cover

Yang Klasik dan Asyik dalam Membaca Dini, Sitor, dan Wing

Catatan pendek program Klasik Nan Asyik: Membaca Dini, Sitor, dan Wing dalam LIFEs 2023.

Pada 10 Agustus, LIFEs 2023 menghadirkan salah satu program pilihan, bertajuk Klasik Nan Asyik. Program ini adalah panggung untuk membicarakan kembali sastrawan dan karyanya yang sudah menjadi klasik dalam sastra Indonesia di masa kini. Program ini dikemas dalam bentuk diskusi dan pembacaan karya. Generasi muda dan penikmat sastra hari ini, perlu mengenal kembali sebanyak mungkin khazanah sastra Indonesia modern yang terbilang klasik. Tahun 2023, Klasik Nan Asyik menghadirkan tiga sastrawan yang akan berbagi tentang pengarang dan karya sastra klasik Indonesia yang terkait dengan Prancis.

Para sastrawan yang diperkenalkan dalam program ini adalah Nh. Dini, Sitor Situmorang dan Wing Kardjo. Tiga pengarang ini bukan hanya nama penting dalam kesusastraan Indonesia modern, tetapi juga mereka secara langsung mengalami atau bersentuhan dengan apa-apa yang terkait Prancis, baik sastra, budaya maupun masyarakatnya. Pengalaman mereka bersentuhan atau bergelut dengan Prancis, dibahas dan ditampilkan dalam forum ini. Terutama untuk melihat bagaimana kontribusi dan nilai penting karya-karya mereka bagi kita hari ini. 

Menariknya, pembahasan tentang tiga pengarang ini disampaikan oleh tiga pengarang masa kini, yaitu Avianti Armand, JJ Rizal, dan Zen Hae. Avianti Armand membahas tentang perjalanan kesusastraan Nh. Dini, JJ. Rizal membahas Sitor Situmorang dan karya-karyanya, dan Zen Hae membahas tentang penyair sekaligus penerjemah sastra, Wing Kardjo. 

 

previous arrow
next arrow
Slider

 

Nh. Dini dan Permulaan Sastra Feminis
Pembicara: Avianti Armand

Nh. Dini (1936-2018) adalah satu dari sedikit pengarang perempuan Indonesia yang muncul pada dekade 1950-an. Ia muncul saat sastra Indonesia didominasi oleh sastrawan laki-laki. Pada sesi ini, Avianti Armand membicarakan bagaimana karya-karya Nh. Dini muncul dan menjadi salah satu tonggak penting sastra feminis dalam khazanah sastra Indonesia modern. Meskipun sebelum Dini ada beberapa nama penulis perempuan, tetapi pengarang perempuan yang cukup berani menyuarakan sikap keperempuanan adalah Nh. Dini. Pergaulannya sangat internasional—salah satu sebabnya karena perkawinannya dengan diplomat Prancis—dan pandangannya tentang perempuan, cinta dan perkawinan sangat pribadi dan berani. Avianti juga menyampaikan tentang bagaimana mula-mula kemunculan Nh. Dini dalam dunia sastra Indonesia pada akhir 1950-an. 

 

Sitor Situmorang: Pengelana Cinta yang Kesepian
Pembicara: JJ Rizal

Sitor Situmorang (1924-2014) adalah sastrawan Angkatan 45 yang mereguk pengalaman internasional melebihi Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin. Jika Chairil, Asrul dan Rivai banyak masuk ke gelanggang internasional melalui bacaan berbahasa Belanda dan Inggris, Sitor justru memasukinya dengan kehidupan pribadinya secara langsung. Pengalamannya tinggal di Belanda dan Prancis membentuk puisi dan cerpen Sitor selanjutnya. Dalam artian, ia memperluas lanskap penulisan puisi dan cerpen dari generasinya dengan menggunakan pendekatan autobiografis manusia Indonesia di Barat. Tegangan antara budaya nasional dan daerah—Batak dalam hal ini—dengan kehidupan di Barat yang sama sekali berbeda adalah momen-momen yang membentuk watak puisi dan cerpen Sitor. Hasrat pengelanaan di satu sisi mesti dibayar dengan kesepian yang mencekam, petualangan asmara dan erotisme mesti pula dibayar dengan perpisahan dan perjumpaan dengan dunia baru lainnya. JJ Rizal menyampaikan bagaimana Sitor menggunakan pendekatan autobiografis dalam menulis karya-karyanya. Meskipun ia menolak pendekatan autobiografis dalam penilaian karya seorang penyair, laku Sitor sebagai sastrawan tidak jauh-jauh dari mengolah segala sesuatu yang autobiografis tadi. 

 

Wing Kardjo: Jembatan Sastra Prancis dari Bandung
Pembicara: Zen Hae

Wing Kardjo Wangsaatmadja (1937-2002) adalah penyair dan penerjemah sastra Prancis yang penting pada masa 1970-an. Sebagai penyair mungkin Wing bukanlah yang kuat—puisi-puisinya terlampau berhasrat kepada bentuk klasik soneta dan mengimbuhkan sebanyak mungkin napas kritik sosial di dalamnya; kurang peduli pada bentuk—tetapi sebagai penerjemah dialah yang secara sungguh-sungguh memperkenalkan puisi-puisi modern Prancis ke bahasa Indonesia melalui Sajak-Sajak Modern Perancis dalam Dua Bahasa / Anthologie Bilingue de la Poezie Moderne Francaise (Pustaka Jaya, 1975). Yang lain, ia juga menerjemahkan satu cerita anak Prancis yang penting: Pangeran Kecil karya Antoine de Saint-Exupéry (Pustaka Jaya, 1979). Buku puisinya yang menghimpun puisi-puisi bergaya soneta adalah Fragmen Malam: Setumpuk Soneta (Pustaka Jaya, 1997). Zen Hae membahas tentang sosok dan karya Wing Kardjo yang menempatkan puisi-puisinya dalam korpus puisi Indonesia modern masa 1970-an dan sesudahnya. Ia juga menjelaskan tentang yang dimaksud soneta oleh Wing dalam himpunan puisinya. Zen Hae menjelaskan peran Wing sebagai “Jembatan Sastra Prancis” bisa dilihat dalam upayanya menerjemahkan sajak-sajak modern Prancis dan cerita anak Antoine Saint de Exupery. 

Sesi diskusi ini sangat menarik untuk diikuti, selain membahas tentang kedekatan tiga sastrawan Indonesia dengan Prancis, juga kemudian menggulirkan pertanyaan “kenapa Prancis begitu menggiurkan bagi para ketiga pengarang tersebut?”.

menulis23

Kelas Menulis Kreatif Tingkat Lanjut

Pengampu: Ayu Utami
Setiap Sabtu 02, 09, 16, 23, 30 September 2023
07, 14, & 21 Oktober 2023 | 13:00 WIB
Serambi Salihara 

 

Jakarta, 15 Agustus 2023 – Komunitas Salihara kembali lagi dengan salah satu kelas unggulannya yakni Kelas Menulis Kreatif bersama Ayu Utami. Berbeda dengan tahun sebelumnya–Kelas Menulis Kreatif yang Berbobot: Dimulai dari Karakter–yang bisa diikuti oleh tingkat pemula, dalam kelas kali ini peserta diwajibkan sudah pernah menerbitkan karyanya atau mengikuti Kelas Menulis Salihara agar bisa berpartisipasi dalam Kelas Menulis Tingkat Lanjut.

Dalam Kelas Menulis Tingkat Lanjut peserta diminta untuk sudah menguasai struktur dasar narasi gramatika, dan pengejaan yang benar. Sebab, dalam kelas ini hal-hal seperti itu tidak akan diajarkan lagi. Menariknya, peserta yang  karyanya sudah pernah diterbitkan atau akan diterbitkan, karya tersebut bisa dibahas di dalam kelas ini. Bagi yang belum pernah menerbitkan karya, peserta setidaknya sudah pernah mengikuti Kelas Menulis Kreatif sebelumnya atau pernah mengikuti kursus menulis. Peserta juga diwajibkan untuk memiliki ketertarikan membaca karya sastra. 

Di kelas ini peserta akan mempelajari:

  • Apa itu tulisan yang standar dan yang tidak?
  • Memilih antara plot dan suasana.
  • Apa saja unsur dalam suasana dan peristiwa, dan bagaimana mengembangkannya?
  • Memahami dan mengembangkan potensi.
  • Keseimbangan antara rencana besar dan garapan kecil.
  • Keseimbangan antara ketertiban dan keliaran.
  • Menganalisa diri dan unsur-unsur yang menghambat proses penulisan.
  • Inventarisasi dan distribusi tema.
  • Memilih suara yang tepat.
  • Memahami solusi mudah dan paradoks.

Untuk bisa mengikuti kelas ini, peserta bisa langsung mendaftarkan diri melalui laman resmi kami di kelas.salihara.org dengan biaya Rp2.500.000 per orang. Kelas akan diadakan setiap Sabtu mulai dari 02 September hingga 21 Oktober 2023. Kedelapan sesi ini akan berlangsung selama dua jam di Serambi Salihara, Ps. Minggu, Jakarta Selatan. 

 

Tentang Pengampu

Ayu Utami adalah salah satu penulis yang dianggap sebagai pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama yang ia angkat dalam karya-karyanya. Karya-karya yang ditulisnya mengangkat wacana seksualitas dari sudut pandang perempuan.

Novel pertamanya, Saman (1998), memenangkan Sayembara Penulisan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998. Beberapa karya sastranya yang lain adalah Bilangan Fu (2008) yang beroleh Khatulistiwa Literary Award 2008 dan yang termutakhir Anatomi Rasa (2019). Atas kiprah di dunia sastra, Ayu Utami meraih Prince Claus Award pada tahun 2000 dari Prince Claus Fund (Belanda), sebuah yayasan yang memberi penghargaan kepada individu dan organisasi yang berkontribusi dalam kebudayaan.

Ayu Utami adalah salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat seni, pemikiran dan kebebasan informasi. Saat ini Ayu Utami aktif sebagai kurator sastra dan Direktur Literature and Ideas Festival (LIFEs) di Komunitas Salihara serta Direktur Program Teater Utan Kayu.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

illusion

Meretas Batas antara Ada dan Tiada dalam New Illusion

20 Agustus 2023 | 16:00 & 20:00 WIB

Teater Salihara

 

Jakarta, 04 Juli 2023 – Apa yang terjadi saat pertunjukan menampilkan aktor yang tidak ada namun kehadirannya dapat dirasakan? Kira-kira begitulah gambaran New Illusion karya Chelfitsch Theater Company yang akan ditampilkan di Komunitas Salihara Arts Center, Minggu 20 Agustus 2023. Acara ini merupakan acara kerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta dalam program Djakarta International Theater Platform 2023, di mana Salihara menjadi salah satu mitra venue dalam rangkaian acara tersebut.

Chelfitsch Theater Company didirikan 1997 oleh Toshiki Okada sekaligus sebagai sutradara dan penulis dari semua produksinya. Kelompok ini dikenal sebagai teater kontemporer yang secara konstan meneroka metode yang didasari oleh hubungan antara ucapan dan pergerakan fisik.

Dalam beberapa tahun terakhir, Toshiki dan Shimpei Yamada (perancang video panggung) mengembangkan “EIZO-Theater”, sebuah jenis teater yang mencoba mengubah ruang tampilan menjadi ruang teater dengan memanfaatkan efek gambar proyeksi untuk memengaruhi sensibilitas manusia.  Tidak hanya fokus terhadap tampilan teknik dan bentuk, EIZO-Theater juga mencermati karakteristik yang memengaruhi pengalaman sensoris, seperti cara penonton memandang para aktor yang “hadir” dalam visual yang ditampilkan dari gambar-gambar yang diproyeksikan.

Awalnya, Toshiki hanya menampilkan karya-karya EIZO-Theater di museum seni atau ruang pameran (bukan sebagai pertunjukan pada umumnya). Namun dalam pertunjukan New Illusion yang dibawakan di Salihara, Toshiki secara khusus menampilkan dalam bentuk pementasan panggung (secara umum) dengan penonton yang dapat melihat langsung dari tempat duduk mereka.

Perjalanan Chelfitsch Theater Company sebagai sebuah kelompok dengan skala internasional cukup panjang. Kelompok ini baru melakukan debutnya dalam mementaskan karya mereka di luar negeri menampilkan Five Days in March di Kunstenfestivaldesarts, Brussels, Belgia pada 2007. Selain itu, teater ini juga sudah memproduksi beberapa karya, di antaranyaGrand and Floor (2013) di Kunstenfestivaldesarts, Super Premium Soft Double Vanilla Rich (2017), New Illusion (2022), Metamorphosis of a Living Room (2023), dan telah melakukan ko-produksi bersama beberapa teater dan festival. Teater ini juga sudah mementaskan karya-karya mereka di lebih dari 90 kota di seluruh dunia.

Dalam pementasan New Illusion yang dibawakan di Salihara, karya ini akan menggabungkan aktor dan multimedia seperti proyektor dalam membicarakan realita, fiksi, ada dan tiada, masa lalu dan masa sekarang yang saling tumpang tindih di atas panggung.

 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

penutupanlifes

(LIFEs) Literature and Ideas Festival 2023
Mon Amour!
Sastra dan Gagasan Prancis dan Frankofon dalam Satu Pekan

Jakarta, 21 Agustus 2023 – Ditutupnya pameran  Les Liaisons Amoureuses 20 Agustus lalu menjadi penutup dari rangkaian LIFEs (Literature and Ideas Festival) yang mengangkat tema Frankofon (sebutan untuk negara-negara penutur bahasa Prancis). Selama satu minggu (05-12 Agustus) LIFEs  mengajak pengunjung menggali dan merayakan khazanah kekayaan intelektual dari para pemikir dan penulis asal Prancis dan negara Frankofon lewat beragam program menarik seperti diskusi, film, lokakarya, pertunjukan teater, musik, seminar, peluncuran buku, dan kuliner.

Direktur LIFEs dan Kurator Sastra Komunitas Salihara Arts Center, Ayu Utami mengatakan pemilihan Prancis dan negara Frankofon sebagai tema LIFEs tahun ini karena Prancis merupakan kiblat pemikiran para intelektual Indonesia. “Prancis selalu merupakan kiblat pemikiran para intelektual Indonesia, selain Prancis juga menjadi kiblat fesyen, dan lain-lain.  Kesusastraan Prancis itu selalu dirujuk oleh pendiri bangsa ini.,” tutur Ayu Utami. 

Festival ini telah menarik minat dari ribuan pecinta dan penikmat sastra dan gagasan yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya dalam seminggu pelaksanaan. Selama berlangsung, LIFEs 2023 menghadirkan rangkaian acara yang menampilkan keragaman budaya dari negara Frankofon serta relasinya yang banyak menginspirasi para pemikir Indonesia.

Zack Rogow, penulis dalam pertunjukan Colette Uncensored mengungkapkan rasa bangganya telah menjadi bagian dari LIFEs 2023. “Menjadi kebanggaan bagi saya bisa berpartisipasi dalam LIFEs 2023. Ini adalah kesempatan yang baik mengenal Salihara sebagai komunitas dan tempat berkumpul bagi mereka yang mencintai seni dan berinteraksi dengan semangat yang sama.” 

Colette Uncensored merupakan pertunjukan tunggal–One-Woman Show–yang ditulis oleh Zack Rogow dan dibintangi oleh Lorri Holt menceritakan kehidupan Colette; seorang penulis perempuan Prancis dengan gaya satir komedi. Selain dibawakan di Salihara, pertunjukan ini juga dibawakan di Yogyakarta sebagai bagian dari program satelit LIFEs.

Tidak hanya di Jakarta, LIFEs pun juga mengadakan beberapa program satelit seperti lokakarya di Universitas Indonesia bersama Zack dan Lorri yang diikuti oleh kurang lebih 15 peserta dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya prodi Prancis. Dalam lokakarya ini, Zack dan Lorri mengajak peserta untuk menulis naskah monolog dan mempresentasikannya di akhir kegiatan. Menariknya, program ini juga diikuti oleh aktris sekaligus penampil dalam LIFEs; Asmara Abigail.

Selain lokakarya, program satelit LIFEs juga menampilkan pementasan Colette Uncensored serta pemutaran film My Mother’s Tongue oleh Jean-Baptiste Phou di Yogyakarta dari tanggal 14-16 Agustus 2023 kemarin. Untuk Melihat berbagai ulasan dari rangkaian program yang berjalan di LIFEs 2023, Anda bisa membacanya secara lengkap di blog.salihara.org. Dalam blog tersebut terangkum berbagai kegiatan seputar LIFEs 2023 mulai dari ulasan pertunjukan, musik, diskusi, dan seminar.

__________________________________________________________________

Tentang Literature and Ideas Festival

LIFEs (Literature and Ideas Festival) merupakan festival sastra dan gagasan berskala internasional yang mempertunjukan perkembangan sastra kontemporer Indonesia dan dunia, selain juga kekayaan karya-karya klasik dan tradisional. Festival ini berisi program diskusi, pentas bincang, ceramah kunci dan pertunjukan.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________ 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

web banner-salihara jazz buzz 2024-1920x1080

Undangan Terbuka
Salihara Jazz Buzz 2024

Komunitas Salihara membuka kesempatan seluas-luasnya kepada musisi di seluruh indonesia untuk tampil di acara Salihara Jazz Buzz 2024. 

Sejak berdirinya Salihara (2008) salah satu acara yang paling diminati musisi dan penonton adalah acara Jazz Buzz. Tim kurator Salihara selalu mengupayakan mencari tema baru dan memilih musisi berkualitas yang berminat terhadap karya-karya inovatif. Selama kurang lebih enam tahun ini Salihara menggunakan pendekatan “sans frontieres”, sebuah gagasan musikal yang mengetengahkan kebaharuan melalui konsep “lintas-batas”. Program Jazz Buzz selalu berusaha mencari format baru dalam kaitannya dengan pilihan genre, komposisi maupun presentasi musik.

  1. Musisi adalah warga negara Republik Indonesia dan belum berusia 35 tahun pada tanggal 31 Desember 2024; 
  2. Materi konser paling sedikit menampilkan empat (4) karya baru, termasuk aransemen atau komposisi ulang yang mengandung unsur kebaharuan;       
  3. Durasi konser antara 60 – 90 menit;
  4. Format grup mulai dari duet hingga maksimal 12 musisi;
  5. Dewan Juri akan memilih maksimum empat (4) grup untuk tampil dalam rangkaian Jazz Buzz 2024;
  6. Bantuan produksi untuk setiap musisi terpilih maksimal Rp25.000.000 (disesuaikan dengan format ensambel);
  7. Selain bantuan produksi, Komunitas Salihara juga memberikan bantuan berupa fasilitas yang tersedia: ruang pentas dan fasilitas pendukungnya, promosi dan publikasi acara, dokumentasi (foto dan video), dan akomodasi di Wisma Salihara;
  8. Komunitas Salihara tidak menanggung biaya transportasi dan konsumsi musisi terpilih;
  9. Selama persiapan pementasan, musisi terpilih akan mendapatkan pendampingan dari Dewan Kurator Komunitas Salihara.
  1. Mengisi formulir pendaftaran, menyertakan CV dan RAB (Rencana Anggaran Biaya);
  2. Formulir pendaftaran, CV dan RAB produksi bisa diunduh di sini;
  3. Membuat surat pernyataan yang ditandatangani musisi di atas kertas bermeterai Rp10.000,- bahwa karya tersebut adalah karya asli, bukan karya jiplakan atau plagiat;
  4. Mengirimkan formulir pendaftaran, RAB produksi, portofolio musisi, KTP musisi, surat pernyataan orisinalitas karya dan dua (2) contoh karya terbaru (belum pernah diterbitkan dalam bentuk apapun) termasuk aransemen/komposisi ulang yang mengandung kebaharuan ke opencall@salihara.org. Seluruh berkas dikirim dengan subjek Undangan Terbuka Jazz Buzz 2024_Nama Musisi paling lambat 16 November 2023 pukul 23:59 WIB;
  5. Contoh rekaman karya dikirim dalam format audio mp3 melalui tautan Google Drive, We Transfer, atau melalui cakram padat (CD) ke alamat Komunitas Salihara Jl. Salihara No. 16, Pasar Minggu, Jakarta 12520 paling lambat 16 November 2023 (cap pos atau faktur pengiriman);
  6. Karya tersebut belum pernah dipentaskan di Komunitas Salihara dan tidak sedang diikutkan dalam perlombaan mana pun.

Pengiriman proposal: 06 September-16 November 2023;
Pengumuman: 30 November 2023;
Pentas di Teater Salihara: Februari-Maret 2024.

Tim Juri

Dewan Kurator Salihara

Lain-Lain

Anggota keluarga inti para karyawan Komunitas Salihara dan Dewan Juri tidak diperbolehkan mengikuti Undangan Terbuka ini.

queer

Queer hingga Refleksi Situasi Kolonialisme di Masa Lalu

Catatan pendek Seminar Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan.

Beberapa Minggu menuju LIFEs, Komunitas Salihara membuka Undangan Menulis Makalah Seminar LIFEs 2023 dengan tema Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan: Ruang Pertemuan Budaya, Identitas, dan Kritik Sosial. Program ini bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Makalah yang terpilih adalah makalah dengan pembahasan mengenai Prancis dan Frankofon yang mewakili beberapa subtema atau perspektif, di antaranya kritik poskolonialisme, konflik identitas dan kritik sosial, tantangan multikulturalisme, gender dan budaya patriakal, tubuh dan perlawanan perempuan, hubungan indonesia dan prancis, pemikiran tentang seni dan estetika mutakhir. Komunitas Salihara kemudian memilih beberapa nama pemakalah yang dibagi dalam tiga sesi presentasi. 

 

Sesi 1
Kritik Supremasi dari Kamar Tidur
Pembicara : Joned Suryatmoko/Ferdy Thaeras, Salira Ayatusyifa
Tanggal & Waktu : Selasa, 08 Agustus 2023, 16:00 WIB

Sesi ini menampilkan dua pemakalah yang sama-sama membahas naskah Les Bonnes (1947) karya Jean Genet. Naskah ini berkisah tentang dua perempuan kakak-beradik yang bekerja sebagai pelayan di rumah Madame, majikannya. Dua tokoh pelayan ini adalah Solange dan Claire, mereka lantas berpura-pura memainkan peran sebagai Madame ketika majikan mereka tidak di rumah. Naskah drama ini menarik karena memiliki bentuk role playing atau permainan peran di dalamnya, yang menciptakan pembacaan serta pemaknaan yang berlapis. 

Salira Ayatusyifa sebagai pemakalah pertama adalah seorang aktor teater yang mengenyam pendidikan seni teater di ISBI Bandung. Makalahnya berjudul “Les Bonnes: Hegemoni Hasrat dan Politik Asap Dapur”. Salira membedah naskah Les Bonnes dengan pendekatan Hegemoni ala Antonio Gramsci dan  membagi penjelasannya dalam tiga poin. Poin pertama, Salira menjelaskan tentang ilusi kuasa pelayan dalam dominasi kuasa Madame sebagai majikan. Dominasi kuasa yang dilakukan oleh sosok Madame sebagai manusia berstatus borjuis dan memperlakukan dua pelayannya sesuka hati, menimbulkan perlawanan dari kedua pelayan. Perlawanan itu diwujudkan dalam permainan peran sebagai Madame yang diperagakan secara bergantian oleh Solange dan Claire. Serta dari sanalah muncul hegemoni hasrat dari kedua tokoh di mana keduanya menjadi kelompok subaltern yang menurut Gramsci adalah kelompok yang hendak berkuasa. Poin kedua, Salira menjelaskan bahwa Salange adalah wujud tokoh intelektual yang mampu membangkitkan hasrat hegemoni untuk menciptakan strategi memberontak pada dominasi Madame. Ia juga menjelaskan bagaimana Genet menggambarkan posisi antar perempuan beda kelas di masa sejarah Prancis 1685. Poin terakhirnya menampilkan bagaimana tokoh Solange dan semangat kolektifnya untuk melawan tetap menjadi objek yang kalah dan bayangan kemenangan hanya ada dalam kepalanya. Hal ini disebabkan oleh dominasi kuasa yang lebih kuat dari Madame

Pemakalah kedua, Joned dan Ferdy mempresentasikan makalah dengan judul “Les Bonnes: Melihat Jean Genet dari Kamar Tidur Orang Kulit Berwarna”. Makalah ini membahas naskah Les Bonnes dalam dua lapisan, lapisan pertama membedahnya dengan teori identitas kontemporer ala Judith Butler, serta pembacaan teoritis Les Bonnes dalam mempercakapkan dramaturgi dan teori identitas antara Prancis dan Amerika Utara. Lapisan kedua membahas bagaimana Les Bonnes digunakan sebagai pemandu praktik artistik perupa Ferdy Thaeras dalam posisinya sebagai seniman kulit berwarna selama residensi mandirinya di New York City pada 2022. Joned juga membahas hubungan karya Genet dengan Queer, Teatrikalitas dan Teatrikalitas-Queer, bahwa dalam karya Genet tidak lagi menempatkan gagasan queer semata-mata dalam konteks homoseksualitas, tetapi lebih pada hubungan antara penolakan, penghancuran diri, anti-komunitarianisme, dan juga keterikatan kultural lainnya. Joned mengatakan bahwa gagasan tentang pelebih-lebihan, penghilangan, dan ambiguitas terlihat jelas dalam Les Bonnes yang menguraikan elemen-elemen tersebut ke dalam satu gagasan tunggal tentang teatrikalitas-queer memungkinkan kita untuk memeriksa lebih jauh dari apa yang dapat kita temukan jika kita menerapkan gagasan tersebut secara tunggal. Menurut Joned dalam Les Bonnes, ketika satu hal dibesar-besarkan, pada saat yang sama hal tersebut dihilangkan, dan hal tersebut membuka interpretasi yang ambigu. Presentasi ditutup dengan penjelasan Ferdy pada proses artistiknya dan pembacaan teks performancenya pada pameran bertajuk Les Bonnes. 

Sesi ini diikuti dengan tanya jawab yang kemudian turut menambah dan memperjelas bagaimana pandangan ketiga pemakalah dalam membahas naskah Les Bonnes. 

 

previous arrow
next arrow
Slider

 

Sesi 2
Perspektif Sejarah: Dari Kawin Kontrak hingga Yang Ilahiah
Pembicara : Amos, Faiza Nuralifah Khairunnisa, & R.H. Authonul Muther
Tanggal & Waktu : Rabu, 09 Agustus 2023, 16:00 WIB

Diskusi ini menampilkan tiga pembicara yang membahas sejumlah perspektif sejarah dari ranah Frankofon: analisis pascakolonial atas novel bertemakan rasisme dan dampak kolonialisme Prancis, gagasan estetika simtom yang diterapkan dalam kritik seni rupa, hingga tawaran metode historiografi yang berakar dari gagasan sejumlah sejarawan Frankofon. Faiza Nuralifah Khairunnisa, mengulas novel Le mariage de Plaisir karya Tahar Ben Jelloun, ia membahasnya dalam makalah berjudul Internalisasi Rasisme dalam Novel Le Mariage De Plaisir Karya Tahar Ben Jelloun. Ia memaparkan bahwa novel Le Mariage de Plaisir adalah sebuah kritik Tahar Ben Jelloun pada situasi rasisme di Maroko yang telah terinternalisasi. Novel ini menyajikan gambaran sebuah keluarga yang terbentuk dari kawin kontrak atas nama Islam dan berfungsi sebagai unit sosial terkecil, dan rasisme hadir melalui proses internalisasi yang kemudian melekat pada kepribadian tokoh. Dengan kata lain, keluarga adalah lingkup terdekat yang mampu mewariskan sifat rasisme pada anggotanya. Bagi Faiza, rasisme tidak dapat dihentikan hanya dari hal-hal yang kasat mata, namun perlu untuk memutus rantai rasisme dengan menerima masa lalu dan mendefinisikan posisi diri secara jelas dalam rasisme. 

Makalah kedua berjudul Di Hadapan Marmi Finti, Sabda Menjadi Daging: Georges Didi-Huberman dan Estetika Simtom ditulis dan dipaparkan oleh R.H. Authonul Muther.  Ia membahas gagasan estetika simtom oleh sejarawan seni dan filsuf George Didi-Huberman yang membahas lukisan The Lacemaker karya Johannes Vermeer dan The Holy Conversation karya Fra Angelico, serta menawarkan metode untuk memetakan historiografi Indonesia dengan meminjam gagasan Frantz Fanon dan Aimé Césaire. Diskusi ini ditutup dengan paparan makalah berjudul Dapatkah Subaltern Menulis Sejarah?: Menempatkan Kritik Pascakolonial dalam Polemik Historiografi Indonesia, karya Amos. Ia memiliki tawaran tentang penerapan kritik pascakolonial dalam metode penulisan historiografi Indonesia, mengedepankan gagasan antikolonial dari Frantz Fanon dan Aimé Césaire. 

Diskusi ini membawa kita pada tawaran pada satu simpul: kekayaan perspektif sejarah dari ranah Frankofon yang bahkan dapat menjadi tawaran untuk menengok kembali historiografi negeri kita sendiri.

 

Sesi 3
Dari Dunia Frankofon: Takhayul dan Kekerasan
Pembicara : Ari Bagus Panuntun, Nilna Nabilatus Shalihah, & Rifda Aliifah Putri Aspihan
Tanggal & Waktu : Kamis, 10 Agustus 2023 16:00 WIB

Sesi terakhir seminar tentang Prancis dan Frankofon dalam sastra dan gagasan, membahas tiga novel karya sastrawan negara-negara Frankofon: L’Enfant noir karya Camara Laye (Guinea), Le Silence de L’Innocence karya Somaly Mam (Kamboja), Mémoires de Porc-épic karya Alain Mabanckou (Republik Kongo/Prancis). Ari Bagus Panuntun, menyampaikan presentasinya berjudul Romantic Primitivism dan Neokolonialisme Sastra dalam Novel L’enfant Noir Karya Camara Laye. Ia membahas L’enfant Noir (1953) yang terbit dalam bahasa Inggris sebagai The Dark Child, novel ini melukiskan kehidupan damai dan tenteram di sebuah desa di Guinea, Afrika, meski dalam penjajahan Prancis. Novel ini dikritik karena menutupi kekerasan kolonialisme Prancis dengan meromantisasi primitivisme di negeri itu melalui sudut pandang seorang bocah. 

Novel kedua yang dibahas adalah Le Silence de L’Innocence (2005), menceritakan kehidupan seorang perempuan dalam perjuangannya melawan mafia prostitusi dan perdagangan manusia yang merenggut nyawa para gadis di Kamboja. Novel ini dibedah oleh Nilna dalam judul presentasi Écriture Féminine: Suara dan Citra Perempuan Kamboja dalam Novel Le Silence de L’Innocence (2005) karya Somaly Mam. Nilna membahas tentang suara penulis novel tersebut terhadap posisi perempuan yang terbatas. Menurutnya, tokoh Mam merupakan penggerak cerita yang tindakannya berdampak pada peristiwa-peristiwa penting di dalam novel. Terakhir, novel Mémoires de Porc-épic (2006) berkisah tentang serangkaian pembunuhan yang dilakukan oleh seorang tokoh melalui hewan spiritual peliharannya berupa seekor landak, dibahas oleh Rifda dalam makalah Kepercayaan Tradisional sebagai Dalih Kekerasan dalam Novel Mémoires de Porc-épic karya Alain Mabanckou. Ia menelaah bahwa motif mengapa Kibandi tokoh dalam novel ini melakukan hal tersebut yaitu karena kepercayaan tradisional yang diturunkan oleh ayahnya membuat tindakan kekerasan, karena ayahnya memegang kuasa atas dirinya, sehingga ia tidak memiliki pilihan lain selain menerima hal tersebut. 

Sesi ini dengan menarik membahas karya sastra dari tiga sudut pandang berbeda pertumbuhan kesusastraan—dalam hal ini novel—di negara-negara bekas jajahan Prancis. Aspek penting kolonialisme, yakni penindasan manusia atas manusia dalam berbagai bentuknya, dibentangkan dari pelbagai lapis zaman. Karena itu, problemnya bukan melulu kolonialisme, tapi juga pascakolonialisme. Bagaimana manusia di negeri-negeri jajahan menegakkan martabatnya sebagai bangsa merdeka, dengan merefleksikan situasi kolonialisme di masa lalu maupun dengan meneroka problem yang mereka hadapi ketika telah meraih kemerdekaan.

Tiga sesi Seminar Prancis dan Frankofon dalam Sastra dan Gagasan ini membentang beragam sudut pandang atas pembacaan karya sastra Frankofon dan mengulitinya dalam bermacam isu, juga mengantar kita pada sebuah ruang besar yang menggambarkan kompleksitas identitas, keragaman budaya, isu-isu sosial, gender, ras, dan agama dalam konteks poskolonial.

klassikhausblog

Enam Komponis Perempuan Prancis tanpa Kata-Kata

Klassikhaus memainkan komposisi enam komponis perempuan Prancis lintas era dalam pentas Les Femmes sans Paroles (11/8). Pentas ini menjadi bagian dari LIFEs 2023: Mon Amour! yang menjelajahi sastra, budaya dan pemikiran negara-negara Frankofoni. Les Femmes sans Paroles, atau “Perempuan-perempuan tanpa kata-kata,” menjelaskan karya para komponis di pentas ini yang semuanya instrumental.

Klassikhaus (2019) adalah komunitas seni pertunjukan yang ingin mengakrabkan musik klasik pada masyarakat dengan mengadakan resital-resital kasual di ruang-ruang publik. Di Les Femmes, Klassikhaus hadir dalam format trio: Budi Utomo Prabowo duduk di bangku harpsichord dan piano, Windy Setiadi memangku bandoneon, dan Muhammad Ravi Arrauf merengkuh kontrabas. Trio ini menginterpretasi komposisi dari Élisabeth Jacquet de La Guerre (1665–1729), Pauline Viardot (1821–1910), Cécile Chaminade (1857–1944), Germaine Taillefer (1892–1944), Lili Boulanger (1893–1918) hingga Betsy Jolas (1926). Melalui karya keenam komponis, Klassikhaus menjelajahi musik dari Barok ke atonal.

Klassikhaus mengawali pentas dengan memainkan Sonata Biola no. 2 di D Mayor oleh Élisabeth Jacquet de la Guerre. Ia merupakan seorang pemain harpsichord dan organ, dan menjadi komponis perempuan pertama di Prancis yang menciptakan karya opera. Sonata Biola singkat empat bagian ini mulai dengan Presto, yang bertempo cepat, turun ke Adagio, pelan, lalu kembali ke dua Presto selanjutnya. Harpsichord dan kontrabas jalin-menjalin, lapis-melapis, dan memberi ruang bagi bandoneon untuk bermain di wilayah depan ruang dengar kita.

 

previous arrow
next arrow
Slider

 

Komposisi ini sesungguhnya diciptakan untuk biola dan continuo yang terdiri dari harpsichord dan kontrabas. Sekalinya bandoneon dimainkan, kita langsung menyadari beda wataknya: Biola mampu menarik melodi tangkas juga memanjang, sedangkan bandoneon bergantung pada tarik-hembus paru-paru (bellows) instrumen ini. Bagian unik bandoneon adalah tombol melodi yang menyerupai keyboard, yang membedakannya dengan akordion meskipun anatominya mirip, dan Windy Setiadi, yang mempelajari cara main bandoneon pada 2016 di bawah bimbingan musisi Ryota Komatsu, sepanjang pentas, ibarat sedang mengetik nada ketimbang kata. Pada bagian-bagian Presto, terutama, bandoneon tampil jenaka dan eksentrik, terlebih karena instrumen ini juga amat jarang kita lihat atau dengar, jika bukan tak pernah sama sekali. Namun rasanya bandoneon tak dapat menggantikan biola yang mahir mempersedih Adagio. Biola melamun bersama kontrabas, yang dalam sonata ini, banyak digesek selain dipetik.

Aransemen kontrabas dan harpsichord dalam Sonata Biola akan pula mengingatkan kita pada album pop di Inggris dan Amerika Serikat pada 1960-an yang terpengaruh Barok, seperti Pet Sounds, The Beach Boys (1966), atau Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band, The Beatles (1967). Paul McCartney di masa-masa Sgt. Pepper’s, misalnya, akan gemar mengaransemen laju bass sesibuk kontrabas di komposisi ini.

Klassikhaus kemudian membawakan Berceuse (Ninabobo, 1913) dan Arabesque dari Germaine Taillefer. Taillefer merupakan satu-satunya komponis perempuan dalam sebuah grup komponis Prancis abad 20 bernama Les Six. Enam Komponis. Selain Taillefer, grup ini terdiri dari Darius Milhaud, Francis Poulenc, Arthur Honegger, Georges Auric dan Louis Durey. Musik Les Six dikenal berseberangpaham dengan Romantisisme Jerman Richard Wagner dan Richard Strauss, juga orkestrasi rimbun komponis sesama penduduk Prancis, Claude Debussy, dan mengambil inspirasi dari musik-musik Erik Satie dan puisi-puisi Jean Cocteau.

Berceuse, asalnya tercipta untuk piano dan biola, menghadirkan tema yang mendaki dengan ramah dan tak bepergian jauh. Muhammad Ravi Arrauf, yang menggantikan fungsi biola dengan kontrabas, membuat ninabobo ini gagah dan bijaksana, seakan terkandung di dalamnya suatu pengalaman hidup menahun. Sedangkan Arabesque Taillefer sunyi, misterius. Laik Berceuse, mengandung tema berulang. Mendengarnya kita mengandai secercah caya lampu minyak di malam hari, sendiri bergeseran di tembok-tembok dan jalanan sepi.

Klassikhaus kemudian membawakan Piano Trio no. 1 di G Minor, Op. 11 (1881), oleh Cécile Chaminade. Komposisi ini terbagi jadi empat bagian: (I) Allegro, (II) Andante, (III) Presto, (IV) Allegro molto. Dalam Les Femmes, Klassikhaus terlebih dahulu memainkan dua bagian pertama Trio, kemudian menyisipkan Ruht wohl (2011) oleh Betsy Jolas, Nocturne untuk biola dan piano (1911/1914) oleh Lili Boulanger, Romance, 6 Morceaux, no. 1 (1868) oleh Pauline Viardot, lalu kembali ke Piano Trio dengan sisa Presto dan Allegro molto.

Chaminade mengaransemen Piano Trio untuk piano, biola, cello. Kali ini, kita menyaksikan bagaimana Klassikhaus, terkhususnya Windy Setiadi, menguji kapasitas bandoneon dalam memainkan dan mengisi wilayah hembus yang tak terjamah oleh biola, juga dalam mengikuti tempo cepat Allegro, karena ada gerakan tertentu yang membuat bandoneon seolah-olah kehabisan napas. Lain halnya ketika komposisi memasuki Andante. Kita akhirnya mendengar dampak bunyi bandoneon yang berbeda dari saat ia memainkan Sonata Biola di awal pentas; Suatu kualitas yang kita kenal dengan sedih. Bagaimana caranya sebuah instrumen musik dapat terdengar nelangsa? Apakah ini kualitas inheren instrumennya, atau inikah qualia manusia?

Klassikhaus memperlihatkan dampak lain bandoneon ketika ia menggantikan peran biola dalam komposisi Ruht wohl, atau “Istirahatlah dalam damai,” oleh Betsy Jolas. Jolas, kini berumur 97 tahun dan masih aktif berkarya, merupakan komponis kontemporer perempuan yang konsisten menciptakan komposisi atonal. Ruht wohl merupakan sebuah renungan pendek Jolas terhadap bagian akhir oratorio St. John Passion (1724) oleh Johann Sebastian Bach, yang dengan paduan suara, mempersembah ninabobo megah: Ruht wohl, Ihr heiligen Gebeine/Die ich nun weiter nicht beweine (Istirahatlah dalam damai, tulang-tulang kudus/Aku tak lagi menangisimu [terjemahan bebas penulis]). Terkait interpretasi Klassikhaus terhadap Ruht wohl Jolas, bandoneon nampak mampu mendorong renungan ke daerah yang lebih kelam, dan kontrabas, dengan nada yang lebih bawah dari biola dan cello, turut mempertipis udara di atmosfer atonal, menjadikan komposisi ini seperti suatu daerah hampir-vakum.

 

Penulis: Ibrahim Soetomo

Erotika Feminin:
Merayakan Malam Paling Erotis di LIFEs 2023

Teater Salihara | 08 Agustus 2023

 

Jakarta, 10 Agustus 2023 Erotika Feminin sukses digelar Selasa lalu (08/08), bertepatan dengan hari jadi Komunitas Salihara yang ke-15. Erotika Feminin yang secara literal merupakan alusi dari istilah Écriture Féminine atau penulisan perempuan diperkenalkan oleh pemikir Prancis Hélène Cixous. Erotika Feminin merupakan sebuah bentuk perayaaan untuk membicarakan serta mengeksplorasi mengenai hasrat, ketubuhan, dan seksualitas lewat pembacaan karya-karya dari para penulis Prancis ternama, dibawakan dengan sangat baik oleh aktris tanah air secara berurutan: Asmara Abigail, Elghandiva Astrilia, Sri Qadariatin, dan Sha Ine Febriyanti. Dalam keterbatasan yang dimiliki oleh seni, Ayu Utami–Direktur LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2023 dan Kurator Sastra Komunitas Salihara–memaparkan bahwa seni dapat berkembang menjadi begitu luas lewat pengalaman-pengalaman yang beragam.

“Seni dalam keterbatasannya, mengajak kita mengalami pengalaman-pengalaman yang bisa saja ironis, paradoxical, gelap, mengandung tegangan antara rasa nikmat dan rasa sakit, antara eros dan thanatos, antara dorongan bersetubuh dan dorongan untuk bunuh membunuh.”

Pembacaan dibuka oleh Asmara Abigail membacakan fragmen dari karya Anaïs Nin yang berjudul Delta of Venus (1977). Dalam karya tersebut Anaïs menceritakan kisah Marianne, seorang penulis dan pelukis yang menceritakan pengalaman erotisnya dalam mengagumi model lelaki. mulai dari garis-garis tubuh hingga lingga yang menarik perhatian Marianne. Yang menariknya, Asmara membawa pembacaan ini dengan menggabungkan dua bahasa Indonesia-Prancis sehingga menambah hidup teks yang ia bacakan.

Asmara Abigal menjadi pembuka dalam Erotika Feminin membawakan fragmen dari Delta of Venus karya Anaïs Nin
Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

 

Selanjutnya penonton dibawa untuk mendengarkan kisah dari Marguerite Duras–seorang penulis Prancis abad 20–tentang percintaan dua kekasih dari fragmen yang berjudul The Lover (1984). Pembacaan ini dibacakan oleh Elghandiva Astrilia; aktris yang juga merupakan alumni Kelas Akting Salihara. Pembacaan ini menceritakan sebuah kisah dengan penggambaran aksi bercinta yang begitu membara dan hasrat bercinta yang penuh ekstasi hingga meminta lagi, lagi, dan sekali lagi di atas sebuah kapal feri.

Pembacaan ini menggunakan teknik muncul aktor satu-persatu di panggung setelah cahaya lampu gelap. Pada aktor ketiga, ia dimunculkan dengan adegan duduk di lantai, tepat di tengah panggung. Aktor tersebut adalah Sri Qadariatin–akrab dipanggil Uung– membacakan fragmen dari kisah Annie Ernaux dengan judul Getting Lost (2001). Ini adalah fragmen kronologis antara seorang diplomat Rusia dengan kekasih gelapnya yang mengambil sudut pandang Aku. Dengan jelas diceritakan bagaimana mereka bertemu, dan membuat catatan lengkap tentang tanggal pertemuandan apa yang mereka lakukan. Uung membawakan pembacaan dengan suasana yang begitu dinamis, menghadirkan beragam emosi; bahkan di tengah pembacaan erotis ini, terselip komedi yang memantik tawa penonton saat tokoh Aku mendeskripsikan fisik dari istri sah tokoh diplomat dengan nada cemburu.

Sri Qadariatin saat membawakan fragmen Getting Lost karya Annie Ernaux
Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

 

Pembacaan fragmen ini ditutup oleh penampilan Sha Ine Febriyanti atau Ine membawakan potongan dari buku Story of O (1954) oleh Pauline Riash. Sebuah kisah submisif dari seorang tokoh bernama O dan kekasihnya yang menjual O kepada teman-teman sang kekasih. Ine menguasai panggung dengan baik, membacakan fragmen ini dengan melihat ke berbagai arah. Bahkan suaranya menggelegar saat ia naik ke atas sebuah kotak dan membacakan khotbah yang mengulang ucapan teman sang kekasih kepada O. Ia menyebutkan secara dominan bagaimana O harus bertindak dan menanggalkan segala pekerjaan saat “mereka” membutuhkan tubuh O.

Pertunjukan dengan durasi kurang lebih 1 jam ini disaksikan oleh ratusan mata yang memenuhi Teater Salihara; merayakan malam paling erotis di LIFEs 2023. Riuh tepuk tangan selalu terdengar setiap akhir pembacaan. Ditutup dengan penyerahan bunga dariAyu Utami dan Goenawan Mohamad (Pendiri Komunitas Salihara) kepada empat penampil yang telah memberikan persembahan terbaik mereka di Selasa malam.

Penyerahan bunga oleh Ayu Utami dan Goenawan Mohamad kepada penampil Erotika Feminin
Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

 

Tentang Penampil

Asmara Abigail adalah artis yang aktif sejak 2015. Tumbuh di Jakarta, ia terobsesi dengan film dan fesyen sejak kecil. Asmara mendapatkan gelar masternya dalam bisnis fesyen di Milan, dan bekerja secara profesional sebagai aktris di industri film. Ia mendapatkan banyak penghargaan, di antaranya Macao International Film Festival & Awards 2019 dan penerima Variety Magazine Asian Stars: Up Next bersama dengan tujuh aktor dan aktris lainnya di seluruh Asia. Pada Desember 2022, ia memenangi Penjor Award for Southeast Asian Feature Best Actress ketika berperan sebagai Zahara dalam Stone Turtle yang disutradarai oleh Woo Ming Jin di Bali Makarya Film Festival 2022 dengan Benjamin Illos—pemrogram di Cannes Quinzaine des Réalisateurs sebagai salah satu juri.

Elghandiva Astrilia adalah seorang seniman multidisiplin yang berbasis di Jakarta yang bekerja dengan seni performans, tari, suara dan desain grafis. Elgha meraih gelar MA dalam Praktik Seni Kontemporer (Performans) dari Royal College of Art, London. Elgha juga menggagas Rasasastra, sebuah kolektif seni dan kuratorial, dan anggota Moksa Soundsystems, sebuah band eksperimental yang menggabungkan tradisi Asia Tenggara dengan suara elektronik. Saat ini, dia adalah anggota fakultas di Fakultas Desain Universitas Bina Nusantara (BINUS), Jakarta.

 Sha Ine Febriyanti adalah pekerja seni, aktris teater, film dan sutradara Indonesia yang mengawali karir sebagai model pada 1992. Pada 1999 ia merambah dunia seni peran dan teater saat mendapat kepercayaan memerankan Miss Julie. Pada 2014-2015 menggarap kisah Cut Nyak Dien ke dalam teater monolog yang disutradarai dan diperankannya sendiri serta dipentaskan di beberapa kota termasuk Banda Aceh. Ia pernah mewakili Indonesia pada Festival Teater Internasional di Gori, Georgia. Di bidang film, ia mendapat beasiswa Asian Film Academy di Busan, Korea Selatan, 2012 dan menyutradarai Tuhan Pada Jam 10 Malam. Bersama beberapa relawan, sejak 2012 mendirikan Huma Rumil sebagai wadah kreatif untuk berbagi, belajar, dan bermain bersama dalam bentuk seni pertunjukan, film, seni rupa, dan kegiatan sosial melalui media seni. Kini Huma Rumil dikembangkan menjadi kantong budaya di bilangan Jagakarsa Selatan dan terbuka untuk siapa untuk berbagi melalui media seni.

Sri Qadariatin memulai karier di dunia seni pertunjukan saat bergabung dengan Teater Garasi/Garasi Performance Institute pada 1996 dan terlibat dalam beberapa karya, salah satunya pada Yang Fana Adalah Waktu Kita Abadi (2016). Ia terlibat dalam beberapa  produksi Titimangsa Foundation yaitu Perempuan Perempuan Chairil (2017), Nyanyi Sunyi Revolusi (2019), dan sebagai penata gerak kelompok paduan suara dalam Musikal Inggit Garnasih (2022). Dua karya penyutradaraan terbarunya adalah Aku Ingin: Myristica Fragrans and Other Tales (2021) dan Mirah (2023).

 

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

lifes-ayu23

(LIFEs) Literature and Ideas Festival 2023

Mon Amour!
Merayakan Keragaman Budaya Prancis dan Frankofon dalam LIFEs 2023

Jakarta, 25 Juli 2023 – Komunitas Salihara kembali menyelenggarakan LIFEs (Literature and Ideas Festival) mengangkat tema Frankofon (sebutan untuk negara-negara penutur bahasa Prancis). Lewat jargon Mon Amour! Komunitas Salihara akan mengajak kita menggali dan merayakan khazanah kekayaan intelektual dari para pemikir dan penulis asal Prancis dan negara Frankofon. Beragam program menarik seperti diskusi, film, lokakarya, pertunjukan teater, musik, seminar, peluncuran buku, dan kuliner bisa pada 05-12 Agustus 2023.

Direktur LIFEs dan Kurator Sastra Komunitas Salihara Arts Center, Ayu Utami mengatakan pemilihan Prancis dan negara Frankofon sebagai tema LIFEs tahun ini karena Prancis merupakan kiblat pemikiran para intelektual Indonesia. “Prancis selalu merupakan kiblat pemikiran para intelektual Indonesia, selain Prancis juga menjadi kiblat fesyen, dan lain-lain.  Kesusastraan Prancis itu selalu dirujuk oleh pendiri bangsa ini. Kita juga melihat adanya urgensi untuk mengangkat isu multikulturalisme, di mana kita ingin melihat isu ini tidak menekankan pada unsur kekerasan, namun dari bagaimana para seniman, sastrawan, dan pemikir ini menciptakan harapan,” tutur Ayu Utami.

Selama tujuh hari pelaksanaan LIFEs 2023 akan menghadirkan rangkaian acara yang menampilkan keragaman budaya dari negara Frankofon serta relasinya yang banyak menginspirasi para pemikir Indonesia. Pengunjung dapat menikmati rangkaian mulai dari diskusi hingga pameran. Salah satu yang menarik dari LIFEs tahun ini adalah hadirnya pameran dengan tajuk Les Liaisons Amoureuses (Jalinan Asmara). Tajuk ini ingin menyatakan hubungan mesra antara Indonesia dan negeri Frankofon melalui pameran buku-buku sastra, komik dan penelitian terjemahan. Pameran ini memperlihatkan sumbangsih karya-karya berbahasa Prancis, serta para penerjemahnya untuk ditampilkan bagi pembaca Indonesia.

Pengunjung dapat melihat karya komik Frankofon seperti Petualangan Tintin karya Hergé, Asterix karya René Goscinny dan Albert Uderzo, hingga novel grafis terkini, Persepolis karya Marjane Satrapi. Sastra-sastra berbahasa Prancis terjemahan juga akan hadir dalam pameran ini seperti Pangeran Kecil karya ‎Antoine de Saint-Exupéry, Memoar Hadrianus karya Marguerite Yourcenar hingga Malam yang Keramat oleh Tahar Ben Jelloun. Tentunya pameran ini bisa menjadi daya tarik pengunjung untuk lebih mengenal karya-karya tersebut lebih mendalam sembari menunggu program-program LIFEs yang akan berjalan.

Selain pameran, LIFEs juga akan diramaikan oleh kegiatan pemutaran film seperti 434: Mengenang Godard, sesi dengar dan diskusi: Monita Membaca Julien, lokakarya: The Game of Writing, peluncuran buku; Surat Tentang Kekasih: Pembacaan Surat Menyurat Louis-Charles Damais dan Claire Holt, Wabah dan Kolera karya Patrick Deville  dan juga seri Writer on Writer yang menampilkan

wawancara Ayu Utami dengan tokoh-tokoh dari negeri Frankofon seperti Arwad Esber, Grace ly, Jacques Rancière, dan Lakhdar Brahimi.

LIFEs juga menghadirkan diskusi seperti: Corak Mbeling, Kata Siapa?, Sekilas Fiksi Merinding, Klasik Nan Asyik: Membaca Dini, Sitor, dan Wing, Rewriting the World Map: Multilingual Writing Across Languages and Continents, Venture of Language, Tamu Dari Seberang, Manusia, Mesin, Bahasa: Deleuze, Guattari, dsb, dan My Mother’s Tounge.

Pertunjukan teater dan musik juga akan meramaikan LIFEs di antaranya adalah Erotika Feminin, Colette Uncensored, Bintang-Bintang di Bawah Langit Jakarta, serta pertunjukan musik Les Femmes sans Paroles. Program ceramah dan seminar yang menarik seperti Universalisme Prancis: Antara Imajinasi dan Realitas, Kritik Supremasi dari Kamar Tidur, Perspektif Sejarah: Dari Kawin Kontrak hingga Yang Ilahiah, Rancière untuk Seni Emansipatif Indonesia, dan Kesetaraan Radikal dan Yang Tertindas juga hadir meramaikan rangkaian LIFEs 2023.

Tidak hanya memberikan suguhan dari ceramah, pertunjukan, serta diskusi, para pengunjung juga bisa menikmati Makan Malam Sastra dan merasakan kuliner khas negara Frankofon.

Festival ini secara resmi akan dibuka pada 05 Agustus 2023, di hari tersebut akan ada: Pemutaran Film 434: Mengenang Goddard, pembukaan pameran Les Liaisons Amoureuses, peluncuran buku: Surat Tentang Kekasih: Pembacaan Surat Menyurat Louis-Charles Damais dan Claire Holt, dilanjutkan pentas: Bintang-Bintang di Bawah Langit Jakarta, dan Makan Malam Sastra.

Selain hadir dengan 30+ program-program menarik dalam sepekan, LIFEs 2023 juga menghadirkan lebih dari 70 penampil seperti; Ajeng Kamaratih, Amalia Yunus, Arwad Esber, Asmara Abigail, Beni Satryo, Goenawan Mohamad, Jacques Rancière, Jean-Baptiste Phou, Jean Couteau, Johary Ravaloson, Klassikhaus, Lakhdar Brahimi, Lorri Holt, Martin Suryajaya, Monita Tahalea, Sha Ine Febriyanti, Zack Rogow, dan masih banyak lainnya. Untuk informasi mengenai jadwal pertunjukan dan pemesanan tiket bisa dilihat di lifes.salihara.org.

__________________________________________________________________

Tentang Literature and Ideas Festival

LIFEs (Literature and Ideas Festival) merupakan festival sastra dan gagasan berskala internasional yang mempertunjukan perkembangan sastra kontemporer Indonesia dan dunia, selain juga kekayaan karya-karya klasik dan tradisional. Festival ini berisi program diskusi, pentas bincang, ceramah kunci dan pertunjukan.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org

kelasfilsafatdaring23

Kelas Filsafat 2023 Putaran Kedua – Islam dan Kebebasan Menurut Mazhab Prancis

Pengampu: Ayang Utriza Yakin, Etienne Naveau, F. Wawan Setyadi, dan Haryatmoko

Setiap Sabtu, 15, 22, 29 Juli & 05 Agustus 2023, 14:00 WIB

Zoom Webinar (daring)

 

Jakarta, 04 Juli 2023 – Menjelang  LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2023 yang mengambil tema Prancis dan Frankofon, Komunitas Salihara akan mengangkat tema seputar filsuf Prancis dalam Kelas Filsafat kali ini. LIFEs sendiri merupakan sebuah festival dua tahunan yang menghadirkan rangkaian acara seputar sastra dan gagasan yang dikemas dalam bentuk: pertunjukan, pameran, diskusi, seminar, ceramah, pembacaan, kuliner, film, dan musik.

Selaras dengan tema LIFEs tahun ini, Kelas Filsafat akan membawa tajuk Islam dan Kebebasan Menurut Mazhab Prancis. Kelas ini akan membahas tentang bagaimana filsuf dan ilmuan Prancis mempersoalkan kembali tema kebebasan dengan meneropong Islam dan masyarakat muslim sebagai bahan kajian mereka yang tumbuh dengan tradisi Mazhab Leiden, Belanda. Peserta akan menemukan bagaimana perkembangan, sejarah, sumbangsih, serta pengaruh mazhab Prancis ditinjau dari kajian akademik, keilmuan, dan kehidupan masyarakat negara-negara muslim.

Kelas Filsafat ini akan dijalankan secara daring setiap Sabtu dari 15 Juli hingga 05 Agustus 2023 dalam empat pertemuan yang diampu oleh Ayang Utriza Yakin, Etienne Naveau, F. Wawan Setyadi, dan Haryatmoko. Berikut adalah rangkaian jadwal serta topik pembahasan yang akan dilaksanakan selama kelas berlangsung:

 

1. Gilles Deleuze dan Kreativitas

Sabtu, 15 Juli 2023 |14:00 – 16:00 WIB | Pengampu: Haryatmoko

“Rhizome”, “deteritorialisasi”, “schizoanalysis” dan “tubuh-tanpa-organ” adalah konsep-konsep hasil rekayasa Gilles Deleuze yang mengacu pada gerak dinamis, perubahan, inisiatif dan kreativitas. Deleuze menolak skema pikiran seperti pohon, tapi menggunakan “rhizome” yang bisa berkembang biak ke segala arah. Dia tidak puas dengan psikoanalisis yang seakan-akan mengekang gerak karena melihat masa lalu adalah kekurangan. Dia ingin melihat ke depan yang tampil dalam konsep “tubuh-tanpa-organ” sumber energi tanpa bentuk dari semua organisasi dan proses baik yang mungkin atau yang tidak mungkin sehingga memicu kreativitas.

2. Kebebasan Menurut Fenomenologi Kehendak Paul Ricoeur

Sabtu, 22  Juli 2023 |14:00 – 16:00 WIB | Pengampu: F. Wawan Setiadi

Perjalanan pemikiran filosofis Paul Ricoeur (1913-2005) diawali dengan refleksi tentang fenomenologi kehendak, di mana termanifestasi kebebasan manusia. Deskripsi fenomenologis kehendak ditandai oleh momen saat manusia mengatakan “aku hendak…”, yang diikuti oleh “aku menggerakkan tubuhku” dan “aku menyetujui”. Tiga momen kehendak tersebut mendapatkan tantangan dari yang-tak-terkehendaki, persis saat diluncurkan. Kehendak yang erat dengan yang-tak-terkehendaki membuat manusia bertanya, “sungguhkah aku bebas?”. Tantangan selanjutnya datang saat kebebasan manusia membawanya jatuh ke dalam kesalahan, kejahatan. Di situlah pertanyaan “sungguhkah aku bebas?” bergeser menjadi pemikiran tentang pembebasan dari problem kejahatan.

3. Mazhab Prancis dalam Studi Islam

Sabtu, 29  Juli 2023 |14:00 – 16:00 WIB | Pengampu: Ayang Utriza Yakin

Ilmuwan Prancis (dalam bidang ilmu-ilmu humaniora dan sosial)—yang menjadikan Islam dan masyarakat Muslim sebagai objek kajian dalam penelitian dan pengajaran mereka—dapat dianggap sebagai peletak dasar kajian agama Islam dan masyarakat muslim yang pada awalnya disebut kajian ketimuran (études orientales). Kerja dan usaha mereka yang berkesinambungan selama tiga abad (dari masa prakolonial, kolonial, sampai ke pascakolonial) berhasil membentuk objek kajian mereka (Islam dan Muslim) menjadi satu disiplin keilmuan tersendiri, yaitu studi Islam (études islamiques).

Mazhab Prancis dalam studi Islam sangat berjasa dalam mengembangkan pendekatan, metode, konsep dan teori untuk mengkaji Islam dan masyarakat Muslim yang menghasilkan banyak kajian dengan hasil luar biasa. Hasil-hasil kerja penelitian ilmuwan Mazhab Prancis dalam studi Islam ini pada gilirannya dapat digunakan dan bermanfaat untuk pembangunan negara-negara mayoritas Muslim dan pembaharuan pemikiran dalam Islam.

4. Blaise Pascal dan Islam

Sabtu, 05 Agustus 2023 |14:00 – 16:00 WIB |Pengampu: Etienne Naveau

Blaise Pascal (1623-1662) mengeluarkan penilaian yang ketat dan kurang informasi tentang Islam. Berdasarkan Fugio Fidei karya Ramon Marti, Pascal menganggap agama Islam, seperti Yudaisme, sebagai agama “samawi”, sensual dan suka berperang: agama politik yang terbatas pada “Orde Tubuh”. Terhadap karikatur yang diberikan Pascal tentang agama Islam ini, kita dapat menentang titik-titik kesamaan tertentu yang tidak terduga antara Pascal dan tren tertentu dalam Islam. Kritik Pascal terhadap Descartes dan “Tuhan para filsuf dan ilmuwan” secara formal mirip dengan kontroversi al-Ghazali melawan Ibnu Sina.

Dialektika Pascal tentang manusia “terampil, setengah terampil dan terampil” mirip dengan konsep “orang biasa, teolog dan filsuf” dalam karya Ibnu Rusyd. Akhirnya, fana’ seorang sufi seperti Hamzah Fansuri mirip dengan pemusnahan ego dalam pikiran Pascal. Sebagai kesimpulan, kami akan menunjukkan bahwa kritik reduktif yang ditujukan Pascal kepada Islam atas nama cita-cita evangelis non-kekerasan dapat berbalik melawan Augustinianisme, walaupun Pascal menganggap dirinya sebagai seorang murid Santo Augustinus.

Untuk bisa mengikuti kelas daring ini, peserta bisa langsung mendaftarkan diri lewat laman resmi kami di kelas.salihara.org dan media sosial kami. Peserta yang sudah terdaftar akan mendapatkan akses materi ajar, akses untuk menonton siaran ulang materi kelas, serta sertifikat digital.

 

Tentang Pengampu

Ayang Utriza Yakina adalah seorang peneliti di Sciences Po Bordeaux, Prancis, dan pengajar di Université Catholique de Louvain, Belgia sejak 2021. Pada 2005 sampai 2007 dan 2014 sampai 2016, ia mengajar di Sekolah Program Pascasarjana dan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta. Ia juga sempat mengajar di Universitas Ghent sebagai dosen tamu di departemen Kajian Islam dan Arab serta Studi Timur Tengah selama tiga tahun dari 2019 sampai 2020.

Etienne Naveau adalah Doktor Bidang Filsafat di Institut Nasional Bahasa dan Peradaban Oriental (INALCO) sejak 2003. Etienne juga merupakan doktor di bidang bahasa, sastra, dan peradaban Indonesia yang penelitian-penelitiannya dibuat berdasarkan kajian terhadap teks-teks autobiografi Indonesia. Ia menjadi anggota Cerlom (Pusat Kajian dan Penelitian Sastra dan Tradisi Lisan Dunia). Pada November 2017, ia mendapatkan gelar HDR-nya melalui penelitian berjudul Identitas dan Pidato-Pidato Para Pendiri Indonesia (sastra, filsafat, agama).

Wawan Setyadi adalah pengajar di STF Driyarkara, Jakarta. Saat ini sedang menjalani studi S3 di Centre Sèvres, Paris dan L’université de Namur, Belgia. Disertasinya yang tengah dirampungkan: Antropologi Filosofis Rekonsiliasi dan Dialog dengan Filsafat Paul Ricoeur. Ia juga menggeluti bidang filsafat di antaranya, hermeneutik filosofis, antropologi filsafat dan filsafat kontemporer Prancis.

Haryatmoko adalah Doktor di bidang Antropologi dan Sejarah Agama-agama di Universitas Sorbonne-Paris IV dan Etika Politik (Moral Sosial) di Institut Catholique de Paris. Ia adalah dosen tetap Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan menjadi pengajar tamu di pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dan UIN Yogyakarta.

 

Tentang Komunitas Salihara Arts Center

Komunitas Salihara Arts Center adalah sebuah institusi kesenian dan kebudayaan yang selalu menampilkan kesenian terkini dari Indonesia dan dunia, baik yang bersifat pertunjukan maupun edukasi, dalam lingkungan kreatif dan sejuk di tengah keramaian selatan Jakarta.

___________________________________________________________________

 

Untuk mengetahui detail pertunjukan silakan kunjungi sosial media Komunitas Salihara: Twitter @salihara | Instagram @komunitas_salihara | atau hubungi: media@salihara.org