan antara rasa nikmat dan rasa sakit, antara eros dan thanatos, antara dorongan bersetubuh dan dorongan untuk bunuh membunuh.”

Pembacaan dibuka oleh Asmara Abigail membacakan fragmen dari karya Anaïs Nin yang berjudul Delta of Venus (1977). Dalam karya tersebut Anaïs menceritakan kisah Marianne, seorang penulis dan pelukis yang menceritakan pengalaman erotisnya dalam mengagumi model lelaki. mulai dari garis-garis tubuh hingga lingga yang menarik perhatian Marianne. Yang menariknya, Asmara membawa pembacaan ini dengan menggabungkan dua bahasa Indonesia-Prancis sehingga menambah hidup teks yang ia bacakan.

Asmara Abigal menjadi pembuka dalam Erotika Feminin membawakan fragmen dari Delta of Venus karya Anaïs Nin
Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

 

Selanjutnya penonton dibawa untuk mendengarkan kisah dari Marguerite Duras–seorang penulis Prancis abad 20–tentang percintaan dua kekasih dari fragmen yang berjudul The Lover (1984). Pembacaan ini dibacakan oleh Elghandiva Astrilia; aktris yang juga merupakan alumni Kelas Akting Salihara. Pembacaan ini menceritakan sebuah kisah dengan penggambaran aksi bercinta yang begitu membara dan hasrat bercinta yang penuh ekstasi hingga meminta lagi, lagi, dan sekali lagi di atas sebuah kapal feri.

Pembacaan ini menggunakan teknik muncul aktor satu-persatu di panggung setelah cahaya lampu gelap. Pada aktor ketiga, ia dimunculkan dengan adegan duduk di lantai, tepat di tengah panggung. Aktor tersebut adalah Sri Qadariatin–akrab dipanggil Uung– membacakan fragmen dari kisah Annie Ernaux dengan judul Getting Lost (2001). Ini adalah fragmen kronologis antara seorang diplomat Rusia dengan kekasih gelapnya yang mengambil sudut pandang Aku. Dengan jelas diceritakan bagaimana mereka bertemu, dan membuat catatan lengkap tentang tanggal pertemuandan apa yang mereka lakukan. Uung membawakan pembacaan dengan suasana yang begitu dinamis, menghadirkan beragam emosi; bahkan di tengah pembacaan erotis ini, terselip komedi yang memantik tawa penonton saat tokoh Aku mendeskripsikan fisik dari istri sah tokoh diplomat dengan nada cemburu.

Sri Qadariatin saat membawakan fragmen Getting Lost karya Annie Ernaux
Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

 

Pembacaan fragmen ini ditutup oleh penampilan Sha Ine Febriyanti atau Ine membawakan potongan dari buku Story of O (1954) oleh Pauline Riash. Sebuah kisah submisif dari seorang tokoh bernama O dan kekasihnya yang menjual O kepada teman-teman sang kekasih. Ine menguasai panggung dengan baik, membacakan fragmen ini dengan melihat ke berbagai arah. Bahkan suaranya menggelegar saat ia naik ke atas sebuah kotak dan membacakan khotbah yang mengulang ucapan teman sang kekasih kepada O. Ia menyebutkan secara dominan bagaimana O harus bertindak dan menanggalkan segala pekerjaan saat “mereka” membutuhkan tubuh O.

Pertunjukan dengan durasi kurang lebih 1 jam ini disaksikan oleh ratusan mata yang memenuhi Teater Salihara; merayakan malam paling erotis di LIFEs 2023. Riuh tepuk tangan selalu terdengar setiap akhir pembacaan. Ditutup dengan penyerahan bunga dariAyu Utami dan Goenawan Mohamad (Pendiri Komunitas Salihara) kepada empat penampil yang telah memberikan persembahan terbaik mereka di Selasa malam.

Penyerahan bunga oleh Ayu Utami dan Goenawan Mohamad kepada penampil Erotika Feminin
Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

 

Tentang Penampil

Asmara Abigail adalah artis yang aktif sejak 2015. Tumbuh di Jakarta, ia terobsesi dengan film dan fesyen sejak kecil. Asmara mendapatkan gelar masternya dalam bisnis fesyen di Milan, dan bekerja secara profesional sebagai aktris di industri film. Ia mendapatkan banyak penghargaan, di antaranya Macao International Film Festival & Awards 2019 dan penerima Variety Magazine Asian Stars: Up Next bersama dengan tujuh aktor dan aktris lainnya di seluruh Asia. Pada Desember 2022, ia memenangi Penjor Award for Southeast Asian Feature Best Actress ketika berperan sebagai Zahara dalam Stone Turtle yang disutradarai oleh Woo Ming Jin di Bali Makarya Film Festival 2022 dengan Benjamin Illos—pemrogram di Cannes Quinzaine des Réalisateurs sebagai salah satu juri.

Elghandiva Astrilia adalah seorang seniman multidisiplin yang berbasis di Jakarta yang bekerja dengan seni performans, tari, suara dan desain grafis. Elgha meraih gelar MA dalam Praktik Seni Kontemporer (Performans) dari Royal College of Art, London. Elgha juga menggagas Rasasastra, sebuah kolektif seni dan kuratorial, dan anggota Moksa Soundsystems, sebuah band eksperimental yang menggabungkan tradisi Asia Tenggara dengan suara elektronik. Saat ini, dia adalah anggota fakultas di Fakultas Desain Universitas Bina Nusantara (BINUS), Jakarta.

 Sha Ine Febriyanti adalah pekerja seni, aktris teater, film dan sutradara Indonesia yang mengawali karir sebagai model pada 1992. Pada 1999 ia merambah dunia seni peran dan teater saat mendapat kepercayaan memerankan Miss Julie. Pada 2014-2015 menggarap kisah Cut Nyak Dien ke dalam teater monolog yang disutradarai dan diperankannya sendiri serta dipentaskan di beberapa kota termasuk Banda Aceh. Ia pernah mewakili Indonesia pada Festival Teater Internasional di Gori, Georgia. Di bidang film, ia mendapat beasiswa Asian Film Academy di Busan, Korea Selatan, 2012 dan menyutradarai Tuhan Pada Jam 10 Malam. Bersama beberapa relawan, sejak 2012 mendirikan Huma Rumil sebagai wadah kreatif untuk berbagi, belajar, dan bermain bersama dalam bentuk seni pertunjukan, film, seni rupa, dan kegiatan sosial melalui media seni. Kini Huma Rumil dikembangkan menjadi kantong budaya di bilangan Jagakarsa Selatan dan terbuka untuk siapa untuk berbagi melalui media seni.

Sri Qadariatin memulai karier di dunia seni pertunjukan saat bergabung dengan Teater Garasi/Garasi Performance Institute pada 1996 dan terlibat dalam beberapa karya, salah satunya pada Yang Fana Adalah Waktu Kita Abadi (2016). Ia terlibat dalam beberapa  produksi Titimangsa Foundation yaitu Perempuan Perempuan Chairil (2017), Nyanyi Sunyi Revolusi (2019), dan sebagai penata gerak kelompok paduan suara dalam Musikal Inggit Garnasih (2022). Dua karya penyutradaraan terbarunya adalah Aku Ingin: Myristica Fragrans and Other Tales (2021) dan Mirah (2023).

 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

lifes-ayu23

(LIFEs) Literature and Ideas Festival 2023

Mon Amour!
Merayakan Keragaman Budaya Prancis dan Frankofon dalam LIFEs 2023

Jakarta, 25 Juli 2023 – Komunitas Salihara kembali menyelenggarakan LIFEs (Literature and Ideas Festival) mengangkat tema Frankofon (sebutan untuk negara-negara penutur bahasa Prancis). Lewat jargon Mon Amour! Komunitas Salihara akan mengajak kita menggali dan merayakan khazanah kekayaan intelektual dari para pemikir dan penulis asal Prancis dan negara Frankofon. Beragam program menarik seperti diskusi, film, lokakarya, pertunjukan teater, musik, seminar, peluncuran buku, dan kuliner bisa pada 05-12 Agustus 2023.

Direktur LIFEs dan Kurator Sastra Komunitas Salihara Arts Center, Ayu Utami mengatakan pemilihan Prancis dan negara Frankofon sebagai tema LIFEs tahun ini karena Prancis merupakan kiblat pemikiran para intelektual Indonesia. “Prancis selalu merupakan kiblat pemikiran para intelektual Indonesia, selain Prancis juga menjadi kiblat fesyen, dan lain-lain.  Kesusastraan Prancis itu selalu dirujuk oleh pendiri bangsa ini. Kita juga melihat adanya urgensi untuk mengangkat isu multikulturalisme, di mana kita ingin melihat isu ini tidak menekankan pada unsur kekerasan, namun dari bagaimana para seniman, sastrawan, dan pemikir ini menciptakan harapan,” tutur Ayu Utami.

Selama tujuh hari pelaksanaan LIFEs 2023 akan menghadirkan rangkaian acara yang menampilkan keragaman budaya dari negara Frankofon serta relasinya yang banyak menginspirasi para pemikir Indonesia. Pengunjung dapat menikmati rangkaian mulai dari diskusi hingga pameran. Salah satu yang menarik dari LIFEs tahun ini adalah hadirnya pameran dengan tajuk Les Liaisons Amoureuses (Jalinan Asmara). Tajuk ini ingin menyatakan hubungan mesra antara Indonesia dan negeri Frankofon melalui pameran buku-buku sastra, komik dan penelitian terjemahan. Pameran ini memperlihatkan sumbangsih karya-karya berbahasa Prancis, serta para penerjemahnya untuk ditampilkan bagi pembaca Indonesia.

Pengunjung dapat melihat karya komik Frankofon seperti Petualangan Tintin karya Hergé, Asterix karya René Goscinny dan Albert Uderzo, hingga novel grafis terkini, Persepolis karya Marjane Satrapi. Sastra-sastra berbahasa Prancis terjemahan juga akan hadir dalam pameran ini seperti Pangeran Kecil karya ‎Antoine de Saint-Exupéry, Memoar Hadrianus karya Marguerite Yourcenar hingga Malam yang Keramat oleh Tahar Ben Jelloun. Tentunya pameran ini bisa menjadi daya tarik pengunjung untuk lebih mengenal karya-karya tersebut lebih mendalam sembari menunggu program-program LIFEs yang akan berjalan.

Selain pameran, LIFEs juga akan diramaikan oleh kegiatan pemutaran film seperti 434: Mengenang Godard, sesi dengar dan diskusi: Monita Membaca Julien, lokakarya: The Game of Writing, peluncuran buku; Surat Tentang Kekasih: Pembacaan Surat Menyurat Louis-Charles Damais dan Claire Holt, Wabah dan Kolera karya Patrick Deville  dan juga seri Writer on Writer yang menampilkan

wawancara Ayu Utami dengan tokoh-tokoh dari negeri Frankofon seperti Arwad Esber, Grace ly, Jacques Rancière, dan Lakhdar Brahimi.

LIFEs juga menghadirkan diskusi seperti: Corak Mbeling, Kata Siapa?, Sekilas Fiksi Merinding, Klasik Nan Asyik: Membaca Dini, Sitor, dan Wing, Rewriting the World Map: Multilingual Writing Across Languages and Continents, Venture of Language, Tamu Dari Seberang, Manusia, Mesin, Bahasa: Deleuze, Guattari, dsb, dan My Mother’s Tounge.

Pertunjukan teater dan musik juga akan meramaikan LIFEs di antaranya adalah Erotika Feminin, Colette Uncensored, Bintang-Bintang di Bawah Langit Jakarta, serta pertunjukan musik Les Femmes sans Paroles. Program ceramah dan seminar yang menarik seperti Universalisme Prancis: Antara Imajinasi dan Realitas, Kritik Supremasi dari Kamar Tidur, Perspektif Sejarah: Dari Kawin Kontrak hingga Yang Ilahiah, Rancière untuk Seni Emansipatif Indonesia, dan Kesetaraan Radikal dan Yang Tertindas juga hadir meramaikan rangkaian LIFEs 2023.

Tidak hanya memberikan suguhan dari ceramah, pertunjukan, serta diskusi, para pengunjung juga bisa menikmati Makan Malam Sastra dan merasakan kuliner khas negara Frankofon.

Festival ini secara resmi akan dibuka pada 05 Agustus 2023, di hari tersebut akan ada: Pemutaran Film 434: Mengenang Goddard, pembukaan pameran Les Liaisons Amoureuses, peluncuran buku: Surat Tentang Kekasih: Pembacaan Surat Menyurat Louis-Charles Damais dan Claire Holt, dilanjutkan pentas: Bintang-Bintang di Bawah Langit Jakarta, dan Makan Malam Sastra.

Selain hadir dengan 30+ program-program menarik dalam sepekan, LIFEs 2023 juga menghadirkan lebih dari 70 penampil seperti; Ajeng Kamaratih, Amalia Yunus, Arwad Esber, Asmara Abigail, Beni Satryo, Goenawan Mohamad, Jacques Rancière, Jean-Baptiste Phou, Jean Couteau, Johary Ravaloson, Klassikhaus, Lakhdar Brahimi, Lorri Holt, Martin Suryajaya, Monita Tahalea, Sha Ine Febriyanti, Zack Rogow, dan masih banyak lainnya. Untuk informasi mengenai jadwal pertunjukan dan pemesanan tiket bisa dilihat di lifes.salihara.org.

__________________________________________________________________

Tentang Literature and Ideas Festival

LIFEs (Literature and Ideas Festival) merupakan festival sastra dan gagasan berskala internasional yang mempertunjukan perkembangan sastra kontemporer Indonesia dan dunia, selain juga kekayaan karya-karya klasik dan tradisional. Festival ini berisi program diskusi, pentas bincang, ceramah kunci dan pertunjukan.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

kelasfilsafatdaring23

Kelas Filsafat 2023 Putaran Kedua – Islam dan Kebebasan Menurut Mazhab Prancis

Pengampu: Ayang Utriza Yakin, Etienne Naveau, F. Wawan Setyadi, dan Haryatmoko

Setiap Sabtu, 15, 22, 29 Juli & 05 Agustus 2023, 14:00 WIB

Zoom Webinar (daring)

 

Jakarta, 04 Juli 2023 – Menjelang  LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2023 yang mengambil tema Prancis dan Frankofon, Komunitas Salihara akan mengangkat tema seputar filsuf Prancis dalam Kelas Filsafat kali ini. LIFEs sendiri merupakan sebuah festival dua tahunan yang menghadirkan rangkaian acara seputar sastra dan gagasan yang dikemas dalam bentuk: pertunjukan, pameran, diskusi, seminar, ceramah, pembacaan, kuliner, film, dan musik.

Selaras dengan tema LIFEs tahun ini, Kelas Filsafat akan membawa tajuk Islam dan Kebebasan Menurut Mazhab Prancis. Kelas ini akan membahas tentang bagaimana filsuf dan ilmuan Prancis mempersoalkan kembali tema kebebasan dengan meneropong Islam dan masyarakat muslim sebagai bahan kajian mereka yang tumbuh dengan tradisi Mazhab Leiden, Belanda. Peserta akan menemukan bagaimana perkembangan, sejarah, sumbangsih, serta pengaruh mazhab Prancis ditinjau dari kajian akademik, keilmuan, dan kehidupan masyarakat negara-negara muslim.

Kelas Filsafat ini akan dijalankan secara daring setiap Sabtu dari 15 Juli hingga 05 Agustus 2023 dalam empat pertemuan yang diampu oleh Ayang Utriza Yakin, Etienne Naveau, F. Wawan Setyadi, dan Haryatmoko. Berikut adalah rangkaian jadwal serta topik pembahasan yang akan dilaksanakan selama kelas berlangsung:

 

1. Gilles Deleuze dan Kreativitas

Sabtu, 15 Juli 2023 |14:00 – 16:00 WIB | Pengampu: Haryatmoko

“Rhizome”, “deteritorialisasi”, “schizoanalysis” dan “tubuh-tanpa-organ” adalah konsep-konsep hasil rekayasa Gilles Deleuze yang mengacu pada gerak dinamis, perubahan, inisiatif dan kreativitas. Deleuze menolak skema pikiran seperti pohon, tapi menggunakan “rhizome” yang bisa berkembang biak ke segala arah. Dia tidak puas dengan psikoanalisis yang seakan-akan mengekang gerak karena melihat masa lalu adalah kekurangan. Dia ingin melihat ke depan yang tampil dalam konsep “tubuh-tanpa-organ” sumber energi tanpa bentuk dari semua organisasi dan proses baik yang mungkin atau yang tidak mungkin sehingga memicu kreativitas.

2. Kebebasan Menurut Fenomenologi Kehendak Paul Ricoeur

Sabtu, 22  Juli 2023 |14:00 – 16:00 WIB | Pengampu: F. Wawan Setiadi

Perjalanan pemikiran filosofis Paul Ricoeur (1913-2005) diawali dengan refleksi tentang fenomenologi kehendak, di mana termanifestasi kebebasan manusia. Deskripsi fenomenologis kehendak ditandai oleh momen saat manusia mengatakan “aku hendak…”, yang diikuti oleh “aku menggerakkan tubuhku” dan “aku menyetujui”. Tiga momen kehendak tersebut mendapatkan tantangan dari yang-tak-terkehendaki, persis saat diluncurkan. Kehendak yang erat dengan yang-tak-terkehendaki membuat manusia bertanya, “sungguhkah aku bebas?”. Tantangan selanjutnya datang saat kebebasan manusia membawanya jatuh ke dalam kesalahan, kejahatan. Di situlah pertanyaan “sungguhkah aku bebas?” bergeser menjadi pemikiran tentang pembebasan dari problem kejahatan.

3. Mazhab Prancis dalam Studi Islam

Sabtu, 29  Juli 2023 |14:00 – 16:00 WIB | Pengampu: Ayang Utriza Yakin

Ilmuwan Prancis (dalam bidang ilmu-ilmu humaniora dan sosial)—yang menjadikan Islam dan masyarakat Muslim sebagai objek kajian dalam penelitian dan pengajaran mereka—dapat dianggap sebagai peletak dasar kajian agama Islam dan masyarakat muslim yang pada awalnya disebut kajian ketimuran (études orientales). Kerja dan usaha mereka yang berkesinambungan selama tiga abad (dari masa prakolonial, kolonial, sampai ke pascakolonial) berhasil membentuk objek kajian mereka (Islam dan Muslim) menjadi satu disiplin keilmuan tersendiri, yaitu studi Islam (études islamiques).

Mazhab Prancis dalam studi Islam sangat berjasa dalam mengembangkan pendekatan, metode, konsep dan teori untuk mengkaji Islam dan masyarakat Muslim yang menghasilkan banyak kajian dengan hasil luar biasa. Hasil-hasil kerja penelitian ilmuwan Mazhab Prancis dalam studi Islam ini pada gilirannya dapat digunakan dan bermanfaat untuk pembangunan negara-negara mayoritas Muslim dan pembaharuan pemikiran dalam Islam.

4. Blaise Pascal dan Islam

Sabtu, 05 Agustus 2023 |14:00 – 16:00 WIB |Pengampu: Etienne Naveau

Blaise Pascal (1623-1662) mengeluarkan penilaian yang ketat dan kurang informasi tentang Islam. Berdasarkan Fugio Fidei karya Ramon Marti, Pascal menganggap agama Islam, seperti Yudaisme, sebagai agama “samawi”, sensual dan suka berperang: agama politik yang terbatas pada “Orde Tubuh”. Terhadap karikatur yang diberikan Pascal tentang agama Islam ini, kita dapat menentang titik-titik kesamaan tertentu yang tidak terduga antara Pascal dan tren tertentu dalam Islam. Kritik Pascal terhadap Descartes dan “Tuhan para filsuf dan ilmuwan” secara formal mirip dengan kontroversi al-Ghazali melawan Ibnu Sina.

Dialektika Pascal tentang manusia “terampil, setengah terampil dan terampil” mirip dengan konsep “orang biasa, teolog dan filsuf” dalam karya Ibnu Rusyd. Akhirnya, fana’ seorang sufi seperti Hamzah Fansuri mirip dengan pemusnahan ego dalam pikiran Pascal. Sebagai kesimpulan, kami akan menunjukkan bahwa kritik reduktif yang ditujukan Pascal kepada Islam atas nama cita-cita evangelis non-kekerasan dapat berbalik melawan Augustinianisme, walaupun Pascal menganggap dirinya sebagai seorang murid Santo Augustinus.

Untuk bisa mengikuti kelas daring ini, peserta bisa langsung mendaftarkan diri lewat laman resmi kami di kelas.salihara.org dan media sosial kami. Peserta yang sudah terdaftar akan mendapatkan akses materi ajar, akses untuk menonton siaran ulang materi kelas, serta sertifikat digital.

 

Tentang Pengampu

Ayang Utriza Yakina adalah seorang peneliti di Sciences Po Bordeaux, Prancis, dan pengajar di Université Catholique de Louvain, Belgia sejak 2021. Pada 2005 sampai 2007 dan 2014 sampai 2016, ia mengajar di Sekolah Program Pascasarjana dan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta. Ia juga sempat mengajar di Universitas Ghent sebagai dosen tamu di departemen Kajian Islam dan Arab serta Studi Timur Tengah selama tiga tahun dari 2019 sampai 2020.

Etienne Naveau adalah Doktor Bidang Filsafat di Institut Nasional Bahasa dan Peradaban Oriental (INALCO) sejak 2003. Etienne juga merupakan doktor di bidang bahasa, sastra, dan peradaban Indonesia yang penelitian-penelitiannya dibuat berdasarkan kajian terhadap teks-teks autobiografi Indonesia. Ia menjadi anggota Cerlom (Pusat Kajian dan Penelitian Sastra dan Tradisi Lisan Dunia). Pada November 2017, ia mendapatkan gelar HDR-nya melalui penelitian berjudul Identitas dan Pidato-Pidato Para Pendiri Indonesia (sastra, filsafat, agama).

Wawan Setyadi adalah pengajar di STF Driyarkara, Jakarta. Saat ini sedang menjalani studi S3 di Centre Sèvres, Paris dan L’université de Namur, Belgia. Disertasinya yang tengah dirampungkan: Antropologi Filosofis Rekonsiliasi dan Dialog dengan Filsafat Paul Ricoeur. Ia juga menggeluti bidang filsafat di antaranya, hermeneutik filosofis, antropologi filsafat dan filsafat kontemporer Prancis.

Haryatmoko adalah Doktor di bidang Antropologi dan Sejarah Agama-agama di Universitas Sorbonne-Paris IV dan Etika Politik (Moral Sosial) di Institut Catholique de Paris. Ia adalah dosen tetap Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan menjadi pengajar tamu di pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dan UIN Yogyakarta.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

arsuka

Nirwan Ahmad Arsuka
(05 September 1967—06 Agustus 2023)

Nirwan Ahmad Arsuka adalah salah satu penulis esai terbaik Indonesia. Dengan suara yang khas ia bersoal jawab dengan sastra, teater, sinema, seni rupa, filsafat dan ilmu pengetahuan.

Lulus dari Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ia semakin giat memasuki pergaulan kesenian-kebudayaan di berbagai kota di Jawa dan luar Jawa. Ia juga ikut mengembangkan jejaring dan institusi, antara lain dengan menjadi redaktur lembaran budaya Bentara di harian Kompas dan kurator di Bentara Budaya Jakarta. Buku kumpulan esainya adalah Percakapan dengan Semesta (2015), Semesta Manusia (2018), dan Two Essays (terjemahan, 2015).

Ia mendirikan Pustaka Bergerak Indonesia, yang mengembangkan komunitas baca di berbagai pelosok Nusantara. Bersama Pustaka bergerak, ia membawa buku-buku dengan perahu, kuda, gerobak, dan sarana apa saja. Ia tidak percaya bahwa masyarakat Indonesia tidak gemar membaca. “Masalahnya ialah tidak ada bacaan yang bisa mereka jangkau,” katanya sering kali. Upaya ini mendapat apresiasi sangat baik dari berbagai pihak, di dalam dan luar negeri. Misalnya, ia dan Pustaka Bergerak Indonesia tampil dalam Istanbul Biennial ke-17 (2022).

Nirwan Ahmad Arsuka adalah sahabat bagi Komunitas Salihara. Ia tidak jemu-jemu memberikan usul, kritik dan semangat kepada kami.

Selamat beristirahat, Kawan.

 

Sumber foto: suara.com/Pebriansyah Ariefana

Helatari 2023: Menilik Arsip Bali Lampau Lewat Koreogreafi Wayan Sumahardika

Jakarta, 20 Juni 2023 – Salah satu peserta Undangan Terbuka Wayan Sumahardika (Bali) telah mementaskan pertunjukan tari The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance di Teater Salihara Sabtu (17/06) dan Minggu (18/06) lalu. Pentas tari ini membawa penonton menikmati tarian Igel Jongkok karya I Ketut Marya. The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance adalah perkembangan lain dari proyek repertoar-arsip Squatting & Dance yang mencoba menyingkap konstruksi estetis dan politis laku jongkok dalam hubungannya dengan lanskap repertoar-arsip pada panggung tari/pertunjukan serta koreografi sehari-hari.

Wayan Sumahardika sebagai sutradara menjadikan Igel Jongkok dari arsip Bali 1928 sebagai sumber inspirasi kekaryaannya dan nyawa utama dari pertunjukan The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance.  Arsip tersebut memperlihatkan tarian Igel Jongkok yang dibawakan oleh I Wayan Sampih yang ditampilkan di proyektor. Penonton disajikan dengan fragmen pembuka, menampilkan seorang penari menirukan gerakan tari yang sama persis ditampilkan melalui proyektor. Dalam video yang disorot proyektor tersebut adalah sosok penari I Wayan Sampih. 

Tidak hanya mempelajari tarian dari sisi kesejarahannya, pementasan yang dipandu oleh tiga orang penari; Agus Wiratama, Komang Tri Ray Dewantara, dan Jacko Kaneko mengajak penonton untuk turut mencoba mempelajari dasar dari tarian ini yakni berjongkok. Pertunjukan yang memanfaatkan partisipasi penonton secara langsung menjadi gimik yang segar. Desy Arsyati; seorang karyawan swasta mengatakan bahwa pertunjukan ini tidak hanya menarik dan menghibur namun juga mengedukasi,

Penonton mempelajari dasar dari Igel Jongkok dipandu oleh penariDok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

Penonton mempelajari dasar dari Igel Jongkok dipandu oleh penari Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

 

“Kemasan pertunjukan yang berbeda, namun menarik, menghibur, dan juga mengedukasi. Penyampaian sejarah dibawakan dengan alur cerita yang apik dan dibalut dengan guyonan lucu. Ditambah pula dengan memberikan kesempatan audiens untuk ikut mencoba Igel Jongkok, membuat audiens lebih mengerti bahwa tarian ini memiliki teknik yang cukup sulit dan membutuhkan waktu untuk menguasai.”

Wayan Sumahardika juga berharap lewat pertunjukan ini ia dan tim dapat memberikan penonton sebuah ruang yang dapat dijelajahi sembari bermain dan berimajinasi lewat praktik kerja arsip dan seni, “Melalui pertunjukan ini, kami menawarkan penonton ruang jelajah untuk bermain dan berimajinasi di antara praktik kerja arsip dan repertoar seni. Kami ingin mengajak penonton untuk bersama-sama memaknai kembali ekspresi komunal tari dalam tradisi masyarakat serta konteks kesejarahannya yang tak lepas dari tegangan estetis dan politis.”

Selain pertunjukan Wayan Sumahardika, Helatari Salihara masih mengadakan pertunjukan hingga akhir bulan Juni ini yang bisa disaksikan di Teater Salihara. Pertunjukan terakhir dalam rangkaian Helatari yang masih dapat disaksikan adalah Tuti In The City (Yola Yulfianti) yang seluruh informasi mengenai pemesanan tiket dan jadwal pentas bisa dilihat di tiket.salihara.org.

 

Tentang Penampil

Wayan Sumahardika adalah penulis, sutradara dan pembuat teater kelahiran Denpasar, Bali, 1992. Ia menjadi pendiri Teater Kalangan, sebuah kolektif lintas disiplin pertunjukan berbasis di Bali. Praktik artistiknya banyak bergerak pada persimpangan teater, tari, ragam seni, laku sehari-hari sebagai studi budaya melalui pendekatan site-specific, repertoar-arsip, dan spekulatif. Karya-karyanya telah dipentaskan, di antaranya The (Famous) Squatting Dance (2022), Lelintasan Gering dalam 33 Diorama (film-tari) (2019-2020), dan Joged Adar, Kekasihmu dan Kesibukan Melupakannya (teater-tari) (2018). Saat ini ia juga bergiat dalam perkembangan riset artistik pertunjukan melalui Mulawali Institute.

 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

Helatari 2023
Bermain dengan Gerak dan Tari dalam Budi Bermain Boal

Jakarta, 08 Juni 2023 – Potensi yang dimiliki sebuah pertunjukan seni baik itu tari, musik, dan teater sangatlah luas. Ia bukan sekadar media hiburan namun bisa menjadi alat untuk menyampaikan kritik maupun pesan yang sulit terucap. Begitu juga yang dilakukan oleh oleh koreografer asal Yogyakarta  Megatruh Banyu Mili. Pada pertunjukan tari Budi Bermain Boal karya Megatruh yang ditampilkan pada 03 dan 04 Juni lalu, mengangkat tentang pendidikan sebagai isu utamanya.

Koreografi dalam pertunjukan Budi Bermain Boal menampilkan tiga penari (Megatruh, Putri, dan Widi) mengenakan seragam Sekolah Dasar (putih-merah) dengan memanfaatkan berbagai atribut yang lazim ditemukan dalam lingkungan sekolah seperti kursi, buku gambar, sepatu, dan kertas, serta pensil. Tarian ini mengajak ratusan mata penonton untuk mengenang kembali bagaimana sekolah membentuk kepribadian murid-muridnya melalui peraturan-peraturan yang diseragamkan dan diwujudkan dalam koreografi dengan aksi teatrikal.

Megatruh menilai sistem pendidikan yang ia alami menerapkan peraturan absolut tanpa mempertimbangkan daya kreatif dan tujuan dari proses belajar mengajar. Dalam mencari inspirasi atas tarian ini, Megatruh mengumpulkan berbagai pengalaman orang yang digabung dengan pengalaman pribadinya. Ia juga menelaah karya-karya dari Augusto Boal sebagai tokoh teater yang ia gunakan namanya untuk pertunjukan ini.

Budi Bermain Boal yang dipentaskan di Teater SaliharaDok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

Budi Bermain Boal yang dipentaskan di Teater Salihara Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

 

“…inspirasi karya ini adalah karya-karya dari Augusto Boal sebagai pemrakarsa teater kaum tertindas. Di mana teater ia upayakan menjadi media untuk bersuara para kaum-kaum yang selama ini tertindas oleh peran-peran penguasa. Ia selalu memberikan sudut pandang yang berbeda atas sebuah sistem yang ada untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi orang-orang di sekitarnya yang tertahan.”

Tidak hanya menampilkan tarian, interaksi dengan penonton pun juga ditunjukkan dalam pentas tari ini. Para penonton diajak melakukan koreo sederhana dan menyenangkan yang dipandu oleh Widi dan Putri sebagai penari. Megatruh juga berorasi sekaligus membagikan sebuah lembar jawaban yang mengajak penonton untuk mengisi kisah-kisah mereka terkait peraturan-peraturan di lingkungan pendidikan yang pernah penonton alami semasa di bangku sekolah.

Pesan dari Budi Bermain Boal relevan dengan pengalaman pendidikan  yang dialami oleh para penonton terutama Asmara Abigail (aktris) yang merasa pertunjukan ini bisa dirasakan oleh seluruh anak Indonesia terutama mengenai trauma-trauma yang terjadi dari masa TK hingga SMA terkait peraturan sekolah,

“Jujur lumayan merinding karena ini kayak trauma-trauma masa kecil dari TK sampai SMA dan aku rasa seluruh anak Indonesia bisa relate dengan karya ini. Semoga setelah Budi Bermain Boal Kita bisa mengucapkan selamat tinggal kepada Budi.”

Selain Budi Bermain Boal yang dibawakan oleh Megatruh Banyu Mili, Helatari Salihara masih mengadakan pertunjukan hingga akhir bulan Juni ini yang bisa disaksikan di Teater Salihara. Pertunjukan tersebut antara lain adalah: The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance (Wayan Sumahardika), dan Tuti In The City (Yola Yulfianti) yang seluruh informasi mengenai pemesanan dan jadwal pentas bisa dilihat di tiket.salihara.org.

 

Tentang Penampil

 Megatruh Banyu Mili adalah adalah penari dan koreografer asal Yogyakarta. Megatruh mulai aktif terlibat dalam dunia seni pertunjukan pada 2010 bersama Bengkel Mime Theatre dan Teater Garasi/Garasi Performance Institute. Sejak 2018, Megatruh berfokus menciptakan karya yang berangkat dari isu tentang pendidikan; baik dalam pendidikan formal maupun di lingkungan dan keluarga. Karya-karyanya antara lain yaitu Space of Silence (2018), Aku Siapa (2019), Nama Saya Budi (2020), Ini Budi (2020), Ini Bapak Budi (2021) dan Budi Bermain Bola (2022). Pada 2021 bersama Banyu Mili Art Performance, Megatruh membuat platform bertajuk Ruang Menari: Festival Virtual Gerak dan Tari untuk koreografer muda mempresentasikan karya film tari.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

tiket.salihara.org_event_helatari-salihara-2023_

Helatari 2023
Koreografi Tari dengan Isu Pendidikan, Norma, dan Budaya

03-25 Juni 2023
Teater Salihara |Rabu, Sabtu, dan Minggu |16:00 dan 20:00 WIB
Penampil: Megatruh Banyu Mili, Annastasya Verina, Wayan Sumahardika, Olé Khamchanla, Yola Yulfianti

Jakarta, 22 Mei 2023 – Komunitas Salihara telah menyelenggarakan Salihara Jazz Buzz dan Helateater pada awal 2023 lalu, pada Juni nanti akan hadir kembali festival mini bertajuk Helatari. Acara ini menjadi penutup dari rangkaian program dengan konsep Undangan Terbuka pada 2023; setelah sebelumnya kami juga melakukan pencarian talenta-talenta baru di bidang musik (Salihara Jazz Buzz) dan teater (Helateater). Helatari adalah festival seni tari kontemporer dua tahunan yang menampilkan karya-karya tari baru, yang berangkat dari khazanah tradisi tari Nusantara maupun dunia.

Tahun ini kami menampilkan tiga koreografer yang lolos melalui proses seleksi Undangan Terbuka. Tiga koreografer tersebut adalah Megatruh Banyu Mili, Annastasya Verrina, dan Wayan Sumahardika. Tiga koreografer ini memiliki kekuatannya masing-masing dan membawakan isu-isu yang relevan dengan masa kini seperti pendidikan, hingga batasan-batasan norma yang masih terlihat abu-abu di masyarakat

Kurator Tari Komunitas Salihara, Tony Prabowo mengungkapkan dasar kekaryaan dari para koreografer terpilih di tahun ini, “Konsep koreografi yang disuguhkan oleh koreografer Megatruh dan Verina merupakan upaya menerjemahkan sebuah narasi tentang simpanan ingatan masa lalu dalam menjalankan aturan-aturan mengenai kedisiplinan, tentang norma, tentang apa yang dianggap baik-buruk.”

Wayan Sumahardika mengangkat konsep ‘repertoar-arsip’ sebagai ide dasarnya, yang terinspirasi video arsip Bali 1928 dengan menggunakan materi arsip karya tari Igel Jongkok oleh maestro penari Bali, I Ketut Marya. Sebagai karya tari monumental di jamannya, Igel Jongkok menjadi sumber gagasan untuk menguraikan percakapan jongkok dalam zaman kolonial serta persepsi masyarakat tentang jongkok pada era sekarang. ”

Kelompok tari dan koreografer terpilih akan mempersembahkan karya mereka di Teater Salihara dari 03 – 25 Juni 2023. Khusus di pertunjukan ini, para penonton dapat membeli “Tiket Terusan”; yakni sebuah sistem di mana pembeli cukup membayar satu kali untuk dapat menikmati keseluruhan pementasan Helatari 2023 dengan harga Rp300.000,- untuk lima (5) pertunjukan. Bagi yang ingin membeli terpisah, tiket dapat dibeli seharga Rp75.000,- (umum) dan Rp50.000,- (pelajar). Pembelian dapat dilakukan melalui tiket.salihara.org. Selain menampilkan tiga koreografer dari Undangan Terbuka, Komunitas Salihara juga menampilkan pertunjukan tari karya Olé Khamchanla (Prancis) dan Yola Yulfianti (Indonesia).

Berikut adalah jadwal serta sinopsis dari pertunjukan Helatari 2023:

1. Budi Bermain Boal
Koreografer: Megatruh Banyu Mili ( Yogyakarta).
Sabtu, 03 Juni 2023, 20:00 WIB | Minggu, 04 Juni 2023, 16:00 WIB
Judul dalam pertunjukan ini diambil dari dua penanda peristiwa dalam pendidikan melalui sudut pandang yang berbeda. Premis karya ini adalah bagaimana sebuah idiom–sebagai bagian dari metode pendidikan–tanpa disadari memengaruhi pandangan dan perilaku sehari-hari. Premis ini kemudian diurai melalui kerja interdisiplin yang mengekstraksi tubuh (tari) dengan pendekatan teater ala Augusto Boal, sehingga memberi dimensi lain pada karya.
Sejak 2018 Megatruh mendalami tentang berbagai kasus dalam pola pendidikan. Hampir semua ruang pendidikan, mulai dari pendidikan formal hingga keluarga memiliki kasus yang sama, yaitu adanya sosok penguasa yang melakukan penyeragaman atau yang dalam konteks karya ini akan disebut sebagai pem-budi-an. Pendidikan dijadikan permainan bagi yang berkuasa seperti layaknya sebuah bola. Budi bermain bola.

2. Waktu Ku Kecil, Tidak Besar
Koreografer: Annastasya Verina (Surakarta).
Sabtu, 10 Juni 2023, 20:00 WIB | Minggu, 11 Juni 2023, 16:00 WIB
Karya ini memperlihatkan bagaimana gagasan pekarya mengkoreografi pertunjukan sebagai perluasan atas praktik koreografi normatif. Waktu Ku Kecil, Tidak Besar secara berani mempertunjukan kualitas gerak yang bukan berangkat dari teknik tari secara umum–yaitu baris-berbaris (PBB), hingga pilihan pendekatan artistik yang diambilnya. Karya ini lantas memainkan ketegangan antara realita sosial dan dramaturgi panggung yang memberi kesempatan bagi penonton untuk menafsir secara luas.

Karya ini mengajak untuk merefleksikan kembali norma-norma, serta membuka ruang dialog dan pemikiran kritis tentang asal-usul, implikasi, dan relevansi norma-norma dalam kehidupan sehari-hari. Pemilihan PBB sebagai konsep pertunjukan dipilih sebagai alat untuk mengeksplorasi dalam penyampaian dan perbincangan mengenai “norma” selama pertunjukan.

3. The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance
Koreografer: Wayan Sumahardika (Bali)
Sabtu, 17 Juni 2023, 20:00 WIB | Minggu, 18 Juni 2023, 16:00 WIB
Karya ini menawarkan pemaknaan atas relasi tradisi, kesejarahan (arsip) dan proses artistik yang menantang tatapan atas karya tari Bali dalam dunia kontemporer. Pekarya secara jelas mengambil posisi atas praktiknya, sehingga mampu memiliki kejernihan dalam menjelaskan gagasan melalui konsep pertunjukan dan berani mencoba tawaran pemanggungan yang berbeda. Hal ini juga sekaligus memperlihatkan bagaimana karya tersebut mampu menipiskan sekat yang mungkin ada di antara praktik kerja riset dengan seni itu sendiri, yaitu pekarya secara apik menjalin keduanya sebagai satu praktik riset-artistik yang tidak terpisah dan terus bertumbuh secara konsisten.

The (Famous) Jung Jung-Te Jung Dance adalah perkembangan lain dari proyek repertoar-arsip Squatting & Dance oleh Wayan Sumahardika yang mencoba menyingkap konstruksi estetis dan politis laku jongkok dalam hubungannya dengan lanskap repertoar-arsip pada panggung tari/pertunjukan serta koreografi sehari-hari.

4. Cercle
Koreografer: Olé Khamchanla (Laos)
Rabu, 07 Juni 2023, 20:00 WIB
Dalam Cercle, Olé Khamchanla mempertanyakan esensi tariannya, mulai dari asal-usulnya dalam hip hop hingga hibriditasnya saat ini dengan tarian kontemporer dan tarian tradisional Thailand dan Laos. Cercle adalah pertunjukan tunggal yang menunjukkan persimpangan budaya Barat dan Timur, dari gerakan jalanan dan seni klasik. Pertunjukan ini juga menyajikan ruang yang intim di dalam dan zona eksplorasi di luar, lingkaran ini juga membangkitkan universalitas tertentu yang dapat dibaca dalam gerakannya, dan gerakan terus-menerus yang mendorongnya untuk mencari mekanisme baru. Pertunjukan ini kuat dan puitis ketika koreografer berbagi kisah intim dengan kita yang menjadi bagian dari pencarian artistik dan pribadinya.

5. Tuti in The City
Koreografer: Yola Yulfianti (Jakarta)
Penampil: DANSITY X LASTEAM689
Sabtu, 24 Maret 2023, 20:00 WIB | Minggu, 25 Maret 2023, 16:00 WIB
Tuti in The City adalah karya Yola yang terinspirasi oleh ruang-ruang kota yang bersifat transformatif. Realitas kota Jakarta yang sangat kompleks selalu mengalami disjungsi peristiwa dari gerak keseharian tindakan masyarakatnya. Keadaan inilah yang mendorong Yola untuk melakukan proses dan melatih para penarinya di ruang publik.

Yola tidak khusus melatih teknik tari di dalam ruangan. Ia membutuhkan interaksi atas tubuh penari dan tubuh-tubuh lain di sekitarnya. Dalam upaya merealisasikan konsep artistiknya, Yola juga bekerja sama dengan komunitas hip-hop Lastream689. Yola menyatukan karya ini dengan salah satu komunitas tari yang tumbuh di Jakarta dan berlatih di ruang publik, perpaduan bentuk koreografi kolektif dari proses hingga pementasan, diharapkan bisa memberikan perspektif baru bagi penontonnya.

Tentang Penampil

Megatruh Banyu Mili adalah adalah penari dan koreografer asal Yogyakarta. Megatruh mulai aktif terlibat dalam dunia seni pertunjukan pada 2010 bersama Bengkel Mime Theatre dan Teater Garasi/Garasi Performance Institute. Sejak 2018, Megatruh berfokus menciptakan karya yang berangkat dari isu tentang pendidikan; baik dalam pendidikan formal maupun di lingkungan dan keluarga. Karya-karyanya antara lain yaitu Space of Silence (2018), Aku Siapa (2019), Nama Saya Budi (2020), Ini Budi (2020), Ini Bapak Budi (2021) dan Budi Bermain Bola (2022). Pada 2021 bersama Banyu Mili Art Performance, Megatruh membuat platform bertajuk Ruang Menari: Festival Virtual Gerak dan Tari untuk koreografer muda mempresentasikan karya film tari.

Annastasya Verina adalah penari dan koreografer kelahiran Jakarta, 2000. Ia menempuh pendidikan di Jurusan Tari Institut Seni Indonesia Surakarta. Verina mulai aktif berlatih menari sejak 2015 dan telah terlibat dalam produksi karya beberapa seniman. Saat ini, Verina mengembangkan praktik artistiknya di Surakarta melalui kelas intensif di Studio Plesungan. Karya tari dan film yang ia ciptakan di antaranya adalah Nyorog (2021), Habituasi (2021) dan Waktu Ku Kecil, Tidak Besar (2022).

Wayan Sumahardika adalah penulis, sutradara dan pembuat teater kelahiran Denpasar, Bali, 1992. Ia menjadi pendiri Teater Kalangan, sebuah kolektif lintas disiplin pertunjukan berbasis di Bali. Praktik artistiknya banyak bergerak pada persimpangan teater, tari, ragam seni, laku sehari-hari sebagai studi budaya melalui pendekatan site-specific, repertoar-arsip, dan spekulatif. Karya-karyanya telah dipentaskan, di antaranya The (Famous) Squatting Dance (2022), Lelintasan Gering dalam 33 Diorama (film-tari) (2019-2020), dan Joged Adar, Kekasihmu dan Kesibukan Melupakannya (teater-tari) (2018). Saat ini ia juga bergiat dalam perkembangan riset artistik pertunjukan melalui Mulawali Institute.

Olé Khamchanla adalah koreografer asal Laos, ia bersinggungan dengan tarian hip-hop pada 1990, kemudian membentuk tarian yang memiliki unsur kontemporer dan kapoeira. Sedikit demi sedikit, ia menemukan gaya dan cara menari yang menjadi miliknya. Di perusahaan A’CORPS (1997-2011), ia turut mengerjakan beberapa pertunjukan yang menunjukkan kreativitas dan keunikan dari tariannya. Pada 2006 ia pergi ke Laos dan Thailand untuk belajar tarian tradisional dan menciptakan karya solo pertamanya. Karya-karyanya banyak menggali pertanyaan-pertanyaan tentang manusia, asal-usulnya, inspirasinya, arahnya, juga interaksinya dengan yang lain. Untuk menemukan bentuk-bentuk karya tersebut, Kham menggali dan memperkaya koreografinya melalui kembali pada sumber atau akar keberadaan kita.

Yola Yulfianti adalah penari dan koreografer yang kerap bekerja bersama dengan koreografer dan sutradara dari dalam maupun luar negeri. Ia pernah mendapat penghargaan Pearl dalam ajang Dance Film Internasional di Berlin, Jerman. Ia melanjutkan studi doktoral program Pengkajian dan Penciptaan Seni di ISI Surakarta (2014-2017) dengan karya berjudul Kampung Melayu-Pasar Senen PP. Saat ini ia adalah salah satu anggota komite tari Dewan Kesenian Jakarta periode 2015-2018 dan sebagai Ketua Komite Tari periode 2020-2023.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center
Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.
___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

Menyingkap Belenggu Pendidikan Bersama Budi

Penulis: Lestari dan Amos

 

Pada ruang yang gelap itu, bukan hanya saya dan penonton lain saja yang duduk untuk menyaksikan “Budi Bermain Boal”. Akan tetapi, dua orang berpakaian atasan putih dan bawahan merah di arena pertunjukan juga  duduk tegak di bangku kayu. Mereka adalah laki-laki dan perempuan yang mengenakan seragam SD. Gaya rambut dikuncir dua si perempuan dan sehelai rambut yang menjuntai di samping telinga kanan lelaki agak mengecoh saya untuk memandang mereka sebagai bocah.

Bocah-bocah itu kemudian tidak berdiam diri duduk saja. Tangan-tangan mereka mulai bergerak menarasikan frasa-frasa koreografi. Kedua tangan bocah-bocah itu diangkat lurus ke atas, ke depan tubuh, lalu dilipat di depan dada seakan tangan mereka ditopang meja. Tubuh kedua bocah itu juga condong ke depan ketika tangan dilipat, seperti siswa-siswi yang mencoba memperhatikan guru dengan lebih jeli. Tidak hanya tubuh mereka yang berupaya menceritakan suatu narasi, tetapi wajah mereka juga berusaha bercerita dengan ekspresi senyum yang disunggingkan kala tubuh mereka condong ke depan. Namun, senyum mereka serupa senyum yang janggal, karena terlihat hanya bibir yang berekspresi. Sementara, mata mereka hanya menatap kosong.

Frasa-frasa koreografi karangan Megatruh Banyu Mili ini tidak ingin menarasikan masa kecil bahagia di bangku Sekolah Dasar. Mulai dari kejanggalan dalam fragmen awal pertunjukan, justru rangkaian koreografi di atas panggung ingin mengungkap bagaimana kuasa tersebar, terselip, dan bersembunyi di ruang-ruang pendidikan formal sejak kita berusia enam tahun. Terlebih, bagaimana kuasa itu menubuh dalam diri kita hingga mengubah laku kita serupa robot. Tulisan ini ingin mengurai bagaimana kuasa terselip, menempel, sampai menubuh ke dalam diri kita ketika duduk di bangku SD.

Kejanggalan pada fragmen awal semakin terasa karena narasi koreografi di atas diulang berkali-kali, membuat bocah-bocah itu mewujud seperti robot. Namun, gerak yang tak berkesudahan itu segera diisi dengan adegan lain. Seorang lelaki berpakaian seragam SD turun dari area penonton dan berjalan menuju panggung. Ia mendekati sebuah papan persegi yang tergantung di sisi kiri belakang panggung. Pada permukaan papan tersebut ada goresan alat tulis yang membentuk gambar panorama alam imajinasi umum bocah-bocah kecil: dua gunung menjulang dengan satu matahari di tengah, dua petak sawah, dan satu ruas jalan.

Lelaki tersebut mengeluarkan alat tulis berwarna merah, lalu mewarnai dua petak sawah. Kemudian, ia beralih ke warna kuning dan mewarnai lembah gunung beserta kedua pucuknya. Gambar matahari ia isi dengan warna hijau. Terakhir, ia menuang goresan warna hijau pada gambar ruas jalan.

Tiba-tiba, lelaki itu melakukan adegan yang tak kalah janggalnya dari adegan dua bocah di awal tadi. Lelaki itu mengambil kursi yang diduduki bocah perempuan dan meletakkannya di sebelah perempuan. Lalu, ia memeluk tubuh perempuan, menggendongnya, dan membawa tubuh itu ke depan papan. Bentuk dan laku tubuh perempuan masih tetap sama persis seperti ketika ia duduk di bangku: lutut ditekuk dan tangan bergerak. Lelaki itu seolah membawa robot yang tangannya bergerak kaku.

Kemudian, ia meletakkan tubuh perempuan, mencoba membungkukkan tubuh itu hingga tangannya menyentuh lantai, dan punggungnya menghadap ke atas. Sang lelaki mengangkat salah satu kakinya ke atas punggung bocah perempuan, lalu yang satunya lagi, dan berdiri tegak di atas punggung perempuan itu. Sembari ia naik ke atas punggung, tubuh saya ikut bergetar dan merinding ketika melihat getaran hebat tubuh yang ditunggangi manusia lain. Dengan perlahan laki-laki itu melepaskan papan dari gantungan dan membawanya. Masih dengan tubuh yang bergetar karena beban laki-laki di atasnya, perempuan itu berusaha jalan dengan kedua tangan dan lututnya yang ditekuk. Persis seperti bayi berjalan merangkak. Fragmen ini semakin mengundang ketegangan karena iringan suara alat musik perkusi yang dipukul keras dan tempo cepat, seperti dalam sinema-sinema psychological thriller.

Sembari ia terus berjalan ke depan panggung, ada suara seorang pria dewasa membacakan sesuatu, intonasinya seperti seorang anggota badan legislatif mengucap lantang aturan yang baru saja dibuat. Teks yang dibaca suara itu mungkin adalah “Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 52 tanggal 17 Maret 1982”. Surat ini adalah teks resmi untuk mewajibkan pemakaian seragam di seluruh sekolah, baik tingkat dasar hingga menengah pada era Orde Baru.

(Kutipan dari “Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 52 tanggal 17 Maret 1982”)

 

Aturan yang diucap lantang pria itu seakan ikut membebani tubuh bocah perempuan sampai ia tergopoh, kepayahan, dan terus bergetar. Bahkan, suara pembacaan aturan itu jadi ikut menghajar tubuhnya. Penghajaran itu memang dilakukan melalui penyeragaman. Apa yang dimaksud penyeragaman adalah pendisiplinan tubuh. “Seragam” dalam karya “Budi Bermain Boal” adalah metafora, ia bukan hanya sehelai kain. “Seragam” sejatinya tak kasat mata, ia seperangkat cara mengatur, memerintah, dan membentuk tubuh untuk patuh. Maka, apa yang benar-benar diseragamkan adalah cara berpikir, cara bergerak, tindakan, dan perilaku.

Penghajaran itu semakin terlihat pada fragmen di mana bocah perempuan tiba-tiba berpose menyilang tangan untuk memegang kedua telinga dan mengangkat salah satu kaki. Persis seperti pose seorang siswa dihukum gurunya. Kemudian, seorang lelaki melepaskan sepasang sepatu yang menempel pada kedua kaki perempuan. Ia membawa sepasang sepatu ke sisi kiri belakang panggung dan menyemprotkan pylox berwarna hitam ke permukaan sepatu. Fragmen ini menyingkap dengan jelas bagaimana penyeragaman berupaya menghajar dan menubuh dalam siswa-siswi sejak mereka duduk di bangku SD.

Penghajaran itu tidak hanya disingkap melalui tubuh-tubuh dan keaktoran para penampil di panggung. Dalam fragmen selanjutnya, Megatruh menampilkan dirinya sebagai guru dan membagikan soal Ujian Akhir semester dan pensil kepada para penonton. Lalu, ia menginstruksikan kami untuk mengisi lembar ujian dengan jawaban diri sendiri, jawaban yang otentik. Di sini terjadilah momen ketika batas antara panggung dan penonton mulai mengabur. Penonton ikut menjadi aktor yang diatur dan di-“seragamkan”. Fragmen ini seakan ingin mengajak penonton membuka kembali ingatan mereka akan belenggu penyeragaman di bangku SD.

Penyeragaman itu ternyata berlanjut dalam hal yang lebih mendasar, yaitu substansi mata pelajaran. Dalam fragmen menuju akhir pertunjukan, dua bocah perempuan dan laki-laki tadi berubah serupa guru dan instruktur tarian. Sang lelaki mengeluarkan suara beratnya dan mengajak para penonton untuk berdiri. Kemudian, ia menginstruksikan kita untuk menirukan gerak kaki, tangan, dan panggul yang menyerupai goyang kekinian ala Tiktok. Pada fragmen ini, lelaki yang tadinya merupakan siswa SD berubah menjadi guru tari. Sesekali ia mengucap dengan kalimat yang kurang lebih berbunyi demikian, “Jangan lupa tersenyum, ya. Penari harus tersenyum supaya penontonnya terhibur”. Selain itu, ia menambahkan narasi lain yang lebih menohok, seperti “Ayo, tersenyum kalau gak mau dimarahi!”.

Narasi-narasi seperti di atas seakan berfokus pada hukuman ketimbang esensi dari pelajaran yang diberikan. Apalagi, ada unsur keharusan yang berujung pada paksaan karena berorientasi pada hukuman. Atas nama pendisiplinan, tubuh wajib patuh pada perintah dan hukuman.

Selain narasi-narasi yang sifatnya menyuruh dan menghukum, lelaki itu juga menjelaskan mengenai pembelajaran tari secara teoritik. Akan tetapi, narasi yang disampaikan juga terlalu memusat. Ia menjelaskan bahwa tarian pasti terdiri dari wirama, wiraga, dan wirasa. Narasi itu cukup memantik saya karena dari pengalaman belajar tari secara non formal, tidak semua tarian memerlukan ketiga unsur tersebut. Sekali lagi, penyeragaman begitu terlihat. Kali ini, ia berbentuk wacana pengajaran tari di sekolah.

 

Antara Paulo Freire, Augusto Boal, dan “Budi”.

Penyeragaman yang dituturkan tiga penampil melalui frasa-frasa koreografi mengingatkan saya pada Paulo Freire. Bagi Freire, pendidikan yang gagal adalah pendidikan yang menempatkan manusia sebagai objek yang menjalankan perintah satu arah, tidak pernah merefleksikan diri, dan tak pernah mengupayakan penciptaan kreatif (Freire, 2008: 57-60).

Freire menggugat pendidikan yang memperlakukan manusia sebagai mesin pasif. Dalam ruang kelas seperti itu, tubuh digerakkan seperti robot. Tentu tubuh diperintah agar bergerak patuh pada kuasa dominan yang mengintervensi gerbang sekolah, ruang kelas, hingga lapangan upacara.

Menyimak “Budi Bermain Boal” adalah menyimak bagaimana kuasa bekerja dalam ruang keseharian. Karya ini berhasil menggambarkan bagaimana cara kerja politik keseharian yang menubuh dalam subjek siswa dan guru. Maka, koreografi ini berupaya menyingkap lapisan kuasa dalam seragam dan tubuh-tubuh yang memakainya.

Perihal judul “Budi Bermain Boal”, tampak bahwa Augusto Boal sangat berpengaruh dalam gagasan mendasar karya ini. Pemakaian dramaturgi ruang kelas seakan mempertemukan sosok Paulo Freire dan Augusto Boal, memang faktanya kedua tokoh dari Brazil ini sangat dekat. Freire dengan pedagogy of the oppressed menginspirasi Boal untuk mengembangkan theater of the oppressed. Koreografi Megatruh tampak menyatukan ide besar antara Freire dan Boal, sebab pertunjukan ini berupaya menyingkap belenggu kuasa yang mengitari bangku kayu, ruang kelas, dan berbagai praktik pendidikan yang menindas.

Dalam situasi pendidikan yang membelenggu ini, “Budi” adalah kita semua. Dibanding sekedar nama sosok, “Budi” dalam koreografi Megatruh menjelma sebagai kata kerja. Semua tubuh di panggung dan bangku penonton adalah “Budi”. Ia tidak hanya dieja dan diucap, tetapi ia menjadi modus kuasa untuk menyeragamkan.

Semua penonton kemudian menjadi “Budi” dengan bermain-main bersama dalam “teater forum”. Dalam fragmen ketika penonton diperintah berdiri dan bergerak sesuai sabda otoriter instruktur tari, atau dalam fragmen ketika penonton “diwajibkan” mengisi lembar soal Ujian Akhir Semester: penonton ditarik menjalani peran sebagai “Budi” yang lain. Penonton tidak hanya menyaksikan tingkah “Budi” di panggung, tetapi sama-sama dijejali perintah dan dijerat oleh “pem-Budi-an”.

Menyadari kita semua menjelma sebagai “Budi” adalah momen politis, sebab kita dikekang perangkap kuasa yang sama. Memang penonton tidak diprovokasi agar mengintervensi “Budi” di panggung, sebab kita semua adalah “Budi” dan dibentuk menjadi “Budi”. Menyingkap “pem-Budi-an” adalah tawaran penting yang diberikan “Budi Bermain Boal”.

Lalu, apa kita semua akan terus dibentuk dan dirakit menjadi “Budi”, robot, atau mesin berseragam?

 

Referensi:

Paulo Freire. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Augusto Boal. 2000. Theatre of the Oppressed. London: Pluto Press.

Mothers-Tongue-990x660

Jean-Baptiste Phou dan Suara Semangat untuk Minoritas

Apa yang terlintas di kepala kita jika mendengar atau membaca nama Jean-Baptiste Phou? Barangkali di kepala kita masih kosong, namun remang-remang kita akan menemukan beberapa kata kunci ketika mendengar namanya disebut. Ia adalah penulis, aktor, dan sutradara berkebangsaan Prancis-Kamboja. Ia lahir pada 24 Januari 1981, kedua orang tuanya berketurunan Tionghoa-Kamboja yang tinggal di Prancis. Phou tak hanya aktif dalam pertunjukan musikal dan berakting dalam film, ia juga menulis naskah teater berjudul Cambodia, Here I am dan menyutradarai pertunjukan tersebut. 

Karya-karya Phou begitu kental dengan persinggungan ras dan kehidupan orang-orang Asia di Prancis. Tak hanya mengupas persoalan hidup sehari-hari orang Asia yang tinggal di Prancis, tapi ia juga mengupas persoalan seksualitas yang kadang kala menjadi sebuah persoalan yang tabu untuk dibahas sekaligus tabu untuk diekspresikan. Phou meniti karier artistiknya sejak 2008, dan ia mulai banyak menyampaikan gambaran pengalaman hidup orang Asia di Prancis. 

Phou menyadari bahwa isu tentang ras dan seksualitas adalah isu yang harus hati-hati ia kupas dan bicarakan. Phou pun memanfaatkan berbagai karya dengan topik sosiologi, sastra, sejarah, studi gender, hingga budaya populer untuk  diteliti dan  ia kemudian mampu menawarkan strategi yang dikembangkan untuk membicarakan persoalan ras, emosi dan seksualitas. Bagi Phou, begitu sulit menjadi orang Asia yang menjadi minoritas dalam haknya untuk mengekspresikan emosi dan seksualitasnya. 

Kita tentu penasaran seperti apa karya-karya Jean-Baptiste Phou yang sangat membuka kemungkinan bagi kaum minoritas orang Asia untuk tetap mendapatkan haknya dalam mengekspresikan diri, hasrat juga seksualitasnya. Pembicaraan tentang Jean-Baptiste Phou akan ada dalam LIFEs 2023 yang mengusung tema Frankofon. Seperti apa pengalaman kehidupan orang Asia yang tinggal di negara-negara Frankofon ini? Mari kita temukan jawabannya dalam program LIFEs 2023, hanya di Komunitas Salihara.